Inayah berlari sekencang yang ia bisa. Menyusuri lorong-lorong rumah sakit tanpa mempedulikan tatapan-tatapan aneh dari orang yang dilewatinya. Inayah tak peduli. Ia hanya ingin segera sampai di ruang rawat, tempat di mana kakaknya sedang berbaring lemah tak berdaya.
Inayah semakin mengencangkan langkah ketika penampakan kedua orang tuanya terlihat. Duduk di kursi tunggu dengan lesu. "Ma, gi...." Inayah membungkuk untuk menetralkan napasnya yang ngos-ngosan. "Duduk dulu." Mamanya segera menarik tangan Inayah dan memberinya sebotol air minum yang kebetulan ada didalam tasnya. Inayah meneguk minuman itu dengan rakus karena jujur saja, ia juga merasa kehausan. "Gimana kak Aretha, Ma? Kakak baik-baik aja, kan?" tanya Inayah cemas setelah berhasil menenangkan dirinya. "Masih ditangani dokter. Semoga baik-baik aja. Kakak kamu pingsan dan semoga segera pulih lagi kayak biasanya." Harap mama Inayah yang bernama Ratih itu dengan cemas. Tak ada yang bisa dilakukan Inayah selain menunggu dan berdoa semoga keajaiban selalu datang untuk kakak tersayangnya, Aretha. Inayah menggenggam tangan mamanya dan menyandarkan punggung di kursi. Saat itulah, ia baru melihat abanya yang duduk tepat dihadapannya, menunduk dan terlihat lemas tak berdaya. Inayah tau, abanya pasti cemas memikirkan keadaan kakaknya. Pandangan mata Inayah bergeser ke sebelah kiri abanya dan menemukan Taksa, tunangan dari kakaknya yang juga tengah menunduk dengan risau. Inayah tak begitu mengenal Taksa walau mereka sebentar lagi akan menjadi keluarga. Inayah hanya mengangguk jika tak sengaja berpapasan dengan lelaki itu, itupun kalau lelaki itu berkunjung ke rumah, menemui kakaknya. Tak pernah mereka bertemu di tempat lain selain di rumah. Ini termasuk pertemuan pertama mereka di luar rumah. Inayah segera menundukkan pandangan ketika tak sengaja Taksa mengangkat wajah dan pandangan mata mereka bertemu. Inayah sempat tersentak kaget karena tak menyangka akan terjadi kontak mata sepersekian detik. Inayah bukan tak menyukai tunangan kakaknya itu hingga tak pernah bertegur sapa, bukan! Tapi, Taksa terlalu dingin untuk ukuran Inayah yang selalu suka bercanda dan berbicara. Taksa terlalu pendiam dan kadang sering membuat Inayah berpikir, apa yang membuat kakaknya jatuh cinta pada lelaki itu selain tampan tentunya. Gerakan tiba-tiba yang dilakukan mama Ratih membuat Inayah mendongak. Membuyarkan lamunan tentang tunangan kakaknya. Rupanya, dokter keluar dari ruangan tempat kakaknya di rawat. Seketika semua berdiri dan menghampiri dokter tersebut. "Gimana keadaan Aretha, Dok?" Mama Ratih segera mengajukan pertanyaan dengan nada begitu khawatir. Dokter Husni yang biasa merawat Aretha terlihat menghela napas dan memandangi satu persatu keluarga pasien. "Aretha ingin bertemu dengan Inayah dan Taksa." Aretha terlalu sering keluar masuk rumah sakit hingga dokter pun jadi mengenal seluruh keluarga Aretha. Semua saling berpandangan dengan heran. Tak biasanya hal seperti ini terjadi. "Tapi Aretha baik-baik saja, kan, Dok?" Suara aba Fahrazi yang tak begitu fasih berbahasa Indonesia terdengar. "Kita masih memantau keadaan Aretha dan mengusahakan yang terbaik." Dokter tersebut mengangguk dan berlalu. Kalimat yang diucapkan begitu ambigu dan tak bisa memberi kepastian. Apa sakit Aretha kali ini lebih parah? Kenapa ia hanya ingin bertemu dengan adik dan tunangannya? Tak membuang waktu, Inayah dan Taksa segera memasuki ruang rawat Aretha. Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu terlihat pucat dengan selang oksigen di hidung untuk membantu pernafasannya. Selang-selang penopang hidup yang lain juga tampak melilit tangannya. "Kak, apa yang sakit?" tanya Inayah terisak. Ia mengusap pelan rambut Aretha yang tak serapi biasanya. "Aku baik-baik, aja. Jangan khawatir, jangan nangis," lirih Aretha dengan terbata. Inayah justru semakin terisak. Nafas kakaknya terlihat berat dan menyiksa, Inayah tak tega walau hal ini selalu terjadi jika kakaknya sakit. Aretha menoleh menatap Taksa yang berdiri di sisi lain tempat tidur. Ia meraih tangan Taksa dan langsung dibalas Taksa dengan genggaman. "Aku di sini. Jangan takut, kamu pasti sembuh," hibur Taksa walau ia sendiri tak tega melihat Aretha yang semakin sering kambuh akhir-akhir ini. "Aku ca...pek," lirih Aretha. "Jangan bilang begitu. Kamu pasti sembuh, aku yakin." Aretha justru menggeleng, "Aku mau...." "Kenapa? Kamu mau apa? Aku pasti akan kabulkan." Taksa ingin menangis rasanya. Kalau tak ada keluarga Aretha di sini, Taksa pasti sudah memeluk wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. "Jan...ji?" pinta Aretha dengan suara yang semakin lirih. "Ya. Untuk kamu, aku pasti akan lakuin semua hal asal kamu sembuh." Aretha lalu berpaling menatap adik perempuan satu-satunya yang ia miliki dan meraih tangannya. Inayah pun membalas genggaman tangan itu masih dengan isak tangis. Hanya satu yang diinginkan Inayah, kesembuhan kakaknya. "Nay, menikahlah dengan Taksa," pinta Aretha lirih.Sontak Inayah dan Taksa saling berpandangan sesaat sebelum berpaling menatap Aretha penuh keheranan.Semua tau kalau Aretha dan Taksa sudah bertunangan, bahkan pernikahan mereka akan diadakan dua bulan lagi. Lalu, mengapa Aretha justru meminta Inayah untuk menikah dengan Taksa?"Kak?" Inayah tentu kebingungan."Aretha, jangan bercanda," sela Taksa cepat. "Kamu sepertinya butuh istirahat. Istirahat dulu, ya. Nanti kita lanjut ngobrol lagi."Aretha menggeleng dan setetes air mata ikut jatuh. "Aku ingin kamu menikah dengan I...nayah.""Kak, jangan sembarangan bicara. Kakak pasti sembuh. Mama udah janji mau wujudkan pesta seperti impian kakak. Aba pasti nggak suka dan bakalan marah kalo kakak ngomong sembarangan begini," marah Inayah.Tak pernah terlintas di pikiran Inayah kakaknya bisa menginginkan hal aneh seperti ini. Menikah dengan Taksa? Lelaki dingin itu? Yang benar saja!"Retha, kamu harus sembuh, jangan ngomong yang nggak-nggak." Taksa sepemikiran dengan Inayah. Ia pun ikut marah.
Persiapan dadakan dilakukan. Taksa menelepon kedua orang tuanya yang tentu saja ditanggapi pekikan terkejut dari orang tua Taksa. Inayah sendiri hanya bisa pasrah ketika ibunya dengan terburu-buru memoles make up seadanya ke wajah, itupun bermodalkan make up milik seorang suster."Ma, apa aku harus menikah dengan kak Taksa?" tanya Inayah yang sudah hampir menangis. "Mama juga nggak tau apa maksud dari permintaan kakakmu, tapi mama mohon kali ini saja, Nay, turuti keinginan kakakmu dengan harapan kakakmu akan sembuh."Inayah terdiam. Pikirannya menerawang memikirkan kesehatan kakaknya. Kalau memang dengan cara ini kakaknya bisa sembuh, ia rela melakukannya. Asal kakaknya sembuh.Taksa sendiri memilih menunggu persiapan acara pernikahan dadakannya dengan duduk di samping ranjang Aretha, mengusap lembut tangan kurus wanita yang ia cintai sepenuh hati itu."Aku akan menikahi Inayah seperti keinginanmu. Berjanjilah kamu akan sembuh," pinta Taksa.Aretha tersenyum. Matanya menyiratkan sor
Inayah berdiri di dekapan ibunya. Tubuhnya lemas tak bertenaga, wajahnya juga pucat berbalut kerudung pasmina yang ia pakai secara asal. Matanya sembab dan memburam. Air mata kesedihan itu tak henti-hentinya mengalir. Jenazah Aretha dimasukkan ke dalam liang lahat. Aba dan Taksa ikut turun mengantarkan Aretha ke peristirahatan terakhirnya. Kedua lelaki yang dicintai Aretha itu ikut membantu proses pemakaman hingga selesai. Raut mendung tak bisa disembunyikan.Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman. Mama Ratih kembali pingsan dan aba memutuskan kembali lebih awal, tinggallah Inayah dan Taksa yang masih berada di sana, memandangi pusara Aretha dengan isi pikiran masing-masing.Inayah duduk di tanah, tak memperdulikan bajunya yang pasti akan kotor. Ia mengusap pelan nisan bertuliskan nama Aretha Intan Fahrazi itu."Naya udah turuti keinginanmu, Kak. Kenapa kakak justru pergi seperti ini?" lirih Inayah yang kembali menangis. "Naya harus gimana, Kak?" jerit Inayah melepas rasa
Malam saat jenazah Aretha masih disemayamkan di rumah duka, Taksa duduk terpekur di sudut ruangan. Matanya menatap kosong ditempat jenazah Aretha terbaring. Dirinya tak sanggup mendekati Aretha. Taksa khawatir dirinya akan meraung-raung atau justru akan pingsan seperti mama Ratih dan Inayah. Kedua wanita itu sudah berkali-kali jatuh pingsan dan Taksa tak ingin mengikuti jejak mereka walau sesungguhnya ia ingin menjerit memanggil nama Aretha agar rasa sesak di dada lepas seketika. Taksa tak menyangka kisah cintanya akan seperti ini. Aretha pergi meninggalkannya untuk selamanya, memberi amanah untuk mempersunting Inayah dan disaat amanah itu sudah ia laksanakan, Aretha pergi meninggalkannya. Sekarang ia harus bagaimana? Statusnya sudah menjadi suami dan Taksa sama sekali tidak tau harus melakukan apa setelah ini.Taksa bangkit berdiri dan menuju kamar Aretha. Ia sempat terdiam setelah berdiri didepan pintu kamar Aretha dan akhirnya memutuskan membuka pintu kamar Inayah terlebih dahulu.
"Ya, kak Aretha memang perempuan istimewa. Mama sering menceritakan bagaimana perjuangan kak Aretha untuk bisa bertahan hidup. Aku begitu bangga padanya," sahut Inayah tersenyum tipis. "Berhubung kita sedang membahas ini, ada sesuatu yang ingin aku beri untukmu," ucap Taksa. "Apa itu?" tanya Inayah penasaran. Taksa tak menjawab. Ia berlalu meninggalkan Inayah dan kembali lima menit kemudian dengan sesuatu di tangan. "Untukku?" tanya Inayah heran. Taksa kembali mengangguk. Inayah terdiam lunglai begitu mengetahui apa yang diberikan Taksa untuknya. Kakaknya baru di kebumikan hari ini dan bisa-bisanya Taksa sudah memberikannya kejutan seperti ini. "Surat cerai?" lirih Inayah. Ia mendongak dan mendapati wajah datar Taksa seperti biasa. "Kita nikah belum ada dua puluh empat jam dan kamu udah mengajukan surat cerai?" tanya Inayah tak habis pikir. "Kita menikah karena Aretha dan Aretha udah nggak ada. Apa lagi yang mau kita pertahankan? Aku dan kamu sama-sama nggak ada yang mengingi
"Ini rumah kamu?" tanya Inayah ketika mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman rumah."Hmm."Inayah melirik dengan sinis. Taksa si irit bicara akan sangat berdosa jika sampai menjawab pertanyaannya. Kepindahan mereka memang hanya berdua tanpa di dampingi siapapun. Tak ada yang perlu dipersiapkan selain pakaian dan juga makanan hasil masakan mama Ratih. Semua perlengkapan rumah sudah tersedia. Inayah sendiri juga hanya membawa pakaian dan juga buku-buku kuliahnya."Selama ini kamu tinggal di mana? Di sini?" tanya Inayah penasaran karena ia di sambut dengan beberapa pembantu yang berjejer di depan pintu."Di rumah mama," jawab Taksa singkat, padat dan tidak jelas."Lalu untuk apa para pembantu ini? Melayani rumah kosong?" tanya Inayah lagi keheranan.Taksa tak menjawab dan hanya melirik Inayah singkat. Ia naik ke lantai dua dan Inayah mengikuti dengan sedikit terburu-buru, mengimbangi langkah kaki panjang Taksa. Untung saja koper yang ia bawa sudah di urus oleh para pembantu, kalau t
Inayah menaiki taksi untuk sampai di kampusnya. Besok, ia akan meminta abanya mengantar mobil miliknya. Akan menghemat biaya jika menaiki mobil sendiri. "Naya!"Inayah menoleh ketika mendengar suara yang memanggil namanya. Ternyata Lisa, teman yang sudah ia kenal sejak masih di bangku SMP."Hampir kita nggak ketemu, aku kangen banget," ucap Lisa manja dan merangkul bahu Inayah. "Sorry, aku nggak bisa datang di pemakaman kak Aretha," ringis Lisa."Nggak papa. Kamu juga lagi nggak di rumah kan waktu itu?" Inayah memang sudah tau kalau Lisa tak berada di rumah saat kak Aretha meninggal. Perempuan bertubuh tinggi itu sedang berada di Makasar, ada kerabat jauh yang sedang melangsungkan pernikahan."Aku pengen pulang sebenarnya, tapi mama ngelarang karena udah kemalaman, paginya acara inti, aku nggak bisa kabur," sungut Lisa penuh sesal."Udah, nggak papa. Santai aja." Inayah menepuk bahu Lisa menenangkan."Oya, kemarin pak Bumi nanyain kamu. Aku sampai keki disamperin dosen paling cakep
Jangan ngelamun. Aku nggak marah kok. Ayo, makan dulu." Bumi menyodorkan sendok di depan mulut Inayah dan Inayah menggeleng kecil."Aku udah makan," tolak Inayah."Jadi aku makan sendiri, nih?" tanya Bumi heran."Aku udah makan bareng Lisa tadi.""Kenapa kita nggak makan bareng aja di sini?" Bumi menegakkan tubuh dan terlihat tak berselera untuk menyantap makan siangnya."Aku tadi lupa sarapan jadi makan siangnya dipercepat," kilah Inayah."Maaf, ya. Aku nggak ada di sana waktu kamu lagi berduka." Bumi menggenggam tangan Inayah dengan raut wajah bersalah.Inayah jadi ingin menangis rasanya. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya kalau Bumi ada di sana, melihat dirinya menikah dengan Taksa."Nggak papa. Maaf juga karena aku nggak ada ngabarin kamu." Inayah membersit hidung dan Bumi menyodorkan tisu."Ada yang mau aku omongin," lirih Inayah."Apa itu?" tanya Bumi penasaran."Habiskan dulu makan siangnya. Kasian ibu kantin yang udah capek-capek masak, kasian juga aba Fahrazi yang udah cape
"Aku tidak suka warna hitam," sungut Inayah ketika baru keluar dari toko pakaian. Ia menunduk untuk melihat dress hitam yang dikenakannya. Terlihat bagus, tetapi ia tak menyukai warnanya."Hitam lebih baik daripada putih." Taksa menyahut sembari terus berjalan menyusuri trotoar. Dengan Inayah mengenakan pakaian berwarna hitam, tidak akan menganggu penglihatannya jika sewaktu-waktu baju tersebut basah."Kamu sebenarnya ikhlas nggak sih beliin aku baju," sungut Inayah lagi."Ada Cidomo!" Inayah berseru riang sembari menunjuk Cidomo yang masih beroperasi padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Seketika ia melupakan perihal baju berwarna hitam yang tak disukainya."Aku mau naik Cidomo." Inayah mengguncang lengan Taksa dan memberikan wajah paling memelas yang ia bisa."Apa kamu nggak lapar? Daripada naik Cidomo, baiknya kita makan dulu. Aku takut kamu akan terjungkal naik Cidomo tanpa mengisi perut," omel Taksa seperti biasa. Matanya mengedar mencari restoran paling d
"Bener." Inayah nyengir. "Ini pertama kalinya aku naik bus.""Kita mau kemana ini? Padahal tadi aku berencana mau ke pantai Senggigi. Tapi sopir taksi pun tak merestui." Inayah menghela napas. "Tapi nggak papa deh, setidaknya batal ke pantai Senggigi, aku bisa ngerasain naik bus."Inayah mengangkat bahu tanpa beban dan memandang takjub sekitar. Taksa sampai heran karena Inayah tak terlihat kecewa batal pergi ke pantai Senggigi."Kita di sini cuma tiga hari," ucap Taksa membuat Inayah menoleh menatapnya."Aku tau. Bukannya kamu udah bilang, ya?" Heran Inayah."Cuma mengingatkan. Aku juga mau bilang kalau bus ini mau ke pantai Senggigi.""Serius?" Inayah menatap Taksa dengan berbinar. "Kok bisa kebetulan begini?""Bukan kebetulan, aku memang sengaja pilih tujuan ke pantai Senggigi."Inayah menutup mulutnya karena takjub. Ia takjub karena keinginannya dan keinginan Taksa bisa satu frekuensi. "Wah, kamu tau apa yang
"Kamu udah gajian, kan? Atau setidaknya kamu punya uang, kan?" tanya Inayah dan Taksa membuka mata mendengar pertanyaan aneh itu."Hmm." Taksa menyahut malas. Untuk apa pula Inayah menanyakan perihal uang padanya? Takutkah kalau dirinya akan terlantar di tempat asing ini?"Kamu punya uang, kan?" tanya Inayah lagi karena Taksa tak memberikan jawaban pasti."Memangnya ada apa? Kamu butuh uang? Kamu mau membeli sesuatu?" Taksa justru balik bertanya. Ia bangkit dari posisi rebahannya dan menatap Inayah sepenuhnya.Inayah mengangguk sembari meringis, "Aku gak tau kalau kita akan seminggu di sini, jadi aku cuma bawa persediaan baju untuk tiga hari. Kamu belikan aku baju, ya?"Taksa menghela napas dengan malas. Salahnya juga yang tak memberitahu Inayah bahwa mereka akan di sini selama seminggu. "Ya sudah, kita di sini cuma tiga hari aja, biar nggak perlu beli baju lagi," ujar Taksa kembali merebahkan tubuhnya.Inayah terbengon
"Ha?" Inayah linglung."Apa?" tanya Inayah karena Taksa menatapnya dengan wajah datar seperti biasa. "Kamu tadi bertanya, wanita bodoh mana yang mau jadi istriku dan jawabannya adalah, kamu. Kamu wanita bodoh itu."Lalu, Taksa berlalu meninggalkan Inayah lagi menuju resepsionis. Inayah menggaruk kepalanya yang tak gatal dan merutuk. Taksa benar, wanita bodoh itu adalah dirinya."Sabar Inayah. Sabar sampai setahun ke depan." Tapi setelahnya Inayah hampir meratap setelah memikirkan bahwa setahun itu adalah waktu yang lama. Sabar, sabar dan sabar, sepertinya hanya kata itu yang menjadi penguat untuk saat ini. Ia pasti bisa melewati cobaan ini sampai setahun ke depan. Ya, ia pasti bisa. Ia mudah berteman, bahkan dulu, tukang cilok di sekolahnya pun bisa akrab dengannya dan tak menutup kemungkinan, ia dan Taksa bisa berteman selayaknya teman."Saya menolak kamar itu dan akan memesan kamar sendiri." Inayah mendengar Taksa berbicara sedikit keras setelah mendekati lelaki itu yang lama sek
"Kemana orang tua kamu? Ketemuan di hotel, ya?" tanya Inayah ketika sudah sampai di bandara Lombok. Ia sempat menoleh ke sana ke mari, antara berharap dan juga takut bertemu dengan sosok yang diberi nama mertua. Bukan tanpa sebab, Inayah sering membaca dan juga mendengar cerita tentang mertua jahat. Inayah jadi takut memiliki mertua yang tak bisa menganggap dirinya sebagai anak sendiri."Kita sarapan dulu. Aku lapar," sahut Taksa tak menjawab pertanyaan Inayah.Mereka memilih restoran yang tak jauh dari bandara. Keadaan restoran lumayan ramai karena ini masih masuk jam sarapan."Apa mama kamu udah sampai?" tanya Inayah lagi.Taksa melirik dan menghela napas. "Mama nggak jadi pergi.""What? Nggak jadi pergi maksudnya? Di tunda atau bagaimana?" tanya Inayah kebingungan."Batal. Bukan di tunda.""Kok bisa? Jadi kita di sini cuma berdua?" Inayah masih tak habis pikir.Taksa berdecak, "Makan dulu. Jawab pertanyaan kamu juga butuh tenaga."Sontak Inayah mencebik dan melirik Taksa sinis tap
"Ada apa?" tanya Inayah keheranan.Taksa tersentak dan menggeleng kecil. Ia menunduk untuk menghabiskan makan malamnya."Aku udah selesai." Inayah berdiri dan berniat meninggalkan Taksa."Tunggu!" Taksa berucap dengan cepat. "Ada yang mau aku omongin."Inayah kembali duduk dan memandang lelaki itu dalam diam.Taksa terlihat sedang berpikir. "Mama mengajak kita liburan besok." Taksa bernapas lega karena akhirnya bisa mengatakan hal yang sejak kemarin mengganggunya."Liburan?" tanya Inayah heran dan Taksa mengangguk."Kemana?" "Ke Lombok.""Besok banget?" tanya Inayah yang merasa semua serba mendadak. Ia belum mempersiapkan apapun."Kamu nggak bisa, kan? Jadwal kuliah kamu padat, kan? Oke nggak papa. Aku juga sibuk. Aku bisa bilang sama mama kalo kamu nggak bisa ikut. Terima kasih. Kamu boleh naik ke kamarmu." Taksa menyahut cepat dan Inayah terbengong."Padahal aku juga ingin ikut. Aku belum pernah ke Lombok." Inayah mencebik dan Taksa jadi kembali menatapnya."Tapi, kalau kamu memang
"Aku udah di jemput. Maaf, nggak bisa pulang sama kamu." Inayah melangkah cepat tapi Bumi tak kalah cepat menahan tangannya."Siapa yang jemput kamu?" tanya Bumi sembari mengedarkan pandangan. "Sua-mi aku." Gugup Inayah."Aku mau kenalan," sahut Bumi cepat."Jangan! Aku nggak mau kamu kenalan sama dia. Maaf!"Inayah melepas cekalan tangan Bumi dan melangkah cepat. Bumi ingin mengejar tetapi, urung ia lakukan ketika melihat Inayah hampir berlari menghampiri seorang lelaki yang tak disadari keberadaanya oleh Bumi. Inayah terlihat buru-buru meminta lelaki itu masuk dan Bumi tak salah melihat, lelaki itu sempat melemparkan pandangan padanya."Itu suami Inayah? Nggak mungkin!" Mobil yang membawa Inayah melaju meninggalkan area kampus seiring dengan Bumi yang berusaha keras menyangkal kalau Inayah telah menikah.Inayah melirik Taksa yang menyetir dengan wajah datar seperti biasa. Ia memilin jemarinya dengan pikiran
Bumi justru terkekeh. "Kamu terlalu mendalami peran, Inayah. Kamu cocok banget ambil jurusan seni peran.""Bapak masih nggak percaya?"Bumi justru menghentikan langkah hingga mereka semakin menjauh dengan mahasiswa lain."Jangan panggil bapak. Tinggal kita berdua di sini," sahut Bumi tak nyaman.Semenjak mereka resmi menjalin hubungan, Inayah hanya memanggilnya bapak saat dirinya kesal. Dihadapan Lisa pun, Inayah sering memanggil dirinya dengan nama dan sekarang di saat tak ada orang lain di sini, Inayah justru memanggilnya dengan panggilan bapak."Ini masih di sekitaran kampus, Pak."Bumi menghela napas karena ucapan Inayah benar. Mereka memang seperti memiliki sekat tak kasat mata semenjak Inayah mengaku sudah menikah dan meminta putus darinya."Aku nggak akan pernah percaya kalau kamu udah nikah sebelum kamu memperkenalkan suami kamu sama aku."Kini, giliran Inayah yang menghela napas karena ucapan Bumi. Memperkenalkan Taksa adalah sesuatu yang tidak mungkin. Lelaki itu bisa mengam
Keheranan Inayah semakin bertambah karena tak sampai lima menit kemudian, nomor Taksa memanggilnya. Inayah bahkan sampai memelototi ponselnya untuk memastikan ia tak salah melihat. Karena terlalu lama dilanda kebingungan, panggilan itu mati sendiri, terlalu lama di jawab."Ini beneran Taksa? Ngapain nelpon?" gumam Inayah keheranan. Ia hampir menjerit karena ponselnya kembali berdering dan nama Taksa kembali menelepon."Ha-halo," lirih Inayah ragu-ragu. Ia takut kalau ini hanyalah penipuan mama minta pulsa.Tak ada jawaban. "Halo? Ini siapa?" tanya Inayah keras. Tak lagi ragu-ragu seperti di awal. Inayah yakin kalau ini hanyalah kerjaan orang iseng, tapi kenapa nomor ponselnya sama dengan nomor ponsel yang diberikan abanya?Apa abanya salah mengirim nomor?"Mau nipu ya kamu? Maaf, lagi bokek. Cari korban lain aja," sengit Inayah dan berniat mematikan panggilan."Tunggu!" Suara seorang lelaki yang sepertinya Inayah kenal, mengurungkan niat Inayah."Hmm... Inayah?" tanya Taksa ragu-ragu