Share

Pernikahan Bayangan dengan Tunangan Kakak
Pernikahan Bayangan dengan Tunangan Kakak
Author: Wika Anggita

1. Menikahlah dengan Adikku

Inayah berlari sekencang yang ia bisa. Menyusuri lorong-lorong rumah sakit tanpa mempedulikan tatapan-tatapan aneh dari orang yang dilewatinya. Inayah tak peduli. Ia hanya ingin segera sampai di ruang rawat, tempat di mana kakaknya sedang berbaring lemah tak berdaya.

Inayah semakin mengencangkan langkah ketika penampakan kedua orang tuanya terlihat. Duduk di kursi tunggu dengan lesu.

"Ma, gi...." Inayah membungkuk untuk menetralkan napasnya yang ngos-ngosan.

"Duduk dulu." Mamanya segera menarik tangan Inayah dan memberinya sebotol air minum yang kebetulan ada didalam tasnya.

Inayah meneguk minuman itu dengan rakus karena jujur saja, ia juga merasa kehausan.

"Gimana kak Aretha, Ma? Kakak baik-baik aja, kan?" tanya Inayah cemas setelah berhasil menenangkan dirinya.

"Masih ditangani dokter. Semoga baik-baik aja. Kakak kamu pingsan dan semoga segera pulih lagi kayak biasanya." Harap mama Inayah yang bernama Ratih itu dengan cemas.

Tak ada yang bisa dilakukan Inayah selain menunggu dan berdoa semoga keajaiban selalu datang untuk kakak tersayangnya, Aretha.

Inayah menggenggam tangan mamanya dan menyandarkan punggung di kursi. Saat itulah, ia baru melihat abanya yang duduk tepat dihadapannya, menunduk dan terlihat lemas tak berdaya. Inayah tau, abanya pasti cemas memikirkan keadaan kakaknya.

Pandangan mata Inayah bergeser ke sebelah kiri abanya dan menemukan Taksa, tunangan dari kakaknya yang juga tengah menunduk dengan risau.

Inayah tak begitu mengenal Taksa walau mereka sebentar lagi akan menjadi keluarga. Inayah hanya mengangguk jika tak sengaja berpapasan dengan lelaki itu, itupun kalau lelaki itu berkunjung ke rumah, menemui kakaknya. Tak pernah mereka bertemu di tempat lain selain di rumah. Ini termasuk pertemuan pertama mereka di luar rumah.

Inayah segera menundukkan pandangan ketika tak sengaja Taksa mengangkat wajah dan pandangan mata mereka bertemu. Inayah sempat tersentak kaget karena tak menyangka akan terjadi kontak mata sepersekian detik.

Inayah bukan tak menyukai tunangan kakaknya itu hingga tak pernah bertegur sapa, bukan!

Tapi, Taksa terlalu dingin untuk ukuran Inayah yang selalu suka bercanda dan berbicara. Taksa terlalu pendiam dan kadang sering membuat Inayah berpikir, apa yang membuat kakaknya jatuh cinta pada lelaki itu selain tampan tentunya.

Gerakan tiba-tiba yang dilakukan mama Ratih membuat Inayah mendongak. Membuyarkan lamunan tentang tunangan kakaknya. Rupanya, dokter keluar dari ruangan tempat kakaknya di rawat. Seketika semua berdiri dan menghampiri dokter tersebut.

"Gimana keadaan Aretha, Dok?" Mama Ratih segera mengajukan pertanyaan dengan nada begitu khawatir.

Dokter Husni yang biasa merawat Aretha terlihat menghela napas dan memandangi satu persatu keluarga pasien.

"Aretha ingin bertemu dengan Inayah dan Taksa."

Aretha terlalu sering keluar masuk rumah sakit hingga dokter pun jadi mengenal seluruh keluarga Aretha.

Semua saling berpandangan dengan heran. Tak biasanya hal seperti ini terjadi.

"Tapi Aretha baik-baik saja, kan, Dok?" Suara aba Fahrazi yang tak begitu fasih berbahasa Indonesia terdengar.

"Kita masih memantau keadaan Aretha dan mengusahakan yang terbaik." Dokter tersebut mengangguk dan berlalu.

Kalimat yang diucapkan begitu ambigu dan tak bisa memberi kepastian. Apa sakit Aretha kali ini lebih parah? Kenapa ia hanya ingin bertemu dengan adik dan tunangannya?

Tak membuang waktu, Inayah dan Taksa segera memasuki ruang rawat Aretha. Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu terlihat pucat dengan selang oksigen di hidung untuk membantu pernafasannya. Selang-selang penopang hidup yang lain juga tampak melilit tangannya.

"Kak, apa yang sakit?" tanya Inayah terisak. Ia mengusap pelan rambut Aretha yang tak serapi biasanya.

"Aku baik-baik, aja. Jangan khawatir, jangan nangis," lirih Aretha dengan terbata.

Inayah justru semakin terisak. Nafas kakaknya terlihat berat dan menyiksa, Inayah tak tega walau hal ini selalu terjadi jika kakaknya sakit.

Aretha menoleh menatap Taksa yang berdiri di sisi lain tempat tidur. Ia meraih tangan Taksa dan langsung dibalas Taksa dengan genggaman.

"Aku di sini. Jangan takut, kamu pasti sembuh," hibur Taksa walau ia sendiri tak tega melihat Aretha yang semakin sering kambuh akhir-akhir ini.

"Aku ca...pek," lirih Aretha.

"Jangan bilang begitu. Kamu pasti sembuh, aku yakin."

Aretha justru menggeleng, "Aku mau...."

"Kenapa? Kamu mau apa? Aku pasti akan kabulkan." Taksa ingin menangis rasanya. Kalau tak ada keluarga Aretha di sini, Taksa pasti sudah memeluk wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu.

"Jan...ji?" pinta Aretha dengan suara yang semakin lirih.

"Ya. Untuk kamu, aku pasti akan lakuin semua hal asal kamu sembuh."

Aretha lalu berpaling menatap adik perempuan satu-satunya yang ia miliki dan meraih tangannya. Inayah pun membalas genggaman tangan itu masih dengan isak tangis.

Hanya satu yang diinginkan Inayah, kesembuhan kakaknya.

"Nay, menikahlah dengan Taksa," pinta Aretha lirih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status