"Bener." Inayah nyengir. "Ini pertama kalinya aku naik bus."
"Kita mau kemana ini? Padahal tadi aku berencana mau ke pantai Senggigi. Tapi sopir taksi pun tak merestui." Inayah menghela napas. "Tapi nggak papa deh, setidaknya batal ke pantai Senggigi, aku bisa ngerasain naik bus."Inayah mengangkat bahu tanpa beban dan memandang takjub sekitar. Taksa sampai heran karena Inayah tak terlihat kecewa batal pergi ke pantai Senggigi."Kita di sini cuma tiga hari," ucap Taksa membuat Inayah menoleh menatapnya."Aku tau. Bukannya kamu udah bilang, ya?" Heran Inayah."Cuma mengingatkan. Aku juga mau bilang kalau bus ini mau ke pantai Senggigi.""Serius?" Inayah menatap Taksa dengan berbinar. "Kok bisa kebetulan begini?""Bukan kebetulan, aku memang sengaja pilih tujuan ke pantai Senggigi."Inayah menutup mulutnya karena takjub. Ia takjub karena keinginannya dan keinginan Taksa bisa satu frekuensi. "Wah, kamu tau apa yang"Aku tidak suka warna hitam," sungut Inayah ketika baru keluar dari toko pakaian. Ia menunduk untuk melihat dress hitam yang dikenakannya. Terlihat bagus, tetapi ia tak menyukai warnanya."Hitam lebih baik daripada putih." Taksa menyahut sembari terus berjalan menyusuri trotoar. Dengan Inayah mengenakan pakaian berwarna hitam, tidak akan menganggu penglihatannya jika sewaktu-waktu baju tersebut basah."Kamu sebenarnya ikhlas nggak sih beliin aku baju," sungut Inayah lagi."Ada Cidomo!" Inayah berseru riang sembari menunjuk Cidomo yang masih beroperasi padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Seketika ia melupakan perihal baju berwarna hitam yang tak disukainya."Aku mau naik Cidomo." Inayah mengguncang lengan Taksa dan memberikan wajah paling memelas yang ia bisa."Apa kamu nggak lapar? Daripada naik Cidomo, baiknya kita makan dulu. Aku takut kamu akan terjungkal naik Cidomo tanpa mengisi perut," omel Taksa seperti biasa. Matanya mengedar mencari restoran paling d
Inayah berlari sekencang yang ia bisa. Menyusuri lorong-lorong rumah sakit tanpa mempedulikan tatapan-tatapan aneh dari orang yang dilewatinya. Inayah tak peduli. Ia hanya ingin segera sampai di ruang rawat, tempat di mana kakaknya sedang berbaring lemah tak berdaya. Inayah semakin mengencangkan langkah ketika penampakan kedua orang tuanya terlihat. Duduk di kursi tunggu dengan lesu. "Ma, gi...." Inayah membungkuk untuk menetralkan napasnya yang ngos-ngosan. "Duduk dulu." Mamanya segera menarik tangan Inayah dan memberinya sebotol air minum yang kebetulan ada didalam tasnya. Inayah meneguk minuman itu dengan rakus karena jujur saja, ia juga merasa kehausan. "Gimana kak Aretha, Ma? Kakak baik-baik aja, kan?" tanya Inayah cemas setelah berhasil menenangkan dirinya. "Masih ditangani dokter. Semoga baik-baik aja. Kakak kamu pingsan dan semoga segera pulih lagi kayak biasanya." Harap mama Inayah yang bernama Ratih itu dengan cemas. Tak ada yang bisa dilakukan Inayah selain menunggu
Sontak Inayah dan Taksa saling berpandangan sesaat sebelum berpaling menatap Aretha penuh keheranan.Semua tau kalau Aretha dan Taksa sudah bertunangan, bahkan pernikahan mereka akan diadakan dua bulan lagi. Lalu, mengapa Aretha justru meminta Inayah untuk menikah dengan Taksa?"Kak?" Inayah tentu kebingungan."Aretha, jangan bercanda," sela Taksa cepat. "Kamu sepertinya butuh istirahat. Istirahat dulu, ya. Nanti kita lanjut ngobrol lagi."Aretha menggeleng dan setetes air mata ikut jatuh. "Aku ingin kamu menikah dengan I...nayah.""Kak, jangan sembarangan bicara. Kakak pasti sembuh. Mama udah janji mau wujudkan pesta seperti impian kakak. Aba pasti nggak suka dan bakalan marah kalo kakak ngomong sembarangan begini," marah Inayah.Tak pernah terlintas di pikiran Inayah kakaknya bisa menginginkan hal aneh seperti ini. Menikah dengan Taksa? Lelaki dingin itu? Yang benar saja!"Retha, kamu harus sembuh, jangan ngomong yang nggak-nggak." Taksa sepemikiran dengan Inayah. Ia pun ikut marah.
Persiapan dadakan dilakukan. Taksa menelepon kedua orang tuanya yang tentu saja ditanggapi pekikan terkejut dari orang tua Taksa. Inayah sendiri hanya bisa pasrah ketika ibunya dengan terburu-buru memoles make up seadanya ke wajah, itupun bermodalkan make up milik seorang suster."Ma, apa aku harus menikah dengan kak Taksa?" tanya Inayah yang sudah hampir menangis. "Mama juga nggak tau apa maksud dari permintaan kakakmu, tapi mama mohon kali ini saja, Nay, turuti keinginan kakakmu dengan harapan kakakmu akan sembuh."Inayah terdiam. Pikirannya menerawang memikirkan kesehatan kakaknya. Kalau memang dengan cara ini kakaknya bisa sembuh, ia rela melakukannya. Asal kakaknya sembuh.Taksa sendiri memilih menunggu persiapan acara pernikahan dadakannya dengan duduk di samping ranjang Aretha, mengusap lembut tangan kurus wanita yang ia cintai sepenuh hati itu."Aku akan menikahi Inayah seperti keinginanmu. Berjanjilah kamu akan sembuh," pinta Taksa.Aretha tersenyum. Matanya menyiratkan sor
Inayah berdiri di dekapan ibunya. Tubuhnya lemas tak bertenaga, wajahnya juga pucat berbalut kerudung pasmina yang ia pakai secara asal. Matanya sembab dan memburam. Air mata kesedihan itu tak henti-hentinya mengalir. Jenazah Aretha dimasukkan ke dalam liang lahat. Aba dan Taksa ikut turun mengantarkan Aretha ke peristirahatan terakhirnya. Kedua lelaki yang dicintai Aretha itu ikut membantu proses pemakaman hingga selesai. Raut mendung tak bisa disembunyikan.Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman. Mama Ratih kembali pingsan dan aba memutuskan kembali lebih awal, tinggallah Inayah dan Taksa yang masih berada di sana, memandangi pusara Aretha dengan isi pikiran masing-masing.Inayah duduk di tanah, tak memperdulikan bajunya yang pasti akan kotor. Ia mengusap pelan nisan bertuliskan nama Aretha Intan Fahrazi itu."Naya udah turuti keinginanmu, Kak. Kenapa kakak justru pergi seperti ini?" lirih Inayah yang kembali menangis. "Naya harus gimana, Kak?" jerit Inayah melepas rasa
Malam saat jenazah Aretha masih disemayamkan di rumah duka, Taksa duduk terpekur di sudut ruangan. Matanya menatap kosong ditempat jenazah Aretha terbaring. Dirinya tak sanggup mendekati Aretha. Taksa khawatir dirinya akan meraung-raung atau justru akan pingsan seperti mama Ratih dan Inayah. Kedua wanita itu sudah berkali-kali jatuh pingsan dan Taksa tak ingin mengikuti jejak mereka walau sesungguhnya ia ingin menjerit memanggil nama Aretha agar rasa sesak di dada lepas seketika. Taksa tak menyangka kisah cintanya akan seperti ini. Aretha pergi meninggalkannya untuk selamanya, memberi amanah untuk mempersunting Inayah dan disaat amanah itu sudah ia laksanakan, Aretha pergi meninggalkannya. Sekarang ia harus bagaimana? Statusnya sudah menjadi suami dan Taksa sama sekali tidak tau harus melakukan apa setelah ini.Taksa bangkit berdiri dan menuju kamar Aretha. Ia sempat terdiam setelah berdiri didepan pintu kamar Aretha dan akhirnya memutuskan membuka pintu kamar Inayah terlebih dahulu.
"Ya, kak Aretha memang perempuan istimewa. Mama sering menceritakan bagaimana perjuangan kak Aretha untuk bisa bertahan hidup. Aku begitu bangga padanya," sahut Inayah tersenyum tipis. "Berhubung kita sedang membahas ini, ada sesuatu yang ingin aku beri untukmu," ucap Taksa. "Apa itu?" tanya Inayah penasaran. Taksa tak menjawab. Ia berlalu meninggalkan Inayah dan kembali lima menit kemudian dengan sesuatu di tangan. "Untukku?" tanya Inayah heran. Taksa kembali mengangguk. Inayah terdiam lunglai begitu mengetahui apa yang diberikan Taksa untuknya. Kakaknya baru di kebumikan hari ini dan bisa-bisanya Taksa sudah memberikannya kejutan seperti ini. "Surat cerai?" lirih Inayah. Ia mendongak dan mendapati wajah datar Taksa seperti biasa. "Kita nikah belum ada dua puluh empat jam dan kamu udah mengajukan surat cerai?" tanya Inayah tak habis pikir. "Kita menikah karena Aretha dan Aretha udah nggak ada. Apa lagi yang mau kita pertahankan? Aku dan kamu sama-sama nggak ada yang mengingi
"Ini rumah kamu?" tanya Inayah ketika mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman rumah."Hmm."Inayah melirik dengan sinis. Taksa si irit bicara akan sangat berdosa jika sampai menjawab pertanyaannya. Kepindahan mereka memang hanya berdua tanpa di dampingi siapapun. Tak ada yang perlu dipersiapkan selain pakaian dan juga makanan hasil masakan mama Ratih. Semua perlengkapan rumah sudah tersedia. Inayah sendiri juga hanya membawa pakaian dan juga buku-buku kuliahnya."Selama ini kamu tinggal di mana? Di sini?" tanya Inayah penasaran karena ia di sambut dengan beberapa pembantu yang berjejer di depan pintu."Di rumah mama," jawab Taksa singkat, padat dan tidak jelas."Lalu untuk apa para pembantu ini? Melayani rumah kosong?" tanya Inayah lagi keheranan.Taksa tak menjawab dan hanya melirik Inayah singkat. Ia naik ke lantai dua dan Inayah mengikuti dengan sedikit terburu-buru, mengimbangi langkah kaki panjang Taksa. Untung saja koper yang ia bawa sudah di urus oleh para pembantu, kalau t