"Kamu udah gajian, kan? Atau setidaknya kamu punya uang, kan?" tanya Inayah dan Taksa membuka mata mendengar pertanyaan aneh itu."Hmm." Taksa menyahut malas. Untuk apa pula Inayah menanyakan perihal uang padanya? Takutkah kalau dirinya akan terlantar di tempat asing ini?"Kamu punya uang, kan?" tanya Inayah lagi karena Taksa tak memberikan jawaban pasti."Memangnya ada apa? Kamu butuh uang? Kamu mau membeli sesuatu?" Taksa justru balik bertanya. Ia bangkit dari posisi rebahannya dan menatap Inayah sepenuhnya.Inayah mengangguk sembari meringis, "Aku gak tau kalau kita akan seminggu di sini, jadi aku cuma bawa persediaan baju untuk tiga hari. Kamu belikan aku baju, ya?"Taksa menghela napas dengan malas. Salahnya juga yang tak memberitahu Inayah bahwa mereka akan di sini selama seminggu. "Ya sudah, kita di sini cuma tiga hari aja, biar nggak perlu beli baju lagi," ujar Taksa kembali merebahkan tubuhnya.Inayah terbengon
"Bener." Inayah nyengir. "Ini pertama kalinya aku naik bus.""Kita mau kemana ini? Padahal tadi aku berencana mau ke pantai Senggigi. Tapi sopir taksi pun tak merestui." Inayah menghela napas. "Tapi nggak papa deh, setidaknya batal ke pantai Senggigi, aku bisa ngerasain naik bus."Inayah mengangkat bahu tanpa beban dan memandang takjub sekitar. Taksa sampai heran karena Inayah tak terlihat kecewa batal pergi ke pantai Senggigi."Kita di sini cuma tiga hari," ucap Taksa membuat Inayah menoleh menatapnya."Aku tau. Bukannya kamu udah bilang, ya?" Heran Inayah."Cuma mengingatkan. Aku juga mau bilang kalau bus ini mau ke pantai Senggigi.""Serius?" Inayah menatap Taksa dengan berbinar. "Kok bisa kebetulan begini?""Bukan kebetulan, aku memang sengaja pilih tujuan ke pantai Senggigi."Inayah menutup mulutnya karena takjub. Ia takjub karena keinginannya dan keinginan Taksa bisa satu frekuensi. "Wah, kamu tau apa yang
"Aku tidak suka warna hitam," sungut Inayah ketika baru keluar dari toko pakaian. Ia menunduk untuk melihat dress hitam yang dikenakannya. Terlihat bagus, tetapi ia tak menyukai warnanya."Hitam lebih baik daripada putih." Taksa menyahut sembari terus berjalan menyusuri trotoar. Dengan Inayah mengenakan pakaian berwarna hitam, tidak akan menganggu penglihatannya jika sewaktu-waktu baju tersebut basah."Kamu sebenarnya ikhlas nggak sih beliin aku baju," sungut Inayah lagi."Ada Cidomo!" Inayah berseru riang sembari menunjuk Cidomo yang masih beroperasi padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Seketika ia melupakan perihal baju berwarna hitam yang tak disukainya."Aku mau naik Cidomo." Inayah mengguncang lengan Taksa dan memberikan wajah paling memelas yang ia bisa."Apa kamu nggak lapar? Daripada naik Cidomo, baiknya kita makan dulu. Aku takut kamu akan terjungkal naik Cidomo tanpa mengisi perut," omel Taksa seperti biasa. Matanya mengedar mencari restoran paling d
Inayah berlari sekencang yang ia bisa. Menyusuri lorong-lorong rumah sakit tanpa mempedulikan tatapan-tatapan aneh dari orang yang dilewatinya. Inayah tak peduli. Ia hanya ingin segera sampai di ruang rawat, tempat di mana kakaknya sedang berbaring lemah tak berdaya. Inayah semakin mengencangkan langkah ketika penampakan kedua orang tuanya terlihat. Duduk di kursi tunggu dengan lesu. "Ma, gi...." Inayah membungkuk untuk menetralkan napasnya yang ngos-ngosan. "Duduk dulu." Mamanya segera menarik tangan Inayah dan memberinya sebotol air minum yang kebetulan ada didalam tasnya. Inayah meneguk minuman itu dengan rakus karena jujur saja, ia juga merasa kehausan. "Gimana kak Aretha, Ma? Kakak baik-baik aja, kan?" tanya Inayah cemas setelah berhasil menenangkan dirinya. "Masih ditangani dokter. Semoga baik-baik aja. Kakak kamu pingsan dan semoga segera pulih lagi kayak biasanya." Harap mama Inayah yang bernama Ratih itu dengan cemas. Tak ada yang bisa dilakukan Inayah selain menunggu
Sontak Inayah dan Taksa saling berpandangan sesaat sebelum berpaling menatap Aretha penuh keheranan.Semua tau kalau Aretha dan Taksa sudah bertunangan, bahkan pernikahan mereka akan diadakan dua bulan lagi. Lalu, mengapa Aretha justru meminta Inayah untuk menikah dengan Taksa?"Kak?" Inayah tentu kebingungan."Aretha, jangan bercanda," sela Taksa cepat. "Kamu sepertinya butuh istirahat. Istirahat dulu, ya. Nanti kita lanjut ngobrol lagi."Aretha menggeleng dan setetes air mata ikut jatuh. "Aku ingin kamu menikah dengan I...nayah.""Kak, jangan sembarangan bicara. Kakak pasti sembuh. Mama udah janji mau wujudkan pesta seperti impian kakak. Aba pasti nggak suka dan bakalan marah kalo kakak ngomong sembarangan begini," marah Inayah.Tak pernah terlintas di pikiran Inayah kakaknya bisa menginginkan hal aneh seperti ini. Menikah dengan Taksa? Lelaki dingin itu? Yang benar saja!"Retha, kamu harus sembuh, jangan ngomong yang nggak-nggak." Taksa sepemikiran dengan Inayah. Ia pun ikut marah.
Persiapan dadakan dilakukan. Taksa menelepon kedua orang tuanya yang tentu saja ditanggapi pekikan terkejut dari orang tua Taksa. Inayah sendiri hanya bisa pasrah ketika ibunya dengan terburu-buru memoles make up seadanya ke wajah, itupun bermodalkan make up milik seorang suster."Ma, apa aku harus menikah dengan kak Taksa?" tanya Inayah yang sudah hampir menangis. "Mama juga nggak tau apa maksud dari permintaan kakakmu, tapi mama mohon kali ini saja, Nay, turuti keinginan kakakmu dengan harapan kakakmu akan sembuh."Inayah terdiam. Pikirannya menerawang memikirkan kesehatan kakaknya. Kalau memang dengan cara ini kakaknya bisa sembuh, ia rela melakukannya. Asal kakaknya sembuh.Taksa sendiri memilih menunggu persiapan acara pernikahan dadakannya dengan duduk di samping ranjang Aretha, mengusap lembut tangan kurus wanita yang ia cintai sepenuh hati itu."Aku akan menikahi Inayah seperti keinginanmu. Berjanjilah kamu akan sembuh," pinta Taksa.Aretha tersenyum. Matanya menyiratkan sor
Inayah berdiri di dekapan ibunya. Tubuhnya lemas tak bertenaga, wajahnya juga pucat berbalut kerudung pasmina yang ia pakai secara asal. Matanya sembab dan memburam. Air mata kesedihan itu tak henti-hentinya mengalir. Jenazah Aretha dimasukkan ke dalam liang lahat. Aba dan Taksa ikut turun mengantarkan Aretha ke peristirahatan terakhirnya. Kedua lelaki yang dicintai Aretha itu ikut membantu proses pemakaman hingga selesai. Raut mendung tak bisa disembunyikan.Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman. Mama Ratih kembali pingsan dan aba memutuskan kembali lebih awal, tinggallah Inayah dan Taksa yang masih berada di sana, memandangi pusara Aretha dengan isi pikiran masing-masing.Inayah duduk di tanah, tak memperdulikan bajunya yang pasti akan kotor. Ia mengusap pelan nisan bertuliskan nama Aretha Intan Fahrazi itu."Naya udah turuti keinginanmu, Kak. Kenapa kakak justru pergi seperti ini?" lirih Inayah yang kembali menangis. "Naya harus gimana, Kak?" jerit Inayah melepas rasa
Malam saat jenazah Aretha masih disemayamkan di rumah duka, Taksa duduk terpekur di sudut ruangan. Matanya menatap kosong ditempat jenazah Aretha terbaring. Dirinya tak sanggup mendekati Aretha. Taksa khawatir dirinya akan meraung-raung atau justru akan pingsan seperti mama Ratih dan Inayah. Kedua wanita itu sudah berkali-kali jatuh pingsan dan Taksa tak ingin mengikuti jejak mereka walau sesungguhnya ia ingin menjerit memanggil nama Aretha agar rasa sesak di dada lepas seketika. Taksa tak menyangka kisah cintanya akan seperti ini. Aretha pergi meninggalkannya untuk selamanya, memberi amanah untuk mempersunting Inayah dan disaat amanah itu sudah ia laksanakan, Aretha pergi meninggalkannya. Sekarang ia harus bagaimana? Statusnya sudah menjadi suami dan Taksa sama sekali tidak tau harus melakukan apa setelah ini.Taksa bangkit berdiri dan menuju kamar Aretha. Ia sempat terdiam setelah berdiri didepan pintu kamar Aretha dan akhirnya memutuskan membuka pintu kamar Inayah terlebih dahulu.
"Aku tidak suka warna hitam," sungut Inayah ketika baru keluar dari toko pakaian. Ia menunduk untuk melihat dress hitam yang dikenakannya. Terlihat bagus, tetapi ia tak menyukai warnanya."Hitam lebih baik daripada putih." Taksa menyahut sembari terus berjalan menyusuri trotoar. Dengan Inayah mengenakan pakaian berwarna hitam, tidak akan menganggu penglihatannya jika sewaktu-waktu baju tersebut basah."Kamu sebenarnya ikhlas nggak sih beliin aku baju," sungut Inayah lagi."Ada Cidomo!" Inayah berseru riang sembari menunjuk Cidomo yang masih beroperasi padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Seketika ia melupakan perihal baju berwarna hitam yang tak disukainya."Aku mau naik Cidomo." Inayah mengguncang lengan Taksa dan memberikan wajah paling memelas yang ia bisa."Apa kamu nggak lapar? Daripada naik Cidomo, baiknya kita makan dulu. Aku takut kamu akan terjungkal naik Cidomo tanpa mengisi perut," omel Taksa seperti biasa. Matanya mengedar mencari restoran paling d
"Bener." Inayah nyengir. "Ini pertama kalinya aku naik bus.""Kita mau kemana ini? Padahal tadi aku berencana mau ke pantai Senggigi. Tapi sopir taksi pun tak merestui." Inayah menghela napas. "Tapi nggak papa deh, setidaknya batal ke pantai Senggigi, aku bisa ngerasain naik bus."Inayah mengangkat bahu tanpa beban dan memandang takjub sekitar. Taksa sampai heran karena Inayah tak terlihat kecewa batal pergi ke pantai Senggigi."Kita di sini cuma tiga hari," ucap Taksa membuat Inayah menoleh menatapnya."Aku tau. Bukannya kamu udah bilang, ya?" Heran Inayah."Cuma mengingatkan. Aku juga mau bilang kalau bus ini mau ke pantai Senggigi.""Serius?" Inayah menatap Taksa dengan berbinar. "Kok bisa kebetulan begini?""Bukan kebetulan, aku memang sengaja pilih tujuan ke pantai Senggigi."Inayah menutup mulutnya karena takjub. Ia takjub karena keinginannya dan keinginan Taksa bisa satu frekuensi. "Wah, kamu tau apa yang
"Kamu udah gajian, kan? Atau setidaknya kamu punya uang, kan?" tanya Inayah dan Taksa membuka mata mendengar pertanyaan aneh itu."Hmm." Taksa menyahut malas. Untuk apa pula Inayah menanyakan perihal uang padanya? Takutkah kalau dirinya akan terlantar di tempat asing ini?"Kamu punya uang, kan?" tanya Inayah lagi karena Taksa tak memberikan jawaban pasti."Memangnya ada apa? Kamu butuh uang? Kamu mau membeli sesuatu?" Taksa justru balik bertanya. Ia bangkit dari posisi rebahannya dan menatap Inayah sepenuhnya.Inayah mengangguk sembari meringis, "Aku gak tau kalau kita akan seminggu di sini, jadi aku cuma bawa persediaan baju untuk tiga hari. Kamu belikan aku baju, ya?"Taksa menghela napas dengan malas. Salahnya juga yang tak memberitahu Inayah bahwa mereka akan di sini selama seminggu. "Ya sudah, kita di sini cuma tiga hari aja, biar nggak perlu beli baju lagi," ujar Taksa kembali merebahkan tubuhnya.Inayah terbengon
"Ha?" Inayah linglung."Apa?" tanya Inayah karena Taksa menatapnya dengan wajah datar seperti biasa. "Kamu tadi bertanya, wanita bodoh mana yang mau jadi istriku dan jawabannya adalah, kamu. Kamu wanita bodoh itu."Lalu, Taksa berlalu meninggalkan Inayah lagi menuju resepsionis. Inayah menggaruk kepalanya yang tak gatal dan merutuk. Taksa benar, wanita bodoh itu adalah dirinya."Sabar Inayah. Sabar sampai setahun ke depan." Tapi setelahnya Inayah hampir meratap setelah memikirkan bahwa setahun itu adalah waktu yang lama. Sabar, sabar dan sabar, sepertinya hanya kata itu yang menjadi penguat untuk saat ini. Ia pasti bisa melewati cobaan ini sampai setahun ke depan. Ya, ia pasti bisa. Ia mudah berteman, bahkan dulu, tukang cilok di sekolahnya pun bisa akrab dengannya dan tak menutup kemungkinan, ia dan Taksa bisa berteman selayaknya teman."Saya menolak kamar itu dan akan memesan kamar sendiri." Inayah mendengar Taksa berbicara sedikit keras setelah mendekati lelaki itu yang lama sek
"Kemana orang tua kamu? Ketemuan di hotel, ya?" tanya Inayah ketika sudah sampai di bandara Lombok. Ia sempat menoleh ke sana ke mari, antara berharap dan juga takut bertemu dengan sosok yang diberi nama mertua. Bukan tanpa sebab, Inayah sering membaca dan juga mendengar cerita tentang mertua jahat. Inayah jadi takut memiliki mertua yang tak bisa menganggap dirinya sebagai anak sendiri."Kita sarapan dulu. Aku lapar," sahut Taksa tak menjawab pertanyaan Inayah.Mereka memilih restoran yang tak jauh dari bandara. Keadaan restoran lumayan ramai karena ini masih masuk jam sarapan."Apa mama kamu udah sampai?" tanya Inayah lagi.Taksa melirik dan menghela napas. "Mama nggak jadi pergi.""What? Nggak jadi pergi maksudnya? Di tunda atau bagaimana?" tanya Inayah kebingungan."Batal. Bukan di tunda.""Kok bisa? Jadi kita di sini cuma berdua?" Inayah masih tak habis pikir.Taksa berdecak, "Makan dulu. Jawab pertanyaan kamu juga butuh tenaga."Sontak Inayah mencebik dan melirik Taksa sinis tap
"Ada apa?" tanya Inayah keheranan.Taksa tersentak dan menggeleng kecil. Ia menunduk untuk menghabiskan makan malamnya."Aku udah selesai." Inayah berdiri dan berniat meninggalkan Taksa."Tunggu!" Taksa berucap dengan cepat. "Ada yang mau aku omongin."Inayah kembali duduk dan memandang lelaki itu dalam diam.Taksa terlihat sedang berpikir. "Mama mengajak kita liburan besok." Taksa bernapas lega karena akhirnya bisa mengatakan hal yang sejak kemarin mengganggunya."Liburan?" tanya Inayah heran dan Taksa mengangguk."Kemana?" "Ke Lombok.""Besok banget?" tanya Inayah yang merasa semua serba mendadak. Ia belum mempersiapkan apapun."Kamu nggak bisa, kan? Jadwal kuliah kamu padat, kan? Oke nggak papa. Aku juga sibuk. Aku bisa bilang sama mama kalo kamu nggak bisa ikut. Terima kasih. Kamu boleh naik ke kamarmu." Taksa menyahut cepat dan Inayah terbengong."Padahal aku juga ingin ikut. Aku belum pernah ke Lombok." Inayah mencebik dan Taksa jadi kembali menatapnya."Tapi, kalau kamu memang
"Aku udah di jemput. Maaf, nggak bisa pulang sama kamu." Inayah melangkah cepat tapi Bumi tak kalah cepat menahan tangannya."Siapa yang jemput kamu?" tanya Bumi sembari mengedarkan pandangan. "Sua-mi aku." Gugup Inayah."Aku mau kenalan," sahut Bumi cepat."Jangan! Aku nggak mau kamu kenalan sama dia. Maaf!"Inayah melepas cekalan tangan Bumi dan melangkah cepat. Bumi ingin mengejar tetapi, urung ia lakukan ketika melihat Inayah hampir berlari menghampiri seorang lelaki yang tak disadari keberadaanya oleh Bumi. Inayah terlihat buru-buru meminta lelaki itu masuk dan Bumi tak salah melihat, lelaki itu sempat melemparkan pandangan padanya."Itu suami Inayah? Nggak mungkin!" Mobil yang membawa Inayah melaju meninggalkan area kampus seiring dengan Bumi yang berusaha keras menyangkal kalau Inayah telah menikah.Inayah melirik Taksa yang menyetir dengan wajah datar seperti biasa. Ia memilin jemarinya dengan pikiran
Bumi justru terkekeh. "Kamu terlalu mendalami peran, Inayah. Kamu cocok banget ambil jurusan seni peran.""Bapak masih nggak percaya?"Bumi justru menghentikan langkah hingga mereka semakin menjauh dengan mahasiswa lain."Jangan panggil bapak. Tinggal kita berdua di sini," sahut Bumi tak nyaman.Semenjak mereka resmi menjalin hubungan, Inayah hanya memanggilnya bapak saat dirinya kesal. Dihadapan Lisa pun, Inayah sering memanggil dirinya dengan nama dan sekarang di saat tak ada orang lain di sini, Inayah justru memanggilnya dengan panggilan bapak."Ini masih di sekitaran kampus, Pak."Bumi menghela napas karena ucapan Inayah benar. Mereka memang seperti memiliki sekat tak kasat mata semenjak Inayah mengaku sudah menikah dan meminta putus darinya."Aku nggak akan pernah percaya kalau kamu udah nikah sebelum kamu memperkenalkan suami kamu sama aku."Kini, giliran Inayah yang menghela napas karena ucapan Bumi. Memperkenalkan Taksa adalah sesuatu yang tidak mungkin. Lelaki itu bisa mengam
Keheranan Inayah semakin bertambah karena tak sampai lima menit kemudian, nomor Taksa memanggilnya. Inayah bahkan sampai memelototi ponselnya untuk memastikan ia tak salah melihat. Karena terlalu lama dilanda kebingungan, panggilan itu mati sendiri, terlalu lama di jawab."Ini beneran Taksa? Ngapain nelpon?" gumam Inayah keheranan. Ia hampir menjerit karena ponselnya kembali berdering dan nama Taksa kembali menelepon."Ha-halo," lirih Inayah ragu-ragu. Ia takut kalau ini hanyalah penipuan mama minta pulsa.Tak ada jawaban. "Halo? Ini siapa?" tanya Inayah keras. Tak lagi ragu-ragu seperti di awal. Inayah yakin kalau ini hanyalah kerjaan orang iseng, tapi kenapa nomor ponselnya sama dengan nomor ponsel yang diberikan abanya?Apa abanya salah mengirim nomor?"Mau nipu ya kamu? Maaf, lagi bokek. Cari korban lain aja," sengit Inayah dan berniat mematikan panggilan."Tunggu!" Suara seorang lelaki yang sepertinya Inayah kenal, mengurungkan niat Inayah."Hmm... Inayah?" tanya Taksa ragu-ragu