"A-ah–pelan-pelan, Kak Ridwan–"
Tubuh Mika membeku. Suara familier yang disertai desahan itu membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Tidak … tidak mungkin–
“Ah! Ya–umh, lebih cepat, Kak ….”
Suara itu kembali terdengar. Mika mendekati sumber suara, sebuah pintu di mana dia tahu itu adalah kamar sang kekasih.
Logikanya sudah bisa menduga apa yang terjadi di dalam, tapi hatinya menolak untuk percaya.
Hingga perlahan, tangannya bergerak pelan meraih handle pintu lalu membukanya.
Dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kekasihnya bergerak liar di atas tubuh sang adik tanpa memakai busana apa pun. Tanpa terasa air asin sudah jatuh membasahi pipi.
"Jadi ini kelakuan kalian di belakangku?'' ucap Mika kemudian dengan suara tertahan, tapi cukup keras untuk bisa didengar. Wajahnya sudah basah dengan air mata.
Ridwan dan Olip yang mendengar itu pun terkejut. Ridwan langsung melepaskan penyatuannya dengan Olip dan bangkit.
"Mi---Mika." Suara Ridwan terbata. Pandangannya mengedar dan langsung meraih celananya.
Namun, Mika tidak menunggu pria itu menyelesaikan urusannya dan langsung berbalik, lalu berjalan pergi.
"Mika, tunggu!" Ridwan meraih tangan Mika dan menahannya di ruang tamu.
Di saat yang sama, Mika membalikkan badan dan memberikan sebuah tamparan pada Ridwan.
Tampak Ridwan syok dengan apa yang baru saja dia terima.
Berbeda Ridwan, berbeda Olip. Perempuan itu malah terlihat santai. meraih selimut lalu melilitkan pada tubuhnya, dia berdiri di ambang pintu sembari melipat tangan di depan dada.
"Sudah aku katakan semalam, Kak. Berikan Kak Ridwan padaku,” ucap adik Mika itu. “Coba kalau Kakak nurut, pasti kakak tidak akan sakit hati.''
''Olip, diam." Ridwan memperingati.
"Duh, apalagi yang mau ditutupi sih, Kak?" ujar Olip dengan santai. “Dia sudah lihat sendiri loh. Kita kasih tahu aja sekalian kalau kita memiliki hubungan sejak lama.”
''Olip, diam!"
“Sejak kapan? Tanya Mika, membuat perhatian Ridwan kembali padanya.
"Mik. Aku bisa jelasin. Aku ha---"
"Sejak kapan?" tanya Mika kembali penuh penekanan.
"Sudah lama. Bahkan apa yang Kakak lihat barusan bukan pertama untuk kami. Kami sudah sering melakukannya. Bahkan di rumah kita juga loh, kak." Olip menjawab dengan senyuman.
Mika semakin merasa terpukul dengan semua ini. Dia mengangkat tangan ketika melihat Ridwan ingin berbicara lalu menggeleng pelan.
"Kalau begitu, kita akhiri sampai di sini saja, Ridwan." Mika menghapus pipinya yang basah. "Selamat melanjutkan aktivitas kalian berdua yang terganggu."
Selesai mengatakan itu, Mika berbalik dan pergi, setengah berlari keluar dari sana.
Ia bisa tampil cukup tenang di hadapan dua orang tidak bermoral itu. Namun, saat Mika mengendarai motornya, tak urung pandangannya mengabur akibat air mata. Meskipun salah satu tangannya terus bergerak menghapusnya.
Ini berbahaya.
“Hei!”
Benar saja. Setelah itu Mika sudah hampir menabrak orang barusan jika saja orang itu tidak menghindar.
Gadis itu kemudian mengerem motornya mendadak dan melihat ke belakang menatap seorang pria yang nyaris terserempet tadi sebelum turun dan mendekati pria itu.
"Ma-maaf." Dia berucap saat melihat luka di siku pria itu.
“Ck.” Pria tadi berdecak, membuat Mika mendongak dan menatap wajah sosok yang nyaris menjadi korbannya.
“Noval,” ucap gadis itu kemudian, menggumamkan nama pacar adiknya dengan lirih.
“Hati-hati,” balas sosok itu sembari menatap Mika lurus-lurus. Tampaknya pria itu menyadari mata Mika yang sembab, karena kemudian ia mengernyit. “Kamu kenapa?”
Pertanyaan itu membuat tangis Mika kembali pecah.
Kedua alis Noval makin mengerut ke tengah. Dalam diamnya, pria itu memerhatikan Mika dari atas sampai bawah, memastikan bahwa tidak ada lecet sama sekali di tubuh gadis itu.
"Hei. Yang lecet aku. Kenapa kamu yang menangis?" tanyanya kemudian.
Bukannya berhenti, tangis Mika justru makin keras.
Noval pun kembali berdecak karena kesal karena tidak mendapatkan jawaban. Namun, ia menunggu, tidak meninggalkan Mika begitu saja.
“Ridwan selingkuh,” ucap Mika pada akhirnya. Bayangan yang dilihatnya tadi masih membekas kuat dalam otaknya. “Dengan pacarmu. Aku melihat mereka berhubungan badan tadi.”
Noval diam. Pria itu hanya menatap Mika dengan ekspresi yang tidak terbaca.
“Ikut aku.” Noval akhirnya berkata sembari menarik tangan Mika ke arah motor perempuan itu. Pria berwajah garang tersebut langsung duduk di depan. “Naik,” titahnya pada Mika.
Anehnya Mika menurut. Ia tidak punya tenaga untuk mendebat ataupun sekadar bertanya.
Noval segera menjalankan kuda besi itu menuju bengkel miliknya setelah Mika naik dan membawa perempuan itu ke kursi dalam ruangan berukuran 2 x 2 meter tersebut.
“Tenangkan dirimu.” Noval berkata sembari menyodorkan segelas air putih pada Mika. “Wajahmu terlihat tidak karuan.”
Baru kemudian, Mika sadar kalau dirinya haus. Tenggorokannya terasa kering karena menangis.
Perempuan itu mengambil minuman yang disodorkan Noval dan meneguknya pelan.
“... Kamu tidak terkejut?” Akhirnya Mika bertanya. Ia mendongak menatap Noval yang berdiri di depannya. “Marah? Sedih? Kenapa kamu terlihat biasa saja? Apa kamu tidak percaya pada ucapanku? Pacarmu, Olip, benar-benar tidur dengan Ridwan, Val.”
Noval menghela napas. “Jangan bicara omong kosong,” balasnya. Ia menoleh ke arah pintu. “Aku ada kerjaan. Tenangkan dirimu dulu di sini. Kalau butuh apa-apa, aku di luar.”
Ucapan pria itu membuat Mika tak habis pikir.
Posisi Noval sama sepertinya. Tapi kenapa Noval tidak bereaksi apa-apa? Apakah pria itu benar-benar tidak memercayainya?
Ada banyak tanya dalam kepala Mika. Karenanya, saat Noval berbalik dan mulai berjalan ke pintu, perempuan itu langsung meraih tangan Noval dan menariknya.
Pria itu langsung menatap Mika, membuatnya agak menciut.
Bukannya apa, perawakan Noval yang berbadan tinggi serta mempunyai ekspresi yang datar dan dingin membuat Mika agak segan pada pria itu, sekalipun dulu keduanya kuliah di tempat yang sama.
“Apa?” tanya pria itu. Sama sekali tidak terdengar ramah.
Mika menggigit bibirnya. “Apa … kamu sebenarnya ada masalah dengan Olip?” tanyanya. “Aku kira kalian baik-baik saja. Tapi dari pengakuannya, sudah sejak lama dia diam-diam–”
“Aku sedang sibuk,” potong Noval. “Jika kamu hanya ingin bicara tidak penting, lebih baik aku pergi.”
Ia melepaskan genggaman Mika padanya lalu menambahkan, “Fokuslah menenangkan dirimu. Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan pulang dalam penampilan seperti itu.”
“Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan pulang dalam penampilan seperti itu.”Mika tertegun. Bingung.Pria ini … apakah benar sedang peduli padanya.“Sudah. Aku keluar dulu.”“Tunggu.” Mika kembali menarik tangan Noval. Ia teringat pada kejadian di jalan tadi. “Lukamu … bagaimana? Ayo kubantu obati dulu.”“Hanya luka kecil.”“Tetap saja berdarah.” Mika menghapus sisa air matanya, mencoba memfokuskan diri pada hal lain. Perempuan itu sedikit memutar lengan Noval untuk melihat luka di siku pria itu, bekas terjatuh tadi. “Kan. Berdarah.” Ia mendongak. “Punya obat merah tidak?”“Tidak.”Mika menghela napas pelan. “Aku ke warung depan dulu,” katanya. Lalu sebelum Noval bisa menjawab, perempuan itu sudah bangkit dan berlari keluar dan kembali ke sisi Noval dengan obat merah dan plester luka.“Berlebihan,” komentar Noval. Namun, ia pasrah saja saat Mika membersihkan dan mengobati lukanya. Ekspresinya bahkan tidak berubah. Pria itu hanya menatap Mika dengan tatapan datar. Kemudian, Noval
“Noval mengatakan kalau ia ingin melamar Nak Mika.”Kalimat itu sontak mengejutkan tidak hanya kedua orang tua Mika dan Olip, melainkan juga Mika yang mau tidak mau mendengarnya karena antara kamar dan ruang tamu hanya dibatasi kain kelambu tipis saja.“Apa? Maksudnya bagaimana, Pak?”Mika langsung keluar kamar. Tangisannya tadi sudah hilang sempurna. Ia menatap Pak Heru dengan sepasang mata yang membola, terkejut dan bingung. "Kenapa Noval melamar saya, Pak? Noval kan pacarnya Olip?" tanya Mika dengan rasa bingung yang tidak bisa ditutupi.Padahal ia baru saja bertemu Noval tadi. Pria itu juga tidak mengatakan apa-apa. Kenapa tiba-tiba Noval melamarnya? Mika tidak habis pikir.Sedangkan Pak Heru sendiri juga merasa bingung. Dia menatap Pak Purnomo dan juga Mika secara bergantian. ''Sa–saya juga tidak tahu. Noval tadi hanya mengatakan kalau dia ingin saya melamarkan Mika untuk dia,'' ujarnya dengan jujur.“Mungkin salah, Pak.”Pak Heru menggeleng. “Saya dengan jelas dengar dia menye
Suara kokok ayam membangunkan Mika dari tidurnya. Matanya terasa berat untuk dibuka. Mika menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dia ingat kalau semalam dia harus tidur sangat larut karena harus menangisi keputusan Ridwan yang ingin menikahi adiknya. Sebenarnya, tidak harus dia menangisi pria itu. Apalagi kejadiannya sudah berlalu sejak beberapa waktu lalu. Namun, tetap saja apa yang dilakukan mantan kekasihnya itu membuat dia kecewa dan terluka. Mika memaksa kelopak matanya untuk terbuka. Perempuan itu bangun dalam keadaan kacau. Dia bangkit dan menatap cermin sejenak. Mika meneliti wajahnya yang terlihat jelas sembab dan matanya yang merah. Dia mengembuskan napas kasar. Kalau seprti ini tidak bisa dia sembunyikan. Mika memilih untuk langsung memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap pergi ke toko. Tak memerlukan waktu lama karena rasanya Mika malas melakukan hal apa pun. Mika keluar dan berniat langsung menuju meja makan. Satu hal yang baru Mika sadari. Kenap
Apa pun yang didengar Mika di warung soto tadi pagi membuat perempuan itu menjadi kepikiran. Selama bekerja dia menjadi gelisah, rasanya dia merasa tidak tenang. Selain itu, ada rasa nyeri yang dia rasakan dalam dada ketika mendapati hal ini.Sebuah senggolan membuat Mika tersadar dari lamunannya. Dia menoleh dan melihat Sintia yang menatapnya dengan ekspresi bingung. "Kamu kenapa sih?" tanya Sintia."Dari pulang beli soto, kamu kebanyakan melamun loh. Malahan soto yang kamu beli buat sarapan nggak diabisin. Ada apa sih sebenarnya?" tanya Sintia sekali lagi."Ha?" Mika mengerjapkan matanya beberapa kali. Detik selanjutnya dia menggeleng. "Tidak. Tidak apa."Sintia semakin merasa bingung, sikap Mika memang benar-benar terlihat aneh. "Mik. Kalau ada masalah bilang aja. Kamu biasanya juga cerita, kan?"Mika tersenyum tipis. Dia kembali menggeleng. "Enggak ada apa-apa kok. Kamu tenang aja, ya." Mika berusaha untuk menunjukkan kalau dirinya sedang baik-baik saja."Atau kamu sakit? Kalau sa
Mika menatap Bu Ane dengan memohon, dia menunjukkan ekspresi penuh harap akan suatu hal yang ingin dia ketahui. ''Saya mohon, Bu.''Bu Ane yang melihat ekspresi Mika seperti itu lama-lama merasa iba dan kasihan juga. Tangan Bu Ane yang sebelumnya mendorong pintu agar tertutup kini melemah. Bu Ane menarik napas dalam lalu membuka kembali pintu di hadapannya. Dia mempersilakan Mika untuk masuk kembali.Keduanya duduk saling berhadapan dengan Bu Ane yang tidak berani menatap ke arah Mika. Sedang Mika sendiri menunggu Bu Ane berbicara. "Mika ingin tahu yang sebenarnya, Bu. Sejujurnya Mika ini merasa tertekan. Selama ini sikap Bapak sama Ibu selalu tampak berbeda jika pada Mika dan Olip. Terlihat jelas kalau mereka lebih sayang pada Olip dari pada sama Mika. Mereka selalu memprioritaskan Olip dari Mika. Mika juga ingin merasakan disayang dan dicintai oleh kedua orang tua Mika, tapi selama ini mereka tidak memberikan itu pada Mika."Tiba-tiba saja Bu Ane merasa iba mendengar ucapan dari Mik
Mika menganga mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya barusan. Bola mata perempuan itu mengerjap beberapa kali dengan mencoba untuk mencerna apa yang baru saja didengar. Detik kemudian, Mika tertawa cukup keras menyadari hal yang dia anggap lucu ini.Baik Bu Titi, Olip dan Ridwan saling tatap dengan kebingungan. "Kenapa kamu malah ketawa?" tanya Bu Tuti dengan kedua alis yang menyatu.Mika mencoba menghentikan tawanya. Dia menatap satu persatu tiga orang yang ada di hadapannya. Mika menggeleng. "Lucu aja, Bu.""Apanya yang lucu?" Bu Tuti semakin menatap Mika dengan kerutan di kening, merasa aneh dengan Mika.Mika mengangguk beberapa kali. Perempuan itu berdehem. "Ya aneh saja, Bu. Yang mau nikah siapa, yang harus ngeluarin uang siapa? Kan lucu." Mika kembali tertawa.Bu Tuti menatap Mika tidak suka. "Ya anggap saja kamu sedang membantu adik kamu. Gimana sih?"Mika menghela napas dalam. "Bu. Yang namanya membantu itu ya seikhlas hati, sukarela yang memberi. Bukan ditarget seperti ini,
Mika yang ada di luar pun langsung menoleh kembali ke arah kamar orang tuanya. Dia mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana. Kedua tangannya mengepal karena tiba-tiba timbul perasaan marah dalam dirinya."Gimana bisa, Bu? Rumah ini, kan atas nama Mika. Ya pastinya kalau kita menggadaikan rumah ini harus dalam persetujuan dari Mika," ujar Pak Purnomo kemudian.Bu Tuti diam kembali. Akan tetapi perempuan itu jelas tidak ingin terima begitu saja. Dia berpikir dengan giat di balik benak sana. "Ah. Gimana kalau kita gadaikan rumahnya ke Pak Narto saja? Kita nggak perlu ribet di sana. Cuma perlu kasih KTP aja udah. Kita minta aja Foto kopi KTP Mika lalu kasihkan sama Pak Narto. Dapat deh kita.""Lah terus caranya dapetin foto kopi KTP Mika bagaimana caranya?" Pak Purnomo bertanya."Gampang mah, Pak. Kita tinggal bilang aja kalau Olip membutuhkan KTP kakaknya untuk mengurus rencana pernikahan. Gitu aja kan bisa. Gimana, Pak? Kamu setuju nggak?" tanya Bu Tuti yang merayu suaminya.Pak Purno
Mika terkejut dengan suara teriakan dari ibu tirinya. Perempuan itu kini tampak panik karena takut ketahuan akan keberadaannya divsini. Dia tidak mau kalau ibu tirinya sampai tahu dia mencari sertifikat rumah ini. Mika mengedarkan pandangan, memikirkan bagaimana ibunya itu tidak akan tahu kalau dia berada di sini.Pandangan Mika jatuh pada kolong tempat tidur kedua orang tuanya. Dia pun langsung memasuki kolong itu setelah membereskan figura sebelumnya. Dia berdiam diri sembari memeluk sertifikat rumah ini.Sedang di luar sana, tampak Bu Tuti dan Olip yang terus mencari keberadaan Mika. Mereka tampak kesal karena panggilan sejak tadi tak ada jawaban sama sekali."Ke mana sih anak itu?" Bu Tuti membuka pintu kamar Mika dan tak melihat keberadaan Mika di sana. Dia segera menutupnya kembali."Ada, Bu?" tanya Olip. Dia melihat ibunya itu yang menggeleng. "Sepertinya dia sedang main-main keluar, Bu."Mendengar hal itu malah membuat Bu Tuti merasa kesal. "Dasar. Anak nggak tahu diri. Bukann