Share

3. Lamaran Calon Adik Ipar.

“Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan pulang dalam penampilan seperti itu.”

Mika tertegun. Bingung.

Pria ini … apakah benar sedang peduli padanya.

“Sudah. Aku keluar dulu.”

“Tunggu.” Mika kembali menarik tangan Noval. Ia teringat pada kejadian di jalan tadi. “Lukamu … bagaimana? Ayo kubantu obati dulu.”

“Hanya luka kecil.”

“Tetap saja berdarah.” Mika menghapus sisa air matanya, mencoba memfokuskan diri pada hal lain. Perempuan itu sedikit memutar lengan Noval untuk melihat luka di siku pria itu, bekas terjatuh tadi. “Kan. Berdarah.” Ia mendongak. “Punya obat merah tidak?”

“Tidak.”

Mika menghela napas pelan. “Aku ke warung depan dulu,” katanya. Lalu sebelum Noval bisa menjawab, perempuan itu sudah bangkit dan berlari keluar dan kembali ke sisi Noval dengan obat merah dan plester luka.

“Berlebihan,” komentar Noval. Namun, ia pasrah saja saat Mika membersihkan dan mengobati lukanya. Ekspresinya bahkan tidak berubah. Pria itu hanya menatap Mika dengan tatapan datar. 

Kemudian, Noval berucap, “Tangisanmu tadi terlalu keras untuk pria berengsek seperti kekasihmu itu.”

“Mantan,” ralat Mika cepat. “Sudah putus.”

“Hm.”

Mika kemudian diam. Ia menangkap poin Noval, bahwa ia tidak perlu menangisi Ridwan sampai sebegitunya karena pria itu hanyalah pria berengsek yang bejad saja.

Ya. Harusnya Mika bersyukur sudah ditunjukkan kenyataan seperti ini.

***

Setelah momen asing bersama Noval tadi siang, Mika kembali ke toko terlebih dahulu sebelum pulang.

Untungnya, tidak ada yang menanyakan kenapa wajahnya sembab. Apalagi mentertawakannya.

Atau mungkin, mereka sebenarnya tidak peduli. Sementara Olip tidak tahu ada di mana saat ini karena sejak tadi, Mika tidak melihatnya di rumah.

Entah ke mana dia dan Ridwan hingga sampai sekarang belum pulang juga. Sudahlah. Mika Tidak peduli.

"Aku pulang!" 

Saat Mika sedang menikmati mi instan di depan televisi, ia mendengar suara sang adik. Otomatis, ia mendengus. Tapi ia tidak mengatakan apa pun.

Tak lama kemudian, Olip sudah ada di hadapannya.

"Eh. Ada kakak tercinta." Olip tersenyum, tampak seperti tengah mengejek.  Dia jelas-jelas sedang merayakan kemenangannya. "Terima kasih ya, kakak aku tercinta. Akhirnya Kak Mika mau putus dengan Kak Ridwan. Terbaik deh.

Mika melihat ekspresi haru sang adik yang tampak dibuat-buat. Namun, ia tidak berkomentar ataupun menjawab.

“Kami nggak perlu repot sembunyi-sembunyi kalau mau ketemu. Sekarang, Kak Ridwan sudah resmi jadi milik aku seutuhnya." 

"Apa? Kamu dan Ridwan sudah pacaran?" 

Mika melihat ibunya keluar dari kamar sambil bertanya. Rupanya suara riang Olip terdenagr oleh wanita paruh baya itu.

Olip mengangguk. "Iya, Bu. Terima kasih dulu dong sama Kak Mika yang sudah mau mengalah untuk aku," ujar Olip dengan melirik ke arah kakaknya yang masih menikmati mie instan dengan wajah sok polos.

Ah. Mika jadi tidak nafsu makan lagi.

Apalagi saat sang ibu kemudian berucap, "Terima kasih ya, Nak. Kamu memang kakak yang baik."

Mika akhirnya meletakkan makanannya dan menatap ibunya. “Ibu mengatakan itu karena tidak tahu apa yang sudah Olip lakukan, kan?” ucapnya. Tanpa sadar, kedua matanya mulai berair lagi, sekalipun ia bertekad bahwa Ridwan adalah pria bejad yang tak layak untuknya. “Selama ini Olip sering berhubungan badan dengan Ridwan, Bu. Di belakangku! Anak tersayang ibu itu sudah berkali-kali berzina, menurut pengakuannya sendiri!”

"Hus!” sergah Bu Tuti. Langsung menegur Mika. “Jangan sembarangan kamu. Kalau ngomong dijaga. Adik sendiri kok dikatakan berzina."

Mika menatap ibunya dengan tak percaya. “Ibu … jangan-jangan selama ini Ibu tahu?” cetusnya.

Sang ibu kemudian menggaruk belakang kepalanya, tanpa menjawab. 

Saat itulah Mika paham. 

"Ya Allah, Bu.” Suara Mika bergetar. Rupanya tidak hanya sang adik dan mantan kekasih Mika saja yang hari ini menyakitinya. Sang ibunya sendiri rupanya terlibat. “Tega banget Ibu sama aku." 

Mika pun bangkit dan langsung menuju kamarnya. 

Pantas saja kedua orang tuanya mendukung permintaan Olip yang tidak masuk akal kemarin.

Pikiran dan hati Mika kacau sekali. Baru saja ia mencoba dan bertekad untuk memulihkan hatinya, serta tampil kuat. Tapi pengkhianatan orang tuanya sendiri sungguh tidak masuk akal.

Perempuan itu masuk kamar, tidak memedulikan salam seorang tamu yang baru saja datang di depan pintu.

Sementara itu, di ruang tamu, Bu Titi dan Olip pun menjawab bersamaan. Keduanya segera melihat siapa tamu yang datang malam-malam. 

Terlihat seorang pria paruh baya dengan syal yang menutupi lehernya.

"Pak Heru." Bu Tuti dengan terkejut menyapa. Pria itu adalah ayah dari Noval.

"Pak Purnomo ada, Bu?" Pria paruh baya bernama Heru itu bertanya.

Bu Tuti pun mengangguk. "Ada-ada, Pak. Silakan masuk, biar saya panggilkan shami saya dulu."

Pak Heru mengangguk. Pria itu masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa.

Tak lama, Pak Purnomo keluar.

"Eh, Pak Heru." Dia menyalami tangan tamunya. "Ada apa nih, Pak? Sepertinya ada sesuatu yang ingin dibicarakan?" 

Pak Heru tersenyum tipis. Pria itu menatap lamat-lamat Pak Purnomo. 

"Begini, Pak. Sebelumnya, maaf kalau kedatangan saya mengganggu Bapak,” jelas Pak Heru kemudian. “Saya datang kemari karena atas permintaan anak saya, Noval."

Bu Tuti yang baru saja keluar membawa minuman mengerutkan kening. Dia memberikan minuman itu pada sang suami dan tamunya lalu ikut duduk di samping Pak Purnomo.

"Permintaan Noval? Ada apa memangnya, Pak?" Pak Purnomo pun bertanya.

Pak Heru masih mempertahankan senyumnya. "Noval mengatakan pada saya kalau dia ingin menikahi putri Bapak."

Tentu saja hal itu membuat Bu Tuti dan Pak Purnomo terkejut. Keduanya saling pandang dengan bibir menganga. 

"Noval ingin melamar putri kami, Pak?" 

Pak Heru yang mengangguk.

"Tapi, Pak. Olip masih kuliah. Mana mungkin dia mau menikah?" ujar Pak Purnomo kemudian. Sekalipun bukan itu alasan utamanya.

Namun, Pak Heru yang mendengar nama Olip justru mengerjapkan matanya beberapa kali. Bingung.

"Olip?" tanyanya. “Kenapa jadi Olip, Pak? Noval mengatakan kalau ia ingin melamar Nak Mika.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status