“Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan pulang dalam penampilan seperti itu.”
Mika tertegun. Bingung.
Pria ini … apakah benar sedang peduli padanya.
“Sudah. Aku keluar dulu.”
“Tunggu.” Mika kembali menarik tangan Noval. Ia teringat pada kejadian di jalan tadi. “Lukamu … bagaimana? Ayo kubantu obati dulu.”
“Hanya luka kecil.”
“Tetap saja berdarah.” Mika menghapus sisa air matanya, mencoba memfokuskan diri pada hal lain. Perempuan itu sedikit memutar lengan Noval untuk melihat luka di siku pria itu, bekas terjatuh tadi. “Kan. Berdarah.” Ia mendongak. “Punya obat merah tidak?”
“Tidak.”
Mika menghela napas pelan. “Aku ke warung depan dulu,” katanya. Lalu sebelum Noval bisa menjawab, perempuan itu sudah bangkit dan berlari keluar dan kembali ke sisi Noval dengan obat merah dan plester luka.
“Berlebihan,” komentar Noval. Namun, ia pasrah saja saat Mika membersihkan dan mengobati lukanya. Ekspresinya bahkan tidak berubah. Pria itu hanya menatap Mika dengan tatapan datar.
Kemudian, Noval berucap, “Tangisanmu tadi terlalu keras untuk pria berengsek seperti kekasihmu itu.”
“Mantan,” ralat Mika cepat. “Sudah putus.”
“Hm.”
Mika kemudian diam. Ia menangkap poin Noval, bahwa ia tidak perlu menangisi Ridwan sampai sebegitunya karena pria itu hanyalah pria berengsek yang bejad saja.
Ya. Harusnya Mika bersyukur sudah ditunjukkan kenyataan seperti ini.
***
Setelah momen asing bersama Noval tadi siang, Mika kembali ke toko terlebih dahulu sebelum pulang.
Untungnya, tidak ada yang menanyakan kenapa wajahnya sembab. Apalagi mentertawakannya.
Atau mungkin, mereka sebenarnya tidak peduli. Sementara Olip tidak tahu ada di mana saat ini karena sejak tadi, Mika tidak melihatnya di rumah.
Entah ke mana dia dan Ridwan hingga sampai sekarang belum pulang juga. Sudahlah. Mika Tidak peduli.
"Aku pulang!"
Saat Mika sedang menikmati mi instan di depan televisi, ia mendengar suara sang adik. Otomatis, ia mendengus. Tapi ia tidak mengatakan apa pun.
Tak lama kemudian, Olip sudah ada di hadapannya.
"Eh. Ada kakak tercinta." Olip tersenyum, tampak seperti tengah mengejek. Dia jelas-jelas sedang merayakan kemenangannya. "Terima kasih ya, kakak aku tercinta. Akhirnya Kak Mika mau putus dengan Kak Ridwan. Terbaik deh.
Mika melihat ekspresi haru sang adik yang tampak dibuat-buat. Namun, ia tidak berkomentar ataupun menjawab.
“Kami nggak perlu repot sembunyi-sembunyi kalau mau ketemu. Sekarang, Kak Ridwan sudah resmi jadi milik aku seutuhnya."
"Apa? Kamu dan Ridwan sudah pacaran?"
Mika melihat ibunya keluar dari kamar sambil bertanya. Rupanya suara riang Olip terdenagr oleh wanita paruh baya itu.
Olip mengangguk. "Iya, Bu. Terima kasih dulu dong sama Kak Mika yang sudah mau mengalah untuk aku," ujar Olip dengan melirik ke arah kakaknya yang masih menikmati mie instan dengan wajah sok polos.
Ah. Mika jadi tidak nafsu makan lagi.
Apalagi saat sang ibu kemudian berucap, "Terima kasih ya, Nak. Kamu memang kakak yang baik."
Mika akhirnya meletakkan makanannya dan menatap ibunya. “Ibu mengatakan itu karena tidak tahu apa yang sudah Olip lakukan, kan?” ucapnya. Tanpa sadar, kedua matanya mulai berair lagi, sekalipun ia bertekad bahwa Ridwan adalah pria bejad yang tak layak untuknya. “Selama ini Olip sering berhubungan badan dengan Ridwan, Bu. Di belakangku! Anak tersayang ibu itu sudah berkali-kali berzina, menurut pengakuannya sendiri!”
"Hus!” sergah Bu Tuti. Langsung menegur Mika. “Jangan sembarangan kamu. Kalau ngomong dijaga. Adik sendiri kok dikatakan berzina."
Mika menatap ibunya dengan tak percaya. “Ibu … jangan-jangan selama ini Ibu tahu?” cetusnya.
Sang ibu kemudian menggaruk belakang kepalanya, tanpa menjawab.
Saat itulah Mika paham.
"Ya Allah, Bu.” Suara Mika bergetar. Rupanya tidak hanya sang adik dan mantan kekasih Mika saja yang hari ini menyakitinya. Sang ibunya sendiri rupanya terlibat. “Tega banget Ibu sama aku."
Mika pun bangkit dan langsung menuju kamarnya.
Pantas saja kedua orang tuanya mendukung permintaan Olip yang tidak masuk akal kemarin.
Pikiran dan hati Mika kacau sekali. Baru saja ia mencoba dan bertekad untuk memulihkan hatinya, serta tampil kuat. Tapi pengkhianatan orang tuanya sendiri sungguh tidak masuk akal.
Perempuan itu masuk kamar, tidak memedulikan salam seorang tamu yang baru saja datang di depan pintu.
Sementara itu, di ruang tamu, Bu Titi dan Olip pun menjawab bersamaan. Keduanya segera melihat siapa tamu yang datang malam-malam.
Terlihat seorang pria paruh baya dengan syal yang menutupi lehernya.
"Pak Heru." Bu Tuti dengan terkejut menyapa. Pria itu adalah ayah dari Noval.
"Pak Purnomo ada, Bu?" Pria paruh baya bernama Heru itu bertanya.
Bu Tuti pun mengangguk. "Ada-ada, Pak. Silakan masuk, biar saya panggilkan shami saya dulu."
Pak Heru mengangguk. Pria itu masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa.
Tak lama, Pak Purnomo keluar.
"Eh, Pak Heru." Dia menyalami tangan tamunya. "Ada apa nih, Pak? Sepertinya ada sesuatu yang ingin dibicarakan?"
Pak Heru tersenyum tipis. Pria itu menatap lamat-lamat Pak Purnomo.
"Begini, Pak. Sebelumnya, maaf kalau kedatangan saya mengganggu Bapak,” jelas Pak Heru kemudian. “Saya datang kemari karena atas permintaan anak saya, Noval."
Bu Tuti yang baru saja keluar membawa minuman mengerutkan kening. Dia memberikan minuman itu pada sang suami dan tamunya lalu ikut duduk di samping Pak Purnomo.
"Permintaan Noval? Ada apa memangnya, Pak?" Pak Purnomo pun bertanya.
Pak Heru masih mempertahankan senyumnya. "Noval mengatakan pada saya kalau dia ingin menikahi putri Bapak."
Tentu saja hal itu membuat Bu Tuti dan Pak Purnomo terkejut. Keduanya saling pandang dengan bibir menganga.
"Noval ingin melamar putri kami, Pak?"
Pak Heru yang mengangguk.
"Tapi, Pak. Olip masih kuliah. Mana mungkin dia mau menikah?" ujar Pak Purnomo kemudian. Sekalipun bukan itu alasan utamanya.
Namun, Pak Heru yang mendengar nama Olip justru mengerjapkan matanya beberapa kali. Bingung.
"Olip?" tanyanya. “Kenapa jadi Olip, Pak? Noval mengatakan kalau ia ingin melamar Nak Mika.”
“Noval mengatakan kalau ia ingin melamar Nak Mika.”Kalimat itu sontak mengejutkan tidak hanya kedua orang tua Mika dan Olip, melainkan juga Mika yang mau tidak mau mendengarnya karena antara kamar dan ruang tamu hanya dibatasi kain kelambu tipis saja.“Apa? Maksudnya bagaimana, Pak?”Mika langsung keluar kamar. Tangisannya tadi sudah hilang sempurna. Ia menatap Pak Heru dengan sepasang mata yang membola, terkejut dan bingung. "Kenapa Noval melamar saya, Pak? Noval kan pacarnya Olip?" tanya Mika dengan rasa bingung yang tidak bisa ditutupi.Padahal ia baru saja bertemu Noval tadi. Pria itu juga tidak mengatakan apa-apa. Kenapa tiba-tiba Noval melamarnya? Mika tidak habis pikir.Sedangkan Pak Heru sendiri juga merasa bingung. Dia menatap Pak Purnomo dan juga Mika secara bergantian. ''Sa–saya juga tidak tahu. Noval tadi hanya mengatakan kalau dia ingin saya melamarkan Mika untuk dia,'' ujarnya dengan jujur.“Mungkin salah, Pak.”Pak Heru menggeleng. “Saya dengan jelas dengar dia menye
“Penjaga toko dan tukang bengkel, sementara sebagai guru, Kak Ridwan cocoknya memang dengan aku, calon bidan.”Usai mengatakan itu, Olip meninggalkan Mika sendirian untuk pergi ke kamarnya.Sementara itu, Mika masih kebingungan. Ia baru saja memproses kekasihnya selingkuh dengan adiknya sendiri, lalu ternyata kedua orang tuanya sendiri rupanya mendukung perselingkuhan itu.Belum pulih dari dua hal tersebut, Noval, mantan kekasih adiknya, kini justru melamarnya tanpa mengatakan apa pun sebelumnya.Kenapa semua jadi seperti ini? Apa maksud Noval melakukannya? Apakah pria itu mau membalas Olip? Atau bagaimana?“Ah, pusing,” keluh Mika, menghapus sisa air matanya dengan kasar. Perempuan itu menghela napas. "Kenapa semuanya bisa menjadi serumit ini? Apa maksud Noval dengan melakukan ini?"Namun, tidak ada jawab untuk pertanyaannya. Bahkan hingga Mika terlelap larut, akibat memikirkan kemungkinan-kemungkinan mengapa Noval melamar dirinya, alih-alih Olip, pacarnya.***"Mika! Bangun!"Teria
“Lebih baik uang hajatan itu langsung diberikan pada kami karena kami menikah tidak lama setelah Kakak.” “Benar juga. Sebagai anak sulung, sudah sepantasnya membantu kebutuhan adiknya.” Respons sang ibu sendiri membuat Mika kembali tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Tapi, itu hanya jika Mika tidak keberatan, Bu,” ucap Ridwan, seperti tengah berperan sebagai pria baik-baik. “Jika tidak, mungkin kami bisa buat pesta yang lebih sederhana saja.” “Kak, tapi menikah kan hanya sekali,” ucap Olip sambil bergelayut manja. “Tidak apa-apa. Kak Mika pasti mengerti.” Ia menoleh pada Mika. “Iya kan, Kak?” Mika diam. Ia berusaha mengontrol kemarahan yang bergolak di dalam dadanya agar ia bisa menjaga wibawa dan nada bicaranya. “Iya, aku mengerti,” ucap Mika kemudian. “Tapi bukan berarti aku mengiakan.” Olip mengernyit. “Maksudnya? Kakak tidak mau membantuku?” “Aku pergi dulu.” Sebelum Olip lanjut bicara, Mika sudah berdiri. Ia menatap adiknya dan Ridwan dengan sorot mata jijik. “Kala
“Dua hari ini, kenapa kamu selalu muncul di depanku sambil menangis, hm?”Mika menghapus air mata di pipinya sekalipun itu sia-sia karena ia masih terus menangis.“Noval?” ucapnya dengan suara serak. Baru kemudian ia menoleh ke sekeliling, menyadari bahwa lokasinya saat ini tidak jauh dari bengkel milik Noval."Kenapa menangis di sini?" tanya pria itu kemudian. Mika kembali terfokus pada alasannya menangis saat ini dan hal itu membuat tangisnya makin keras.“Ck.” Noval berdecak, kemudian menarik napas panjang. Sepertinya kebiasaan Mika saat menangis memang demikian. Tapi bukan berarti ia akan memakluminya. "Nangis sih nangis. Tapi lihat sekitar. Kalau kamu menangis di pinggir jalan seperti ini bisa-bisa disangka gila."Meski mendengar itu, Mika tidak mampu menghentikan tangisnya. Padahal jika di rumah, ia tidak pernah bertingkah begini.Lalu kenapa selalu pria itu yang memergokinya dalam kondisi seperti ini?“Astaga,” gumam Noval, terdengar kesal, tapi juga pasrah. Pria itu kemudian
“Kenapa tiba-tiba kamu mengirimkan lamaran kemarin?” tanya Mika tiba-tiba. “Salah sasaran? Atau memang sengaja?”Wajah Noval tidak tampak terkejut, sekalipun topik itu cukup jauh dari curahan hati wanita itu beberapa saat yang lalu. Namun, sepertinya Noval maklum karena cepat atau lambat, Mika pasti akan bertanya. Namun, bukan berarti Noval ingin membicarakannya saat ini. Tidak saat Mika masih kelihatan ingin menangis."Tenangkan dirimu dulu, Mika. In–"Mika menggeleng cepat. "Tidak. Jawab pertanyaanku tadi,” ucapnya tegas. Sekalipun wajahnya masih sembab dan air mata masih mengancam turun, ada sorot yang tak bisa dibantah di matanya. “Apa pun rencanamu, itu melibatkanku.”Tatapan dan ucapan Mika yang tidak bisa dibantah membuat Noval menghela napas berat. Pria itu akhirnya memutuskan untuk duduk kembali.“Paling tidak, hapus dulu ingusmu.” Noval berucap dengan nada tak acuh seperti biasanya.Kali ini, Mika menurut. Ia mengambil beberapa lembar tisu yang tadi diberikan oleh Noval, m
“Kartu hitam ABC Prioritas!?”Tidak hanya adik dan orang tuanya yang terkejut, melainkan Mika juga tidak habis pikir kenapa Noval memberinya kartu hitam tersebut–yang mana ia ketahui, kartu itu tanpa limit.Apakah kartu ini asli? Noval kan hanya punya bengkel dan bekerja di bengkel tersebut sehari-hari. Bagaimana ia bisa memiliki kartu itu?Atau … pria itu meminjamnya? Demi balas dendam? Mika sama sekali tidak tahu apa-apa. Namun, alih-alih bertanya macam-macam pada Noval, ia memilih untuk menjalankan bagiannya seperti yang sudah mereka sepakati kemarin.“Terima kasih, Val,” ucap Mika dengan senyum. Disimpannya kartu hitam itu baik-baik.Perhatiannya kemudian terfokus pada orang wedding organizer yang datang mendekat padanya dan memberi salam, lalu memperkenalkan diri sebagai ‘Susi’. Dengan ramah, Mika mempersilakan wanita itu untuk mendekat padanya agar mereka bisa mendiskusikan mengenai rencana pesta.“Tapi kenapa memutuskan pakai WO, Nak Noval?” tanya Pak Purnomo sementara Mika se
“Wah, wah. Murah dong, buat si pemilik kartu hitam itu.”Mika mendengar ejekan dari adiknya tersebut, tapi dia tidak membalas. Pikirannya sibuk menghitung jika harga dekorasi pelaminannya saja tiga puluh juta, lantas jika ditambah total dan katering, lalu harga sewa dan sebagainya, maka–“Kamu suka?” Pertanyaan Noval membuat Mika mengalihkan fokusnya pada pria itu. Noval sedang menatap lurus ke arah Mika setelah sepintas ia melirik pada katalog yang sedang dibicarakan.“Ya?” tanggap Mika. “Yah, dekorasinya cantik. Tapi–”“Kalau kamu suka, tidak apa-apa. Ambil saja,” kata Noval lagi dengan santai. “Untuk harga, itu urusanku.”Entah kenapa, ucapan Noval membuat Mika merasa tenang. Bukan karena pria itu sedang membicarakan soal uang dan biaya, melainkan karena untuk pertama kalinya, Mika merasa ia sedang didukung. Bahwa Mika sekarang punya rekan sekaligus teman.Karena ucapan Noval itu juga, Mika pada akhirnya memilih dekorasi pelaminan tersebut.Hal itu jelas saja langsung membuat Olip
"Bapak mau menyampaikan kalau Bapak tidak akan menjadi wali nikah kamu."Mika terdiam, antara terkejut dan tidak. Tidak terkejut, karena beberapa waktu belakangan ini, Mika sendiri berpikir mengenai wali nikah.Karena sekarang ia tahu bahwa ia bukanlah anak kandung Pak Purnomo berkat ucapan yang ia dengar tempo lalu. Mika belum tahu bagaimana ceritanya hingga ia diasuh oleh Pak Purnomo dan Bu Tuti atau apakah orang tuanya masih hidup atau tidak, serta siapa sebenarnya walinya.Meski begitu, Pak Purnomo masihlah wali yang sah untuk Mika, bukan? Namun, pria itu kini menolak menjadi wali nikahnya. Itulah yang membuat Mika terkejut.Setidak suka itukah keluarga ini pada Mika?"Kenapa, Pak?" Akhirnya Mika bertanya. "Bukankah Mika sudah menuruti perintah Bapak untuk menikahi Noval?"Dalam hati, Mika kembali bertanya. Apakah … akhirnya hari ini kedua orang tuanya itu akan jujur pada Mika bahwa mereka bukankah orang tua kandungnya?"Bapak tidak bisa saja, menjadi wali nikah kamu." Pak Purnom
Setelah menutup panggilan telepon dari ibunya beberapa menit lalu, itu membuat Olip termenung. Perempuan itu berpikir cukup lama dengan acara syukuran di rumah baru Mika."Datang nggak ya?" tanyanya pada diri sendri. Tentu kita tahu apa yang dikatakan oleh Olip pada ibunya tadi di telepon kalau dia tidak mau datang ke acara itu.Ya. Kita tahu kalau Olip semakin merasa kesal dengan apa yang dicapai oleh kakanya, apalagi kelakuan Ridwan akhir-akhir ini yang memperlihatkan seperti dirinya tida ada artinya lagi untuk Ridwan.Olip menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi gelisah. Dia menunduk melihat perutnya yang rata. Dia mengelusnya pelan dengan ekspresi sedih."Pasti di sana sekarang banyak makanan. Pasti banyak yang enak-enak juga." Olip membayangkan makanan yang kini ada di rumah Mika. Ayam, daging, sayur, buah dan juga jajanan. Belum lagi kue-kuenya."Apa aku ke sana saja, ya? Sudah lama banget nggak makan enak. Udah berapa hari ini makanya cuma emi," ujarnya sekali lagi. Dia masih
Keluarga Noval dan juga neneknya Mika saling mengobrol bersama di sebuah ruangan yang terpisah dengan tempat acara syukuran berjalan. Kedua keluarga berkenan dan bercerita mengenai kilas balik.Mika dan Noval memasuki ruangan. "Maaf, ya. Kami baru bisa menemani," ujar Mika merasa bersalah."Tidak apa. Namanya juga lagi punya hajatan. Pasti sibuk ngurusin para tamu." Nenek Saseka berujar dengan senyuman.Nyonya Maysa tersenyum. Dia menepuk punggung tangan Mika. "Semoga di rumah baru ini hubungan kalian semakin erat," ujarnya mendoakan yang terbaik."Dan yang pasti, semoga kalian segera mendapat momongan," lanjutnya dengan senyuman mengembang.Noval yang mendengar itu langsung menatap papanya di mana sang papa hanya memberikan senyum miring di sana."Benar tidak Nyonya Saseka?" tanya Nyonya Maysa pada nenek Mika."Betul itu. Saya juga pengen segera dapat cicit dari Mika. Saya sudah tua. Harus cepet. Takutnya keburu diambil sama yang maha kuasa." Nyonya Saseka berujar.Mika yang mendenga
Bu Tuti yang kepikiran mengenai Olip setelah mendapat pertanyaan dari beberapa tetangganya tadi gegas menuju tempat paling belakang agar tida diketahui orang. Tidak. Dia bukannya ingin berbuat curang. Dia hanya ingin mencoba menghubungi Olip karena merasa heran putrinya itu bum datang juga. Padahal, dia sudah memberitahu mengenai acara ini."Jangan-jangan dia beneran tidak mau datang lagi. Kemarin, kan dia bilang gitu." Bu Tuti mulai berkutat dengan ponsel miliknya, mencari nomor milik Olip dan mencoba untuk menghubunginya.Panggilan pertama tidak mendapat jawaban meski dia tahu kalau nomor Olip aktif. Hingga percobaan ketempat, dia pun akhirnya bisa mendengar suata Olip. Bu Tuti terlihat lega akan hal itu."Olip. Kamu ini ke man aja sih? Dihubungi dari tadi coba," ujar Bu Tuti yang langsung mengomel. Padahal beberapa saat lalu dia terlihat khawatir."Maaf, Bu. Tadi Olip dari kamar mandi. Ibu tahu sendiri kalau kamar mandi di kontrakan ini harus antre." Olip berujar dari seberang sana
Acara syukuran rumah Mika berlangsung. Jika siang ini diperuntukan untuk para ibu-ibu, naka di acara malam nanti akan diperuntukan untuk para bapak-bapak. Biar tidak tercampur begitu. Terlihat Bu Tuti yang tampak sibuk dan juga kerepotan karena perempuan itu memang diserahi tugas untuk mengatur makanan oleh Mika. Bukan karena semangat, tetapi diahanya tidak ingin kalau acara ini apan memiliki masalah pada makanannya karena itu akan menjadi hal yang tidak baik nantinya. Para tamu sudah datang. Mereka mulai pengajian dengan seseorang yang memimpin. Namun, kita tahu kalau seperti ini pasti ada saja beberapa orang yang tidak fokus. "Bu Tuti tumben giat gitu bantuin Mika." Ya. Beberapa ibu-ibu malah salfok sama keberadaan Bu Tuti yang terlihat sangat sibuk mengatur menu yang ada di acara syukuran ini. "Iya. Dia seperti paling sibuk ngatur menu sejak tadi." 'Tumben. Kan ini acaranya Mika." "Memang kenapa kalau acaranya Mika?" tanya salah satu ibu-ibu yang sejak tadi mendengar pembicar
Olip meringkuk ketakutan. Dia menunduk sembari menangis, sesekali melirik ke arah keberadaan suaminya dengan tubuh bergetar. Bagamana tidak? Ridwan yang biasanya akan selalu menurutmu kemauannya, selalu mengalah kikadia marah, kini berubah seratus delapan pukul derajat. Bahkan kini Olip sangat ketakutan melihat suaminya itu. "Enak?" tanya Ridwan dengan senyum miring. Pria itu pun bangkit lalu mengenakan pakaianya secara cepat semampu melirik sinis ke arah Olip. Terlihat ekspresi penuh kepuasan di wajah pria itu. Setelah mengenakan pakaiannya dengan lengkap, dia pun mendekati Olip. Hal itu membuat Olip kembali merasakan takut. Dia menarik tubuhnya untuk semakin merapat ke dinding yang ada di belakangnya. Sedikit gerakan saja dia sudah berdesis. Olip merasakan kesakitan di sekujur tubuhnya karena mendapat penyiksaan dari Ridwan. Yang paling parah adalah bagian intinya karena Ridwan sudah menggangg*hinya secara brutal dan kasar. "Jangan," bisik Olip. Ridwan pun hanya terkekeh. Tak
Ridwan merasa marah dan kesal dengan insiden yang terjadi padanya di warung kopi tadi. Niat hati bertemu teman lama yang dulunya sama-sama bekerja mejadi guru, dia malah dipermalukan oleh ibu mertuanya. "Sial*n! Kurang ajar sekali orang tua itu. Berani-beraninya dia mempermalukan aku di tempat umum," ujar Ridwan yang terus menggerutu sepanjang perjalanan tadi. "Mana pukulannya sakit semua lagi?" Dia masih di atas motor menuju kontrakannya. Sesekali Ridwan melihat lengannya yang tadi juga terkena pukulan dari Bu Tuti. Terlihat beberapa ruam di sana akibat cubitan juga. Tiba-tiba pandangannya menajam lurus ke arah depan. Giginya bergemerut satu sama lain menandakan amarah pria itu. "Olip" Dia mengucapkan nama istrinya dengan suara menggeram. Kilat emosi terpancar di sorot matanya. Entah seberapa marah pria itu saat ini. "Awas saja kau Olip. Kau sudah membuat aku dipermalukan oleh ibumu di tempat umum. Tungu saja pembalasanku," ujarnya kemudian. Meski sejak dipukuli tadi dia terus
Tepat ketika mobil sampai di rumahnya Bu Tuti langsung turun dan berjalan cepat memasuki rumahnya."Ada apa, Bu?" tanya Pak Purnomo yang melihat istrinya baru datang. Namun, ekspresinya membuat dia bertanya-tanya.Bu Tuti hanya menoleh sekilas pada suaminya lalu kembali membuang muka dan melanjutkan langkah untuk memasuki rumah. Dia kembali merasa kesal pada sang suami kala mengingat kalau suaminy itu duku tidk mau membela Olip ketika mendapat perlakuan tidak baik dari Ridwan.Pak Purnomo semakin merasa bingung dengan keadaan istrinya. "Ada apa sih? Ditanya bukannya jawab malah nyelonong aja." Dia menggeleng pelan sembari berkacak pinggang.Pak Purnomo berniat duduk kembali ketika pandangannya menangkap keberadaan Bu Ane yang sedang menurunkan belanjaan dibantu sopir Mika.Dia pun mengurungkan niatnya untuk duduk dan memilih untuk membantu Bu Ane. "Banyak sekali belanjaannya, Bu?" tanya Oak Purnomo uang terkejut melihat isi bagasi mobil itu.Bu Ane mengangguk. "Iya, Pak. Ini saja belu
"Dasar laki-laki tidak tahu diri. Tidak berguna. Bisanya hanya menyusahkan saja. Laki-laki macam apa kamu. Tidak bertanggung jawab. Pria macam apa kamu? Sukanya main tangan. Kurang ajar!" Bu Tuti terus menyerocos tiada henti untuk meluapkan kekesalannya. Tak lupa tangannya yang terus bergerak memukuli Ridwan."Berani-beraninya kamu, ya. Berani-beraninya kamu menampar putriku. Kurang ajar kamu. Laki-laki kurang ajar kamu," ujar Bu Tuti dengan terus memukuli pundak Ridwan."Apa sih, Bu?" tanya Ridwan yang mencoba menghindari pukulan Bu Tuti. Namun, ibu mertuanya itu terus saja memukulinya."Apa sih, Bu. Apa sih, Bu. Jangan pura-pura kamu. Laki-laki tidak tahu malu. Beraninya main tangan sama perempuan. Kamu laki-laki apa banc*?" Bu Tuti terus memberikan pukulan pada Ridwan.Ridwan yang terkejut akan kedatangan Bu Tuti dan segala tingkah lakunya kini mulai merasa kesal. Dia pun segera menepis tangan ibu mertuanya itu."Apa-apaan sih, Bu? Bikin malu aja," ujar Ridwan. Dia menatap ke seki
"Ke mana sih si Ridwan ini? Udah beberapa hari kok nggak datang. Biasanya datang cari makanan?" tanya Bu Lestari yang merasa bingung karena tidak melihat Ridwan datang beberapa hari ini."Kan mau ada yang aku tanyakan," ujarnya sekali lagi. Dia bahkan mondar-mandir di ruang tamu sembari menggigit jarinya.Suara motor terdengar mendekat. Bu Lestari tahu itu suara motor siapa. "Itu suara motor Ridwan," ujarnya semangat.Bu Lestari pun dengan bersemangat langsung keluar dari rumah. Dia tersenyum melihat putranya memarkirkan motornya."Kamu ini ke mana aja sih, Wan? Kok dua hari ini nggak ke sini?" tanya Bu Lestari.Ridwan yang mendengar perkataan ibunya pun mengerutkan keningnya, merasa heran dengan ibunya. "Ada apa memang, Bu?" tanyanya kemudian."Ada yang mau ibu tanyain," ujar Bu Lestari. Dia langsung meraih tangan Ridwan dan menariknya memasuki rumah dan mengajaknya duduk."Ibu mau tanya," ujar Bu Lestari kemudian.Ridwan berdecak. "Nanti aja deh, Bu. Ridwan laper nih. Pengen makan,"