“Noval mengatakan kalau ia ingin melamar Nak Mika.”
Kalimat itu sontak mengejutkan tidak hanya kedua orang tua Mika dan Olip, melainkan juga Mika yang mau tidak mau mendengarnya karena antara kamar dan ruang tamu hanya dibatasi kain kelambu tipis saja.
“Apa? Maksudnya bagaimana, Pak?”
Mika langsung keluar kamar. Tangisannya tadi sudah hilang sempurna. Ia menatap Pak Heru dengan sepasang mata yang membola, terkejut dan bingung.
"Kenapa Noval melamar saya, Pak? Noval kan pacarnya Olip?" tanya Mika dengan rasa bingung yang tidak bisa ditutupi.
Padahal ia baru saja bertemu Noval tadi. Pria itu juga tidak mengatakan apa-apa. Kenapa tiba-tiba Noval melamarnya? Mika tidak habis pikir.
Sedangkan Pak Heru sendiri juga merasa bingung. Dia menatap Pak Purnomo dan juga Mika secara bergantian.
''Sa–saya juga tidak tahu. Noval tadi hanya mengatakan kalau dia ingin saya melamarkan Mika untuk dia,'' ujarnya dengan jujur.
“Mungkin salah, Pak.”
Pak Heru menggeleng. “Saya dengan jelas dengar dia menyebut nama Nak Mika.”
Di saat Mika dan Pak Heru bicara, Olip tiba-tiba berbisik lirih pada sang ibu di sebelahnya.
"Bu. Terima aja. Kalau Noval sama Mika, aku sama Kak Ridwan semakin mudah jalannya untuk bersatu." Olip berujar dengan penuh penekanan.
Seakan langsung paham, Bu Titi pun mengangguk. Dia langsung mendekati suaminya dan duduk di samping Pak Purnomo.
''Pak. Terima aja lamaran itu untuk Mika." Dia berbisik lirih. “Biar Olip bisa makin lancar dengan Ridwan.”
Pak Purnomo tertegun.
Sementara itu, Pak Heru berniat bangkit dari posisinya. "Waduh. Sepertinya ada kesalahpahaman ini,” ucapnya. “Saya minta maaf kalau begitu, karena sudah membuat kegaduhan. Saya pastikan terlebih dahulu dengan Noval ya. Permisi."
"Eh tunggu, Pak." Pak Purnomo yang mencegahnya langsung membuat dia menjadi pusat perhatian. Pria itu tersenyum. “Jika memang Nak Noval ingin melamar Mika, kami menerimanya.”
Bola mata Mika semakin melotot lebar. "Apa? Pak. Tap--"
"Mika. Tidak baik menolak niatan baik seseorang. Apalagi umur kamu, kan sudah cukup untuk menikah. Jadi, kalau ada pria yang berniat baik kenapa harus kita tolak? ujar Bu Tuti sembari bangkit dari tempat duduknya dan langsung mendekati Mika.
Perempuan paruh baya itu memegangi lengan Mika dengan sedikit kuat.
"Nak Noval itu pasti sangat bertanggung jawab karena berani melamar loh. Jadi, terima, ya." Dia berujar dengan penekanan. Tidak peduli dia melihat ekspresi kesakitan Mika saat ini.
"Iya, Pak Heru. Katakanlah pada Noval kalau kami menerima lamaran dia, dan kami menunggu untuk penetapan tanggalnya," ujar Pak Purnomo
Pak Heru pun tersenyum. Dia merasa bahagia karena niat baik Noval diterima oleh keluarga ini.
"Baiklah, Pak Purnomo, Bu Tuti. Saya akan sampaikan kabar baiik ini pada Noval. Kami akan segera memberitahu untuk kelanjutannya." Pria itu pun langsung berpamitan pada keluarga Mika.
Tepat setelah kepergian Pak Heru, Mika langsung menanyakan apa maksud dari kedua orang tuanya.
"Pak, Bu. Apa maksud kalian dengan menerima lamaran Noval? Kalian, kan tahu kalau Noval itu kekasihnya Olip," ujarnya sembari menunjuk ke arah Olip.
Olip berdecak. "Kak. Sudahlah. Kamu juga tahu kalau aku memiliki hubungan dengan Kak Ridwan. Itu artinya aku tidak memiliki hubungan dengan Noval. Jadi apa salahnya kalau kamu menerima lamaran pria itu? Biar kamu tidak mengganggu aku sama Kak Ridwan."
Mika membelalak. "Mengganggu?" ulangnya. Dia merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Olip barusan. "Kamu yang mengganggu hubunganku dengan Ridwan. Bukan begitu?”
Ia tidak tahan untuk tidak mengatakannya.
Olip mendelik. ''Kata siapa?” balasnya. “Kami itu memiliki perasaan yang sama. Saling mencintai. Jadi, yang pengganggu itu Kak Mika."
“Kalau punya perasaan yang sama, kenapa kalian justru bermain di belakangku?” sahut Mika. “Bukannya jujur. Dari situ harusnya kamu sadar kalau kamu orang ketiga di antara aku dan Ridwan, Lip.”
Sang adik cemberut. “Kami kasihan pada Kak Mika,” alasannya. “Tapi kan sekarang kami sudah jujur. Kakak sudah tahu. Apa Kak Mika berniat untuk menghalangi kami karena sakit hati?” Jeda sejenak. “Aku juga ingin cepat menikah dengan Kak Ridwan.”
"Kamu itu–"
"Ah, sudah!" Pak Purnomo melerai dengan keras menghentikan perdebatan ini. Dia menatap Mika dengan tajam. "Mika. Apa salahnya menikah dengan Noval?”
Pertanyaan dari sang ayah membuat Mika tidak percaya dengan pendengarannya. Namun, sebelum ia menjawab pertanyaan yang sebenarnya sudah jelas jawabannya tersebut, Pak Purnomo sudah melanjutkan.
“Ini demi kebaikanmu juga. Karenanya, kami menerima lamaran Noval,” ucap Pak Purnomo. “Adikmu itu sudah lebih siap menikah, karena sudah ada Ridwan. Sementara kamu belum. Aku tidak mau kamu sampai dilangkahi oleh Olip, nanti pamali. Bisa-bisa kamu jadi perawan tua!”
Mika terdiam. Ia terlalu bingung harus mulai menyahuti yang mana.
Sudah ada Ridwan? Sampai tadi siang, Ridwan masih pacarnya!
Kenapa tiba-tiba semuanya terdengar seakan-akan Mika adalah sosok paling egois di sini?
“Pak, tapi aku–”
"Sudah. Kita akhiri pembicaraan ini.” Sebelum Mika bisa menyahut, Pak Purnomo mengibaskan tangannya. “Sudah malam."
Tepat setelah mengatakan itu, Pak Purnomo kembali ke kamar bersama istrinya.
Sepeninggal kedua orang tua mereka, Olip menatap remeh ke arah Mika.
"Selamat ya, Kak. Memang Kakak berjodoh dengan Noval. Cocok kok. Penjaga toko dan tukang bengkel,” ucap Olip penuh ejekan. “Dan Kak Ridwan, memang cocoknya sama aku. Guru dan calon bidan."
Suara kokok ayam membangunkan Mika dari tidurnya. Matanya terasa berat untuk dibuka. Mika menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dia ingat kalau semalam dia harus tidur sangat larut karena harus menangisi keputusan Ridwan yang ingin menikahi adiknya. Sebenarnya, tidak harus dia menangisi pria itu. Apalagi kejadiannya sudah berlalu sejak beberapa waktu lalu. Namun, tetap saja apa yang dilakukan mantan kekasihnya itu membuat dia kecewa dan terluka. Mika memaksa kelopak matanya untuk terbuka. Perempuan itu bangun dalam keadaan kacau. Dia bangkit dan menatap cermin sejenak. Mika meneliti wajahnya yang terlihat jelas sembab dan matanya yang merah. Dia mengembuskan napas kasar. Kalau seprti ini tidak bisa dia sembunyikan. Mika memilih untuk langsung memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap pergi ke toko. Tak memerlukan waktu lama karena rasanya Mika malas melakukan hal apa pun. Mika keluar dan berniat langsung menuju meja makan. Satu hal yang baru Mika sadari. Kenap
Apa pun yang didengar Mika di warung soto tadi pagi membuat perempuan itu menjadi kepikiran. Selama bekerja dia menjadi gelisah, rasanya dia merasa tidak tenang. Selain itu, ada rasa nyeri yang dia rasakan dalam dada ketika mendapati hal ini.Sebuah senggolan membuat Mika tersadar dari lamunannya. Dia menoleh dan melihat Sintia yang menatapnya dengan ekspresi bingung. "Kamu kenapa sih?" tanya Sintia."Dari pulang beli soto, kamu kebanyakan melamun loh. Malahan soto yang kamu beli buat sarapan nggak diabisin. Ada apa sih sebenarnya?" tanya Sintia sekali lagi."Ha?" Mika mengerjapkan matanya beberapa kali. Detik selanjutnya dia menggeleng. "Tidak. Tidak apa."Sintia semakin merasa bingung, sikap Mika memang benar-benar terlihat aneh. "Mik. Kalau ada masalah bilang aja. Kamu biasanya juga cerita, kan?"Mika tersenyum tipis. Dia kembali menggeleng. "Enggak ada apa-apa kok. Kamu tenang aja, ya." Mika berusaha untuk menunjukkan kalau dirinya sedang baik-baik saja."Atau kamu sakit? Kalau sa
Mika menatap Bu Ane dengan memohon, dia menunjukkan ekspresi penuh harap akan suatu hal yang ingin dia ketahui. ''Saya mohon, Bu.''Bu Ane yang melihat ekspresi Mika seperti itu lama-lama merasa iba dan kasihan juga. Tangan Bu Ane yang sebelumnya mendorong pintu agar tertutup kini melemah. Bu Ane menarik napas dalam lalu membuka kembali pintu di hadapannya. Dia mempersilakan Mika untuk masuk kembali.Keduanya duduk saling berhadapan dengan Bu Ane yang tidak berani menatap ke arah Mika. Sedang Mika sendiri menunggu Bu Ane berbicara. "Mika ingin tahu yang sebenarnya, Bu. Sejujurnya Mika ini merasa tertekan. Selama ini sikap Bapak sama Ibu selalu tampak berbeda jika pada Mika dan Olip. Terlihat jelas kalau mereka lebih sayang pada Olip dari pada sama Mika. Mereka selalu memprioritaskan Olip dari Mika. Mika juga ingin merasakan disayang dan dicintai oleh kedua orang tua Mika, tapi selama ini mereka tidak memberikan itu pada Mika."Tiba-tiba saja Bu Ane merasa iba mendengar ucapan dari Mik
Mika menganga mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya barusan. Bola mata perempuan itu mengerjap beberapa kali dengan mencoba untuk mencerna apa yang baru saja didengar. Detik kemudian, Mika tertawa cukup keras menyadari hal yang dia anggap lucu ini.Baik Bu Titi, Olip dan Ridwan saling tatap dengan kebingungan. "Kenapa kamu malah ketawa?" tanya Bu Tuti dengan kedua alis yang menyatu.Mika mencoba menghentikan tawanya. Dia menatap satu persatu tiga orang yang ada di hadapannya. Mika menggeleng. "Lucu aja, Bu.""Apanya yang lucu?" Bu Tuti semakin menatap Mika dengan kerutan di kening, merasa aneh dengan Mika.Mika mengangguk beberapa kali. Perempuan itu berdehem. "Ya aneh saja, Bu. Yang mau nikah siapa, yang harus ngeluarin uang siapa? Kan lucu." Mika kembali tertawa.Bu Tuti menatap Mika tidak suka. "Ya anggap saja kamu sedang membantu adik kamu. Gimana sih?"Mika menghela napas dalam. "Bu. Yang namanya membantu itu ya seikhlas hati, sukarela yang memberi. Bukan ditarget seperti ini,
Mika yang ada di luar pun langsung menoleh kembali ke arah kamar orang tuanya. Dia mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana. Kedua tangannya mengepal karena tiba-tiba timbul perasaan marah dalam dirinya."Gimana bisa, Bu? Rumah ini, kan atas nama Mika. Ya pastinya kalau kita menggadaikan rumah ini harus dalam persetujuan dari Mika," ujar Pak Purnomo kemudian.Bu Tuti diam kembali. Akan tetapi perempuan itu jelas tidak ingin terima begitu saja. Dia berpikir dengan giat di balik benak sana. "Ah. Gimana kalau kita gadaikan rumahnya ke Pak Narto saja? Kita nggak perlu ribet di sana. Cuma perlu kasih KTP aja udah. Kita minta aja Foto kopi KTP Mika lalu kasihkan sama Pak Narto. Dapat deh kita.""Lah terus caranya dapetin foto kopi KTP Mika bagaimana caranya?" Pak Purnomo bertanya."Gampang mah, Pak. Kita tinggal bilang aja kalau Olip membutuhkan KTP kakaknya untuk mengurus rencana pernikahan. Gitu aja kan bisa. Gimana, Pak? Kamu setuju nggak?" tanya Bu Tuti yang merayu suaminya.Pak Purno
Mika terkejut dengan suara teriakan dari ibu tirinya. Perempuan itu kini tampak panik karena takut ketahuan akan keberadaannya divsini. Dia tidak mau kalau ibu tirinya sampai tahu dia mencari sertifikat rumah ini. Mika mengedarkan pandangan, memikirkan bagaimana ibunya itu tidak akan tahu kalau dia berada di sini.Pandangan Mika jatuh pada kolong tempat tidur kedua orang tuanya. Dia pun langsung memasuki kolong itu setelah membereskan figura sebelumnya. Dia berdiam diri sembari memeluk sertifikat rumah ini.Sedang di luar sana, tampak Bu Tuti dan Olip yang terus mencari keberadaan Mika. Mereka tampak kesal karena panggilan sejak tadi tak ada jawaban sama sekali."Ke mana sih anak itu?" Bu Tuti membuka pintu kamar Mika dan tak melihat keberadaan Mika di sana. Dia segera menutupnya kembali."Ada, Bu?" tanya Olip. Dia melihat ibunya itu yang menggeleng. "Sepertinya dia sedang main-main keluar, Bu."Mendengar hal itu malah membuat Bu Tuti merasa kesal. "Dasar. Anak nggak tahu diri. Bukann
Sesuai yang direncanakan kemarin, Mika akan menitipkan sertifikat rumahnya pada Bu Ane. Perempuan itu memasukkannya ke dalam tas sebelum berangkat ke toko. Setelahnya dia memilih untuk langsung berpamitan tanpa ikut sarapan."Kamu nggak makan dulu, Mika?" tanya Pak Purnomo ketika Mika menyalami tangan pria itu. Meski Mika tahu kebenarannya, dia tetap melakukan hal demikian untuk sekedar menghormati keduanya.Mika menggeleng ketika selesai menyalami tangan Bu Tuti meski dengan adegan tarikan tangan dari Bu Tuti yang sangat cepat. "Tidak usah, Pak. Biar Mika beli sendiri di pasar nanti," ujar perempuan itu yang langsung pergi meninggalkan rumahnya."Bapak ini ngapain juga nawarin makan buat dia. Nggak usah dipikirin sih anak itu." Bu Tuti mengambilkan makanan untuk sang suami. Sedangkan Pak Purnomo hanya mengembuskan napas kasar."Iya nih, Bapak. Kakak toh juga nggak bisa bantu kita apa-apa," ujar Olip yang ikut mengambil lauk.Pak Purnomo melirik putrinya. "Lupa kamu kalau yang kamu ma
Mika terkejut ketika baru sampai dia mendapat tamparan dariibunya. Rasa panas mulai menjalar di pipinya sehingga membuat Mika harusmengelusnya untuk menetralisir sedikit rasa panas itu.Mika langsung mengalihkan pandangan ke arah sang ibu denganbola mata melotot. "Ada apa, Bu?" Kenapa Ibu tampar Mika?" tanyaMika dengan suara bernada tinggi.Sedangkan Pak Purnomo pun masih terkejut dengan apa yangbaru saja dilakukan oleh istrinya itu. "Bu. Apa yang kamu lakukan?"tanyanya dengan membentak.Bu Tuti menatap suaminya dengan tajam. "Bapak belaindia?" tanyanya dengan menunjuk ke arah Mika."Membela apa maksud Ibu? Lah Ibu sendiri saja kenapatiba-tiba menampar Mika seperti itu?" tanyanya dengan sedikit menaikkannada bicaranya."Gimana ibu nggak menampar dia kalau dia sudah beranimencuri?" Bu Tuti benar-benar tidak mau mengalah.Ternyata, di saat yang sama, Olip dan Ridwan baru sajasampai. Mereka yang mendengar kegaduhan itu pun langsung ikut masuk ke rumahdan mencari asal suara kegaduhan itu.