"Berikan Kak Ridwan padaku, Kak."
Mika yang mendengar ucapan adiknya yang santai itu melotot seketika. Ditatapnya Olip, sang adik, yang tampak sibuk dengan kuku-kuku jarinya. Mengagumi mereka yang baru saja mendapatkan perawatan.
"Kamu ngomong apa tadi?'' Mika memastikan apa yang baru saja dia dengar.
"Aku yakin Kak Mika mendengar dengan jelas,” balas Olip tenang. “Aku ingin Kak Mika memberikan Kak Ridwan untuk aku."
"Gila kamu?" tanya Mika kemudian. Masih tidak percaya dengan yang ia dengar. "Yang kamu minta barusan itu orang loh, Lip. Pacar kakak. Bukan makanan.”
Olip hanya mengedikkan bahunya tak acuh.
"Aku hanya merasa kalau Kak Ridwan itu lebih pantas untuk aku ketimbang Kakak,” ucap Olip kemudian. “Makanya aku minta Kakak putus saja sama dia dan berikan dia padaku."
Mika menunjukkan ekspresi tidak paham. Satu alisnya menukik naik.
"Dari mana kamu bisa mengatakan hal itu?" tanya gadis itu.
Bagian mananya yang tidak pantas antara dirinya dan sang pacar?
Olip mengembuskan napas malas. "Kak. Kak Ridwan itu guru, dan aku calon perawat. Kami lebih pantas untuk bersanding ketimbang sama Kakak yang hanya seorang penjaga toko."
"Apa yang salah dengan penjaga toko?” tanya Mika kemudian. “Memangnya penjaga toko tidak boleh memiliki suami seorang guru?"
"Ya jelas lah, Kak.” Olip memutar bola matanya malas dengan ekspresi yang sangat merendahkan. “Pada dasarnya, yang berseragam itu harus mendapatkan pasangan yang berseragam juga. Biar seimbang. Kalau Kak Ridwan sama Kakak, yang ada nanti Kak Ridwan bisa malu."
"Pendapat dari mana itu?" balas Mika yang merasa perkataan adiknya tidak benar pun menyangkal.
Olip berdecak. "Masih aja ngeyel,” katanya kesal. “Udah deh, Kak. Intinya Kak Ridwan itu hanya cocoknya sama aku. Lebih baik Kak Mika turuti apa yang aku pengen. Berikan pacar Kakak itu untuk aku. Nanti malah Kak Mika gigit jari, malu sendiri kalau masih bertahan dengan Kak Ridwan."
Mika semakin tidak habis pikir dengan adiknya. Tentu dia menggeleng untuk menolak.
"Kamu ini apa-apaan, Lip. Bukankah kamu juga mempunyai seorang kekasih?" tanya Mika kemudian.
"Oh Noval?” Olip memberikan senyum tipis. “Ya ... itu buat Kakak aja deh. Anggap aja kita tukeran pacar gituloh. Gampang, kan?"
Satu lagi hal mengejutkan yang membuat Mika tak habis pikir. Ia menggeleng pelan.
"Gila kamu, Lip. Bener-bener Gila. Nggak bener ini."
Mika menatap kedua orang tuanya yang juga ada di sana.
"Pak. Bu. Kenapa kalian diam saja? Bantu ngomong dong sama Olip apa yang dia minta itu tidak masuk akal," ujarnya kemudian dengan tatapan memelas berharap kedua orang tuanya menasihati Olip.
Sayangnya, apa yang dia harapkan tidak terjadi. Jika Pak Purnomo hanya diam saja, Bu Tuti malah mengedikkan bahu.
"Ibu rasa apa yang dikatakan Olip itu tidak ada salahnya, Mika.” Sang ibu berujar, mendukung putri bungsunya. “Dia sedang menolong kamu loh. Bayangkan saja jika nanti kamu sama Ridwan menikah, lalu Ridwan memiliki pertemuan penting, apa kamu bisa mensejajarkan diri dengan istri-istri guru lain yang ibu juga yakin mereka memiliki seragam untuk dibanggakan? Adik kamu ini menolong kamu loh. Mungkin lebih baik ya kamu berikan saja Ridwan ke Olip."
Mika menatap tidak percaya pada sang ibu. Dia syok dengan jawaban ibunya.
Namun, sebenarnya kenapa tadi dia sempat berharap? Bukankah selama ini kedua orang tuanya memang mengedepankan Olip dari dirinya.
Mika hanya punya dirinya sendiri di sini.
"Enggak, Bu. Ini bukan hanya tentang seragam.” Mika menggeleng. “Tapi tentang perasaan. Lagi pun mana mungkin mau Kak Ridwan melakukan ini. Hubungan kami sudah lama, tidak hanya sebentar dan main-main."
Olip yang mendengar itu menjadi kesal. Dia bangkit dari duduknya.
"Terserah mau bilang apa. Yang penting keinginanku tadi udah aku katakan. Sekarang, Mau tidak mau Kakak harus memberikan Kak Ridwan sama aku. Titik."
Setelahnya Olip pun meninggalkan ruang tamu itu sembari menggerutu, "Seperti Kak Ridwan cinta mati saja sama dia.''
Mika kembali menatap kedua orang tuanya lagi. "Pak, Bu---"
"Sudahlah, Mika. Lebih baik kamu turuti saja,” ujar Pak Purnomo yang langsung bangkit dan meninggalkan Mika. “Ngalah sama adik sendiri. Jadi kakak yang baik.”
***
Kejadian semalam membuat Mika terusik. Dengan gelisah, Mika memandangi ponselnya.
Sejak kemarin Mika berusaha untuk menghubungi kekasihnya itu untuk membicarakan kejadian semalam pada Ridwan, mengenai Olip dan permintaannya yang tidak masuk akal.
Namun, pria itu tidak kunjung membalas pesan ataupun mengangkat teleponnya. Benar-benar tidak bisa dihubungi. Bahkan, pesannya saja tidak dibalas.
Hal ini membuat Mika makin gelisah. Apalagi memang, belakangan ini pacarnya itu seperti mengabaikannya. Jarang memberi kabar, tidak lagi menyempatkan diri bertemu dengannya.
Sekalipun Mika mencoba berpikir positif bahwa Ridwan sibuk dengan pekerjaannya sebagai guru, tapi mungkinkah ia sampai tidak sempat membalas pesannya satu pun?
“Atau dia sedang sakit ya?” Mika masih mencoba berpikir positif.
“Sudah, kamu ke rumahnya saja,” tanggap Sinta, rekan Mika yang ikut gerah melihat temannya itu gelisah sejak tadi. “Mumpung ini ada pesanan ke daerah rumahnya. Kamu bisa mampir sekalian.”
Mika melirik jam. Pukul 2 siang. Seharusnya Ridwan sudah ada di rumah saat ini.
“Baiklah. Sini aku antar.” Mika akhirnya memutuskan.
Gadis itu mengantarkan pesanan terlebih dahulu sebelum mengemudikan motornya ke rumah sang kekasih.
Senyum Mika terbit kala melihat motor Ridwan terparkir di depan rumah. Dia memarkirkan motornya di samping motor sang kekasih dan menghampiri pintu depan terbuka lebar.
Ketika dia sampai di ambang pintu rumah dan bersiap mengucapkan salam, Mika mendengar suara aneh.
"A-ah–pelan-pelan, Kak Ridwan–"
"A-ah–pelan-pelan, Kak Ridwan–" Tubuh Mika membeku. Suara familier yang disertai desahan itu membuat jantungnya berdebar tak karuan.Tidak … tidak mungkin–“Ah! Ya–umh, lebih cepat, Kak ….”Suara itu kembali terdengar. Mika mendekati sumber suara, sebuah pintu di mana dia tahu itu adalah kamar sang kekasih. Logikanya sudah bisa menduga apa yang terjadi di dalam, tapi hatinya menolak untuk percaya.Hingga perlahan, tangannya bergerak pelan meraih handle pintu lalu membukanya. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kekasihnya bergerak liar di atas tubuh sang adik tanpa memakai busana apa pun. Tanpa terasa air asin sudah jatuh membasahi pipi."Jadi ini kelakuan kalian di belakangku?'' ucap Mika kemudian dengan suara tertahan, tapi cukup keras untuk bisa didengar. Wajahnya sudah basah dengan air mata.Ridwan dan Olip yang mendengar itu pun terkejut. Ridwan langsung melepaskan penyatuannya dengan Olip dan bangkit. "Mi---Mika." Suara Ridwan terbata. Pandangannya mengedar dan l
“Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan pulang dalam penampilan seperti itu.”Mika tertegun. Bingung.Pria ini … apakah benar sedang peduli padanya.“Sudah. Aku keluar dulu.”“Tunggu.” Mika kembali menarik tangan Noval. Ia teringat pada kejadian di jalan tadi. “Lukamu … bagaimana? Ayo kubantu obati dulu.”“Hanya luka kecil.”“Tetap saja berdarah.” Mika menghapus sisa air matanya, mencoba memfokuskan diri pada hal lain. Perempuan itu sedikit memutar lengan Noval untuk melihat luka di siku pria itu, bekas terjatuh tadi. “Kan. Berdarah.” Ia mendongak. “Punya obat merah tidak?”“Tidak.”Mika menghela napas pelan. “Aku ke warung depan dulu,” katanya. Lalu sebelum Noval bisa menjawab, perempuan itu sudah bangkit dan berlari keluar dan kembali ke sisi Noval dengan obat merah dan plester luka.“Berlebihan,” komentar Noval. Namun, ia pasrah saja saat Mika membersihkan dan mengobati lukanya. Ekspresinya bahkan tidak berubah. Pria itu hanya menatap Mika dengan tatapan datar. Kemudian, Noval
“Noval mengatakan kalau ia ingin melamar Nak Mika.”Kalimat itu sontak mengejutkan tidak hanya kedua orang tua Mika dan Olip, melainkan juga Mika yang mau tidak mau mendengarnya karena antara kamar dan ruang tamu hanya dibatasi kain kelambu tipis saja.“Apa? Maksudnya bagaimana, Pak?”Mika langsung keluar kamar. Tangisannya tadi sudah hilang sempurna. Ia menatap Pak Heru dengan sepasang mata yang membola, terkejut dan bingung. "Kenapa Noval melamar saya, Pak? Noval kan pacarnya Olip?" tanya Mika dengan rasa bingung yang tidak bisa ditutupi.Padahal ia baru saja bertemu Noval tadi. Pria itu juga tidak mengatakan apa-apa. Kenapa tiba-tiba Noval melamarnya? Mika tidak habis pikir.Sedangkan Pak Heru sendiri juga merasa bingung. Dia menatap Pak Purnomo dan juga Mika secara bergantian. ''Sa–saya juga tidak tahu. Noval tadi hanya mengatakan kalau dia ingin saya melamarkan Mika untuk dia,'' ujarnya dengan jujur.“Mungkin salah, Pak.”Pak Heru menggeleng. “Saya dengan jelas dengar dia menye
Suara kokok ayam membangunkan Mika dari tidurnya. Matanya terasa berat untuk dibuka. Mika menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dia ingat kalau semalam dia harus tidur sangat larut karena harus menangisi keputusan Ridwan yang ingin menikahi adiknya. Sebenarnya, tidak harus dia menangisi pria itu. Apalagi kejadiannya sudah berlalu sejak beberapa waktu lalu. Namun, tetap saja apa yang dilakukan mantan kekasihnya itu membuat dia kecewa dan terluka. Mika memaksa kelopak matanya untuk terbuka. Perempuan itu bangun dalam keadaan kacau. Dia bangkit dan menatap cermin sejenak. Mika meneliti wajahnya yang terlihat jelas sembab dan matanya yang merah. Dia mengembuskan napas kasar. Kalau seprti ini tidak bisa dia sembunyikan. Mika memilih untuk langsung memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap pergi ke toko. Tak memerlukan waktu lama karena rasanya Mika malas melakukan hal apa pun. Mika keluar dan berniat langsung menuju meja makan. Satu hal yang baru Mika sadari. Kenap
Apa pun yang didengar Mika di warung soto tadi pagi membuat perempuan itu menjadi kepikiran. Selama bekerja dia menjadi gelisah, rasanya dia merasa tidak tenang. Selain itu, ada rasa nyeri yang dia rasakan dalam dada ketika mendapati hal ini.Sebuah senggolan membuat Mika tersadar dari lamunannya. Dia menoleh dan melihat Sintia yang menatapnya dengan ekspresi bingung. "Kamu kenapa sih?" tanya Sintia."Dari pulang beli soto, kamu kebanyakan melamun loh. Malahan soto yang kamu beli buat sarapan nggak diabisin. Ada apa sih sebenarnya?" tanya Sintia sekali lagi."Ha?" Mika mengerjapkan matanya beberapa kali. Detik selanjutnya dia menggeleng. "Tidak. Tidak apa."Sintia semakin merasa bingung, sikap Mika memang benar-benar terlihat aneh. "Mik. Kalau ada masalah bilang aja. Kamu biasanya juga cerita, kan?"Mika tersenyum tipis. Dia kembali menggeleng. "Enggak ada apa-apa kok. Kamu tenang aja, ya." Mika berusaha untuk menunjukkan kalau dirinya sedang baik-baik saja."Atau kamu sakit? Kalau sa
Mika menatap Bu Ane dengan memohon, dia menunjukkan ekspresi penuh harap akan suatu hal yang ingin dia ketahui. ''Saya mohon, Bu.''Bu Ane yang melihat ekspresi Mika seperti itu lama-lama merasa iba dan kasihan juga. Tangan Bu Ane yang sebelumnya mendorong pintu agar tertutup kini melemah. Bu Ane menarik napas dalam lalu membuka kembali pintu di hadapannya. Dia mempersilakan Mika untuk masuk kembali.Keduanya duduk saling berhadapan dengan Bu Ane yang tidak berani menatap ke arah Mika. Sedang Mika sendiri menunggu Bu Ane berbicara. "Mika ingin tahu yang sebenarnya, Bu. Sejujurnya Mika ini merasa tertekan. Selama ini sikap Bapak sama Ibu selalu tampak berbeda jika pada Mika dan Olip. Terlihat jelas kalau mereka lebih sayang pada Olip dari pada sama Mika. Mereka selalu memprioritaskan Olip dari Mika. Mika juga ingin merasakan disayang dan dicintai oleh kedua orang tua Mika, tapi selama ini mereka tidak memberikan itu pada Mika."Tiba-tiba saja Bu Ane merasa iba mendengar ucapan dari Mik
Mika menganga mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya barusan. Bola mata perempuan itu mengerjap beberapa kali dengan mencoba untuk mencerna apa yang baru saja didengar. Detik kemudian, Mika tertawa cukup keras menyadari hal yang dia anggap lucu ini.Baik Bu Titi, Olip dan Ridwan saling tatap dengan kebingungan. "Kenapa kamu malah ketawa?" tanya Bu Tuti dengan kedua alis yang menyatu.Mika mencoba menghentikan tawanya. Dia menatap satu persatu tiga orang yang ada di hadapannya. Mika menggeleng. "Lucu aja, Bu.""Apanya yang lucu?" Bu Tuti semakin menatap Mika dengan kerutan di kening, merasa aneh dengan Mika.Mika mengangguk beberapa kali. Perempuan itu berdehem. "Ya aneh saja, Bu. Yang mau nikah siapa, yang harus ngeluarin uang siapa? Kan lucu." Mika kembali tertawa.Bu Tuti menatap Mika tidak suka. "Ya anggap saja kamu sedang membantu adik kamu. Gimana sih?"Mika menghela napas dalam. "Bu. Yang namanya membantu itu ya seikhlas hati, sukarela yang memberi. Bukan ditarget seperti ini,
Mika yang ada di luar pun langsung menoleh kembali ke arah kamar orang tuanya. Dia mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana. Kedua tangannya mengepal karena tiba-tiba timbul perasaan marah dalam dirinya."Gimana bisa, Bu? Rumah ini, kan atas nama Mika. Ya pastinya kalau kita menggadaikan rumah ini harus dalam persetujuan dari Mika," ujar Pak Purnomo kemudian.Bu Tuti diam kembali. Akan tetapi perempuan itu jelas tidak ingin terima begitu saja. Dia berpikir dengan giat di balik benak sana. "Ah. Gimana kalau kita gadaikan rumahnya ke Pak Narto saja? Kita nggak perlu ribet di sana. Cuma perlu kasih KTP aja udah. Kita minta aja Foto kopi KTP Mika lalu kasihkan sama Pak Narto. Dapat deh kita.""Lah terus caranya dapetin foto kopi KTP Mika bagaimana caranya?" Pak Purnomo bertanya."Gampang mah, Pak. Kita tinggal bilang aja kalau Olip membutuhkan KTP kakaknya untuk mengurus rencana pernikahan. Gitu aja kan bisa. Gimana, Pak? Kamu setuju nggak?" tanya Bu Tuti yang merayu suaminya.Pak Purno