"Berikan Kak Ridwan padaku, Kak."
Mika yang mendengar ucapan adiknya yang santai itu melotot seketika. Ditatapnya Olip, sang adik, yang tampak sibuk dengan kuku-kuku jarinya. Mengagumi mereka yang baru saja mendapatkan perawatan.
"Kamu ngomong apa tadi?'' Mika memastikan apa yang baru saja dia dengar.
"Aku yakin Kak Mika mendengar dengan jelas,” balas Olip tenang. “Aku ingin Kak Mika memberikan Kak Ridwan untuk aku."
"Gila kamu?" tanya Mika kemudian. Masih tidak percaya dengan yang ia dengar. "Yang kamu minta barusan itu orang loh, Lip. Pacar kakak. Bukan makanan.”
Olip hanya mengedikkan bahunya tak acuh.
"Aku hanya merasa kalau Kak Ridwan itu lebih pantas untuk aku ketimbang Kakak,” ucap Olip kemudian. “Makanya aku minta Kakak putus saja sama dia dan berikan dia padaku."
Mika menunjukkan ekspresi tidak paham. Satu alisnya menukik naik.
"Dari mana kamu bisa mengatakan hal itu?" tanya gadis itu.
Bagian mananya yang tidak pantas antara dirinya dan sang pacar?
Olip mengembuskan napas malas. "Kak. Kak Ridwan itu guru, dan aku calon perawat. Kami lebih pantas untuk bersanding ketimbang sama Kakak yang hanya seorang penjaga toko."
"Apa yang salah dengan penjaga toko?” tanya Mika kemudian. “Memangnya penjaga toko tidak boleh memiliki suami seorang guru?"
"Ya jelas lah, Kak.” Olip memutar bola matanya malas dengan ekspresi yang sangat merendahkan. “Pada dasarnya, yang berseragam itu harus mendapatkan pasangan yang berseragam juga. Biar seimbang. Kalau Kak Ridwan sama Kakak, yang ada nanti Kak Ridwan bisa malu."
"Pendapat dari mana itu?" balas Mika yang merasa perkataan adiknya tidak benar pun menyangkal.
Olip berdecak. "Masih aja ngeyel,” katanya kesal. “Udah deh, Kak. Intinya Kak Ridwan itu hanya cocoknya sama aku. Lebih baik Kak Mika turuti apa yang aku pengen. Berikan pacar Kakak itu untuk aku. Nanti malah Kak Mika gigit jari, malu sendiri kalau masih bertahan dengan Kak Ridwan."
Mika semakin tidak habis pikir dengan adiknya. Tentu dia menggeleng untuk menolak.
"Kamu ini apa-apaan, Lip. Bukankah kamu juga mempunyai seorang kekasih?" tanya Mika kemudian.
"Oh Noval?” Olip memberikan senyum tipis. “Ya ... itu buat Kakak aja deh. Anggap aja kita tukeran pacar gituloh. Gampang, kan?"
Satu lagi hal mengejutkan yang membuat Mika tak habis pikir. Ia menggeleng pelan.
"Gila kamu, Lip. Bener-bener Gila. Nggak bener ini."
Mika menatap kedua orang tuanya yang juga ada di sana.
"Pak. Bu. Kenapa kalian diam saja? Bantu ngomong dong sama Olip apa yang dia minta itu tidak masuk akal," ujarnya kemudian dengan tatapan memelas berharap kedua orang tuanya menasihati Olip.
Sayangnya, apa yang dia harapkan tidak terjadi. Jika Pak Purnomo hanya diam saja, Bu Tuti malah mengedikkan bahu.
"Ibu rasa apa yang dikatakan Olip itu tidak ada salahnya, Mika.” Sang ibu berujar, mendukung putri bungsunya. “Dia sedang menolong kamu loh. Bayangkan saja jika nanti kamu sama Ridwan menikah, lalu Ridwan memiliki pertemuan penting, apa kamu bisa mensejajarkan diri dengan istri-istri guru lain yang ibu juga yakin mereka memiliki seragam untuk dibanggakan? Adik kamu ini menolong kamu loh. Mungkin lebih baik ya kamu berikan saja Ridwan ke Olip."
Mika menatap tidak percaya pada sang ibu. Dia syok dengan jawaban ibunya.
Namun, sebenarnya kenapa tadi dia sempat berharap? Bukankah selama ini kedua orang tuanya memang mengedepankan Olip dari dirinya.
Mika hanya punya dirinya sendiri di sini.
"Enggak, Bu. Ini bukan hanya tentang seragam.” Mika menggeleng. “Tapi tentang perasaan. Lagi pun mana mungkin mau Kak Ridwan melakukan ini. Hubungan kami sudah lama, tidak hanya sebentar dan main-main."
Olip yang mendengar itu menjadi kesal. Dia bangkit dari duduknya.
"Terserah mau bilang apa. Yang penting keinginanku tadi udah aku katakan. Sekarang, Mau tidak mau Kakak harus memberikan Kak Ridwan sama aku. Titik."
Setelahnya Olip pun meninggalkan ruang tamu itu sembari menggerutu, "Seperti Kak Ridwan cinta mati saja sama dia.''
Mika kembali menatap kedua orang tuanya lagi. "Pak, Bu---"
"Sudahlah, Mika. Lebih baik kamu turuti saja,” ujar Pak Purnomo yang langsung bangkit dan meninggalkan Mika. “Ngalah sama adik sendiri. Jadi kakak yang baik.”
***
Kejadian semalam membuat Mika terusik. Dengan gelisah, Mika memandangi ponselnya.
Sejak kemarin Mika berusaha untuk menghubungi kekasihnya itu untuk membicarakan kejadian semalam pada Ridwan, mengenai Olip dan permintaannya yang tidak masuk akal.
Namun, pria itu tidak kunjung membalas pesan ataupun mengangkat teleponnya. Benar-benar tidak bisa dihubungi. Bahkan, pesannya saja tidak dibalas.
Hal ini membuat Mika makin gelisah. Apalagi memang, belakangan ini pacarnya itu seperti mengabaikannya. Jarang memberi kabar, tidak lagi menyempatkan diri bertemu dengannya.
Sekalipun Mika mencoba berpikir positif bahwa Ridwan sibuk dengan pekerjaannya sebagai guru, tapi mungkinkah ia sampai tidak sempat membalas pesannya satu pun?
“Atau dia sedang sakit ya?” Mika masih mencoba berpikir positif.
“Sudah, kamu ke rumahnya saja,” tanggap Sinta, rekan Mika yang ikut gerah melihat temannya itu gelisah sejak tadi. “Mumpung ini ada pesanan ke daerah rumahnya. Kamu bisa mampir sekalian.”
Mika melirik jam. Pukul 2 siang. Seharusnya Ridwan sudah ada di rumah saat ini.
“Baiklah. Sini aku antar.” Mika akhirnya memutuskan.
Gadis itu mengantarkan pesanan terlebih dahulu sebelum mengemudikan motornya ke rumah sang kekasih.
Senyum Mika terbit kala melihat motor Ridwan terparkir di depan rumah. Dia memarkirkan motornya di samping motor sang kekasih dan menghampiri pintu depan terbuka lebar.
Ketika dia sampai di ambang pintu rumah dan bersiap mengucapkan salam, Mika mendengar suara aneh.
"A-ah–pelan-pelan, Kak Ridwan–"
"A-ah–pelan-pelan, Kak Ridwan–" Tubuh Mika membeku. Suara familier yang disertai desahan itu membuat jantungnya berdebar tak karuan.Tidak … tidak mungkin–“Ah! Ya–umh, lebih cepat, Kak ….”Suara itu kembali terdengar. Mika mendekati sumber suara, sebuah pintu di mana dia tahu itu adalah kamar sang kekasih. Logikanya sudah bisa menduga apa yang terjadi di dalam, tapi hatinya menolak untuk percaya.Hingga perlahan, tangannya bergerak pelan meraih handle pintu lalu membukanya. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kekasihnya bergerak liar di atas tubuh sang adik tanpa memakai busana apa pun. Tanpa terasa air asin sudah jatuh membasahi pipi."Jadi ini kelakuan kalian di belakangku?'' ucap Mika kemudian dengan suara tertahan, tapi cukup keras untuk bisa didengar. Wajahnya sudah basah dengan air mata.Ridwan dan Olip yang mendengar itu pun terkejut. Ridwan langsung melepaskan penyatuannya dengan Olip dan bangkit. "Mi---Mika." Suara Ridwan terbata. Pandangannya mengedar dan l
“Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan pulang dalam penampilan seperti itu.”Mika tertegun. Bingung.Pria ini … apakah benar sedang peduli padanya.“Sudah. Aku keluar dulu.”“Tunggu.” Mika kembali menarik tangan Noval. Ia teringat pada kejadian di jalan tadi. “Lukamu … bagaimana? Ayo kubantu obati dulu.”“Hanya luka kecil.”“Tetap saja berdarah.” Mika menghapus sisa air matanya, mencoba memfokuskan diri pada hal lain. Perempuan itu sedikit memutar lengan Noval untuk melihat luka di siku pria itu, bekas terjatuh tadi. “Kan. Berdarah.” Ia mendongak. “Punya obat merah tidak?”“Tidak.”Mika menghela napas pelan. “Aku ke warung depan dulu,” katanya. Lalu sebelum Noval bisa menjawab, perempuan itu sudah bangkit dan berlari keluar dan kembali ke sisi Noval dengan obat merah dan plester luka.“Berlebihan,” komentar Noval. Namun, ia pasrah saja saat Mika membersihkan dan mengobati lukanya. Ekspresinya bahkan tidak berubah. Pria itu hanya menatap Mika dengan tatapan datar. Kemudian, Noval
“Noval mengatakan kalau ia ingin melamar Nak Mika.”Kalimat itu sontak mengejutkan tidak hanya kedua orang tua Mika dan Olip, melainkan juga Mika yang mau tidak mau mendengarnya karena antara kamar dan ruang tamu hanya dibatasi kain kelambu tipis saja.“Apa? Maksudnya bagaimana, Pak?”Mika langsung keluar kamar. Tangisannya tadi sudah hilang sempurna. Ia menatap Pak Heru dengan sepasang mata yang membola, terkejut dan bingung. "Kenapa Noval melamar saya, Pak? Noval kan pacarnya Olip?" tanya Mika dengan rasa bingung yang tidak bisa ditutupi.Padahal ia baru saja bertemu Noval tadi. Pria itu juga tidak mengatakan apa-apa. Kenapa tiba-tiba Noval melamarnya? Mika tidak habis pikir.Sedangkan Pak Heru sendiri juga merasa bingung. Dia menatap Pak Purnomo dan juga Mika secara bergantian. ''Sa–saya juga tidak tahu. Noval tadi hanya mengatakan kalau dia ingin saya melamarkan Mika untuk dia,'' ujarnya dengan jujur.“Mungkin salah, Pak.”Pak Heru menggeleng. “Saya dengan jelas dengar dia menye
“Penjaga toko dan tukang bengkel, sementara sebagai guru, Kak Ridwan cocoknya memang dengan aku, calon bidan.”Usai mengatakan itu, Olip meninggalkan Mika sendirian untuk pergi ke kamarnya.Sementara itu, Mika masih kebingungan. Ia baru saja memproses kekasihnya selingkuh dengan adiknya sendiri, lalu ternyata kedua orang tuanya sendiri rupanya mendukung perselingkuhan itu.Belum pulih dari dua hal tersebut, Noval, mantan kekasih adiknya, kini justru melamarnya tanpa mengatakan apa pun sebelumnya.Kenapa semua jadi seperti ini? Apa maksud Noval melakukannya? Apakah pria itu mau membalas Olip? Atau bagaimana?“Ah, pusing,” keluh Mika, menghapus sisa air matanya dengan kasar. Perempuan itu menghela napas. "Kenapa semuanya bisa menjadi serumit ini? Apa maksud Noval dengan melakukan ini?"Namun, tidak ada jawab untuk pertanyaannya. Bahkan hingga Mika terlelap larut, akibat memikirkan kemungkinan-kemungkinan mengapa Noval melamar dirinya, alih-alih Olip, pacarnya.***"Mika! Bangun!"Teria
“Lebih baik uang hajatan itu langsung diberikan pada kami karena kami menikah tidak lama setelah Kakak.” “Benar juga. Sebagai anak sulung, sudah sepantasnya membantu kebutuhan adiknya.” Respons sang ibu sendiri membuat Mika kembali tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Tapi, itu hanya jika Mika tidak keberatan, Bu,” ucap Ridwan, seperti tengah berperan sebagai pria baik-baik. “Jika tidak, mungkin kami bisa buat pesta yang lebih sederhana saja.” “Kak, tapi menikah kan hanya sekali,” ucap Olip sambil bergelayut manja. “Tidak apa-apa. Kak Mika pasti mengerti.” Ia menoleh pada Mika. “Iya kan, Kak?” Mika diam. Ia berusaha mengontrol kemarahan yang bergolak di dalam dadanya agar ia bisa menjaga wibawa dan nada bicaranya. “Iya, aku mengerti,” ucap Mika kemudian. “Tapi bukan berarti aku mengiakan.” Olip mengernyit. “Maksudnya? Kakak tidak mau membantuku?” “Aku pergi dulu.” Sebelum Olip lanjut bicara, Mika sudah berdiri. Ia menatap adiknya dan Ridwan dengan sorot mata jijik. “Kala
“Dua hari ini, kenapa kamu selalu muncul di depanku sambil menangis, hm?”Mika menghapus air mata di pipinya sekalipun itu sia-sia karena ia masih terus menangis.“Noval?” ucapnya dengan suara serak. Baru kemudian ia menoleh ke sekeliling, menyadari bahwa lokasinya saat ini tidak jauh dari bengkel milik Noval."Kenapa menangis di sini?" tanya pria itu kemudian. Mika kembali terfokus pada alasannya menangis saat ini dan hal itu membuat tangisnya makin keras.“Ck.” Noval berdecak, kemudian menarik napas panjang. Sepertinya kebiasaan Mika saat menangis memang demikian. Tapi bukan berarti ia akan memakluminya. "Nangis sih nangis. Tapi lihat sekitar. Kalau kamu menangis di pinggir jalan seperti ini bisa-bisa disangka gila."Meski mendengar itu, Mika tidak mampu menghentikan tangisnya. Padahal jika di rumah, ia tidak pernah bertingkah begini.Lalu kenapa selalu pria itu yang memergokinya dalam kondisi seperti ini?“Astaga,” gumam Noval, terdengar kesal, tapi juga pasrah. Pria itu kemudian
“Kenapa tiba-tiba kamu mengirimkan lamaran kemarin?” tanya Mika tiba-tiba. “Salah sasaran? Atau memang sengaja?”Wajah Noval tidak tampak terkejut, sekalipun topik itu cukup jauh dari curahan hati wanita itu beberapa saat yang lalu. Namun, sepertinya Noval maklum karena cepat atau lambat, Mika pasti akan bertanya. Namun, bukan berarti Noval ingin membicarakannya saat ini. Tidak saat Mika masih kelihatan ingin menangis."Tenangkan dirimu dulu, Mika. In–"Mika menggeleng cepat. "Tidak. Jawab pertanyaanku tadi,” ucapnya tegas. Sekalipun wajahnya masih sembab dan air mata masih mengancam turun, ada sorot yang tak bisa dibantah di matanya. “Apa pun rencanamu, itu melibatkanku.”Tatapan dan ucapan Mika yang tidak bisa dibantah membuat Noval menghela napas berat. Pria itu akhirnya memutuskan untuk duduk kembali.“Paling tidak, hapus dulu ingusmu.” Noval berucap dengan nada tak acuh seperti biasanya.Kali ini, Mika menurut. Ia mengambil beberapa lembar tisu yang tadi diberikan oleh Noval, m
“Kartu hitam ABC Prioritas!?”Tidak hanya adik dan orang tuanya yang terkejut, melainkan Mika juga tidak habis pikir kenapa Noval memberinya kartu hitam tersebut–yang mana ia ketahui, kartu itu tanpa limit.Apakah kartu ini asli? Noval kan hanya punya bengkel dan bekerja di bengkel tersebut sehari-hari. Bagaimana ia bisa memiliki kartu itu?Atau … pria itu meminjamnya? Demi balas dendam? Mika sama sekali tidak tahu apa-apa. Namun, alih-alih bertanya macam-macam pada Noval, ia memilih untuk menjalankan bagiannya seperti yang sudah mereka sepakati kemarin.“Terima kasih, Val,” ucap Mika dengan senyum. Disimpannya kartu hitam itu baik-baik.Perhatiannya kemudian terfokus pada orang wedding organizer yang datang mendekat padanya dan memberi salam, lalu memperkenalkan diri sebagai ‘Susi’. Dengan ramah, Mika mempersilakan wanita itu untuk mendekat padanya agar mereka bisa mendiskusikan mengenai rencana pesta.“Tapi kenapa memutuskan pakai WO, Nak Noval?” tanya Pak Purnomo sementara Mika se
"Kamu gila, Kak?" tanya Olip tak habis pikir. Kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun. Istri mana yang tidak akan marah kalau mendengar suaminya menawari perempuan lain untuk menjadi istri. Diamau dimadu."Bisa-bisanya Kak Ridwan menawari Kak Mika menjadi istri Kakak? Kakak sudah tidak waras!" bentak Olip.Ridwan yang merasa pusing mendengar teriakan Olip, langsung menatap Olip dengan tajam. "Hah! Bisa tidak kamu diam! Setiap hari bisanya hanya teriak saja. Pusing kepala aku!" Ridwan ikut berteriak!"Aku berteriak juga karena Kak Ridwan. Istri mana yang tidak akan marah kalau suaminya menawarkan perempuan lain untuk menikah dengannya. Kakakku pula yang kamu tawari," ujar Olip marah. Rasanya dia ingin berteriak dengan kencang saja."Semua itu karena aku baru sadar. Kalau Mika lah yang aku butuhkan. Mika yang aku cintai. Aku hanya bernafsu saja dengan kamu," ujar Ridwan dengan menunjuk istrinya. Tatapannya masih tajam dan penuh kemarahan.Olip semakin merasa tidak percaya mendengar apa ya
Untuk sesaat keduanya saling tatap satu sama lain. Mika yang menunggu jawaban Noval, dan Noval yang merasa tertegun dengan pertanyaan dari Mika."Kok diam?" tanya Mika kemudian.Noval pun tersadar. Dia mengedipkan matanya beberapa kali lalu melanjutkan aktivitasnya. "Lebih ke arah kebersihan. Secara Ridwan adalah orang yang jorok," ujar Noval kemudian yang tentu itu hanya alasan."Oh gitu?" Mika mengangguk beberapa kali. Keduanya pun keluar dari kamar mandi lalu keluar dari toko."Aku kira kamu cemburu," ujar Mika ketika melihat suaminya yang sedang menutup toko. Rupanya tugasnya berganti pada Noval.Noval membalikkan badan menatap Mika ketika sudah mengunci toko. Dia meraih tangan Mika lalu memberikan kunci toko pada Mika. "Kenapa kamu tanyanya sejak tadi itu mulu?"Mika menggenggam kunci yang diberikan Noval lalu memasukkannya pada tas yang dia bawa. Mika menggeleng. "Nggak papa. Cuma mau tanya aja?"Noval menaiki motornya lebih dulu. "Kamu ingin tahu aku cemburu apa tidak?" tanyany
"Apa?" Tentu saja Mika merasa syok. Bahkan toples permen yang ada di tangannya dan akan dipindahkan ke dalam toko sebab toko akan tutup langsung terjatuh. Untung saja isinya tidak berceceran. "Biar aku bantu," ujar Ridwan ketika melihat toples itu jatuh. "Nggak usah nggak usah," ujar Mika cepat. Dia pun lebih memilih mengambilnya sendiri daripada menerima bantuan Ridwan. Bukan apa. Dia hanya takut kalau Noval salah paham saja melihatnya nanti mengingat suaminya itu akan datang. "Ngapain sih kamu di sini?" tanya Mika sekali lagi. Dia tak sungkan memperlihatkan wajah bencinya pada Ridwan. "Untuk menanyakan hal tadi," ujar Ridwan kemudian. "Wan. Kamu sudah gila, mending kamu ke rumah sakit sana. Jangan di sini," ujar Mika kemudian dengan menunjuk ke segala arah. Ridwan terkejut Mika mengatai dirinya gila. "Mik. Aku nggak gila." Dia menggeleng cepat. "Kalau nggak gila apa? Sinting? Mabok? Atau syarafmu sudah putus?" tanya Mika kemudian. Dia berkacak pinggang dengan tatapan tajam pad
"Ibu ngagetin aja," Ridwan sdah merasa deg-degan. Dia pikir tadi adalah bapaknya. Tentu saja diamerasa takut kalau bertemu kembali dengan Pak Eko. Dia yakin kalau dia akan dihajar kembali jika bapaknya itu melihat keberadaan dirinya di sini."Makan," jawab Ridwan pada pertanyaan ibunya tadi. Tanpa sungkan dia langsung mengambil nasi dan lauknya cukup banyak dan memakannya dengan lahap.Bu Lestari duduk di hadapan putranya. "Makanmu kayak orang yang nggak makan satu bulan aja.""Aku belum makan sejak pagi," jawab Ridwan di sela makannya dengan mulut penuh."Olip nggak masak?" Bu Lestari kembali bertanya."Ibu kayak nggak tahu aja," jawab Ridwan. Bu Lestari pun membiarkan anaknya makan."Kok bisa sih kamu sama Olip punya vidio kek gitu?" tanya Bu Lestari dengan kesal.Ridwan melirik ke arah ibunya beberapa kali sebelum menjawab. "Ya namanya juga pasangan, Bu. Ya wajarlah."Bu Lestari langsung memukul lengan putranya. "Kok bisa kamu melakukan itu sebelum menikah? Bikin malu aja.""Ya gim
Ridwan memarkirkan motor milik Olip di depan kontrakan mereka. Pria itu meletakkan sepatunya asal lalu memasuki kontrakan dengan wajah kesal. "Sial*n." Dia berujar kemudian.Olip yang sebelumnya tengah asyik melihat ponsel miliknya langsung menoleh ke arah kedatangan suaminya. Dia menatap bingung Ridwan yang tampak marah-marah."Kamu kenapa?" tanya Olip kemudian."Jangan tanya dulu kamu. Aku lagi kesel," ujar Ridwan. Pria itu berbaring membelakangi sang istri.Olip tang tipikal tidak suka diabaikan pun mengabaikan peringatan Ridwan. Dia meletakkan ponselnya dan memegang pundak sang suami lalu membua Ridwan mengubah posisinya menjadi menatap ke arah dirinya."Masalahnya aku nggak suka lihat kamu kek gini. Wajah kesal kamu itu bikin mood aku ikutan ancur. Bawaanya pengen marah," ujar Olip dengan nada tinggi yang selalu dia keluarga ketika berdebat dengan Ridwan.Ridwan langsung bangkit dari posisinya dan duduk menghadap Olip. "Lip. Jangan ajak aku bertengkar sore ini. Oke? Aku sudah ter
Bu Tuti datang bersama sang suami dan membawa semua hal yang diinginkan oleh Olip. Meski dia merasa kesusahan untuk membawanya, tetapi dia tetap membawakannya demi sang anak.Pak Purnomo sempat tidak mau untuk datang ke kontrakan Olip, tetapi Bu Tuti yang terus memaksa membuat dia mau tidak mau harus mengantarnya. Sesampainya di kontrakan Olip, Olip pun langsung menyambut kedatangan ibunya."Akhirnya Ibu datang juga," ujar Olip.Bu Tuti tampak mengamati tempat tinggal Olip. "Ini beneran tempat tinggal kalian?" tanya Bu Tuti kemudian."Ya iyalah, Bu. Masa boongan?" Dia pun mengajak ibunya masuk tetapi Pak Purnomo memilih untuk tetap di luar."Kok bisa sih kamu tinggal di tempat seperti ini, Lip? Udah tempatnya di ujung desa, jauh, jalannya rusak, tempatnya nggak layak huni lagi," ujar Bu Tuti yang langsung berkomentar ketika dia sampai di kontrakan Olip."Udah tahu, kan? Makanya Olip minta Ibu buat datang ke sini dan lihat sendiri secara langsung." Olip berujar. Perempuan itu mengambil
Ridwan dan Olip yang sudah diusir dari rumah Pak Purnomo dan tak bisa kembali ke rumah Pak Eko terpaksa harus mencari kontrakan untuk tempat mereka tinggal. Namun, karena berita yang sudah tersebar, mereka mengalami kesulitan ketika mencari tempat tinggal.Bahkan tidak sedikit yang menolak mereka karena menganggap mereka pasangan tak memiliki ikatan. Ridwan dan Olip pun sampai harus mengeluarkan buku nikah mereka agar orang-orang percaya. Namun, tetap saja mereka menolak Olip dan Ridwan untuk menyewa kontrakan mereka."Terus kita mau tinggal di mana dong, Kak kalau semua orang menolak kita?" tanya Olip yang sudah merasa lelah karena hampir seharian mencari kontrakan tidak menemukannya."Ya kita harus terus cari lah. Kalau mau berhenti, gimana kita tidur malam ini," ujar Ridwan yang fokus terhadap jalan di depannya."His. Nyusahin banget sih. Itu warga kampung kenapa juga ngusir kita sih? Toh kita tinggal di rumah orang tua aku sendiri. Nggak minta makan sama mereka," ujar Olip yang t
Ridwan langsung menatap istrinya. "Apa ini karena perbuatanmu?" tanyanya dengan menunjuk ke arah kening Mika yang terluka. Dia menunggu jawaban sang istri.Sedangkan Olip yang mendengar pertanyaan dari suaminya merasa bingung. Kenapa sekarang dia dojokkan lagi?"Jawab, Olip!" bentak Ridwan."Ya," balas Olip."Memangnya kenapa? tanya Olip kemudian."Lagian aku juga tidak sengaja," lanjutnya."Heh! Mana ada tidak sengaja? Kau mendorongnya. Itu yang katanya tidak sengaja?" Sinta yang tidak terima dengan perkataan Olip pun ikut memaki.Dia sudah tak tahan denga sifat perempuan itu. "Dasar perempuan gila. Sekolahnya aja pakai seragam, tapi kelakuannya kayak setan," lanjut Sinta yang tak tanggung-tanggung dalam mengolok Olip. Dia tidak peduli kalau ada orang tua Olip di sana."Jaga mulut kamu Sinta." Bu Tuti yang melihat anaknya diolok tidak terima. Dia pun menatap sahabat Mika itu dengan tajam."Emang iya, Kok." Sinta tentu tak mau kalah.Berkacak pinggang, dia menatap Olip dengan dagu ter
"Cie yang baru aja pulang dari bulan madu." Baru saja sampai di toko, Mika sudah mendapat ejekan dari sahabatnya.Detik kemudian Sinta memasang wajah kasihan. Dia berdecak sembari menggeleng pelan. "Tapi sayang. Kasihan sekali kamu. Baru juga pulang dari bulan madu, udah masuk rumah sakit aja," ujarnya kemudian.Mika tak suka itu. Dia meletakkan tasnya di atas meja. "Apaan sih? Itu Noval aja yang berlebihan. Masa kepala kepentok meja aja sampai diinap rawat segala. Kan ngabisin duit," ujar Mika dengan menyentuh kepalanya yang masih diplester karena luka."Namanya juga perhatian sama istri, Mik." Sinta pun menaik turunkan alisnya bermaksud menggoda sang sahabat."Jangan mulai." Mika menatap Sinta dengan penuh peringatan.Mika terkekeh. Beberapa saat kemudian Sinta mengingat sesuatu. "Lagian adek kamu itu gila banget. Berani-beraninya celakain kamu. Sekarang, viral dah tuh vidio panasnya sama Ridwan," ujar Sinta dengan rasa gemas yang tak bisa ditutupi. Kita bisa lihat juga rasa puas da