“Satu gelas lagi.”
Moreau telah menghadapi pelbagai desakan buruk sepanjang hari. Mantan kekasihnya secara sepihak mengambil pilihan untuk mengakhiri hubungan mereka. Dia sudah meminta alasan pasti sejak momen menyedihkan tersebut, tetapi Froy dan tatapan marah pria itu jelas – jelas menolak bicara. Ironi sekali. Besok merupakan hari pernikahan ibunya yang Moreau sendiri tidak tahu seperti apa rupa dari sang mempelai pria. Mereka tidak dikenalkan. Ibunya merencanakan kebutuhan diam – diam. Bahkan ada begitu banyak tekanan lain untuk meninggalkan bercak serius, yang terasa seperti melubangi jantung Moreau dengan hujaman. Dia hampir putus asa memikirkan segala hal. Beberapa saat lalu memutuskan pergi ke sebuah bar diliputi niat ingin menenangkan diri. Gaun merah mencolok begitu sempurna di tubuh langsing Moreau. Di depan meja bar, dia hanya duduk sendirian. Memandangi beberapa gelas kosong—wine telah tandas tak bersisa. Demikianlah, tenggorokannya seperti abu dengan sisa – sisa kebakaran. Benar – benar gersang. Moreau tidak pernah mengira bahwa dia akan segera mabuk. Ya, dia mulai mabuk. Seseorang membantunya untuk melangkah. Namun, Moreau tak pernah mengira akan menghadapi satu momen bersama seorang pria. Sebuah tangan liat menyentuh di pinggulnya, hingga aroma maskulin sepaket dengan bau alkohol yang menyengat, perlahan menyeruak terasa seperti siraman menyenangkan. Bagian paling ekstrim dari malam ini setelah mobil berhenti di sebuah gedung tinggi, dan mereka melewati lift ... adalah sayup – sayup suara ranjang berderak. Puncak kepala Moreau membunyikan sirine bahaya. Sayang sekali, dia tak berdaya ketika sentuhan mulut seseorang memagut intim di bibirnya. Sesuatu terasa hangat. Moreau menggeliat saat ujung jari yang kasar itu bergerak menurunkan tali dress di garis bahu, gerakan yang secara tidak langsung memberi pria tersebut—siapa pun dia, peluang untuk melucuti kain merah yang dilengkapi busa di bagian dada menjadi gulungan tebal di pinggul. “Hentikan!” Moreau melenguh panjang merasakan genggaman mantap dan lidah yang bergerak basah di sekitar payudaranya. Sebagian naluri yang dia miliki mencoba untuk mengambil kendali dengan menyerahkan dorongan – dorongan pasti. Namun, Moreau masih tak berdaya dan malahan terdiam ketika mendapati rambut bertekstur halus meliputi ruas – ruas jari tangannya. Siapa pria ini? Dia bertanya – tanya bingung. Kembali menggeliat saat menghadapi bagian terakhir yang terjal. Tangan itu telah merenggut dalaman satin merah, meninggalkan begitu banyak hal yang tidak dapat Moreau hindari. Dia menengadah putus asa merasakan pria itu bergerak. Barangkali sedang melucuti kain – kain di tubuh sendiri. Pening makin menyergap Moreau. Dia tersentak ketika menghadapi pelukan hangat. Sementara kecupan – kecupan ringan di ceruk lehernya meninggal jejak panas tak tertahan. Tangan Moreau tanpa sadar menyentuh bahu lebar pria asing ini. Kedua kakinya telah dibuka lebar. Sesuatu yang besar dan kokoh berusaha mendesak ke dalam celah lembab di tubuhnya. Moreau meringis. Kenyitan dalam perlahan membuat pria itu berhenti. Hanya sebentar, kemudian hasrat membakar dari kebutuhan liar itu telah mengambil peran. Dorongan tentatif memenuhi tubuh Moreau. Dia ingin mengutuk diri sendiri. Betapa bodoh, telah menyerah pada seorang pria tak dikenalnya. Sisi tangguh pria itu bahkan semakin tak terkendali. Moreau merasa ... dia hampir tenggelam setelah dengan perlahan tergerus—lalu bergetar di bawah kurungan tubuh kekar. Pandangannya mulai semakin buram, dan bagian terakhir yang dapat Moreau pikirkan hanya; menyayangkan dalam satu malam, dia telah melakukan sepetak kemunduran.Abihirt Lincoln terbangun mendapati seorang gadis muda dalam balutan selimut tebal berada di ranjangnya. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha keras mengingat sisa – sisa taruhan semalam. Roki yang bajingan dengan kurang ajar menambahkan bubuk perangsang di gelas koktail terakhir—yang harus diteguk habis—untuk merayakan hari pernikahan mendatang. “Berengsek!” Abihirt mengumpat sembari mengusap wajah kasar. Pagi ini adalah acara pemberkatan. Dia melirik jam digital di atas nakas. 30 menit waktu tersisa, tetapi sebagai pengantin pria—Abihirt belum melakukan persiapan apa pun. Sesaat mata kelabu itu mengamati wajah polos—yang perlahan mulai mengernyit menghindari siraman cahaya yang menembus dari tirai putih. Abihirt memungut kain tercecer di sekitar pinggir ranjang. Sambil mengenakan kembali kemeja putih, dia mengangkat sebelah alis tinggi saat mendapati iris mata biru yang terang telah seutuhnya terbuka dan menatap dengan sangat terkejut. “Kau siapa?” Napas Moreau tercekat.
Upaya melarikan diri yang tidak sia – sia. Napas Moreau terengah menatap pantulan cermin. Seseorang dengan wajah pucat—bahkan benar – benar berantakan sedang berusaha menenangkan diri. Moreau tidak tahu apa lagi yang bisa dia lakukan setelah ini. Ketika Barbara menyadari kedatangan yang begitu lambat di acara pernikahan, langkahnya langsung meninggalkan orang – orang di sekitar. Tidak ada tempat bersembunyi yang tepat selain kamar mandi hotel. Moreau masih bingung apa yang harus dilakukan usai menerima kenyataan bahwa semalam tindakan terlarang telah melampaui batas. Secara harfiah—kejadian bersama pria asing itu tidak akan terjerembab ke dalam rumpang paling rumit. Mereka tidak memiliki hubungan darah. Pria itu hanya akan menjadi ayah sambung Moreau, walau ada satu hal penting ... dia akan merasa canggung ketika mereka berada di satu atap bersama. Moreau yakin dia seharusnya bisa menjadi mandiri, andai Barbara memberikan izin. Hanya saja wanita itu menganggap Moreau sebagai as
“Kau harus bisa lebih akur dengan suami baruku, Moreau. Tapi harus ingat untuk tetap menjaga sikapmu. Jangan mengenakan pakaian seksi selagi Abi ada di rumah.” Sepagi ini Barbara sudah menyampaikan serentetan kata – kata, yang bahkan sama sekali tidak terlintas di benak Moreau. Dia merasa ganjil memikirkan sejak kapan Barbara akan peduli tentang cara berpakaiannya? Tidak pernah. Hanya setelah wanita itu kembali menikah. Segala antisipasi dilakukan dan sedikit menambahkan nada menyudutkan seolah Moreau telah memiliki segala kesiapan, atau barangkali Barbara memiliki firasat tertentu? Moreau akan memastikan bahwa apa yang terjadi malam itu. Tidak akan pernah terulang kembali. “Kau mendengarku, Moreau?” Pertanyaan Barbara lagi - lagu memenuhi ruangan, mendesak Moreau kembali ke permukaan. Dia mengerjap, lalu melirik ke wajah ibunya tegas. “Aku bepakaian terbuka hanya ketika tampil di panggung atau ada tournamen penting. Itu pun masih dalam taraf yang sopan dan normal. Selebi
“Aku sudah sering mengingatkanmu, Abi. Berhenti konsumsi alkohol. Kau tahu minuman itu memiliki interaksi tidak terduga dengan obat – obatan. Vitamin-mu akan menunggu jika kau tidak datang tepat waktu.” Roger selalu memiliki alasan menceramahinya dengan segala jenis kalimat yang terungkap pada masa – masa seperti ini. Jadwal pemeriksaan khusus, yang sialnya tidak dapat diatur ulang, walau Abihirt sudah mencari cara serius menghindari dokter sekaligus sepupu paling akrab. Dia menatap Roger setengah menyipit setelah pria itu menggeser sebotol kapsul vitamin dan melingkari jadwal untuk melakukan transfusi darah. “Minggu depan kembali lagi ke sini. Mengerti, Abi—oh berhentilah memainkan koleksi mahalku!” Roger segera bangkit—sedikitpun tidak akan membiarkan Abihirt menyapukan ujung jari pada seri robot mahal miliknya. Dia segera menggeser kaca lemari—menutup dengan hati – hati—lalu mengantongi kunci ke saku jas. Ada pelbagai macam pasien, dan mereka tidak berani sekadar melirik, teta
“Jadi, bisa kau jelaskan padaku mengapa keluargamu tidak hadir di pesta pernikahan kemarin?“ Moreau tidak akan menunda lagi terhadap rasa ingin tahu-nya setelah pertemuan tidak disengaja bersama Froy. Aneh mengetahui Abihirt memiliki hubungan darah bersama mantan kekasihnya, tetapi Froy tidak terlihat di mana pun di hari pernikahan kemarin. Sekarang dia mulai meragukan seperti apa pemikiran Abihirt yang tak terungkap. Moreau takut pada akhirnya Abihirt adalah pria berbahaya, sementara dia dan ibunya telah terlibat ke dalam hubungan terikat bersama pria itu. Tanpa sadar jari – jari tangan Moreau saling mengetat menunggu Abihirt akan mengatakan sesuatu, setidaknya sedikit, meskipun pria itu tampaknya begitu disibukkan kegiatan membaca berkas yang dia bawa sesuai permintaan Barbara. Betapa serius ... wajah dingin Abihirt luar biasa tampan. Moreau menelan ludah kasar. Berusaha tidak terpesona—enggan menatap wajah pria itu lebih lama. Dia lebih memilih memindahkan perhatian ke sekitar k
Abihirt menjulang tinggi dari lantai dua di sebuah gedung hanya untuk mengamati betapa elok tubuh langsing dengan lekuk sempurna ... sedang berputar—memainkkan gerakan tangan dan kaki di atas lapisan es yang licin. Pemandangan serius hampir tidak akan pernah membuat Abihirt meninggalkan rambut cokelat natural, diikat kuncir kuda mengibas ke pelbagai arah mengikuti setiap gerakan yang tercipta. Moreau begitu cantik diperhatikan dari di sudut mana pun. Sebuah gambaran alamiah dari pancaran daun muda itu. Kadang – kadang, muncul senyum tipis ketika mata biru terang Moreau tersenyum geli ke arah pria yang juga menari bersamanya. Juan Baker mulai mengangkat tubuh—yang mungkin—terasa ringan dengan sangat muda, sehingga Moreau seolah telah menaruh seluruh kepercayaan untuk tidak pernah ragu terhadap apa pun yang akan terjadi. Mereka tampak serasi sebagai figure skating. Menari seperti pasangan dan Abihirt akan berpaling sesaat ... pada adegan wajah yang begitu dekat. Tidak ada ciuman.
“Terima kasih atas ketertarikan Anda dalam menyuntikkan dana pada tim organisasi kami, Mr. Lincoln. Banyak orang mengenal Anda sebagai pengusaha muda yang sukses, ini akan sangat bagus jika nanti banyak yang berniat menjadi sponsor kami.” “Tidak perlu sungkan, Mr. Pablo. Mendiang ibuku juga seorang mantan penari es. Aku senang melakukannya.” Hanya ketika Barbara menceritakan kesibukan Moreau sepanjang hari dan semua yang tertera di data pribadi gadis muda itu. Abihirt tiba – tiba tertarik melakukan kegiatan menantang. Banyak cerita tentang keanggunan ibunya, membuat dia selalu tertarik dan terpukau. Tak dimungkiri bahwa tubuh Moreau yang meliuk indah sedikit membangkitkan selera Abihirt yang usang. Sekadar terlibat ke dalam sesuatu—tampaknya—tidak akan cukup memberi Abihirt pengaruh. Dia menatap Mr. Pablo dan menerima jabatan tangan pria di hadapannya. Kesepakatan sudah dimuat. Percakapan selesai. Dia perlu meninggalkan tempat ini setelah menyerahkan beberapa pekerjaan secara penuh
"Maaf, aku terlambat." Setelah cukup terburu - buru menghadapi trafik jalan yang tegang. Abihirt mengambil posisi tepat saling berhadap - hadapan bersama Barbara. Dia mengamati wajah masam yang nyaris tak berusaha disembunyikan. Tampaknya wanita itu menunggu terlalu lama dari yang coba dipikirkan. Abihirt mengerti, dan dia harap Barbara seharusnya memahami bahwa meeting penting memang menyita waktu lebih sering, terlebih jika beberapa bagian tak terduga muncul mengisi rumpang - rumpang yang tertinggal di antara pembahasan serius. Namun, di sini adalah Barbara. Abihirt mengerutkan dahi sebentar, bersikap sedikit tenang dan dewasa menghadapi wanita yang sedang marah. Membiarkan Barbara menunggu sendirian hampir setengah jam mungkin sudah menjadi bagian yang harus ditangani. Sendirian. Ya, barangkali itu juga perlu digarisbawahi. Mata kelabu Abihirt bergerak. Baru disadari ternyata sepanjang waktu berjalan masuk ke dalam restoran dia telah melewatkan sesuatu yang ganjil di antara
Sudah Froy duga. Ini sama sekali tak meleset. Ketegangan Barbara luar biasa memberitahukan sesuatu yang tampak bergembala liar. Dia mati – matian mengatakan kebenaran, tetapi tak satu pun berusaha percaya hari itu. Mungkin ada sesuatu yang terjadi belakangan dan sekarang sebuah kesempatan sedang merangkak dengan sendirinya. Froy berpikir beberapa saat. Keyakinannya terhadap hubungan Moreau dan sang paman tidak pernah berubah. Segala kesimpulan telah begitu mantap. Hanya tak bisa memastikan bahwa Barbara akan menjanjikan satu hal, yang dia yakin tidak mudah membujuk pamannya. Mereka semua tahu bahwa Abihirt memiliki prinsip. Jelas tidak mudah terjebak terhadap ancaman. Bohong besar jika Barbara mengatakan akan membujuk pria itu. Froy sudah bisa membaca pola paling dekat. Dan lagi pula, terdapat suatu prospek di mana dia harus mengakui bahwa Abihirt ternyata peduli. Pamannya peduli, walau Froy sering kali berbuat ulah. Hari itu ... ketika dia merasa keram di kaki; h
“Bibi, apa yang membawamu sampai di sini, pagi – pagi begini?” Barbara tahu bahwa Froy jelas tidak memiliki kesiapan menerima tamu di waktu – waktu mendadak. Dia hanya tidak bisa membiarkan pemikirannya beranjak terlalu jauh. Semua masih bekecamuk liar. Masih menjadi problematika yang tak selesai. Ya. Mungkin jika pengakuan Abi tidak dapat dipatahkan begitu saja, dan Moreau tak dimungkiri juga mengungkapkan keyakinan selaras. Dia akan memulai dengan cara yang lebih pasti. Froy satu – satunya orang diliputi pendapat paling bertentangan terhadap kebenaran tersembunyi. Barbara harap akan mendapat petunjuk lebih murni; tentang bagaimana ini adalah prospek terakhir dan dia menginginkan Froy berada di pihak yang tepat. “Sebenarnya ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Tapi jika kau tidak keberatan, mungkin kita bisa membahas semua di ruang yang lebih tertutup?” Tidak baik menanyakan sesuatu bersifat krusial di depan perkarangan rumah. Barbara tetap ingin ini bersifat p
Seperti permintaan Barbara, Moreau menuruti apa pun itu; ya, terlalu pagi untuk kembali ke rumah dan tentu ... masih dengan Juan menemaninya. Kali pertama menginjakkan kaki masuk, rasanya situasi terasa berbeda. Dia tidak tahu apa yang terasa salah, tetapi sepertinya Barbara sudah melakukan perjalanan menuju tempat di mana wanita itu terbiasa menyibukkan diri, alih – alih menunggunya pulang atau sekadar menunjukkan sikap tertentu untuk menanyakan sesuatu yang mungkin—pada akhirnya selalu tidak pernah dipikirkan. Barbara tidak akan benar – benar peduli. Moreau mengerti sedikit hal seperti demikian. Tidak akan memaksa sesuatu yang cukup mustahil. Lagi pula, itu akan terasa lebih menenangkan daripada harus mendapati Barbara menunggu di ruang tamu sambil melipat tangan di depan dada. Satu hal yang tidak akan pernah berubah dari ibunya adalah menuntut segala macam ekspektasi supaya dia menuruti apa yang wanita tersebut inginkan. Itu akan sedikit sulit. Moreau mendengkus s
Ini menyenangkan. Roki diam – diam menyeringai merasakan atmosfer berbeda di antara mereka. Dia sangat siap untuk menjadi ledakan kompor sekadar menyebarkan semburan api di sekitar. “Ibunya mungkin cerewet. Suka marah – marah, kau tahu sendiri ... wanita tua. Tapi aku rasa, putrinya ... yang waktu itu kutemui di kantormu, tidak punya mulut seruncing Barbara. Dia pasti tidak suka mengoceh. Bisakah kau menjodohkanku dengannya, supaya kau juga bisa menjadi ayah mertuaku—sialan, aku akan terus memeras ayah mertuaku kalau begitu.” Roki hampir terbahak. Hanya tidak menyadari bahwa kilatan mata Abihirt akan meninggalkan satu bagian tak terduga dan nyaris membuatnya benar – benar menahan suara di ujung tenggorokan.“Apa maksudmu memujinya?” “Kenapa memangnya? Ada yang salah? Gadis cantik itu memang pantas dipuji.” Roki terbata, sedikit memberanikan diri mengungkapkan sesuatu yang tersemat dangkal di dalam benaknya. Aneh mengetahui reaksi Abihirt seperti meninggalkan
“Berhenti minum, Abi. Kau sudah hampir mabuk.” Andai saja Roki tahu bahwa Abihirt akan menemintanya menemui pria itu di sini untuk minum – minum begitu banyak. Mungkin, dia akan sangat menolak. Tadi pagi, lewat panggilan telepon, rasanya sudah cukup menerima ocehan Roger yang panjang. Si dokter profesional menduga jika ada keterlibatan antara dirinya dan penyebab Abihirt mabuk, padahal tidak. Roki bahkan tidak tahu kalau ternyata makhluk pendiam seperti ini akan kewalahan menghadapi masalah rumah tangga. Abihirt memang tidak bercerita, tetapi sebagai seseorang yang mengenal pria itu cukup lama. Dia bisa menebak ... tidak akan ada yang lebih buruk dari masalah internal pernikahan, karena bagaimanapun ... Abihirt memang terlihat jauh lebih kacau setelah benar - benar terikat bersama wanita. Pertengkaran merupakan sesuatu yang wajar, dan dia pikir itu memang sesuatu yang diperlukan sebagai pelengkap hubungan—supaya tidak terasa hambar. Setidaknya, hal – hal menantang se
“Kau mau ke mana?” tanya Barbara sarat nada sanksi ketika satu langkah lebar itu akan kembali dilanjutkan menuju pintu keluar kamar. “Ke mana saja, asal tidak di sini.” Jawaban Abihirt singkat, tetapi mendesak Barbara untuk melakukan tindakan serupa. Dia mengambil langkah cepat menyusul suaminya yang pergi begitu saja. “Tapi kau sedang sakit,” Barbara bicara nyaris diliputi nada lantang—malam terlalu sunyi untuk membiarkan suara apa pun terdengar benar – benar keras. Dia menipiskan bibir—geram—mengetahui bagaimana Abihirt terus menjejalkan kaki menuruni undakan tangga. “Abi!” Barbara sudah tidak peduli bagaimana jika ternyata telah begitu berlebihan menanggapi sikap suaminya. “Sekali saja kau berani melangkahkan kaki keluar dari rumah ini. Aku tidak akan segan – segan membuang anjingmu!” dia meneruskan sambil menatap bahu pria itu lamat. Abihirt berhenti sesaat. Ketika suaminya berbalik badan. Sungguh—mata kelabu itu menatap luar biasa tajam. Abihi
Semua plastik kertas belanjaan masih tersusun utuh di bagasi mobil. Barbara sedikit berdecak ketika harus membawa apa saja yang telah Abihirt sediakan untuknya. Pria itu sungguh tidak menyentuh, terutama karena dia masih sangat ingat jika suaminya sempat membawa mobil pria itu pergi setelah perdebatan mereka tergantung begitu saja. Mungkin Abihirt lupa, atau barangkali suaminya terlalu mabuk. Sungguh, kali ini Barbara tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Satu langkah tersisa dan dia segera membuka pintu kamar; kemudian menutup dengan hati – hati supaya tidak meninggalkan suara sekecil apa pun. Dia setengah menghela napas saat meletakkan semua kantong belanjaan di atas ranjang. Kamar kembali menderang dan sesaat Barbara menoleh ke wajah Abihirt sekadar memastikan suaminya tidak terpengaruh oleh siraman lampu yang mendadak menyebar ke seluruh ruangan. Abihirt memang masih tidur. Seperti itu lebih bagus. Perlahan, Barbara mengambil satu bagian untuk melihat isi bagian
“Kau sudah tidur, Darling?” Barbara memiringkan separuh tubuh dengan salah satu lengan menekuk di permukaan ranjang. Lampu tidur yang redup hanya sedikit memberinya prospek bagus mengenai apa yang sedang Abihirt lakukan. Namun, mungkin perlu Barbara katakan bahwa wajah pria itu benar – benar sedang terpejam. Tidak mustahil untuk mengetahui Abihirt mudah terlelap setelah efek samping obat. Dia telah menyelesaikan sisa hal yang dibutuhkan dan sekarang ... satu bagian tertunda sedang menunggu sekadar dilanjutkan. Barbara tak pernah lupa bahwa dia sangat menargetkan ponsel Abihirt. Beberapa perdebatan dan jarak bersama pria itu membuatnya harus sedikit lebih sabar. Paling tidak, untuk saat ini Abihirt tampak tidak benar – benar peduli pada benda pipih di atas nakas. Tidak sulit meraih apa pun itu. Barbara hanya perlu sedikit bergeser. Membiarkan ranjang berderak samar, kemudian mengulur lengan panjang – panjang melewati tubuh suaminya. Dia merasakan jak
Keheningan kembali pecah ke permukaan. Kali ini bukan serentetan pertanyaan Juan lagi. Namun, getar ponsel dan pesan dari satu orang yang sama, menarik perhatian Moreau dengan lekat. Foto – foto di padang pasir. Dia hampir tak ingat jika sempat meminta hal demikian dari ayah sambungnya. Abihirt mungkin tak memiliki banyak waktu. Atau memang tidak pernah memikirkan sesuatu yang dirasa tidak penting. Hanya kebetulan merasa ini adalah saat yang tepat. Mungkin pria itu menyadari kalau – kalau dia tidak akan—sama sekali—membalas pesan apa pun, termasuk tentang semua foto ini. Semua foto di mana segala prospek tampak begitu indah. Tanpa sadar, lekuk bibir Moreau membentuk senyum tipis saat dia mengulir layar ponsel. Sorban di kepalanya, yang terlihat rapi dan cantik, terutama ketika itu merupakan bagian dari sentuhan tangan Abihirt, begitu cocok—memberi kesan berbeda di wajahnya. Moreau tidak lupa sisa hal yang masih melekat dari perjalanan hari itu; ingat