Sepertinya bukan keputusan yang tepat pulang sendirian. Abihirt nyaris tidak dapat mengendalikan setir dengan baik setelah sepanjang waktu harus menghadapi desakan serius yang berefek dalam dirinya. Sekujur dada dan tenggorakan rasanya seperti terbakar. Dia sudah menghubungi Roger, mengirimkan alamat rumah Barbara agar pria itu dapat menyusul, atau jika tidak sesuai rencana, Roger akan tiba lebih dulu. Abihirt sudah mencari jalan pulang tercepat, yang paling tidak sedikit dilalui kendaraan. Tetapi, tampaknya itu juga merupakan kesalahan besar. Alih – alih kaki langit yang gelap mengiringi suara sayup – sayup di udara, malah para pengendara motor liar dengan tidak ramah menunjukkan eksistensi mereka. Satu demi satu bermunculan. Mereka gebut. Kemudian salah seorang pemotor mendapat tabrakan mutlak. Abihirt melakukan bantingan terjal—ujung kakinya menekan rem hingga terhentak kasar ke depan, sementara pria dengan pelindung kepala bergulir beberapa kali ke aspal. Motor yang terseret secar
“Apa yang sedang kau lakukan di sini, Moreau?” Pertanyaan Abihirt semacam segumpal daging yang membuat ujung tenggorokan Moreau tercekat. Dia tidak tahu harus bagaimana menyerahkan jawaban, saat seperti ada sesuatu yang coba ayah sambungnya tahan – tahan di hadapan banyak orang. Dan mungkin, karena Moreau masih berdiam diri untuk waktu yang lama. Suara Juan segera menimpali. “Saya yang membawa Moreau ke tempat ini, Mr. Lincoln. Tolong jangan memarahi-nya.” “Aku tidak bicara denganmu.” Mata kelabu itu mendelik luar biasa tajam. Secara naluri Moreau mendorong dada Jaun agar pria di sampingnya mundur. Dia sadar mereka telah menjadi tontonan. Ini bukan lagi tentang balapan liar, tetapi bagaimana Abihirt nyaris tak mementingkan keberadaan orang – orang di sekitar. Moreau tak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Berjuang keras memaksakan lidahnya yang keluh untuk bersuara. “Aku—aku, baru tiba di sini. Juan bilang ada petunjukkan balap, jadi kami hanya akan menjadi penonton. It
Mereka sampai di halaman rumah lebih cepat dari bayangan Moreau setelah hampir sepanjang jalan meragukan kemampuan Abihirt dalam berkendara. Pria yang sedang tidak baik – baik saja, tetapi memaksa untuk mengemudi. Moreau masih menyimpan separuh pengetahuan tersebut di puncak kepalanya ketika sedang mengamati Abihirt berjalan nyaris tersaruk menghampiri seorang pria yang sepertinya sudah menunggu lama. Mereka hanya bicara sebentar, lebih daripada itu Moreau menyaksikan sendiri langkah Abihirt yang terburu – buru ingin menggapai ruang tamu. Dia mengekori di belakang dan menelan ludah kasar saat ayah sambungnya menjatuhkan tubuh dengan kasar di atas sofa, sementara pria lainnya sedang mengeluarkan sesuatu dari tas koper berbahan kulit. “Apa yang kau lakukan?” Moreau mengerti bahwa pria yang sejak awal dia amati adalah seorang dokter. Dia hanya ingin tahu apa yang secara spesifik sedang dilakukan—maksudnya, dalam rangka atau sakit yang serupa bagaimana hingga tampaknya Abihirt memilik
[Darling, aku menginap di rumah Ferarra. Kami mengadakan pesta minum – minum. Aku tidak akan bisa menyetir nanti. Tidak perlu menungguku dan aku juga tidak mau kau menjemputku. Kau bisa tidur lebih dulu. Aku mencintaimu. Salam sayang, Barbara.] Itu pesan semalam. Abihirt mengembuskan napas kasar dan meletakkan kembali seluler genggam ke atas meja kaca. Roger sudah memberikan obat, tetapi rasanya dia benar – benar akan demam. Sekujur tubuh luar biasa seperti teremuk redam, kaku, dan tulang – tulang di antara tangan maupun kaki begitu ngilu. Abihirt mengernyit saat berusaha bangun. Perlahan mengenyakkan punggung di sandaran sofa. Tidak ada siapa pun di ruang tamu. Ingatan mengenai Roger di malam yang sama, memberitahu bahwa pria itu telah berpamitan pulang, yang sempat memberi ocehan panjang kepadanya. Harusnya memang lebih baik pria itu tidak di sini. Kenyataan bahwa Roger sanggup membuat puncak kepalanya berdenyut, adalah sesuatu yang tak dapat Abihir
Suara ketukan pintu berulang kali menuntut Moreau untuk meninggalkan ranjang. Dia perlu tahu siapa di luar sana, dan ada urusan apa mencarinya di waktu – waktu seperti ini. Barangkali Barbara? Moreau mengembuskan napas kasar mengetahui rasanya itu terlalu mustahil. Barbara sudah dipastikan tidak berada di rumah. Hanya ada satu orang tersisa. Bagaimanapun Moreau tak bisa mengabaikan hal yang dia rasa penting di sini. Lambat ... setelah pintu dibuka, Moreau menahan napas meski dia telah menduga dengan tepat siapa yang sedang menjulang tinggi di depan kamar. Abihirt dalam balutan pakaian panjang tipis hingga menjiplak otot – otot perut yang bersembunyi di sana. Moreau tidak tahu apakah dia bisa menawarkan toleransi terhadap penampilan Abihirt yang terlalu kokoh dan sempurna. Sungguh, rasanya malam tak terduga itu tak pernah mencoba meninggalkan benaknya, tidak peduli seberapa jauh dia mencoba. Nyaris tanpa sadar Moreau menelan ludah kasar. Masih menunggu kapan Abih
Moreau menghabiskan sepanjang waktu yang tersisa di dalam kamar setelah kesalahpahaman yang bahkan tak dapat dia jelaskan, apakah perlu memberitahu Abihirt tentang kuah kental di telapak tangan bukan sesuatu yang seharusnya pria itu tanggapi, atau menyatakan peringatan bahwa mereka lebih baik menjaga jarak. Moreau tidak ingin malam kesalahan itu terulang lagi, hampir putus asa memikirkan sesuatu yang terasa benar – benar mengerikan. Terlalu berbahaya jika mereka berada di satu ruang sangat dekat, karena Moreau sendiri tak dapat menapik daya tarik ayah sambungnya, yang seperti menawarkan magnet, tetapi dia berusaha tidak merekat. Untunglah Abihirt sama sekali tidak bersuara, dan paling penting pria itu tidak lagi mencarinya. Sedikit lega. Namun, tenggorokan Moreau terasa gersang. Dia ingin minum. Berusaha keras menebak. Barangkali Abihirt sedang berada di kamar, menghadapi kondisi demam; yang ntah bagaimana sekarang. Mo
Moreau nyaris terlelap, tetapi sayup – sayup suara ketukan pintu menariknya kembali ke permukaan. Dia mengangkat separuh badan sekadar memahami situasi remang di dalam kamar. Sudah terlalu larut, bertanya – tanya siapa ... yang sepertinya tidak akan berhenti mengetuk sampai Moreau mengambil keputusan untuk memastikan langsung. Dia tahu ibunya tidak memiliki kebiasaan seperti ini di tengah malam. Aneh. Moreau mengerjap cepat dan mulai menduga - duga ... mungkinkah Abihirt yang sedang berada di luar? Dia tidak yakin mengingat pria itu telah meninggalkan rumah beberapa waktu lalu, tetapi akan memastikan sendiri dengan menyibak selimut tebal, kemudian mengambil langkah tentatif menuju pintu kamar. Keadaan cukup temaram meninggalkan kesan mengerikan. Moreau menatap sesaat pada ganggang sewarna tembaga, sambil menarik napas panjang. Mula – mula Moreau mengenggam utuh di sana, memberi sedikit tekanan, lalu menarik kusen pintu ke dalam.
“Kalau begitu tidak usah beritahu ibumu.” Abihirt bicara begitu tenang, bahkan mata kelabu yang menatap di antara samar – samar penerangan memberi Moreau pengaruh buruk. Dia mengepalkan tangan tanpa sadar setelah menyimpan kalimat terbaik untuk diucapkan. “Bukan tentang masalah ... ibuku tahu atau tidak. Tapi kau memang tidak seharusnya di sini.” Ntah harus berapa kali Moreau mengingatkan. Tiba – tiba Abihirt sudah menjulang tinggi, persis mengatur posisi mereka saling berhadap – hadapan dengan ranjang sebagai pembatas. Atmosgfer di antara mereka segera berubah. Ketakutan, sensasi berbahaya, bahkan alarm bawah sadar mulai berhambur – hamburan. Moreau meremas ujung kain di tubuhnya untuk menenangkan diri. Tahu Abihirt akan mengatakan sesuatu dan dia memilih diam—mendengarkan. “Aku hanya menumpang satu malam.” Itu sama sekali tidak masuk akal. Morea berdecak, dan merasa keputusan Abihirt terlalu mustahil. Dia masih akan menolak jika demikian yang ingin ayah sambungnya ketahui.
Barbara berdecak sesaat. Mula – mula ... hal pertama yang dia lakukan adalah mengunci pintu kamar. Abihirt tidak akan memiliki alasan saat pria itu terkurung di satu ruang berdua bersamanya, dan tidak akan memiliki alasan jika masih begitu diliputi keinginan supaya mereka tidak melakukan hubungan badan. “Aku memasukkan sesuatu yang bisa membuatmu bergairah.” Kali ini, Barbara tidak akan berkata bohong. Dia melipat tangan di depan dada setelah menyembunyikan kunci kamar. Ekspresi hingga bagaimana Abihirt mengusap wajah gusar tidak pernah luput dari perhatiannya. Sekarang Barbara semakin yakin bahwa pria itu tidak akan bisa menahan diri lebih lama lagi. Secara tentatif, dia menyingkirkan satu demi satu kancing piyama tidur, lalu melangkahkan kaki lebih dekat ke arah Abihirt. Ada keengganan tampak begitu jelas di mata kelabu pria itu. Betapa Barbara menyukai kali ketika suaminya begitu diam—nyaris tak berdaya ketika dia telah merangkak naik di pangkuan suaminya
“Makan yang banyak, Darling. Aku sudah menyiapkannya khusus untukmu.” Barbara tersenyum tipis, meski desakan dalam dirinya memahami bahwa barusan ... tatapan dari mata kelabu di sana seperti menyiratkan sesuatu yang ganjil. Itu tidak menjadi kejutan besar, karena dia yakin ... betapa pun Abihirt tidak berusaha mengatakan sesuatu, suaminya akan dengan mudah menyadari intensites perubahan sikap yang ditunjukkan. Mereka baru saja bertengkar. Pria itu bahkan melihatnya menggebu – gebu dengan pelbagai luapan kekesalan, dan tentu mengerti jika ... seharusnya tidak mudah bagi separuh amarah redam begitu saja. Bukan sebuah kebiasan yang sering kali Barbara lakukan. Dia tahu. Biarkan saja. Ada sesuatu yang lebih dahsyat—sedang menanti di antara mereka. Abihirt tidak ingin menyentuhnya lewat naluri maskulin pria itu, maka tidak apa – apa, tidak ada yang salah, ketika Barbara memutuskan untuk menjalani rencana kedua. Dia menyeringai samar mendeteksi Abihirt benar – benar akan m
Pintu kamar terbuka .... Rasanya Barbara sudah menunggu begitu lama dan sekarang setiap detil perhatiannya tidak pernah luput dari tubuh jangkung Abihirt. Pria itu melangkah tanpa menatap ke arahnya, seolah perselisihan mereka memang tidak pernah selesai. Betapa menyedihkan. Barbara menghela napas diam – diam mengamati bagaimana cara Abihirt melepakan jas kerja pria itu, berikut dengan kemeja biru mudah yang merekat sempurna di tubuh besar dan keras suaminya. Sudah lama sekali mereka tidak melakukan hubungan fisik. Barbara menantikan saat – saat di mana suasana hati Abihirt dapat dikendalikan dengan baik, walau dia nyaris tak melihat prospek bagus untuk itu, sehingga sengaja menyiapkan dua rencana ketika pemikiran buruk membawanya pada kegagalan. Perlahan, Barbara segera beranjak bangun mendatangi Abihirt. Dia mendekap tubuh pria itu dari belakang. Merasakan setiap sentuhan yang dilakukan sebagai sesuatu yang menyenangkan, tanpa berusaha memikirkan reaksi Abihirt
“Kau sungguh berpikir akan mendatangiku?” tanya Moreau untuk memastikan, karena betapa pun ... ini terdengar tidak masuk akal. Abihirt tidak akan bersedia sering kali melakukan penerbangan hanya untuk sebuah pertemuan yang tak begitu krusial. Dan terlepas pria itu berkata akan mengorbankan banyak waktu terhadap kebutuhan mereka—ntah apakah benar atau tidak, prospek demikian tetap tidak begitu pantas. “Ya.” Sebuah jawaban singkat secara naluriah menarik respons Moreau supaya dia mengumpulkan seluruh perhatian menelurusi wajah tampan Abihirt. Posisi mereka dan bagaimana pria itu menegadah seraya membiarkan lingkar lengan membungkus erat tubuhnya merupakan sesuatu yang terasa cukup menyakitkan, tetapi di sisi berbeda meninggalkan kesan tak terungkapkan. “Bagaimana dengan ibuku?” tanya Moreau setelah pelbagai pertimbangan nyaris tak ingin memberi petunjuk. “Biar aku mengurus semuanya.” Ekspresi tenang Abihirt maupun nada meyakinkan dari suara serak dan dalam i
“Aku pikir kau sudah tahu ...,” ucap Moreau menanggapi. Dia mengedarkan pandangan pada langit membentang setelah mendeteksi bagaimana Abihirt cukup terkejut, tetapi reaksi pria itu tidak begitu berlebihan dan kemudian mereka sama – sama diam. “Bagaimana dengan karier olahragamu jika kau melanjutkan pendidikan?” Tiba – tiba pertanyaan dari suara serak dan dalam ayah sambungnya menyelinap ke permukaan. Lagi—Moreau menghela napas kasar, disusul bahu mengedik putus asa. “Ibuku mungkin akan memintaku pensiun dini.” “Dan kau mau?” “Aku tidak tahu, Abi. Aku sudah mengatakan kepadanya kalau aku tidak ingin melanjutkan pendidikanku. Tapi ... keputusan ibuku sudah bulat.” Ya, Moreau tidak akan pernah menyangkal apa pun. Barangkali hanya bisa berharap dan mencoba peruntungan. “Apakah kau bersedia bicara kepadanya tentang keputusan ini?” dia bertanya persis nyaris menyerupai nada berbisik. “Apa yang perlu kubicarakan?” Akan tetapi, pertanyaan Abihirt memb
Moreau ingin tahu. Sungguh, benar - benar ingin tahu. Bisakah Abihirt berkata jika pria itu menyukainya? Apakah salah jika dia berharap suami Barbara mencintainya? “Tidak ada yang sedang kurasakan.” Apa maksudnya itu? Kelopak mata Moreau menyipit, berusaha keras memahami hal – hal terasa sangat ambigu. Mungkinkah Abihirt memahami pertanyaan darinya? Apakah pria itu benar – benar mengerti sesuatu yang seharusnya tidak dibicarakan? Moreau harap mereka sedang menghadapi kesalahapahaman, sehingga rasa sakitnya tidak akan terlalu parah ketika mengetahui kalau memang tidak ada perasaan apa pun di balik sikap Abihirt yang terkadang begitu peduli dan berusaha sabar menghadapi tindakan buruk yang dia lakukan. “Kau tidak mungkin mengajakku ke tempat seperti ini, jika memang tidak ada yang kau inginkan, kan?” tanyanya sekadar memastikan semua sampai pada taraf seharusnya. Abihirt segera meninggalkan pandangan pria itu lurus ke depan; lurus menerawang; begitu banyak pertimb
Segala bentuk situasi di antara mereka adalah kejutan besar. Moreau tak menyangka jika ternyata Abihirt mengusulkan sebuah gagasan untuk menikmati saat – saat di mana langit perlahan menjadi gelap dari puncak gedung hotel. Pria itu sungguh kontradiktif. Rasanya secara ajaib membuat segala sesuatu yang ingin meledak di puncak kepalanya mendadak lenyap terhapuskan. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Moreau termenung untuk beberapa saat. Tadi ... mereka hanya melakukan percakapan sesekali. Selebihnya ... semua dimulai dari hening sulur – sulur di sekitar, walau terkadang dia akan mengambil satu kebutuhan menoleh ke wajah ayah sambungnya. Wajah yang selalu tampan, tetapi sangat disayangkan jika Abihirt terlalu fokus menaruh minat sekadar menerawang lurus ke depan. Tidak ada gambaran di balik mata kelabu itu. Ayah sambungnya hanya terlihat seperti dibebani begitu banyak pemikiran yang ntah mengapa terasa tiba – tiba. Udara dari celah bibir Moreau berembus perlahan. Dia t
“Apa yang membuatmu menjemputku?” Kedua alis Moreau bertaut dalam saat dia telah berencana pulang bersama Juan, kemudian tiba – tiba menemukan Abihirt sedang menunggu di halaman parkir. Dari eksperesi wajah, hingga gestur terselebung lainnya di balik punggung pria itu, meninggalkan pelbagai hal ganjil. Abihirt bahkan tidak memberitahunya apa – apa ketika pria itu paling sering menyerahkan petunjuk dengan pesan singkat. Aneh. Moreau bertanya – tanya tak mengerti. Mengingat permasalahan mereka belakangan ini, Abihirt seharusnya lebih hati – hati mengambil keputusan. Dia tidak ingin tahu jika sekarang akan ada permintaan menuju ruang merah. Muncul pelbagai keraguan untuk menerima, tetapi Moreau belum menemukan alasan yang tepat sekadar menolak. “Masuklah ke dalam mobil.” Kali pertama suara serak dan dalam Abihirt mencuak ke permukaan rasanya membuat atmosfer terasa berbeda. Moreau menoleh ke arah Juan. Dia yakin pria itu juga dapat merasakan keanehan ketika Abihirt
Abihirt tidak pernah berharap akan melibatkan perasaan ke dalam urusan sebenarnya. Moreau memenangkan itu, meski dia selalu berjuang keras menepikan bagian menyulitkan. Dia tak bisa. Namun, juga menghadapi pelbagai masalah ketika momen menyedihkan dari masa lalu mengambil tempat. Meniduri wanita tua. Sesuatu dalam dirinya tak pernah menikmati saat – saat bersama Barbara. Semua hanya topeng belaka. Demikian pula, perasaan tak terduga kepada purti wanita itu ... tahu bagaimana cara merayu supaya dia mengurungkan niat. Tidak. Keputusan ini sudah dibuat sedetil – detilnya sejak awal. Abihirt mungkin akan merelakan perasaan kepada Moreau demi rasa sakit yang terkubur begitu jauh, agar mendapatkan keadilan dengan tepat. Dia ingin Barbara tahu bahwa kebiasaan merusak rumah tangga seseorang dapat membombardir segalanya. Kebiasaan merenggut kepunyaan orang lain dapat menghancurkan kebahagiaan, termasuk sebuah keluarga yang tadinya baik – baik saja; cinta kepad