[Darling, aku menginap di rumah Ferarra. Kami mengadakan pesta minum – minum. Aku tidak akan bisa menyetir nanti. Tidak perlu menungguku dan aku juga tidak mau kau menjemputku. Kau bisa tidur lebih dulu. Aku mencintaimu. Salam sayang, Barbara.]
Itu pesan semalam. Abihirt mengembuskan napas kasar dan meletakkan kembali seluler genggam ke atas meja kaca. Roger sudah memberikan obat, tetapi rasanya dia benar – benar akan demam. Sekujur tubuh luar biasa seperti teremuk redam, kaku, dan tulang – tulang di antara tangan maupun kaki begitu ngilu. Abihirt mengernyit saat berusaha bangun. Perlahan mengenyakkan punggung di sandaran sofa. Tidak ada siapa pun di ruang tamu. Ingatan mengenai Roger di malam yang sama, memberitahu bahwa pria itu telah berpamitan pulang, yang sempat memberi ocehan panjang kepadanya. Harusnya memang lebih baik pria itu tidak di sini. Kenyataan bahwa Roger sanggup membuat puncak kepalanya berdenyut, adalah sesuatu yang tak dapat AbihirSuara ketukan pintu berulang kali menuntut Moreau untuk meninggalkan ranjang. Dia perlu tahu siapa di luar sana, dan ada urusan apa mencarinya di waktu – waktu seperti ini. Barangkali Barbara? Moreau mengembuskan napas kasar mengetahui rasanya itu terlalu mustahil. Barbara sudah dipastikan tidak berada di rumah. Hanya ada satu orang tersisa. Bagaimanapun Moreau tak bisa mengabaikan hal yang dia rasa penting di sini. Lambat ... setelah pintu dibuka, Moreau menahan napas meski dia telah menduga dengan tepat siapa yang sedang menjulang tinggi di depan kamar. Abihirt dalam balutan pakaian panjang tipis hingga menjiplak otot – otot perut yang bersembunyi di sana. Moreau tidak tahu apakah dia bisa menawarkan toleransi terhadap penampilan Abihirt yang terlalu kokoh dan sempurna. Sungguh, rasanya malam tak terduga itu tak pernah mencoba meninggalkan benaknya, tidak peduli seberapa jauh dia mencoba. Nyaris tanpa sadar Moreau menelan ludah kasar. Masih menunggu kapan Abih
Moreau menghabiskan sepanjang waktu yang tersisa di dalam kamar setelah kesalahpahaman yang bahkan tak dapat dia jelaskan, apakah perlu memberitahu Abihirt tentang kuah kental di telapak tangan bukan sesuatu yang seharusnya pria itu tanggapi, atau menyatakan peringatan bahwa mereka lebih baik menjaga jarak. Moreau tidak ingin malam kesalahan itu terulang lagi, hampir putus asa memikirkan sesuatu yang terasa benar – benar mengerikan. Terlalu berbahaya jika mereka berada di satu ruang sangat dekat, karena Moreau sendiri tak dapat menapik daya tarik ayah sambungnya, yang seperti menawarkan magnet, tetapi dia berusaha tidak merekat. Untunglah Abihirt sama sekali tidak bersuara, dan paling penting pria itu tidak lagi mencarinya. Sedikit lega. Namun, tenggorokan Moreau terasa gersang. Dia ingin minum. Berusaha keras menebak. Barangkali Abihirt sedang berada di kamar, menghadapi kondisi demam; yang ntah bagaimana sekarang. Mo
Moreau nyaris terlelap, tetapi sayup – sayup suara ketukan pintu menariknya kembali ke permukaan. Dia mengangkat separuh badan sekadar memahami situasi remang di dalam kamar. Sudah terlalu larut, bertanya – tanya siapa ... yang sepertinya tidak akan berhenti mengetuk sampai Moreau mengambil keputusan untuk memastikan langsung. Dia tahu ibunya tidak memiliki kebiasaan seperti ini di tengah malam. Aneh. Moreau mengerjap cepat dan mulai menduga - duga ... mungkinkah Abihirt yang sedang berada di luar? Dia tidak yakin mengingat pria itu telah meninggalkan rumah beberapa waktu lalu, tetapi akan memastikan sendiri dengan menyibak selimut tebal, kemudian mengambil langkah tentatif menuju pintu kamar. Keadaan cukup temaram meninggalkan kesan mengerikan. Moreau menatap sesaat pada ganggang sewarna tembaga, sambil menarik napas panjang. Mula – mula Moreau mengenggam utuh di sana, memberi sedikit tekanan, lalu menarik kusen pintu ke dalam.
“Kalau begitu tidak usah beritahu ibumu.” Abihirt bicara begitu tenang, bahkan mata kelabu yang menatap di antara samar – samar penerangan memberi Moreau pengaruh buruk. Dia mengepalkan tangan tanpa sadar setelah menyimpan kalimat terbaik untuk diucapkan. “Bukan tentang masalah ... ibuku tahu atau tidak. Tapi kau memang tidak seharusnya di sini.” Ntah harus berapa kali Moreau mengingatkan. Tiba – tiba Abihirt sudah menjulang tinggi, persis mengatur posisi mereka saling berhadap – hadapan dengan ranjang sebagai pembatas. Atmosgfer di antara mereka segera berubah. Ketakutan, sensasi berbahaya, bahkan alarm bawah sadar mulai berhambur – hamburan. Moreau meremas ujung kain di tubuhnya untuk menenangkan diri. Tahu Abihirt akan mengatakan sesuatu dan dia memilih diam—mendengarkan. “Aku hanya menumpang satu malam.” Itu sama sekali tidak masuk akal. Morea berdecak, dan merasa keputusan Abihirt terlalu mustahil. Dia masih akan menolak jika demikian yang ingin ayah sambungnya ketahui.
“Moreau, apa kau masih tidur?” Sayup – sayup suara ketukan pintu, secara tentatif menyeret Moreau ke permukaan. Dia mengernyit oleh keadaan kamar yang menderang, tetapi akhirnya menyadari bahwa wajahnya sedang begitu dekat dengan dada bidang seseorang, yang bergerak lambat dan .... Moreau langsung terkejut mendapati sesuatu yang terasa begitu dekat di puncak kepala. Dia bertanya – tanya bagaimana ini terjadi? Mengapa posisi tadi begitu persis—tangannya yang memeluk hingga jarak yang begitu rekat. “Moreau!” Suara yang sama. Mengejutkan sekali bahwa Barbara sedang menunggu di luar sana ... Moreau menoleh ke belakang. Pintu masih menutup rapat dan dia harus diingatkan tentang anak kunci semalam. Hanya ada satu orang memiliki akses penuh, Abihirt, pria yang berada di ruang berdua dengannya. Moreau menatap Abihirt tajam. Sial! Pria itu seolah tidak peduli, bahkan tampaknya terlampau tak berminat terhadap suara Barbara, malah sibuk memainkan ponsel di tangan. “Berikan kunci kama
“Ibuku sudah pergi, Abi. Kau ... keluarlah—“ Ujung kalimat Moreau tergambang di ujung kerongkongan. Sesuatu terasa hilang. Dia terkejut mendapati tidak seorang pun berada di sekitar. Berusaha mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang, dan memastikan akan menemukan ayah sambungnya. Tetapi kamar yang baru saja ditinggalkan sejengkal jarak benar – benar seperti tak pernah didatangi tamu. Sebelah alis Moreau terangkat tinggi, kemudian dia berjalan ke arah kamar mandi. Menduga itu merupakan tempat persembunyian paling mungkin. Ternyata hanya mendapati ruang lembab yang hening, hampa, dan akhirnya menarik pintu untuk kembali dirapatkan. Tanpa sadar Moreau menyeka sisa – sisa anak rambut ke belakang telinga. Berjalan ... nyaris ingin melupakan ke mana ayah sambungnya pergi. Namun, secara mengejutkan pria itu muncul sebagai penjelmaan berbahaya. Reaksi Moreau pertama kali adalah menunjukkan sikap waspad
Itu mengejutkan. Sesuatu yang tidak pernah Moreau pikirkan. Dia melebarkan kelopak mata hingga menepis lengan Abihirt yang bertaut sangat dekat di wajahnya. Menjadi simpanan sama sekali bukan hal yang pernah masuk ke dalam daftar. Moreau tak pernah ingat bahwa dia akan menuliskan sesuatu di atas catatan, tentang pelbagai keputusan menyedihkan. Berharap tidak pernah ada peristiwa seperti itu yang terlibat di setiap episode hidupnya. Abihirt telah mengambil langkah terlalu jauh. Sangat salah jika ingin melibatkan tindakan terlarang di antara mereka. Tidak sepantasnya. Moreau tidak akan pernah membenarkan hanya karena mereka pernah melakukan hubungan satu malam. Sesuatu yang dilakukan tanpa sengaja, dia akan selalu menganggap itu kecelakaan. Tidak lagi. Tidak di sini, andai, Abihirt berniat menggunakan foto mereka sebagai ancaman mutlak. Moreau siap membantah, dan memastikan dia memiliki setiap cara terbaik melakukan penolakan.
“Ada apa memintaku datang ke kantormu?” Senyum di sudut bibir Barbara langsung menanggapi dengan serius. Setelah beberapa kali meninggalkan pesan, dia akhirnya mendapati Abihirt sedang menjulang tinggi dan melangkah lebih dekat ke meja kerja. Barbara segera meninggalkan pekerjaan untuk menyambut suaminya. Dia bangkit, memeluk tubuh Abihirt, menghirup aroma tubuh memabukkan, hingga memastikan lekuk bibir di wajahnya tidak secepatnya hilang. Hanya ketika sedikit mengambil jarak, Barbara melangkah kembali ke kursi kerja. “Duduklah, Darling. Aku minta maaf soal semalam. Tapi bisakah kau beritahu kepadaku di mana kau tidur setelah meninggalkan rumah? Karena aku sudah menghubungi Roki dan dia bilang kau sama sekali tidak ke kediamannya.” Itu terkesan seperti mencecar. Barbara mengerti dan mungkin dia terlalu berlebihan saat Abihirt sendiri begitu tenang mengamati wajahnya. Ujung jari pria itu mengetuk di permukaan meja kaca, sebentar saja. Lalu, sambil agak mencondongkan tubuh, Barb
Moreau menelan ludah kasar menghadapi sisa jarak yang begitu dekat dari ayah sambungnya, setelah hening di antara mereka seakan bergemuruh dengan liar. “Jadi kau sungguh ingin tahu apa yang aku dan Juan lakukan di kamar berdua?” dia bertanya hati - hati, sedikit tergelitik terhadap reaksi Abihirt yang begitu singkat dan seolah pria itu sedang mempelajari beberapa hal tentang dirinya. “Ya, aku masih menginginkanmu mengatakan semua.” Suara serak dan dalam Abihirt tidak meninggalkan jejak ganjil, meski beberapa waktu lalu Moreau memahami betapa ayah sambungnya terduga menahan luapan amarah paling berbahaya. Dia tersenyum diam – diam. Bukankah Abihirt hanya mengurungnya dengan borgol yang tertaut di kepala ranjang? Bahkan pria itu tidak sama sekali melakukan tindakan kasar seperti saat mereka ada di ruang merah. Kekhawatiran di benak Moreau belum selesai, tetapi dia cukup tenang untuk kembali bicara, “Bagaimana kalau kukatakan bahwa Juan tidak akan penah tertarik k
Masih tentang prospek tidak adil, tetapi tumbukan di jantung Moreau seperti telah meninggalkan begitu banyak lubang. Betapa bodoh, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara menambal jejak - jejak yang tertinggal dalam setelah jatuh begitu terjal. Dapat dipastikan rasa sakit tidak akan hilang pada waktu – waktu yang singkat. Hanya perlu tekad paling kuat, maka seharusnya tidak akan terlalu buruk mengakhiri semua yang terikat di antara mereka. “Ini tidak adil, Abi,” ucap Moreau lengkap dengan usaha untuk membangkitkan keberanian utuh yang terpendam di benaknya. Dia menatap ke dalam mata kelabu Abihirt. Tidak cukup leluasa untuk memahami apa yang sedang pria itu pikirkan, karena batasan yang terbentang di antara mereka semacam sebuah tembok raksasa tak terpecahkan. Perlu mati – matian merangkak supaya sampai pada ujung tertinggi, tetapi Moreau yakin ... dia tak akan pernah bisa. “Kau egois.” Lagi. Desakan dalam dirinya tidak ingin berhenti begitu saja. Masih tersimpan ra
“Kita belakangan tidak pernah melakukan hal ini, maksudku ... sebagaimana aku adalah submissif-mu, Abi. Aku butuh waktu untuk benar – benar siap setelah apa yang terjadi sekarang. Kau tahu ibuku—“ Rasanya sisa – sisa kalimat di ujung tenggorokan kembali didorong dan terjebak dengan sangat mencekat di batang leher Moreau. Dia berusaha memahami situasi. Abihirt menawarkan ketegangan di bahunya, sulit percaya bahwa kemarahan akan menguasai pria itu di sini. “Abi—“ Tingkat waspada di benak Moreau meningkat pesat ketika dia mengamati satu kaki Abihirt telah menekuk di atas ranjang. Suara kasur berderak seperti suatu ancaman besar, tetapi jelas ... pria itu tidak akan berhenti untuk mendekatinya. Moreau menahan napas saat semerbak aroma tubuh Abihirt berkeliaran di sekitar wajahnya. Tantangan dari maskulinitas pria itu tidak berubah. Dia benci ketika harus terjebak oleh keinginan untuk menghirup lebih banyak terhadap sesuatu yang sedang ayah sambungnya tawarkan di sini
Moreau tidak akan pernah berjuang keras melakukan apa pun. Cukup lelah seperti apa yang telah dikatakan kepada Abihirt. Dia memang kewalahan menghadapi pelbagai hal belakangan ini. Tuduhan Barbara belum jelas apakah wanita itu akan memutuskan untuk percaya terhadap setiap kecurigaan yang menerobos liar atau tidak. Benaknya tidak berusaha memikirkan hal dengan dampak paling terjal. Akan lebih adil jika dia meninggalkan tempat ini. Ya. Moreau benar – benar akan melakukan rangkaian kebutuhan tersebut ketika tiba – tiba Abihirt mengangkat dan memanggul tubuhnya di garis bahu pria itu. “Abi!” Ruangan seperti berputar – putar di depan Moreau saat Abihirt berjalan meninggalkan dapur. Hentakkan menaiki undakan tangga terasa cukup kentara meliputi tujuan pria itu yang sebenarnya. Abihirt menginginkan kamar sebagai satu – satunya tempat terpencil agar mereka ... barangkali dapat berteriak satu sama lain, tanpa perlu begitu mengkhawatirkan bahwa Caroline mungkin akan mendengar
Ganjil mengetahui jika Abihirt akan membebaskannya begitu saja. Seharusnya Moreau bisa menebak sejak awal kali ketika mata kelabu itu tidak pernah menaruh minat ke sisi berbeda. Langkah yang baru saja dia ambil tertahan dengan tak terduga setelah satu sentuhan kasar mencengkeram di pergelangan tangan. Ada antisipasi berkeliaran hebat dan Moreau hampir lupa bagaimana cara bernapas dengan baik. Ujung tenggorokannya terasa mencekat ketika menengadah tinggi ke wajah Abihirt. Pria itu menunduk persis menatap diliputi kilatan mengancam. Dia tidak tahu apa yang sedang ayah sambungnya pikirkan, tetapi ini sungguh terasa seperti suatu ancaman besar. “Aku ingin kembali ke kamarku, Abi. Lepaskan.” Ada ketakutan yang menjalar liar. Namun, Moreau tak bisa menyangkal bahwa sulur – sulur keberanian telah berusaha menyelinap ke dalam dirinya. Dia terpaku pada sikap Abihirt, meski di satu sisi muncul desakan untuk tidak diam begitu saja. “Apa yang Juan lakukan di kamarmu?” U
Tidak ada pembicaraan penting. Tidak ada yang dapat dipaksakan untuk tetap pada kebutuhan mereka. Moreau melakukan setiap apu pun hal yang dibutuhkan dengan sangat cepat. Dia tidak peduli, walau terkadang ... lebih sering merasakan betapa mata kelabu Abihirt seperti menusuk di balik bahunya, seakan – akan pria itu sedang mengawasi setiap detil hal secara diam – diam dan berharap Moreau tidak akan memahaminya. Dia tentu akan memahami segala sesuatu setelah merasa ada ancaman buas tak terduga. Mungkin akan menjadi bagian paling buruk jika tetap berada pada pendirian untuk bersikap mengetahui keberadaan Abihirt di sini. Atmosfer sudah terlalu buruk dan Moreau tak bisa menyerah begitu saja. Dia mengembuskan napas secara perlahan dari celah bibir. Segera, dengan pelbagai tekad dalam dirinya sekadar mengumpulkan keberanian menghadap Abihirt. Situasi terasa mendadak curam ketika Moreau berbalik badan. Tidak pernah berpikir bahwa mata kelabu Abihirt akan menilik dengan cara b
Setelah Juan berpamitan pulang, situasi di rumah benar – benar terasa sepi. Moreau tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tidak ada jadwal latihan karena mereka telanjur mengatakan kepada Anitta mengenai kecelakaan disengaja ini, yang akan sulit dikendalikan sebagai alasan untuk bersenang – senang. Namun, keinginan sekadar menikmati hari dengan bermalas – malasan berubah menjadi malapetaka. Moreau tidak menyangkal bahwa ini mungkin adalah bagian dari pengaruh terhadap Abihirt. Tentang keterdiaman pria itu dan bagaimana cara ayah sambungnya meninggalkan pelbagai macam prospek di antara mereka. Semua beranjak semacam gambaran multi tafsir. Moreau sudah berulang kali berusaha menyingkirkan pelbagai bayangan tentang pria itu di benaknya. Bukan sesuatu yang mudah karena bagian tersebut jelas merupakan kesalahan terbesar yang telah dia ambil. Ini cukup menyakitkan. Dia ingin terbebas dari bentuk ikatan apa pun, ntah apakah itu terdengar sangat menjerat atau pada tempo lain
“Kau memeras temanmu sendiri?” tanyanya hampir dilingkupi desakan tertahan, merasa cukup penasaran. Bagaimanapun, Moreau berusaha berpikir lebih pintar ketika Roki mengangkat sudut bibir puas. “Inilah fungsi dari teman yang sangat berguna. Aku kasihan kepada Abi, karena bajingan kaya itu kadang – kadang bingung bagaimana cara menghabiskan uangnya.” Astaga. Itu terdengar menyakiti telinga. Moreau tahu dia hampir meringis dan segera menahan diri untuk terpaku pada kenyataan tertunda yang tak bisa dia lewatkan begitu saja. “Mengapa Abi bersamamu?” tanyanya lagi, sebagai dasar pembuktian bahwa ada kondisi tertentu dan dia sama sekali tidak mendapat petunjuk tentang apa pun itu. “Kau tidak tahu?” Suara Roki diselimuti tempo yang meningkat. Pria itu berdecak, lalu kembali meneruskan, “Abi mengajakku pergi klub semalam. Dia minum terlalu banyak dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit.” “Tapi kau tenang saja. Dokter bilang ... syukurlah dia hanya perlu diinfus.
Moreau dan Abihirt melakukan kontak mata. Cukup lekat, sampai kemudian iris kelabu itu memutuskan untuk mengakhiri perangkap paling berbahaya di antara mereka. Bukan. Jelas bukan karena ayah sambungnya menyerah begitu saja pada sesuatu yang tentu dapat dilanjutkan di antara mereka, tetapi sesuatu lainnya; keberadaan Juan di belakang dengan hanya dililit handuk di pinggang ramping pria itu. Moreau tak bisa membayangkan jika akan ada pemikiran buruk tentang seseorang di kamarnya. Ekspresi kelam Abihirt tidak memungkiri. Barangkali pria itu sedang menyimpulkan pelbagai asumsi yang tak bisa disebut baik – baik saja. Dengan sisa reaksi yang sanggup diperlihatkan. Moreau lambat sekali mengembuskan udara dari celah bibir. Terlalu jauh andai dia berusaha berenang melintasi kolam terjal. Dapat dipastikan akan adanya kesalahpahaman. Dia lebih yakin jika keberadaan Abihirt di sana, sekian jengkal jarak dari hadapannya, adalah bentuk pembunuhan instan terhadap kepercayaan diri yang