Itu mengejutkan.
Sesuatu yang tidak pernah Moreau pikirkan. Dia melebarkan kelopak mata hingga menepis lengan Abihirt yang bertaut sangat dekat di wajahnya. Menjadi simpanan sama sekali bukan hal yang pernah masuk ke dalam daftar. Moreau tak pernah ingat bahwa dia akan menuliskan sesuatu di atas catatan, tentang pelbagai keputusan menyedihkan. Berharap tidak pernah ada peristiwa seperti itu yang terlibat di setiap episode hidupnya. Abihirt telah mengambil langkah terlalu jauh. Sangat salah jika ingin melibatkan tindakan terlarang di antara mereka. Tidak sepantasnya. Moreau tidak akan pernah membenarkan hanya karena mereka pernah melakukan hubungan satu malam. Sesuatu yang dilakukan tanpa sengaja, dia akan selalu menganggap itu kecelakaan. Tidak lagi. Tidak di sini, andai, Abihirt berniat menggunakan foto mereka sebagai ancaman mutlak. Moreau siap membantah, dan memastikan dia memiliki setiap cara terbaik melakukan penolakan.“Ada apa memintaku datang ke kantormu?” Senyum di sudut bibir Barbara langsung menanggapi dengan serius. Setelah beberapa kali meninggalkan pesan, dia akhirnya mendapati Abihirt sedang menjulang tinggi dan melangkah lebih dekat ke meja kerja. Barbara segera meninggalkan pekerjaan untuk menyambut suaminya. Dia bangkit, memeluk tubuh Abihirt, menghirup aroma tubuh memabukkan, hingga memastikan lekuk bibir di wajahnya tidak secepatnya hilang. Hanya ketika sedikit mengambil jarak, Barbara melangkah kembali ke kursi kerja. “Duduklah, Darling. Aku minta maaf soal semalam. Tapi bisakah kau beritahu kepadaku di mana kau tidur setelah meninggalkan rumah? Karena aku sudah menghubungi Roki dan dia bilang kau sama sekali tidak ke kediamannya.” Itu terkesan seperti mencecar. Barbara mengerti dan mungkin dia terlalu berlebihan saat Abihirt sendiri begitu tenang mengamati wajahnya. Ujung jari pria itu mengetuk di permukaan meja kaca, sebentar saja. Lalu, sambil agak mencondongkan tubuh, Barb
“Tidak semangat latihan, huh?” Juan menyenggol lengan Moreau ketika dia sedang berkeringat, tak berhasrat, bahkan sedang haus – hausnya untuk meneguk sebotol air mineral dengan wajah menengadah tinggi. Suara kerongkongan mencuak ke permukaan hingga Juan tersulut untuk menelan ludah kasar. Tanpa meninggalkan perhatian dari tingkah Moreau yang aneh, pria itu mengambil posisi duduk berdampingan, menenggak air dari botol minum berbeda—khusus diperuntukan kepada mereka setelah menyelesaikan latihan atau bahkan ketika sedang dalam proses. Hening menyelinap beberapa saat di antara mereka. Moreau tidak tahu apa yang dapat dia katakan. Nyaris tidak memiliki petunjuk sekadar mengomentari bagian paling mengejutkan yang terungkap di kamarnya tadi pagi. Ini tidak beres. Moreau bingung bagaimana Abihirt menjadi api sekaligus berperan sebagai pemadam, yang melenyapkan kebakaran dalam waktu sekejap. Hal – hal yang begitu bagus tertanam di benaknya, pelbagai macam kalimat persuasif yang baik meng
“Jika pria dewasa memintamu menjadi simpanannya, anggap saja begitu. Itu hanya ada dua kemungkinan. Pertama, dia tertarik kepadamu, atau hanya ingin menjadikanmu sebagai tempat hiburan. Tempat persinggahan, dan hal – hal lainnya yang menyenangkan.” Bagian pertama yang disebutkan—Moreau tidak terlalu yakin. Napasnya seperti tercekat memikirkan yang kedua. Alasan Abihirt sudah sebegitu jelas. Mengapa dia harus mencoba sekadar menemukan celah? Pria itu hanya ingin menjadikan Moreau sebagai tempat mencari untung. Juan benar. Atau – atau, yang paling sarat dari tawaran Abihirt ... adalah ingin membiarkan Barbara terbakar api cemburu. Moreau mengangkat sebelah alis tinggi setelah disergap lamunan seperti itu. Dia mengerjap, berniat ingin melupakan apa pun yang ditanyakan, sebelum tiba – tiba Juan kembali bersuara. “Mengapa kau tanyakan padaku hal itu? Apa seorang pria dewasa menawarimu pilihan untuk menjadi simpanan?”
“Apa Abi belum pulang juga?” Moreau hampir tersentak, dan di waktu bersamaan berusaha mengendalikan diri dari kemunculan Barbara di halaman belakang rumah. Dia sedang menikmati momen merendam kaki di kolam air, sama sekali tidak memiliki petunjuk bahwa wanita itu akan tiba – tiba muncul mencari seseorang. Bola mata Barbara berpendar di sekitar. Tidak menemukan siapa pun, maka satu – satunya yang tertinggal adalah embusan napas kasar. Pada momen berikutnya Moreau segera mengetahui jika Barbara mengambil langkah, mondar – mandir untuk satu alasan mencolok. Kekhawatiran sedang berhamburan, barangkali itulah cara sekadar mendesak sikap tenang supaya berperan singkat. “Aku tak melihatnya dari tadi.” Tak tahan. Moreau menambahkan dengan lambat agar Barbara tidak bersikap berlebihan. Penampilan wanita itu masih terlampau lengkap. Tas jinjing sedang bertaut di tangan.
Mengerikan sekali harus mengamati Barbara sepanjang waktu menyibukkan diri di layar monitor. Jari – jari wanita itu bergerak di atas keyboard tanpa niat sedikitpun meninggalkan apa pun yang sedang dikerjakan. Moreau tidak mengerti pemikiran ibunya. Wanita itu melarang dia terlibat di kantor; apa pun, terhadap perusahaan yang sedang—saat ini, dijalankan oleh tangan kanan mendiang ayahnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Bagi Moreau sikap Barbara di sini, terungkap cukup berlebihan sebagai pemilik bisnis. Sebenarnya dia menyimpan perasaan ganjil terhadap sesuatu yang runcing. Ya, sesuatu tentang wasiat telah tertulis jauh – jauh hari sebelum Jeremias Riveri mengembuskan napas terakhir: Dengan dia sebagai pewaris tunggal; Moreau akan melanjutkan perusahaan keluarganya di usia ke 28. Akan tetapi, rasanya itu terlalu mustahil setelah apa yang telah Barbara kendalikan lewat izin dari Jeremias Riveri kala itu. Sebagai ganti, sejak kecil Moreau
“Tidak perlu melakukannya, Moreau. Aku sedang tidak lapar.” Tubuh Moreau tersentak, betapa terkejut mendapati ayah sambungnya tiba – tiba sudah menjulang sekian jengkal jarak dari meja bar. Pria itu masih dengan kemeja putih yang terungkap seksi dan pas, sementara kali ini jas kelabu sedang menggantung di lengan yang menekuk, terlihat kokoh hingga Moreau kesulitan memilih kata terbaik untuk menilai. Pun ... dia sungguh tak akan mengatakan sesuatu secara gamblang. Abihirt tampaknya sedang menahan sesuatu dan Moreau merasa kasihan. Dia sedang tidak memikirkan tentang tawaran yang pria itu berikan, tetapi iba mengetahui bagaimana Abihirt harus lebih sabar menghadapi ibunya. Dia tidak yakin ingin membiarkan pria itu pergi, sekarang, setelah kejadian tadi siang yang mengejutkan, bahkan mungkin telah berdampak. Abihirt tidak mungkin meminta bantuan Barbara jika pria itu sedang baik – baik saja. Moreau menipiskan bibir tanpa sadar menyadari sebentar lagi ayah sambungnya akan meninggalkan
“Aku ingin meminta pertanggungjawaban-mu.” “Pertanggungjawaban apa?” Moreau menelan ludah kasar, hampir sungguh - sungguh berjuang mempertaruhkan tujuan Abihirt sebenarnya. Terlalu ambigu. Dia sebenarnya tahu. Pria itu ... hanya tak menyatakan langsung rasa sakit di bahu, dan terkait kejadian apa pun. Perlu diakui, hal demikian memang tanggung jawabnya. Abihirt benar mengenai itikad baik. Mereka perlu melakukan kesepatan, tetapi tidak seperti ini caranya. Dengan tekad paling berani Moreau mengerjap hingga sedikit lebih keras menekan dada liat pria itu. Jarak berhimpit telah kembali diurai dan dia segera bangun untuk berhadap – hadapan bersama ayah sambungnya. “Baiklah, mana bahu-mu yang cidera?” Sudut bibir Abihirt berkedut tipis, ntah itu sebuah kepuasaan atau memang kebiasaan yang tidak pernah Moreau ketahui. Dia menelan ludah kasar menya
Sayangnya, tidak semata – mata menenggelamkan antusiasme Moreau dari keinginan demikian. Sekadar gambar elang. Bukan sesuatu yang penting dan serius, bahkan tidak menarik simpatisan, walau dia dia menyatakan perasaan tersebut secara langsung kepada Abihirt. Memilih diam dan melanjutkan kembali kebutuhan memijat yang sesekali berhenti ketika merasa lelah. “Kapan aku harus berhenti?” Separuh perasaan jengkel menyergap tanpa bisa Moreau kendalikan. Dia benar – benar tidak melanjutkan lagi, memastikan kedua tangan tidak bertengger di garis bahu ayah sambungnya. Barangkali Abihirt mengerti dan pria itu segera bangkit. Cukup mengerikan terlibat dalam satu bayangan saat tubuh tinggi tersebut menjulang, sementara posisi kaki Moreau masih menekuk di atas ranjang. Dia menengadah menatap ayah sambungnya; antara tidak memiliki ide untuk mengatakan sesuatu, dan di sisi lain ... menyerahkan sikap serius saat Abihirt mengenakan kembali kemeja putih yang teronggok di pinggir kasur. Satu demi satu