Mengerikan sekali harus mengamati Barbara sepanjang waktu menyibukkan diri di layar monitor. Jari – jari wanita itu bergerak di atas keyboard tanpa niat sedikitpun meninggalkan apa pun yang sedang dikerjakan. Moreau tidak mengerti pemikiran ibunya. Wanita itu melarang dia terlibat di kantor; apa pun, terhadap perusahaan yang sedang—saat ini, dijalankan oleh tangan kanan mendiang ayahnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Bagi Moreau sikap Barbara di sini, terungkap cukup berlebihan sebagai pemilik bisnis. Sebenarnya dia menyimpan perasaan ganjil terhadap sesuatu yang runcing. Ya, sesuatu tentang wasiat telah tertulis jauh – jauh hari sebelum Jeremias Riveri mengembuskan napas terakhir: Dengan dia sebagai pewaris tunggal; Moreau akan melanjutkan perusahaan keluarganya di usia ke 28. Akan tetapi, rasanya itu terlalu mustahil setelah apa yang telah Barbara kendalikan lewat izin dari Jeremias Riveri kala itu. Sebagai ganti, sejak kecil Moreau“Tidak perlu melakukannya, Moreau. Aku sedang tidak lapar.” Tubuh Moreau tersentak, betapa terkejut mendapati ayah sambungnya tiba – tiba sudah menjulang sekian jengkal jarak dari meja bar. Pria itu masih dengan kemeja putih yang terungkap seksi dan pas, sementara kali ini jas kelabu sedang menggantung di lengan yang menekuk, terlihat kokoh hingga Moreau kesulitan memilih kata terbaik untuk menilai. Pun ... dia sungguh tak akan mengatakan sesuatu secara gamblang. Abihirt tampaknya sedang menahan sesuatu dan Moreau merasa kasihan. Dia sedang tidak memikirkan tentang tawaran yang pria itu berikan, tetapi iba mengetahui bagaimana Abihirt harus lebih sabar menghadapi ibunya. Dia tidak yakin ingin membiarkan pria itu pergi, sekarang, setelah kejadian tadi siang yang mengejutkan, bahkan mungkin telah berdampak. Abihirt tidak mungkin meminta bantuan Barbara jika pria itu sedang baik – baik saja. Moreau menipiskan bibir tanpa sadar menyadari sebentar lagi ayah sambungnya akan meninggalkan
“Aku ingin meminta pertanggungjawaban-mu.” “Pertanggungjawaban apa?” Moreau menelan ludah kasar, hampir sungguh - sungguh berjuang mempertaruhkan tujuan Abihirt sebenarnya. Terlalu ambigu. Dia sebenarnya tahu. Pria itu ... hanya tak menyatakan langsung rasa sakit di bahu, dan terkait kejadian apa pun. Perlu diakui, hal demikian memang tanggung jawabnya. Abihirt benar mengenai itikad baik. Mereka perlu melakukan kesepatan, tetapi tidak seperti ini caranya. Dengan tekad paling berani Moreau mengerjap hingga sedikit lebih keras menekan dada liat pria itu. Jarak berhimpit telah kembali diurai dan dia segera bangun untuk berhadap – hadapan bersama ayah sambungnya. “Baiklah, mana bahu-mu yang cidera?” Sudut bibir Abihirt berkedut tipis, ntah itu sebuah kepuasaan atau memang kebiasaan yang tidak pernah Moreau ketahui. Dia menelan ludah kasar menya
Sayangnya, tidak semata – mata menenggelamkan antusiasme Moreau dari keinginan demikian. Sekadar gambar elang. Bukan sesuatu yang penting dan serius, bahkan tidak menarik simpatisan, walau dia dia menyatakan perasaan tersebut secara langsung kepada Abihirt. Memilih diam dan melanjutkan kembali kebutuhan memijat yang sesekali berhenti ketika merasa lelah. “Kapan aku harus berhenti?” Separuh perasaan jengkel menyergap tanpa bisa Moreau kendalikan. Dia benar – benar tidak melanjutkan lagi, memastikan kedua tangan tidak bertengger di garis bahu ayah sambungnya. Barangkali Abihirt mengerti dan pria itu segera bangkit. Cukup mengerikan terlibat dalam satu bayangan saat tubuh tinggi tersebut menjulang, sementara posisi kaki Moreau masih menekuk di atas ranjang. Dia menengadah menatap ayah sambungnya; antara tidak memiliki ide untuk mengatakan sesuatu, dan di sisi lain ... menyerahkan sikap serius saat Abihirt mengenakan kembali kemeja putih yang teronggok di pinggir kasur. Satu demi satu
Pria itu langsung menoleh, persis telah menuntaskan makan malam dan meneguk setengah gelas air, dan mengusap mulut dengan kain kering. “Kau perlu sabar untuk masalah pemindaian nama. Aku perlu mengurus beberapa hal lain.” Tentu saja. Barbara akan dengan senang hati menantikan momen paling menguntungkan. Dia tersenyum lembut kepada suaminya. Memastikan niat tertahan menyeruak lagi pada kebutuhan utama. Kaki yang bergerak di bawah kolong meja ... berhenti. Diliputi napas setengah menggebu Barbara beranjak lebih dekat di hadapan Abihirt. Pria itu sedang meneliti hasrat di sekitar bahunya dengan mata mendelik cerdas, walau tidak terungkap sedikitpun penolakan di sana. “Biar aku di atas.” Barbara lantas berbisik lambat, sengaja menjulurkan lidah untuk menjilat leher suaminya. Dengan keahlian mumpuni, dia menggerakkan telapak tangan secara tentatif mengusap dada liat
“Semenjak ibu-mu menikah, aku rasa hidup-mu bukan semakin tenang, malah terlihat bertambah kacau.” Moreau nyaris menahan napas menanggapi pernyataan Juan di hadapannya. Dia mendelik skeptis. Tidak tahu apakah dugaan pria itu benar atau salah, pelbagai perasaan yang sedang bergeliat terlalu rumit diuraikan. Di satu waktu Moreau mencoba tidak memikirkan lebih jauh, tetapi di sisi lainnya dia menolak untuk mengakui penilaian Juan. Masih berharap, andai ... dia tidak pernah melakukan hubungan satu malam dengan pria yang terikat bersama ibunya. Pernikahan, bagi Moreau itu bukan suatu hubungan main – main. Komitmen, keputusan yang diambil berdua, bagian – bagian dari tujuan sebenarnya, dan semua hal yang terlibat; memiliki tingkat tanggung jawab tersendiri. Hampir tanpa sadar Moreau berdecak membayangkan kembali ajakan Abihirt beberapa waktu lalu. Tawaran yang menyampaikan pernyataan mutlak. Pria itu bahkan sangat bergairah kepada Barbara. Menyedihkan sekali. Apakah Abihirt juga akan
Percikan keran air sengaja Moreau biarkan berhamburan sambil berusaha menghitung, kira – kira berapa lama Abihirt akan meninggalkan restoran? Dia menduga sesuatu, bahwa jika melibatkan Froy di tempat serupa, artinya kebutuhan paman dan keponakan itu adalah untuk membicarakan sesuatu—hal penting, barangkali. Moreau tidak terlalu yakin. Hanya merasa ingin, benar – benar berharap Abihirt meninggalkan restoran, tetapi apakah dia harus dengan sengaja membiarkan Juan menunggu lama di meja mereka? Ini pilihan komplit. Bukan hal yang pernah disiratkan, meskipun Juan akan mengerti. Ya, Moreau mungkin bisa menunggu lebih lama. Sudah memastikan tekadnya. Namun, dia melupakan sesuatu. Ponsel. Bagaimana cara mengetahui Abihirt telah menyelesaikan urusan bersama Froy, sementara dia tak sedang membawa seluler genggam sampai ke kamar mandi? Tidak ada yang dapat Moreau lakukan selain menatap pantulan dirinya di depan cermin. Perasaan meny
Ujung jari Abihirt bergerak tentatif sekadar menyusuri wajahnya. Moreau memejam dan tegang merasakan bagaimana jempol pria itu berhenti lekat di bagian bibir. Usapan ringan, bahkan Abihirt melibatkan hasrat untuk menekan di sana, semakin menambahkan perasaan bimbang. Moreau tanpa sadar mengepalkan jari – jari tangan. Susah payah mempertahankan kewarasan. Namun, sepertinya dia harus menghadapi masa – masa sulit yang terjal. “Sejak di restoran kau terlihat takut kepadaku. Ada apa, Moreau?” Suara serak dan dalam itu berbisik lambat, membuat keadaan mencekam di sekitar semakin berhamburan. Lagi – lagi Moreau menelan ludah kasar saat memutuskan untuk memberanikan diri membuka kelopak mata. Bibir pria itu persis begitu dekat di wajahnya, hal yang tidak pernah Moreau pikirkan sedang terjadi. Tangannya diam – diam bergerak, ingin sekali menjauhkan dada liat Abihirt, walau ternyata ... pria itu begit
“Aku tidak takut kepadamu.” Meski tidak sepenuhnya benar, tetapi Moreau telah mengungapkan sisi tersembunyi dari nalurinya yang riskan. Abihirt mungkin sedang menyimpulkan sesuatu sehingga sudut bibir yang berkedut samar seperti berusaha membeberkan beberapa hal. “Jika tidak takut, mengapa kau seperti ingin menghindariku?” Sesaat Moreau menahan napas menghadapi pertanyaan dari ayah sambungnya. Semudah itukah Abihirt menyingkirkan tembok – tombok menjulang tinggi di sekitar mereka? Moreau sudah berusaha keras tidak terlihat mencolok dan pada akhirnya dia seperti ditangkap dalam keadaan tubuh yang basah. Tidak. Moreau menggeleng samar, memiliki beberapa alasan untuk menyangkal. “Aku menghindar, karena tidak mau kau ajak berbuat dosa. Aku tidak mau mengkhianati ibuku!” ucapnya nyaris meninggikan suara, tetapi segera menyadari di mana dia terjebak saat ini.
“Bagaimana pertengkaran kalian? Sudah baik – baik saja? Jadi, kita bisa bertemu kembali secara bebas?” Andai saja bisa seperti itu, Barbara tidak akan disergap kekhawatiran berlebihan. Ntahlah—rasanya dia harus menunggu saat – saat yang tepat, menunggu saat dia merasa cukup yakin untuk mendeklarasikan segala bentuk keputusan tak terduga di hidupnya. Ini pilihan sulit. Memutuskan hubungan bersama Samuel sama seperti melempar dirinya ke dalam kolam beku yang Abihirt buat. Barbara akan tergelincir, jatuh, tidak berdaya, seolah hanya akan terperangkap oleh sikap dingin pria itu. Tidak ada jalan keluar. Semengerikan apa pun bayangan dalam benaknya, dia tidak akan pernah tahan terus menghadapi sikap tenang Abihirt atau ketika suaminya benar – benar serius mengabaikan apa pun yang tampak begitu jelas. Menyedihkan. Barbara menghela napas kasar. Sesaat menatap Samuel sambil memikirkan apa yang akan pria itu katakan nanti. Ada satu bagian tidak tepat dari pern
“Kau sejak tadi termenung. Aku tidak yakin kau bisa berlatih dengan baik, Amiga. Mrs. Voudly memang terlihat sibuk, tapi bukan berarti kau akan terus seperti ini. Bagaimana jika kau jatuh, karena tidak fokus? Katakan, apa masalahmu?” Pertanyaan Juan ketika mereka berhenti untuk beberapa saat, secara naluriah menarik Moreau kembali ke permukaan. Dia harus mengerjap beberapa kali sekadar menyadari bahwa benar ... seharusnya tidak membawa masalah dari rumah sampai ke gedung latihan. Semua sudah cukup rumit dan dia tidak ingin menambah masalah menyakitkan lainnya. Telah banyak kegagalan. Moreau tidak bisa berpikir lebih keras ketika Anitta—mungkin menyadari setiap detil kecerobohan yang dia lakukan. Kebetulan wanita itu tampak masih membutuhkan beberapa hal untuk diselesaikan. Lagi—Moreau mengerjap sembari menghela napas kasar. “Maafkan aku, Juan. Aku tidak bermaksud,” ucapnya, berjuang keras supaya menyerahkan senyum kepada Juan. Bagaimanapun, pria itu selalu menger
Lagi—secara tak terduga Barbara mengembuskan napas kasar. Abihirt tidak mengatakan apa pun dan itu membuatnya sedikit diliputi rasa bersalah. “Aku tahu belakangan ini hubungan kita sedikit tidak baik. Hanya berharap kalau kau mau bersedia memberiku kesempatan. Aku tidak ingin bercerai denganmu. Kita bisa memperbaiki semua ini secara pelan – pelan," ucap Barbara beberapa saat, tatapannya seperti menerawang, lalu kembali melanjutkan, "Jangan tidur di sofa lagi, apalagi sampai mabuk seperti ini.” Setelah telah mengatakan pelbagai ketakutan tak bernama di benaknya dan sedikit menunggu kapan Abihirt akan mengatakan sesuatu. Barbara berharap sangat banyak, tidak peduli jika pria itu belum mencoba memikirkan cara terbaik atau sekadar melompat keluar dari lubang yang terasa terjal. Ntahlah, sesaat Barbara memperhatikan satu gerakan singkat, di mana bibir Abihirt hampir bergerak terlalu samar. Pria itu seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi segera menahan diri, seolah butuh pemahaman l
Moreau mengerjap cepat. “Satu cara? Apa?” tanyanya diliputi pelbagai kecurigaan tentang apa yang sedang Barbara rencanakan. Wanita itu cukup berbahaya. Dia takut ibunya akan melakukan cara terburuk demi mendapat satu kebenaran yang mati – matian dia dan Abihirt tutupi. “Kau akan tahu nanti. Sekarang pergilah. Bukankah kau bilang sudah terlambat? Aku juga harus berangkat ke kantor.” Jika ibunya juga akan meninggalkan rumah. Lalu bagaimana dengan Abihirt? Benak Moreau bertanya – tanya tak mengerti, tetapi dia tak punya sedikit keberanian untuk mengatakan sesuatu yang merekat di bahunya. Atau justru perhatiannya kepada Abihirt menimbulkan pelbagai pemikiran di dalam diri Barbara. Tidak lagi. Moreau tidak ingin ibunya mengambil tindakan berlebihan, sementara wanita itu sudah lebih daripada cukup membuatnya didesak rasa ingin tahu yang besar. Cara seperti apa yang akan Barbara gunakan supaya mengetahui kebenaran di antara mereka? Iris biru terang Moreau terus memp
“Sesuatu yang jujur. Aku akan memaafkanmu jika kau katakan sedikit saja tentang kebohonganmu di sini, saat ini. Katakan saja kalau kau memang benar memiliki hubungan bersama suamiku, aku tidak akan marah atau apa pun. Mungkin bukan ide yang buruk untuk mendaftarkanmu ke perguruan tinggi luar negeri.” “A—apa?” Moreau terkejut mendengar pernyataan Barbara. Ini jelas sesuatu yang tidak tepat. Mendaftarkannya ke perguruan tinggi—itu memang gagasan cermelang, tetapi Barbara harus menggarisbawahi satu hal; ya, satu hal yang tak bisa wanita tersebut lupakan begitu saja. Moreau menggeleng samar. Bukan karena tidak ingin melanjutkan pendidikan. Ada sedikit keengganan; dia khawatir tidak akan bisa mengendalikan diri dengan baik, bagaimana jika dia akan merindukan rumah? Barangkali sebaiknya menambahkan satu alasan kepada ibunya secara pasti. “Mom, kau tahu selama ini aku mengikuti program homeschooling. Tidak mungkin jika kau berharap aku bisa beradaptasi dengan cepat pada pendidikan umum
Moreau meringis sebagai reaksi murni. Sudah tahu jika pembicaraan Barbara tidak akan terlalu jauh terhadap apa yang mungkin mereka hadapi pada saat – saat seperti ini. Masih begitu banyak pengetahuan tertinggal di bahu Barbara. Wanita itu tidak akan benar – benar tahu jika dia tidak berusaha mengatakannya. “Sebenarnya, Mom ... aku tidak sengaja menjatuhkan ponselku ke dalam air. Jadi, itu membuatnya rusak.” Ketegangan terasa meraup seluruh atmosfer di sekitar udara. Moreau tidak mengerti ada apa, mengapa ibunya tampak mengerjap sekadar memahami apa yang dia katakan. “Ponselmu rusak? Lalu?” tanya wanita itu seakan ingin memastikan seluruh detil peristiwa yang terjadi di belakang bahunya, tanpa ada satu pun yang tersisa. Oh—bahkan, Barbara kembali meneruskan, “Bagaimana kau bisa menjatuhkan ponselmu ke dalam air?” Haruskah serinci ini? Pertanyaan wanita itu berusaha menyelinap dengan deras. Tanpa sadar Moreau membuka bibir, kemudian menipiskan lagi sambil mencari
Moreau menarik napas sesaat. Cukup dengan hitungan singkat dan secara perlahan mulai berjalan lurus; tidak ada keinginan sekadar menoleh ke ruang tamu. Biarkan Barbara tetap di sana; tetap menunggu suaminya sampai Roger datang untuk melakukan pemeriksaan. “Moreau.” Sial. Suara wanita itu merambat luar biasa jelas di udara. Sesuatu yang membuat Moreau terdesak. Dia merasa sebagian saraf – saraf dalam dirinya seakan berhenti berfungsi, seakan diam membeku di sini adalah satu tindakan terakhir yang dapat digapai, hingga bunyi hentakkan heels Barbara menyiratkan begitu banyak kekhawatiran dan dia tidak bisa lagi menyembunyi ketakutan di antara mereka. Moreau menelan ludah kasar. Masih belum ada keberanian menatap langsung ke wajah ibunya. Sangat jelas bagaimana dia menghindari kontak mata; tetap berdiam diri di tempat, kemudian langkah Barbara berhenti tepat saat jarak di antara mereka sudah begitu dekat. Tiba – tiba tangan wanita itu terulur. Ya, sama sekali tidak a
“Abi ... hei, bangun. Kau tidur di ruang tamu dan ... astaga! Mengapa minum sebanyak ini?” Sayup, itu yang Moreau dengar setelah melangkah lebih dekat. Dia berhenti persis ketika hampir melewati tikungan menuju sumber suara. Belum ada keinginan bertemu siapa pun di rumah ini. Semalam, usai Abihirt meninggalkan kamar, semua berakhir menjadi pemikiran panjang yang menyakitkan, tetapi sama sekali tidak ada petunjuk; tidak ada yang dapat ditemukan untuk berakhir lebih damai. Malah, Moreau berujung tertidur lagi. Kemudian, saat terbangun di pagi hari ... dia memutuskan untuk menunggu di waktu paling tepat. Merasa sangat yakin jika ibu dan ayah sambungnya telah meninggalkan rumah. Meski kenyataan malah berkata berbeda. “Abi, bangun, Darling. Sial, badannya panas sekali.” Masih dengan suara Barbara. Sekarang Moreau bisa menebak apa yang sedang wanita itu hadapi. Sempat mengira jika ibunya melakukan percakapan bersama Abihirt, tetapi krisis dalam dirinya berujung pa
Belum ada tanggapan signifikan. Iris biru terang Moreau segera bergerak. Dia memikirkan beberapa cara; prospek paling bagus tentunya. Tidak banyak, tetapi itulah yang dia lakukan. Ya, dengan merenggut burger di tangan Abihirt. Mencoba menahan rasa sakit saat melakukan satu gigitan kecil dan dia tetap menatap wajah ayah sambungnya sebagai reaksi paling murni. “Kau lihat? Aku bisa makan sendiri. Sekarang keluarlah,” ucap Moreau setelah berhasil menelan potongan burger di mulutnya. Cukup lama menunggu Abihirt memberi tanggapan ketika pria itu menyimpan begitu banyak keinginan tetap di sini. Sama sekali tidak ada peringatan saat Moreau merasakan sentuhan dari ujung jemari suami Barbara di sudut bibirnya. Mereka tidak melakukan kontak mata, karena Abihirt sendiri hanya menjatuhkan perhatian pada bekas membiru di sana. Mengusap tentatif, seolah pria tersebut mengerti betapa itu yang seharusnya memang dilakukan. Mungkin ayah sambungnya menganggap Moreau seperti serpihan