Suara ketukan pintu berulang kali menuntut Moreau untuk meninggalkan ranjang. Dia perlu tahu siapa di luar sana, dan ada urusan apa mencarinya di waktu – waktu seperti ini. Barangkali Barbara? Moreau mengembuskan napas kasar mengetahui rasanya itu terlalu mustahil. Barbara sudah dipastikan tidak berada di rumah. Hanya ada satu orang tersisa. Bagaimanapun Moreau tak bisa mengabaikan hal yang dia rasa penting di sini.
Lambat ... setelah pintu dibuka, Moreau menahan napas meski dia telah menduga dengan tepat siapa yang sedang menjulang tinggi di depan kamar. Abihirt dalam balutan pakaian panjang tipis hingga menjiplak otot – otot perut yang bersembunyi di sana. Moreau tidak tahu apakah dia bisa menawarkan toleransi terhadap penampilan Abihirt yang terlalu kokoh dan sempurna. Sungguh, rasanya malam tak terduga itu tak pernah mencoba meninggalkan benaknya, tidak peduli seberapa jauh dia mencoba. Nyaris tanpa sadar Moreau menelan ludah kasar. Masih menunggu kapan AbihMoreau menghabiskan sepanjang waktu yang tersisa di dalam kamar setelah kesalahpahaman yang bahkan tak dapat dia jelaskan, apakah perlu memberitahu Abihirt tentang kuah kental di telapak tangan bukan sesuatu yang seharusnya pria itu tanggapi, atau menyatakan peringatan bahwa mereka lebih baik menjaga jarak. Moreau tidak ingin malam kesalahan itu terulang lagi, hampir putus asa memikirkan sesuatu yang terasa benar – benar mengerikan. Terlalu berbahaya jika mereka berada di satu ruang sangat dekat, karena Moreau sendiri tak dapat menapik daya tarik ayah sambungnya, yang seperti menawarkan magnet, tetapi dia berusaha tidak merekat. Untunglah Abihirt sama sekali tidak bersuara, dan paling penting pria itu tidak lagi mencarinya. Sedikit lega. Namun, tenggorokan Moreau terasa gersang. Dia ingin minum. Berusaha keras menebak. Barangkali Abihirt sedang berada di kamar, menghadapi kondisi demam; yang ntah bagaimana sekarang. Mo
Moreau nyaris terlelap, tetapi sayup – sayup suara ketukan pintu menariknya kembali ke permukaan. Dia mengangkat separuh badan sekadar memahami situasi remang di dalam kamar. Sudah terlalu larut, bertanya – tanya siapa ... yang sepertinya tidak akan berhenti mengetuk sampai Moreau mengambil keputusan untuk memastikan langsung. Dia tahu ibunya tidak memiliki kebiasaan seperti ini di tengah malam. Aneh. Moreau mengerjap cepat dan mulai menduga - duga ... mungkinkah Abihirt yang sedang berada di luar? Dia tidak yakin mengingat pria itu telah meninggalkan rumah beberapa waktu lalu, tetapi akan memastikan sendiri dengan menyibak selimut tebal, kemudian mengambil langkah tentatif menuju pintu kamar. Keadaan cukup temaram meninggalkan kesan mengerikan. Moreau menatap sesaat pada ganggang sewarna tembaga, sambil menarik napas panjang. Mula – mula Moreau mengenggam utuh di sana, memberi sedikit tekanan, lalu menarik kusen pintu ke dalam.
“Kalau begitu tidak usah beritahu ibumu.” Abihirt bicara begitu tenang, bahkan mata kelabu yang menatap di antara samar – samar penerangan memberi Moreau pengaruh buruk. Dia mengepalkan tangan tanpa sadar setelah menyimpan kalimat terbaik untuk diucapkan. “Bukan tentang masalah ... ibuku tahu atau tidak. Tapi kau memang tidak seharusnya di sini.” Ntah harus berapa kali Moreau mengingatkan. Tiba – tiba Abihirt sudah menjulang tinggi, persis mengatur posisi mereka saling berhadap – hadapan dengan ranjang sebagai pembatas. Atmosgfer di antara mereka segera berubah. Ketakutan, sensasi berbahaya, bahkan alarm bawah sadar mulai berhambur – hamburan. Moreau meremas ujung kain di tubuhnya untuk menenangkan diri. Tahu Abihirt akan mengatakan sesuatu dan dia memilih diam—mendengarkan. “Aku hanya menumpang satu malam.” Itu sama sekali tidak masuk akal. Morea berdecak, dan merasa keputusan Abihirt terlalu mustahil. Dia masih akan menolak jika demikian yang ingin ayah sambungnya ketahui.
“Moreau, apa kau masih tidur?” Sayup – sayup suara ketukan pintu, secara tentatif menyeret Moreau ke permukaan. Dia mengernyit oleh keadaan kamar yang menderang, tetapi akhirnya menyadari bahwa wajahnya sedang begitu dekat dengan dada bidang seseorang, yang bergerak lambat dan .... Moreau langsung terkejut mendapati sesuatu yang terasa begitu dekat di puncak kepala. Dia bertanya – tanya bagaimana ini terjadi? Mengapa posisi tadi begitu persis—tangannya yang memeluk hingga jarak yang begitu rekat. “Moreau!” Suara yang sama. Mengejutkan sekali bahwa Barbara sedang menunggu di luar sana ... Moreau menoleh ke belakang. Pintu masih menutup rapat dan dia harus diingatkan tentang anak kunci semalam. Hanya ada satu orang memiliki akses penuh, Abihirt, pria yang berada di ruang berdua dengannya. Moreau menatap Abihirt tajam. Sial! Pria itu seolah tidak peduli, bahkan tampaknya terlampau tak berminat terhadap suara Barbara, malah sibuk memainkan ponsel di tangan. “Berikan kunci kama
“Ibuku sudah pergi, Abi. Kau ... keluarlah—“ Ujung kalimat Moreau tergambang di ujung kerongkongan. Sesuatu terasa hilang. Dia terkejut mendapati tidak seorang pun berada di sekitar. Berusaha mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang, dan memastikan akan menemukan ayah sambungnya. Tetapi kamar yang baru saja ditinggalkan sejengkal jarak benar – benar seperti tak pernah didatangi tamu. Sebelah alis Moreau terangkat tinggi, kemudian dia berjalan ke arah kamar mandi. Menduga itu merupakan tempat persembunyian paling mungkin. Ternyata hanya mendapati ruang lembab yang hening, hampa, dan akhirnya menarik pintu untuk kembali dirapatkan. Tanpa sadar Moreau menyeka sisa – sisa anak rambut ke belakang telinga. Berjalan ... nyaris ingin melupakan ke mana ayah sambungnya pergi. Namun, secara mengejutkan pria itu muncul sebagai penjelmaan berbahaya. Reaksi Moreau pertama kali adalah menunjukkan sikap waspad
Itu mengejutkan. Sesuatu yang tidak pernah Moreau pikirkan. Dia melebarkan kelopak mata hingga menepis lengan Abihirt yang bertaut sangat dekat di wajahnya. Menjadi simpanan sama sekali bukan hal yang pernah masuk ke dalam daftar. Moreau tak pernah ingat bahwa dia akan menuliskan sesuatu di atas catatan, tentang pelbagai keputusan menyedihkan. Berharap tidak pernah ada peristiwa seperti itu yang terlibat di setiap episode hidupnya. Abihirt telah mengambil langkah terlalu jauh. Sangat salah jika ingin melibatkan tindakan terlarang di antara mereka. Tidak sepantasnya. Moreau tidak akan pernah membenarkan hanya karena mereka pernah melakukan hubungan satu malam. Sesuatu yang dilakukan tanpa sengaja, dia akan selalu menganggap itu kecelakaan. Tidak lagi. Tidak di sini, andai, Abihirt berniat menggunakan foto mereka sebagai ancaman mutlak. Moreau siap membantah, dan memastikan dia memiliki setiap cara terbaik melakukan penolakan.
“Ada apa memintaku datang ke kantormu?” Senyum di sudut bibir Barbara langsung menanggapi dengan serius. Setelah beberapa kali meninggalkan pesan, dia akhirnya mendapati Abihirt sedang menjulang tinggi dan melangkah lebih dekat ke meja kerja. Barbara segera meninggalkan pekerjaan untuk menyambut suaminya. Dia bangkit, memeluk tubuh Abihirt, menghirup aroma tubuh memabukkan, hingga memastikan lekuk bibir di wajahnya tidak secepatnya hilang. Hanya ketika sedikit mengambil jarak, Barbara melangkah kembali ke kursi kerja. “Duduklah, Darling. Aku minta maaf soal semalam. Tapi bisakah kau beritahu kepadaku di mana kau tidur setelah meninggalkan rumah? Karena aku sudah menghubungi Roki dan dia bilang kau sama sekali tidak ke kediamannya.” Itu terkesan seperti mencecar. Barbara mengerti dan mungkin dia terlalu berlebihan saat Abihirt sendiri begitu tenang mengamati wajahnya. Ujung jari pria itu mengetuk di permukaan meja kaca, sebentar saja. Lalu, sambil agak mencondongkan tubuh, Barb
“Tidak semangat latihan, huh?” Juan menyenggol lengan Moreau ketika dia sedang berkeringat, tak berhasrat, bahkan sedang haus – hausnya untuk meneguk sebotol air mineral dengan wajah menengadah tinggi. Suara kerongkongan mencuak ke permukaan hingga Juan tersulut untuk menelan ludah kasar. Tanpa meninggalkan perhatian dari tingkah Moreau yang aneh, pria itu mengambil posisi duduk berdampingan, menenggak air dari botol minum berbeda—khusus diperuntukan kepada mereka setelah menyelesaikan latihan atau bahkan ketika sedang dalam proses. Hening menyelinap beberapa saat di antara mereka. Moreau tidak tahu apa yang dapat dia katakan. Nyaris tidak memiliki petunjuk sekadar mengomentari bagian paling mengejutkan yang terungkap di kamarnya tadi pagi. Ini tidak beres. Moreau bingung bagaimana Abihirt menjadi api sekaligus berperan sebagai pemadam, yang melenyapkan kebakaran dalam waktu sekejap. Hal – hal yang begitu bagus tertanam di benaknya, pelbagai macam kalimat persuasif yang baik meng
Berulang kali kelopak mata Moreau mengerjap, menyesuaikan situasi setelah tanpa sadar tertidur di samping ayah sambungnya. Dia berusaha mengumpulkan nyawa; mengumpulkan sisa – sisa bagian dalam dirinya yang masih begitu mengantuk. Namun, hening yang bergemuruh seketika menyadarkan supaya dia ditarik secara paksa ke permukaan. Segera menyadari bahwa Abihirt sudah tidak berada di tempat terakhir kali merasa pria itu masih tertidur di sisi ranjang sebelah. Sambil perlahan beranjak bangun, Moreau mengedarkan pandangan ke pelbagai arah. Tidak ada siapa pun. Dia di sini sendirian. Abihirt sepertinya pergi, tetapi ponsel pria itu masih tergeletak di atas nakas—persis sama sekali tidak disentuh, karena terlihat tak berubah tempat. Moreau masih ingat posisi yang dia pilih di sana dan bisa menebak sebagai dugaan paling tepat. Mungkin ayah sambungnya terburu – buru, sehingga melupakan satu hal tersebut. Sekarang apa yang bisa Moreau lakukan? Dia mengembuskan napas kasa
“Kau terlihat seperti villain, kau tahu itu?” Moreau berkomentar tanpa sadar saat dia masih mengulik ponsel ayah sambungnya untuk memilih foto mana yang perlu dipertahankan dan tidak. Walau sebenarnya hampir tidak ada yang tersisihkan, karena dia nyaris menyukai semua hasil tangkapan gambar Ahmed. Bahkan potret terakhir sekalipun dengan ekspresi wajah terkejut begitu kentara di sana; di mana sikap Abihirt benar – benar membuat wajah Moreau terbenam di antara lengan pria itu yang menjepit. Dia diam – diam tersenyum membayangkan kembali kejadian tersebut. Berpikir jika ayah sambungnya merupakan tipikal orang yang jahil. Hanya diberi sampul berupa gunung es untuk tidak mencair begitu saja. Bagaimanapun ini kali kedua Moreau mendapati Abihirt bersikap lepas terhadap pengendalian diri yang murni. Tentu tidak menduga – duga secara asal. Lagi pula, mereka memutuskan segera kembali ke hotel setelah pria itu memastikan dia telah merasa puas, meski sebenarnya tidak. Hanya tid
“Aku tidak mau melakukan hal konyol seperti ini.” Suara serak dan dalam pria itu—ntah terdengar menyerupai bisikan kecil, meski Moreau dapat mendengar sangat jelas, bahkan menafsirkan nada enggan yang begitu kentara di sana. “Ini tidak konyol,” dia membantah setengah jengkel. “Tapi kau yang tidak punya selera humor,” dan meneruskan dengan kata – kata jujur. Abihirt terlalu kaku. Sungguh sangat tidak menyenangkan jika ayah sambungnya masih akan bersikap seperti itu. “Sekarang lihatlah ke kamera.” Ahmed sudah begitu siap. Moreau tidak akan membiarkan Abihirt hanya diam tanpa minat. Secara naluriah memeluk lengan pria itu—memaksa supaya ayah sambugnnya bersiap – siap. Sementara dia melebarkan sudut bibir ke arah kamera. “Tersenyumlah sedikit, Mr. Lincoln.” Abihirt mati gaya. Itu yang sudah bisa Moreau duga. Dia diam – diam mengembuskan napas kasar dan menarik lengan ayah sambungnya lebih dekat. Paling tidak, ini tak akan terlihat buruk saat dia haru
“Kau yakin hanya akan menuntunku saja? Tidak mau ikut menunggang unta bersamaku?” Mereka telah melakukan perjalanan terlalu jauh. Moreau sendiri tidak yakin apakah ayah sambungnya akan sanggup melangkah lebih lama. Pria itu benar – benar hanya menuntun. Berjalan di samping unta, menyusuri hamparan gurun pasir yang panjang, sementara dia menunggang dengan tenang dan sesekali memperhatikan Abihirt ketika pria itu terlihat sangat berkeringat. Ada satu bagian—persis tidak bisa Moreau lewatkan. Kulit Abihirt terlihat murni. Ujung hidung pria itu memerah. Sebuah reaksi ajaib di mana panas terik membuat ayah sambungnya terlihat seperti bayi yang dijemur di pagi hari. Moreau tidak tahu apakah dia perlu tersenyum. Terus mengagumi. Atau memaksa Abihirt supaya bersikap setuju. Masih belum ada tanggapan dan sepertinya itu tidak akan berjalan dengan mudah. “Jangan bilang kau tidak tega melakukannya. Maksudku, menunggangi unta,” dia bicara tanpa berpikir ternyata akan san
Moreau tidak tahu percakapan di antara mereka. Secara teknikal dia tidak mengerti bahasa Arab, tetapi ayah sambungnya terdengar mengatakan setiap kata begitu lancar; itu dapat diduga dari lawan bicara yang terlihat tidak mengalami kesulitan menanggapi—mungkin tentang urusan penting. Moreau seharusnya menjatuhkan perhatian pada bagaimana jemari Abihirt melipat kain sorban dan tampaknya juga merupakan hal biasa; hal yang sering dilakukan. Sayangnya, dia tetap merasa terkejut, terutama ketika pria itu menarik tubuh mereka saling berhadapan. Tidak ada protes terungkap dari bibir Moreau. Hanya terus memperhatikan setiap detil tindakan dari Abihirt. Tangan pria itu bergerak persis mendekatkan sorban di kepalanya, menempelkan pada bagian penting di kening, lalu mengatur gulungan sorban menjadi lipatan indah dengan rambut yang dibiarkan tergerai panjang. Rasanya benar – benar terlalu mudah menyaksikan Abihirt melakukan segala sesuatu di sana. Moreau tak bisa menahan diri, b
“Jangan bergerak!” Moreau menyerahkan perintah secara naluriah usai mendeteksi gerakan menghindar yang samar dari ayah sambungnya. Dia sudah berusaha berjinjit lebih tinggi dan sikap enggan pria itu hanya akan membuat tindakannya menjadi sia – sia. “Menunduklah sedikit, Abi.” Atau seperti ini lebih adil. Moreau menarik dua sisi dari jaket kulit di tubuh Abihirt, supaya ayah sambungnya bersedia membungkuk, maka dia bisa lebih leluasa memoleskan tabir surya di wajah pria itu. Mereka pergi ke pusat pebelajaan untuk ini dan dia tidak akan membiarkan Abihirt menolak begitu saja. Menolak setelah mereka sampai di sini. Sekarang ayah sambungnya sudah menemukan jawaban; di mana tempat yang Moreau untuk mereka datangi. Padang pasir. Dan yang paling dia inginkan adalah menunggangi unta, tetapi sebelum itu, Moreau akan senang jika mereka menjelajahi hamparan pasir di bawah terik matahari. Hanya perlu meyakinkan ayah sambungnya supaya sedikit lebih terbiasa meneri
Sorot mata Moreau dan iris kelabu di sana sempat saling terperangkap. Embusan udara terdengar lebih brutal—penuh pelampiasan. Mereka telah meledak hebat. Dia tidak mencoba sekadar mengatakan sesuatu, membiarkan jeda beberapa saat, lalu Abihirt segera menyembunyikan wajah di antara ceruk lehernya. Mulut yang terasa hangat hanya dibiarkan terlalu lama bersentuhan dengan beberapa helai rambut panjang yang melekat hingga di sekitar garis bahu. “Aku ingin tidur.” Moreau tidak bicara asal. Dia lelah, seperti memang mengantuk. Barangkali karena telah menunggu terlalu lama, dan ketika Abihirt menyelesaikan pelbagai urusan bisnis bersama Sheikh, pria itu malah menyentuhnya dengan beberapa adegan intim yang menyenangkan. Sedikit pergerakan kecil terdeteksi ketika Abihirt bergeser. Moreau terpaku saat pria itu mengambil jarak diliputi kedua tangan menekan di permukaan ranjang, seperti ada sesuatu yang dipikirkan, kemudian wajah ayah sambungnya berpaling ke sekitar. “S
“Abi ....” Suara Moreau tercekat. Lidah Abihirt menyeka masuk ke inti tubuhnya. Bahkan pria itu mencelupkan satu jari ke dalam—sengaja bergerak tentatif di sana, sehingga dia nyaris mengangkat pinggul saat merespons setiap rangsangan yang suami ibunya berikan. Benar – benar nikmat. Moreau persis mendeteksi ada gelenyar yang ingin lepas, seperti ingin mengeluarkan sesuatu, tetapi dia takut mengencingi wajah pria itu. Telapak tangannya segera mengepal erat pada kain apa saja di ranjang. Bahkan bergerak gelisah. Sial, semakin berusaha menahan diri ... rasanya dia akan lebih meledak. Abihirt tidak berhenti dan itu membuat Moreau kewalahan. Dia mengeluarkan suara mencicit—nyaris menyerupai desahan, lalu semua lepas begitu saja. Moreau merasakan sesuatu merembes. Kain – kain di sekitar pinggulnya perlahan membasah. Dia memerah saat Abihirt mengambil sedikit jarak dengan seringai samar ketika mereka melakukan kontak mata. “Aku pipis?” Napas Moreau menggebu s
“Mengapa kau tak bilang dari kemarin kalau sudah selesai datang bulan?” Suara serak dan dalam Abihirt terdengar parau. Sesuatu yang tidak Moreau gulung terlalu lama. Dia hampir lupa mengenai hal itu. Belum lewat lima hari dan memang telah selesai. Hanya tidak menyangka jika ayah sambungnya akan cukup teliti mengenai privasi semacam ini. “Mengapa aku harus mengatakannya kepadamu?” Perlu dipertimbangkan kembali bahwa Moreau sedang berada di masa subur. Dia sebaiknya mengingatkan Abihirt bahwa ini akan berisiko besar. Tidak ada pengaman. Tidak ada persiapan. Mereka bergairah dengan cepat dan semalam .... Moreau tidak tahu apakah perlu merasa cemas, meski Abihirt membuatnya menelan habis bagian dari pria itu diliputi kata – kata yang menjanjikan. “Kau sengaja membuatku menunggu lama.” Protes sarat nada menuduh di balik bisikan ayah sambungnya secara naluriah memberi Moreau desakan untuk menggeleng samar. Dia menggeliat waspada. Ingin melepaskan d