“Aku sudah sering mengingatkanmu, Abi. Berhenti konsumsi alkohol. Kau tahu minuman itu memiliki interaksi tidak terduga dengan obat – obatan. Vitamin-mu akan menunggu jika kau tidak datang tepat waktu.”
Roger selalu memiliki alasan menceramahinya dengan segala jenis kalimat yang terungkap pada masa – masa seperti ini. Jadwal pemeriksaan khusus, yang sialnya tidak dapat diatur ulang, walau Abihirt sudah mencari cara serius menghindari dokter sekaligus sepupu paling akrab. Dia menatap Roger setengah menyipit setelah pria itu menggeser sebotol kapsul vitamin dan melingkari jadwal untuk melakukan transfusi darah. “Minggu depan kembali lagi ke sini. Mengerti, Abi—oh berhentilah memainkan koleksi mahalku!” Roger segera bangkit—sedikitpun tidak akan membiarkan Abihirt menyapukan ujung jari pada seri robot mahal miliknya. Dia segera menggeser kaca lemari—menutup dengan hati – hati—lalu mengantongi kunci ke saku jas. Ada pelbagai macam pasien, dan mereka tidak berani sekadar melirik, tetapi yang satu ini adalah pengecualian. “Biar kuingatkan lagi, jangan konsumi alkohol. Aku harap semalam adalah yang terakhir.” Ntah harus kali ke berapa agar Roger berhenti bicara. Abihirt memijat pelipis frustrasi, akhirnya melangkah ke meja kerja Roger. Dia mengambil botol vitamin itu sembari menarik napas kasar sambil memikirkan jawaban terbaik terhadap ocehan Roger. “Aku tidak akan minum tanpa alasan, kau tahu itu. Roki memaksaku datang ke klub dengan dalih merayakan hari pernikahanku. Aku tidak bisa menolak.” Roger tiba – tiba berdecak seolah menganggap pernyataan Abihirt sekadar pembelaan diri. “Harusnya kau ke klub cukup dengan pesan segelas air mineral saja,” ucap pria itu menambahkan. Sebuah saran yang membuat Abihirt mendelik sanksi. “Kau pikir aku anak bawang?” Abihirt hanya terikat aturan. Tidak lebih. Namun, Roger akan selalu menganggapnya berbeda. Pria itu telah memiliki cara untuk mencari celah dengan mengajukan pertanyaan lainnya. “Jadi sebenarnya kau datang ke klub untuk menunjukkan siapa yang lebih tahan dengan alkohol? Apa yang kau dapat jika menang?” Tubuh seorang gadis muda. Tetapi semua itu murni kecelakaan. Salah Barbara yang tak ingin memperkenalkannya kepada Moreau jauh – jauh hari, dan tindakan Roki di luar kendali. Bajingan itu sudah terduga akan sangat puas menyimpan rekaman video ketika Abihirt membawa Moreau pergi menuju pintu keluar klub, kemudian akan mengancam dengan uang. “Aku mendapat hiburan.” Hanya itu yang mampir di benaknya untuk diungkapkan. Sebelum Roger dapat mengatakan sesuatu lebih serius, Abihirt segera mengambil langkah meninggalkan ruang praktek pria tersebut. Sudah cukup mendengar wejangan tak berpinggir. Ada sisa pekerjaan yang perlu dikerjakan. Barbara mengatakan akan memintai sekretaris wanita itu untuk mengirim surat kontrak perjanjian. Abihirt merogoh ponsel ketika berjalan ke arah parkiran mobil. Pesan singkat dari Barbara memancing keningnya untuk mengernyit. [Maaf, Darling. Aku meninggalkan berkas kerja sama kita di kantor pribadiku di rumah. Tadi sudah kuhubungi Moreau untuk membawanya ke kantormu. Dia mungkin sudah dalam perjalanan. Apa kau ada di sana?] Abihirt hanya menatap seluler genggamnya dengan sorot mata begitu dingin. Kebiasaan Barbara adalah sering kali terburu – buru dan berakhir seperti ini. Barangkali Moreau akan segera sampai. Dia perlu lebih cepat melakukan perjalanan ke kantor. *** “Moreau?” Panggilan dari suara dengan kesan familiar memberi Moreau indikasi bahwa sesuatu akan membuat perasaannya tidak nyaman. Dia membeku—berharap pemikiran tersebut tidak benar, berharap bukan itu yang akan terjadi sekarang, yang meninggalkan desakan hebat, dan Moreau perlu berjuang demi mengambil keputusan besar. Saat ini, kebutuhan untuk berpaling tidak dapat dicegah. Moreau menarik napas panjang – panjang, memutar separuh tubuh dan ternyata .... Udara yang mencekat segera menyusul. Bertemu Froy di suatu tempat tak diinginkan adalah pengalaman paling tidak menyenangkan. Sesuatu yang juga terasa ganjil saat dia menemukan pria itu berada di kantor ayah sambungnya. Apa yang Froy lakukan? “Mengapa kau ada di sini?” Malahan, alih – alih Moreau dapat mengajukan pertanyaan. Froy lebih dulu melontarkan rasa ingin tahu pria itu. Tidak banyak perubahan, tetapi Moreau sudah tidak akan pernah mau menaruh perhatian lagi kepada mantan kekasihnya. Biarkan Froy menjalankan kehidupan seperti biasa. Moreau juga memiliki kesibukan sendiri. “Urusan penting.” Dia hanya menjawab singkat. Mungkin itu bisa menegaskan kepada Froy; tidak perlu banyak percakapan di sini. Moreau ingin pergi. Sudah berniat melangkahkan kaki. Namun, sentuhan Froy di pergelangan tangannya meninggalkan kesan tidak sopan. “Ini perusahaan besar. Urusan penting apa yang membawamu sampai ke sini?” Iris biru terang Moreau mendelik tajam. Pria itu bertanya seolah dia tidak ada apa – apanya. Andai Froy tahu, tetapi Moreau tidak akan merasa bangga. Abihirt memiliki perusahaan besar ini dengan status hubungan mereka yang hanya sebatas ayah dan anak sambung. Tidak lebih. Paling sedikit ... perlu menambahkan kencan total semalam. Akan tetapi, apa pun itu. Moreau tidak ingin mengungkit lagi. Dia hanya dituntut urusan menyerahkan berkas penting setelah Barbara menghubunginya untuk meminta pertolongan. Berpikir ini akan berakhir sebentar, lalu dia bisa menjalankan sesi latihan dengan tenang. “Aku harus pergi, Froy. Lepaskan tanganku.” Tanpa mengungkapkan lebih jauh. Moreau menepis cengkeraman tangan Froy. Pria itu harus tahu bahwa hubungan mereka sudah pupus sejak seminggu lalu. Memang masih diliputi rasa penasaran yang besar mengenai alasan paling masuk akal mengapa Froy mengambil keputusan sepihak. Menyedihkan, pada momen pria itu menolak bicara. Moreau tidak akan pernah memaksa apa saja yang Froy sembunyikan darinya. Percuma. Dengan menaruh curiga bahwa pria itu menginginkan kehidupan yang sukses. Menggapai cita – cita, terpaksa merelakan hubungan mereka, sudah cukup membuat Moreau merasa lebih baik. “Sayang, kau bicara bersama siapa?” Muncul wanita berpakaian modis. Moreau tahu sekarang. Bodohnya. Dia mendengkus secara naluriah. Hampir tertawa, ironi, itu terdengar seperti suara berdecih. Samar. Walau begitu ... tindakan Moreau sangat mungkin membuat Froy menatap cemas ke arahnya. “Siapa ini?” Pertanyaan dari wanita yang sama hanya ditanggapi dengan senyum tipis. Moreau rasa dia perlu membantu Froy mengungkapkan sesuatu dengan bohong. Pria itu terlihat tidak ingin pacar barunya—yang hanya membutuhkan waktu satu minggu sekadar mencari pengganti—supaya tidak menganggap Moreau sebagai ancaman. “Aku teman sekolah Froy.” Improvisasi yang bagus, tetapi Moreau sedikit terkejut saat Froy mencegah tangan kekasih barunya yang perlahan terulur. Pria itu tersenyum gugup sambil melirik ke sekitar. “Lebih baik kau kembali ke mobil, Lewi. Aku dan Moreau akan bicara sebentar saja.” “Lewi? Jadi dia teman kuliahmu dulu?” Moreau mengajukan pertanyaan tepat setelah Lewi meninggalkan mereka berdua di halaman parkir kantor. Pengetahuan di puncak kepalanya makin bertambah jelas. Dia menatap Froy getir. Menepis tangan pria itu kasar saat nyaris sebuah sentuhan kembali berakhir di pergelangan tangan. “Jadi ternyata kau sudah mengkhianatiku jauh – jauh hari. Pantas, selama ini hingga sampai di hari wisuda-mu, kau selalu tidak memiliki waktu.” “Kau jangan salah paham.” Sebelah alis Moreau terangkat tinggi mendeteksi Froy akan kembali melanjutkan. “Lewi hamil. Aku membawanya ke sini karena kami baru saja kembali dari dokter kandungan, tapi aku juga ada urusan bersama pamanku. Jadi, katakan apa yang kau lakukan di sini?” “Hamil?” Alih – alih menjawab pertanyaan Froy langsung. Moreau justru menandai pernyataan paling mengejutkan itu. Froy membubarkan hubungan mereka karena pria tersebut mengkhianati, hingga menghamili wanita lain. Sudah seharusnya begitu. Sudut bibir Moreau melekuk getir sambil menghindari kontak mata bersama Froy. Niatnya masih sama, ingin meninggalkan pria ini. Namun, ntah atas dasar apa Froy terus menghalangi keputusan Moreau mengambil satu langkah melupakan percakapan mereka di sini. “Moreau?” Suara serak dan dalam dalam Abihirt belakangan ini sudah menjadi sesuatu paling akrab di benak Moreau. Dia segera memalingkan wajah, antara lega dan membeku menemukan pria itu dengan setelan jas biru gelap, begitu tampan ... sedang menjulang tinggi—perlahan mendekati mereka. Untunglah di waktu bersamaan Froy juga tidak melakukan tindakan mengancam, atau Moreau akan menyebut pria itu sama terkejut ketika mendapati Abihirt sudah sejengkal jarak diliputi aroma maskulin yang menyergap deras. “Paman, kau mengenalnya?” Keterkejutan di balik suara Froy membekaskan sesuatu, yang sepertinya telah Moreau lewatkan. Dia mengamati wajah Abihirt dan Froy bergantian. Tidak harus selalu dengan kemiripan, tetapi mengapa Froy tidak pernah bercerita tentang paman-nya di Madrid? “Moreau di sini untuk bertemu denganku. Sebaiknya kau biarkan dia pergi.” Ketika Froy tanpa mengatakan sesuatu sekadar membantah. Moreau mengerti pria itu tidak cukup berani menghadapi paman-nya. Mungkin Abihirt memiliki kuasa, yang Froy tahu akan kehilangan harapan jika dan jika membuat keributan di sini. Bahkan tidak ada sepatah kata lainnya saat tiba – tiba Abihirt menggenggam tangan Moreau untuk melangkah pergi.“Jadi, bisa kau jelaskan padaku mengapa keluargamu tidak hadir di pesta pernikahan kemarin?“ Moreau tidak akan menunda lagi terhadap rasa ingin tahu-nya setelah pertemuan tidak disengaja bersama Froy. Aneh mengetahui Abihirt memiliki hubungan darah bersama mantan kekasihnya, tetapi Froy tidak terlihat di mana pun di hari pernikahan kemarin. Sekarang dia mulai meragukan seperti apa pemikiran Abihirt yang tak terungkap. Moreau takut pada akhirnya Abihirt adalah pria berbahaya, sementara dia dan ibunya telah terlibat ke dalam hubungan terikat bersama pria itu. Tanpa sadar jari – jari tangan Moreau saling mengetat menunggu Abihirt akan mengatakan sesuatu, setidaknya sedikit, meskipun pria itu tampaknya begitu disibukkan kegiatan membaca berkas yang dia bawa sesuai permintaan Barbara. Betapa serius ... wajah dingin Abihirt luar biasa tampan. Moreau menelan ludah kasar. Berusaha tidak terpesona—enggan menatap wajah pria itu lebih lama. Dia lebih memilih memindahkan perhatian ke sekitar k
Abihirt menjulang tinggi dari lantai dua di sebuah gedung hanya untuk mengamati betapa elok tubuh langsing dengan lekuk sempurna ... sedang berputar—memainkkan gerakan tangan dan kaki di atas lapisan es yang licin. Pemandangan serius hampir tidak akan pernah membuat Abihirt meninggalkan rambut cokelat natural, diikat kuncir kuda mengibas ke pelbagai arah mengikuti setiap gerakan yang tercipta. Moreau begitu cantik diperhatikan dari di sudut mana pun. Sebuah gambaran alamiah dari pancaran daun muda itu. Kadang – kadang, muncul senyum tipis ketika mata biru terang Moreau tersenyum geli ke arah pria yang juga menari bersamanya. Juan Baker mulai mengangkat tubuh—yang mungkin—terasa ringan dengan sangat muda, sehingga Moreau seolah telah menaruh seluruh kepercayaan untuk tidak pernah ragu terhadap apa pun yang akan terjadi. Mereka tampak serasi sebagai figure skating. Menari seperti pasangan dan Abihirt akan berpaling sesaat ... pada adegan wajah yang begitu dekat. Tidak ada ciuman.
“Terima kasih atas ketertarikan Anda dalam menyuntikkan dana pada tim organisasi kami, Mr. Lincoln. Banyak orang mengenal Anda sebagai pengusaha muda yang sukses, ini akan sangat bagus jika nanti banyak yang berniat menjadi sponsor kami.” “Tidak perlu sungkan, Mr. Pablo. Mendiang ibuku juga seorang mantan penari es. Aku senang melakukannya.” Hanya ketika Barbara menceritakan kesibukan Moreau sepanjang hari dan semua yang tertera di data pribadi gadis muda itu. Abihirt tiba – tiba tertarik melakukan kegiatan menantang. Banyak cerita tentang keanggunan ibunya, membuat dia selalu tertarik dan terpukau. Tak dimungkiri bahwa tubuh Moreau yang meliuk indah sedikit membangkitkan selera Abihirt yang usang. Sekadar terlibat ke dalam sesuatu—tampaknya—tidak akan cukup memberi Abihirt pengaruh. Dia menatap Mr. Pablo dan menerima jabatan tangan pria di hadapannya. Kesepakatan sudah dimuat. Percakapan selesai. Dia perlu meninggalkan tempat ini setelah menyerahkan beberapa pekerjaan secara penuh
"Maaf, aku terlambat." Setelah cukup terburu - buru menghadapi trafik jalan yang tegang. Abihirt mengambil posisi tepat saling berhadap - hadapan bersama Barbara. Dia mengamati wajah masam yang nyaris tak berusaha disembunyikan. Tampaknya wanita itu menunggu terlalu lama dari yang coba dipikirkan. Abihirt mengerti, dan dia harap Barbara seharusnya memahami bahwa meeting penting memang menyita waktu lebih sering, terlebih jika beberapa bagian tak terduga muncul mengisi rumpang - rumpang yang tertinggal di antara pembahasan serius. Namun, di sini adalah Barbara. Abihirt mengerutkan dahi sebentar, bersikap sedikit tenang dan dewasa menghadapi wanita yang sedang marah. Membiarkan Barbara menunggu sendirian hampir setengah jam mungkin sudah menjadi bagian yang harus ditangani. Sendirian. Ya, barangkali itu juga perlu digarisbawahi. Mata kelabu Abihirt bergerak. Baru disadari ternyata sepanjang waktu berjalan masuk ke dalam restoran dia telah melewatkan sesuatu yang ganjil di antara
Sepertinya bukan keputusan yang tepat pulang sendirian. Abihirt nyaris tidak dapat mengendalikan setir dengan baik setelah sepanjang waktu harus menghadapi desakan serius yang berefek dalam dirinya. Sekujur dada dan tenggorakan rasanya seperti terbakar. Dia sudah menghubungi Roger, mengirimkan alamat rumah Barbara agar pria itu dapat menyusul, atau jika tidak sesuai rencana, Roger akan tiba lebih dulu. Abihirt sudah mencari jalan pulang tercepat, yang paling tidak sedikit dilalui kendaraan. Tetapi, tampaknya itu juga merupakan kesalahan besar. Alih – alih kaki langit yang gelap mengiringi suara sayup – sayup di udara, malah para pengendara motor liar dengan tidak ramah menunjukkan eksistensi mereka. Satu demi satu bermunculan. Mereka gebut. Kemudian salah seorang pemotor mendapat tabrakan mutlak. Abihirt melakukan bantingan terjal—ujung kakinya menekan rem hingga terhentak kasar ke depan, sementara pria dengan pelindung kepala bergulir beberapa kali ke aspal. Motor yang terseret secar
“Apa yang sedang kau lakukan di sini, Moreau?” Pertanyaan Abihirt semacam segumpal daging yang membuat ujung tenggorokan Moreau tercekat. Dia tidak tahu harus bagaimana menyerahkan jawaban, saat seperti ada sesuatu yang coba ayah sambungnya tahan – tahan di hadapan banyak orang. Dan mungkin, karena Moreau masih berdiam diri untuk waktu yang lama. Suara Juan segera menimpali. “Saya yang membawa Moreau ke tempat ini, Mr. Lincoln. Tolong jangan memarahi-nya.” “Aku tidak bicara denganmu.” Mata kelabu itu mendelik luar biasa tajam. Secara naluri Moreau mendorong dada Jaun agar pria di sampingnya mundur. Dia sadar mereka telah menjadi tontonan. Ini bukan lagi tentang balapan liar, tetapi bagaimana Abihirt nyaris tak mementingkan keberadaan orang – orang di sekitar. Moreau tak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Berjuang keras memaksakan lidahnya yang keluh untuk bersuara. “Aku—aku, baru tiba di sini. Juan bilang ada petunjukkan balap, jadi kami hanya akan menjadi penonton. It
Mereka sampai di halaman rumah lebih cepat dari bayangan Moreau setelah hampir sepanjang jalan meragukan kemampuan Abihirt dalam berkendara. Pria yang sedang tidak baik – baik saja, tetapi memaksa untuk mengemudi. Moreau masih menyimpan separuh pengetahuan tersebut di puncak kepalanya ketika sedang mengamati Abihirt berjalan nyaris tersaruk menghampiri seorang pria yang sepertinya sudah menunggu lama. Mereka hanya bicara sebentar, lebih daripada itu Moreau menyaksikan sendiri langkah Abihirt yang terburu – buru ingin menggapai ruang tamu. Dia mengekori di belakang dan menelan ludah kasar saat ayah sambungnya menjatuhkan tubuh dengan kasar di atas sofa, sementara pria lainnya sedang mengeluarkan sesuatu dari tas koper berbahan kulit. “Apa yang kau lakukan?” Moreau mengerti bahwa pria yang sejak awal dia amati adalah seorang dokter. Dia hanya ingin tahu apa yang secara spesifik sedang dilakukan—maksudnya, dalam rangka atau sakit yang serupa bagaimana hingga tampaknya Abihirt memilik
[Darling, aku menginap di rumah Ferarra. Kami mengadakan pesta minum – minum. Aku tidak akan bisa menyetir nanti. Tidak perlu menungguku dan aku juga tidak mau kau menjemputku. Kau bisa tidur lebih dulu. Aku mencintaimu. Salam sayang, Barbara.] Itu pesan semalam. Abihirt mengembuskan napas kasar dan meletakkan kembali seluler genggam ke atas meja kaca. Roger sudah memberikan obat, tetapi rasanya dia benar – benar akan demam. Sekujur tubuh luar biasa seperti teremuk redam, kaku, dan tulang – tulang di antara tangan maupun kaki begitu ngilu. Abihirt mengernyit saat berusaha bangun. Perlahan mengenyakkan punggung di sandaran sofa. Tidak ada siapa pun di ruang tamu. Ingatan mengenai Roger di malam yang sama, memberitahu bahwa pria itu telah berpamitan pulang, yang sempat memberi ocehan panjang kepadanya. Harusnya memang lebih baik pria itu tidak di sini. Kenyataan bahwa Roger sanggup membuat puncak kepalanya berdenyut, adalah sesuatu yang tak dapat Abihir
“Kau tidak mencintaiku.” Hanya itu yang Moreau katakan sebagai bentuk antisipasi. Dia tidak ingin terlalu jatuh dan akhirnya terjerembab pada jurang tak bertepi. “Aku mencintamu.” Lagi. Ungkapan Abihirt merupakan bagian dari sikap ingin membantah. Moreau tidak percaya. Dia tak akan pernah bisa percaya setelah semua yang mereka hadapi. Semua terlalu mendadak membayangkan jika ternyata tiba – tiba pria itu akan mengatakan semuanya. “Tidak. Kau mencintai ibuku, Abi. Kau tidak bisa membohongi perasaanmu.” Supaya mereka tetap waras. Moreau mengingatkan ayah sambungnya. Melihat sejauh mana pria itu akan bereaksi. Hampir tidak ada apa pun, sesuatu yang mungkin dapat memberi pengaruh. Ketenangan Abihirt semacam luas samudra—tidak dapat dibelah, sebaliknya dia akan tenggelam tanpa pernah bisa mencapai dasar. “Aku justru membohongi perasaanku sendiri, jika tidak pernah mengatakan ini kepadamu. Kau sangat berarti, Moreau. Maaf, kalau apa pun yang telah kulakukan,
“Abi, keluarlah.” Moreu tidak ingin menunggu lebih lama. Sudah cukup rasa muak mengadili ketakutan di dalam dirinya. Seseorang berusaha tidak mendengar apa pun, sementara dia sendirian—mati – matian, mendambakan akan ada hasil dari sesuatu yang telah membentuk sebongkah reaksi lelah. Persetan! Moreau tidak peduli. Tindakan yang dia lakukan tidak lagi menyentuh pergelangan tangan Abihirt, tetapi beralih mendorong tubuh pria itu dari belakang. Perlu usaha sangat keras hingga ... setidaknya, ada prospek bagus di mana dia merasakan satu kaki ayah sambungnya mulai terangkat dan sulur – sulur pria tersebut menggeram tidak setuju. Itu bagus. Moreau kembali melakukan pelbagai usaha agar jarak mereka terduga lebih dekat dengan ambang pintu balkon. Dia terlalu memaksa. Barangkali menjadi alasan utama, mengapa sisi berbeda dari diri Abihirt segera mengambil andil. Tidak tahu kemarahan lainnya—yang berasal dari mana, yang akhirnya memenangkan pertempuran. Tubuh Moreau n
“Kau sudah tahu?” Suara serak dan dalam pria itu terdengar lambat, seakan – akan ingin memastikan. “Kenapa? Kau berharap aku tidak pernah tahu. Jadi, kau bisa melakukan segala sesuatu tanpa perlu berpikir bahwa aku akan menolak? Aku bukan mainan-mu, kau tahu itu. Apa yang kau pikirkan, huh? Kau pikir aku masih bersedia menjadi submisif-mu setelah ini? Kau jahat, Abi ....” Nada bicara Moreau diakhiri proses yang mencekat. Dia mengembuskan napas, kemudian mengusap wajah dengan kasar. Abihirt tidak terlihat terpengaruh oleh apa pun. Apakah sungguh tidak terdapat sedikipun penyesalan setelah apa yang telah pria itu lakukan? Moreau merasa sangat bodoh kali ketika dia berharap ayah sambungnya, paling tidak, akan berusaha menawarkan kehangatan. “Aku lepas kendali.” Demikian yang pria itu katakan. Semacam menyiratkan kenyataan bahwa ‘lepas kendali' adalah sesuatu yang perlu dimaklumi. Saat dia masih begitu buta melihat kebenaran. Moreau mungkin akan menc
“Aku tidak peduli ibuku sudah tidur atau tidak. Sekarang pergilah,” Moreau melanjutkan tanpa mencoba menatap wajah ayah sambungnya. Biarkan Abihirt mengerti. Pria itu akan segera mengerti saat merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka telah diadili kenyataan menyakitkan. Sudah cukup membiarkan efek samping melewati ruang bercelah dan hampir menjadikannya tiada. “Suster mengatakan kau baik – baik saja. Bagaimana dengan sekarang?” Suara serak dan dalam Abihirt terdengar tak yakin. Tidak biasanya. Secara naluriah Moreau mendengkus. Dia tidak akan pernah mengerti terhadap apa pun yang berkaitan dengan pria itu. Terlalu membingungkan dan sejak kapan Abihirt akan bersikap ragu – ragu terhadap dirinya? Apa yang sebenarnya sedang pria itu takutkan? Seharusnya tidak ada. Semua tidak mudah dipahami. Bahkan gagasan paling sungkar dimengerti sekalipun, tidak akan memiliki peran terburuk untuk membuat seseorang terus terjebak pada situasi tidak memungkinkan. “Apanya yang bagaimana d
Tidak ada perangkat apa pun yang dapat digunakan sebagai bahan penunjang. Barangkali karena lantai dua dan jalur dinding berlikuk dari desain dinding luar rumah menjadi petunjuk utuh? Itu cukup masuk akal. Tubuh tinggi Abihirt tidak akan sulit meraih celah kecil yang seharusnya membantu pria tersebut memanjat. Celakalah. Ini jelas sesuatu yang berbahaya. Moreau segera menyalakan lampu ruangan, tidak ingin kesan temaram membuat situasi terasa lebih mengerikan. Dia harus benar – benar waspada. Abihirt terlalu serius saat pria itu berharap dapat mengendalikan situasi; seperti saat mereka dituntut bicara, maka seharusnya mereka harus segera bicara. “Moreau, buka pintunya. Aku ingin tahu bagaimana kondisimu.” Dorongan dalam diri Moreau spontan membayangkan ungkapan tersebut sebagai kebohongan besar. Abihirt tidak pernah peduli kepadanya. Tidak pernah. Andai pria itu memiliki sedikit simpatisan, mungkin tidak akan pernah adegan penyiksaan yang bersembunyi di balik k
“Buka pintunya, Moreau. Aku tahu kau ada di dalam.” Moreau merasakan sayatan begitu dahsyat di dadanya saat sulur – sulur bisikan Abihirt menyelinap dari luar kamar. Sudah larut malam. Dia tahu pria itu mencari waktu yang tepat untuk memulai aksi. Tidak. Moreau tidak akan membiarkan kesalahan kembali terulang ketika mereka bertemu. Rasa sakit telah bertumpuk dan menjadikan begitu banyak hal menyimpang di antara mereka. Dia akan lebih bersuka cita jika terdapat pengalihan serius dari sebuah cinta, lalu berakhir sebagai episode kebencian yang panjang. Barangkali itu akan terjadi saat mereka bertatap muka, membuat dia mengingat kembali setiap detil peristiwa paling buruk yang sengaja ayah sambungnya mulai. Moreau secara naluriah memejam, mencoba untuk melupakan perlakuan jahat tersebut. Dia sangat ingin meluapkan segala bentuk amarah kepada Abihirt. Ya, sangat. Hanya merasa belum cukup siap digulung oleh situasi mencekam di antara mereka. Sesuatu dalam dirinya bah
Senyum puas menjadi selimut tebal kali pertama Barbara mendapati kebingungan di wajahnya. Moreau mengerti, dia mungkin akan menerima sebuah ledakan dahsyat. Berharap sanggup menyiapkan kejutan di dalam dirinya, tetapi tidak pernah menyangka bahwa ternyata itu benar – benar begitu menyakitkan. “Kau akan menjadi seorang kakak.” Moreau mengerjap berulang kali. Tahu betapa konyol sikapnya di sini. Dia akan menjadi seorang kakak .... Salahkah jika sesuatu dalam dirinya berharap itu adalah gagasan sungkar dimengerti? Dia harap tidak pernah mengerti maksud dari menjadi seorang kakak. Ironi, kenyataan berkata sangat jahat. Moreau jelas sangat memahami maksud yang begitu terselubung di balik pernyataan ibunya. Wanita itu sedang mengandung, dan celaka ... dia juga dihinggapi bentuk kebenaran terburuk. Mereka mengandung bayi dari pria yang sama. Apa yang bisa dikatakan? Moreau berusaha menelan kenyataan pahit dengan tenang. Sekarang suasana menyedihkan semakin mantap membuj
“Besok aku akan memberi tahu Mrs. Voudly kalau kau tidak bisa ikut latihan. Sekarang jangan pikirkan apa pun. Istirahatlah sampai kau merasa lebih baik.” Ada keharusan menatap wajah Juan. Moreau tersenyum tipis sebagai tanggapan pertama dan berkata, “Terima kasih, Juan Baker. Kau yang terbaik. Aku mencintaimu.” Dia ingin memeluk pria itu, tetapi mengurungkan niat saat menyadari sabuk pengaman masih merekat di tubuhnya. Mungkin memang tidak seharusnya. Suasana hati Moreau terlalu buruk sekadar menyingkirkan sisa rasa sakit yang seperti diseludupkan secara paksa. “Kau tidak mau singgah?” dia bertanya sesaat, setelah menyiapkan diri membuka pintu mobil. Juan mengedikkan bahu tak acuh. Jelas tidak ada keinginan melangkahkan kaki masuk. Terlalu buruk. Mengingat situasi di antara mereka juga tidak pernah mendukung. Juan cukup mengenal Barbara dan pria itu jauh terpuaskan saat memutuskan untuk menghindari konflik apa pun bersama ibunya. Tiba – tiba ponsel Moreau b
Pintu kamar dibuka secara paksa. Akhirnya .... Barbara tersenyum puas saat mendapati bagaimana napas Abihirt terlihat menggebu, kemudian ekspresi pria itu berkerut heran setelah menemukan situasi baik – baik saja di antara mereka. Tidak ada apa pun. Seharusnya memang seperti demikian. Jika Abihirt akan marah, hal tersebut adalah bagian dari dampak yang dia putuskan. Barbara tidak berusaha peduli. Dia hanya memikirkan kemungkinan terburuk dari kehendak suaminya; bahwa tidak akan ada keinginan menginjakkan kaki di rumah setelah perdebatan panjang mereka. Ini seperti membiarkan pria itu membayar sesuatu yang tidak dibeli dengan uang. Barbara siap menghadapi pelbagai siklus kemarahan, asal keputusan yang diambil telah memberinya petunjuk ... paling tidak, sedikit mengetahui bagaimana Abihirt masih peduli dan mereka dapat memutuskan untuk tetap mempertahankan keberadaan seorang anak di tengah badai pernikahan. Tidak akan terlalu buruk membicarakannya lagi. Situasi mer