“Aku ingin kau menjawab pertanyaanku dengan jujur.”
Memang merupakan ide buruk melakukan konfrontasi di kamarnya sendiri. Moreau sudah bisa membayangkan apa yang mungkin akan Abihirt lakukan ketika dia—secara sengaja atau tidak, melukai perasaan pria itu. Namun, mungkin ... perlu lebih berhati – hati terhadap urusan yang akan melibatkan Barbara, walau ibunya jelas tidak di sini. “Jujur seperti apa yang kau inginkan?” Perhatian Moreau tidak lepas dari setiap detil hal yang ayah sambungnya lakukan. Cara Abihirt melonggarkan dasi, atau saat pria itu menyingkirkan jas yang merekat, kemudian menyisihkan ke pinggir ranjang. Semua. Tidak sedikitpun adalah pecitraan buruk. Tidak lama lagi Moreau yakin, dia akan terpukau jika tidak segera mengendalikan diri. Sambil mengembuskan napas secara perlahan, Moreau memastikan telah memiliki keyakinan utuh, lalu berkata, “Apa kau menikahi ibuku untuk menguras harta kami?” Ini terlalu konyol. Namun, bukankah negosiasi denRasa penasaran Moreau tidak bisa dialihkan. Abihirt pandai menganalisis sehingga pria itu begitu yakin terhadap situasi yang dia dan Barbara bicarakan, tetapi apakah Moreau perlu mencoba sekadar membagi? Bukankah itu sama seperti dia kembali mengkhianati ibunya lagi? Semacam paket kombo dan sebuah pilihan tetap terasa mengerikan. Moreau mengerjap. Mungkin tidak apa – apa memulai sesuatu yang membuatnya sedikit ragu. “Baiklah. Aku akan memberi tahu apa yang ibuku katakan. Tapi, bisakah kau menjawab satu pertanyaan dariku?” tanya Moreau, setidaknya dia harus lebih pintar; menjebak Abihirt masuk ke dalam satu lubang di mana tangannya-lah yang akan mengatur beberapa hal tersisa. “Apa yang ingin kau tanyakan?” “Mengapa kau mengambil alih perusahaan ayahku? Bukankah kau tahu itu diwariskan untukku?” “Apa ini yang membuatmu berusaha menghindariku?” Alih – alih menjawab persis sesuai bayangan di benak Moreau. Abihirt sebaliknya mengajukan pertanyaan. Pria itu
“Kau merasa ibuku berusaha menjerumuskanku?” tanya Moreau lambat dan pria itu segera menambahkan jawaban. “Ya.” “Mengapa ibuku harus melakukannya?” Lagi. Moreau mengajukan pertanyaan untuk melihat sejauh mana Abihirt dapat menambahkan komentar, meski tampaknya pria itu tidak berusaha tejerembab lebih jauh. “Hanya ibumu yang tahu jawabannya, Moreau.” Ya, Abihirt benar. Moreau bisa merasakan siapa seharusnya yang dia desak dengan pelbagai tuntutan, tetapi Abihirt telah mengatakan untuk tidak membiarkan Barbara tahu. Ibunya tak boleh tahu dan apa pun itu ... dia perlu bersikap sangat waspada di hadapan wanita tersebut. Sambil menghela napas hati – hati. Moreau memutuskan untuk memindahkan sentuhan tangan dengan menangkup wajah Abihirt—menyelam ke mata kelabu pria itu. Ada sesuatu yang tersisa dan setidaknya dia perlu tahu jawabannya. “Mengapa kau lakukan ini? Kau hanya ayah sambungku. Apa pun yang coba ibuku lakukan, seharusnya kau berada di pihakny
“Bagaimana kalau ibuku mencarimu?" tanya Moreau, kemudian menelan ludah kasar saat Abihirt menutup pintu kamar seperti cara pria itu membukanya lebar. “Tidak. Aku membuat ibumu sibuk belakangan ini.” Pria itu bicara nyaris menyerupai gumaman samar. Sesuatu yang menarik perhatian Moreau. Sebelah alisnya terangkat tinggi, kemudian berkata, “Tapi tadi pagi aku masih sempat menemui ibuku.” Barbara tidak terlihat menghadapi masa – masa sulit. Seperti tidak sedang dalam tekanan waktu, sebaliknya Abihirt mengatakan prospek yang begitu kontras. “Kau bisa melihatnya nanti.” Satu kaki pria itu telah menekuk di atas ranjang. Begitu tentatif membiarkan Moreau terbaring. Sepatunya masih merekat dan Abihirt tidak harus melakukan tindakan seperti ini saat mereka bisa memulai segala sesuatu dengan pelan. Moreau mengatur posisi bangun sambil menghela napas saat mendapati Abihirt telah mengurai ikatan tali sepatunya, kemudian menyingkirkan benda tersebut hingga dia hanya
“Kau tidak boleh melakukan itu,” ucap Moreau sarat nada waspada. “Kenapa?” Dia terkesiap saat satu tangan Abihirt masuk ke dalaman satin, sementara telunjuk pria itu telah mencelup ke inti tubuhnya. Geraman puas ketika merasakan dia telah basah membuat Moreau seperti menghadapi masalah besar. Abihirt seakan melahapnya hidup – hidup jika mereka tidak mengendalikan ini dengan cepat. “Kita sudah sepakat kalau kau tidak akan bersikap kasar denganku. Jadi, jangan lakukan apa pun hal yang tidak akan aku setujui.” Moreau mengatakan pelbagai pemikiran di kepalanya dengan setengah gugup. Tatapan Abihirt meninggalkan beberapa hal. Butuh jeda cukup kentara dan pria itu masih menerewang lama ke arahnya. “Abi ...,” panggil Moreau lambat. Bagaimanapun, dia tidak bisa menghadai Abihirt yang seperti ini. Takut jika ternyata pria itu akan mencurigai sesuatu, bahkan menebak dengan tepat mengenai satu rahasia yang masih disembunyikan. Kehamilannya. Ya. “Aku ti
“Kau sakit?” Tiba – tiba punggung tangan pria itu sudah mendarat di keningnya. Moreau sedikit tersentak, tetapi segera mengendalikan diri supaya tidak meninggalkan kesan tertentu. Dia tersenyum, walau sisa serangan gugup belum sepenuhnya hilang. “Aku mungkin hanya salah makan, Abi. Tidak apa – apa. Aku baik – baik saja.” Ada keraguan di balik mata kelabu itu, yang bisa Moreau katakan bahwa ayah sambungnya mungkin sedang menyimpan sesuatu untuk dipikirkan. Sungguh, Abihirt tak boleh menggapai suatu kesimpulan, yang akan membuat situasi menjadi runyam. Dia belum bersedia melakukan konfrontasi, andai ... ayah sambungnya benar – benar akan marah mengenai berita kehamilan ini. Sambil menghela napas, Moreau memutuskan untuk menyingkirkan tangan Abihirt, lalu menggenggam jari – jari besar pria itu dengan hangat. “Kurasa, aku memang salah makan,” ucapnya sambil menyerahkan senyum tertahan. “Salah makan? Apa yang kau makan?” Bahu Moreau merosot saat menda
“Bagaimana? Kau suka?” Moreau terlalu lahap, sehingga hampir tidak memiliki kesempatan bicara. Apa pun masakan Abihirt selalu lezat. Dia menyukainya. Walau sedikit menyayangkan bahwa persediaan bahan makan mentah telah habis. Tidak banyak yang bisa pria itu sajikan, selain membuat mie—khusus—dengan tepung, berikut bumbu yang benar – benar meresap di lidah. “Kau akan membuatku memintamu supaya menyiapkan mie seperti ini lagi, Daddy,” ucap Moreau setelah menelan habis gulungan mie yang terlumat di mulut. Mungkin dia begitu antusias dan pada akhirnya tidak menyadari bahwa ada sesuatu tertinggal di sudut bibir. Tubuh Moreau secara naluriah menegang saat lengan Abihirt terulur panjang. Ujung ibu jari pria itu memberi sapuan ringan di sana. Perhatian ayah sambungnya bahkan terlalu serius; meninggalkan sedikit sentuhan canggung karena dia yakin perasaan seperti ini selalu menyerahkan kesan tertentu. Terlalu berbahaya, setidaknya sampai dia benar – benar terjatuh dalam.
Nyaris tanpa sadar bibir Moreau terbuka menanggapi pernyataan ayah sambungnya. Abihirt tidak seharusnya memikirkan apa pun itu. “Lupakan dulu piring kotor. Aku yang akan menyelesaikannya nanti. Sekarang temani aku ke kamar.” Tidak peduli. Moreau kembali menarik lengan Abihirt, hingga pria itu tidak memiliki pilihan selain menurut patuh. Mereka memasuki kamar. Dia segera menutup pintu rapat, meninggalkan ayah sambungnya berdiri dengan sorot mata tidak luput saat dia melangkah menuju lemari pakaian. Moreau mengeluarkan beberapa dress, kemudian memperlihatkan di hadapan Abihirt. “Lebih bagus yang mana?” dia bertanya. Cukup mengerti bahwa tindakannya telah membuat sebelah alis tebal dan hitam itu terangkat tinggi. Abihirt seperti sedang mempertimbangkan, tetapi tidak satu pun dress di tangan Moreau berhasil menarik perhatian pria tersebut. Sambil memutar mata malas. Moreau tahu apa yang perlu dia lakukan. Dia kembali berbalik ke arah lemari pakaian. Mencari –
Moreau menatap pantulan di depan cermin. Sudah tidak ada apa pun yang perlu dilakukan. Ya, selesai. Dia langsung melangkahkan kaki menuju pintu keluar kamar. Mengira Abihirt masih menunggu di sana, tetapi salah. Situasi di sekitar terlalu hening. Keberadaan pria itu tidak terlihat di mana pun. Mungkinkah di ruang tamu? Benak Moreau bertanya – tanya, walau dia malah melangkahkan kaki menuju dapur. Napasnya berembus kasar ketika naluri membawa mereka bertemu di sini. Lengan pria itu tampak bergerak—menyelesaikan sisa hal di westafel. “Bukankah sudah kukatakan kepadamu kalau aku yang akan mencuci piring itu nanti?” tanya Moreau setengah jengkel. Dia tahu Abihirt masih diliputi kebutuhan serius sebelum melirik ke arahnya. Tidak apa – apa menunggu beberapa saat, seraya menyingkirkan rambut yang menjuntai di depan dada. Sangat disayangkan, pengkhianatan dalam dirinya segera mengambil alih. Mendesak Moreau supaya melangkahkan kaki persis ... begitu dekat di belakang bahu ay
“Wajahmu benar – benar tidak enak dilihat, Daddy. Berapa lama lagi kau akan terus cemberut di dekatku?” Moreau tidak tahan lagi. Selama perjalanan menuju pusat pembelanjaan ... mungkin dia bisa mencegah apa pun keluar dari mulutnya, tetapi sekarang ... saat Abihirt hampir menjelma sebagai patung yang melangkahkan kaki. Semua benar – benar tidak bisa ditahan lagi. Dia tak bisa menghadapi ayah sambungnya ketika terlalu ... nyaris tidak memberi tanggapan apa pun. Apalagi pada dia momen meminta pendapat. Tidak tahu lagi harus bagaimana. Moreau sendiri mengerti penyebab signifikan yang membuat—pria itu tampak berbeda. Abihirt berbeda, ya. Ayah sambungnya hampir tidak pernah terang – terangan menunjukkan sikap enggan, yang sekarang benar – benar terlihat sedang kesal karena dia melarikan diri dari keharusan menuntaskan kebutuhan dasar mereka. Tidak tahu berapa lama lagi dia akan mendapati pria itu seperti ini. Moreau tidak begitu pandai membujuk pria yang telah dibuat kesa
“Kau sudah basah. Masih ingin menolak?” Suara Abihirt terdengar parau, seksi, selalu seperti itu. Selalu sanggup merayunya sekadar tidak mengatakan apa – apa, tetapi hasrat menerima setiap detil sentuhan yang menambahkan gairah di balik hubungan mereka. “Abi,” panggil Moreau sarat nada waspada menyadari bagaimana Abihirt sengaja mencelupkan telunjuk pria itu ke dalam tubuhnya. Dengan gerakan begitu tentatif, dia mengerti bahwa suami Barbara sengaja membuat respons tubuhnya kewalahan. Pria itu ingin dia memohon, lalu menyerahkan diri untuk disantap sebagai hidangan lezat. Abihirt benar – benar tahu bagaimana membuat hubungan mereka tampak penuh ketertarikan. Agresifitas. Semuanya. Sekarang Moreau ingin pria itu menghadapi dorongan lebih besar. “Sekarang giliranku, Daddy,” ucapnya sembari menjalankan ujung jari – jari tangan menyentuh permukaan dada di balik kemeja yang pria itu kenakan. Ada sedikit harapan, setidaknya, ketika Moreau menyadari Abihirt m
Butuh usaha untuk memahami situasi. Moreau menyerahkan perhatian lurus – lurus ke wajah Abihirt. Mencari tahu apakah ada sesuatu yang ganjil, tetapi tidak. Malah, dia menyadari betapa ayah sambungnya begitu serius. “Kalau aku cantik, apa yang akan kau lakukan memangnya?” tanya Moreau lambat. Tidak tahu mengapa keberanian begitu cepat merangkak ke permukaan. Abihirt seperti berpikir sebelum tindakan pria itu diliputi kebutuhan menyingkirkan sisa anak rambut yang berserak di dekat tulang pipi. “Rasanya aku tidak ingin membawamu keluar. Mungkin ada saran terbaik supaya kita tidak jadi pergi?” Suara serak dan dalam Abihirt berbisik sangat dekat. Ada maksud tertentu dan sialnya Moreau memahami ke mana arah pembicaraan pria itu. Dia langsung memberi cubitan, cukup keras di perut yang terasa padat berotot. Hanya sedikit reaksi dari Abihirt, selebihnya pria itu tiba – tiba mengangkat tubuh Moreau dengan kedua tangan. “Lepaskan aku, Daddy!” Tidak banyak pembero
Moreau menatap pantulan di depan cermin. Sudah tidak ada apa pun yang perlu dilakukan. Ya, selesai. Dia langsung melangkahkan kaki menuju pintu keluar kamar. Mengira Abihirt masih menunggu di sana, tetapi salah. Situasi di sekitar terlalu hening. Keberadaan pria itu tidak terlihat di mana pun. Mungkinkah di ruang tamu? Benak Moreau bertanya – tanya, walau dia malah melangkahkan kaki menuju dapur. Napasnya berembus kasar ketika naluri membawa mereka bertemu di sini. Lengan pria itu tampak bergerak—menyelesaikan sisa hal di westafel. “Bukankah sudah kukatakan kepadamu kalau aku yang akan mencuci piring itu nanti?” tanya Moreau setengah jengkel. Dia tahu Abihirt masih diliputi kebutuhan serius sebelum melirik ke arahnya. Tidak apa – apa menunggu beberapa saat, seraya menyingkirkan rambut yang menjuntai di depan dada. Sangat disayangkan, pengkhianatan dalam dirinya segera mengambil alih. Mendesak Moreau supaya melangkahkan kaki persis ... begitu dekat di belakang bahu ay
Nyaris tanpa sadar bibir Moreau terbuka menanggapi pernyataan ayah sambungnya. Abihirt tidak seharusnya memikirkan apa pun itu. “Lupakan dulu piring kotor. Aku yang akan menyelesaikannya nanti. Sekarang temani aku ke kamar.” Tidak peduli. Moreau kembali menarik lengan Abihirt, hingga pria itu tidak memiliki pilihan selain menurut patuh. Mereka memasuki kamar. Dia segera menutup pintu rapat, meninggalkan ayah sambungnya berdiri dengan sorot mata tidak luput saat dia melangkah menuju lemari pakaian. Moreau mengeluarkan beberapa dress, kemudian memperlihatkan di hadapan Abihirt. “Lebih bagus yang mana?” dia bertanya. Cukup mengerti bahwa tindakannya telah membuat sebelah alis tebal dan hitam itu terangkat tinggi. Abihirt seperti sedang mempertimbangkan, tetapi tidak satu pun dress di tangan Moreau berhasil menarik perhatian pria tersebut. Sambil memutar mata malas. Moreau tahu apa yang perlu dia lakukan. Dia kembali berbalik ke arah lemari pakaian. Mencari –
“Bagaimana? Kau suka?” Moreau terlalu lahap, sehingga hampir tidak memiliki kesempatan bicara. Apa pun masakan Abihirt selalu lezat. Dia menyukainya. Walau sedikit menyayangkan bahwa persediaan bahan makan mentah telah habis. Tidak banyak yang bisa pria itu sajikan, selain membuat mie—khusus—dengan tepung, berikut bumbu yang benar – benar meresap di lidah. “Kau akan membuatku memintamu supaya menyiapkan mie seperti ini lagi, Daddy,” ucap Moreau setelah menelan habis gulungan mie yang terlumat di mulut. Mungkin dia begitu antusias dan pada akhirnya tidak menyadari bahwa ada sesuatu tertinggal di sudut bibir. Tubuh Moreau secara naluriah menegang saat lengan Abihirt terulur panjang. Ujung ibu jari pria itu memberi sapuan ringan di sana. Perhatian ayah sambungnya bahkan terlalu serius; meninggalkan sedikit sentuhan canggung karena dia yakin perasaan seperti ini selalu menyerahkan kesan tertentu. Terlalu berbahaya, setidaknya sampai dia benar – benar terjatuh dalam.
“Kau sakit?” Tiba – tiba punggung tangan pria itu sudah mendarat di keningnya. Moreau sedikit tersentak, tetapi segera mengendalikan diri supaya tidak meninggalkan kesan tertentu. Dia tersenyum, walau sisa serangan gugup belum sepenuhnya hilang. “Aku mungkin hanya salah makan, Abi. Tidak apa – apa. Aku baik – baik saja.” Ada keraguan di balik mata kelabu itu, yang bisa Moreau katakan bahwa ayah sambungnya mungkin sedang menyimpan sesuatu untuk dipikirkan. Sungguh, Abihirt tak boleh menggapai suatu kesimpulan, yang akan membuat situasi menjadi runyam. Dia belum bersedia melakukan konfrontasi, andai ... ayah sambungnya benar – benar akan marah mengenai berita kehamilan ini. Sambil menghela napas, Moreau memutuskan untuk menyingkirkan tangan Abihirt, lalu menggenggam jari – jari besar pria itu dengan hangat. “Kurasa, aku memang salah makan,” ucapnya sambil menyerahkan senyum tertahan. “Salah makan? Apa yang kau makan?” Bahu Moreau merosot saat menda
“Kau tidak boleh melakukan itu,” ucap Moreau sarat nada waspada. “Kenapa?” Dia terkesiap saat satu tangan Abihirt masuk ke dalaman satin, sementara telunjuk pria itu telah mencelup ke inti tubuhnya. Geraman puas ketika merasakan dia telah basah membuat Moreau seperti menghadapi masalah besar. Abihirt seakan melahapnya hidup – hidup jika mereka tidak mengendalikan ini dengan cepat. “Kita sudah sepakat kalau kau tidak akan bersikap kasar denganku. Jadi, jangan lakukan apa pun hal yang tidak akan aku setujui.” Moreau mengatakan pelbagai pemikiran di kepalanya dengan setengah gugup. Tatapan Abihirt meninggalkan beberapa hal. Butuh jeda cukup kentara dan pria itu masih menerewang lama ke arahnya. “Abi ...,” panggil Moreau lambat. Bagaimanapun, dia tidak bisa menghadai Abihirt yang seperti ini. Takut jika ternyata pria itu akan mencurigai sesuatu, bahkan menebak dengan tepat mengenai satu rahasia yang masih disembunyikan. Kehamilannya. Ya. “Aku ti
“Bagaimana kalau ibuku mencarimu?" tanya Moreau, kemudian menelan ludah kasar saat Abihirt menutup pintu kamar seperti cara pria itu membukanya lebar. “Tidak. Aku membuat ibumu sibuk belakangan ini.” Pria itu bicara nyaris menyerupai gumaman samar. Sesuatu yang menarik perhatian Moreau. Sebelah alisnya terangkat tinggi, kemudian berkata, “Tapi tadi pagi aku masih sempat menemui ibuku.” Barbara tidak terlihat menghadapi masa – masa sulit. Seperti tidak sedang dalam tekanan waktu, sebaliknya Abihirt mengatakan prospek yang begitu kontras. “Kau bisa melihatnya nanti.” Satu kaki pria itu telah menekuk di atas ranjang. Begitu tentatif membiarkan Moreau terbaring. Sepatunya masih merekat dan Abihirt tidak harus melakukan tindakan seperti ini saat mereka bisa memulai segala sesuatu dengan pelan. Moreau mengatur posisi bangun sambil menghela napas saat mendapati Abihirt telah mengurai ikatan tali sepatunya, kemudian menyingkirkan benda tersebut hingga dia hanya