Cakra menunggu di dalam kereta kencana yang parkir di depan restoran. Ia tidak perlu minta izin kepada pengawal yang berjaga di sekitar kereta. Mereka tidak tahu kalau di dalam ada ksatria pekon menunggu puteri mahkota keluar dari penginapan. "Janji suci macam apa yang terjalin di antara mereka," gumam Cakra. "Jayanti sibuk dengan kesenangan sendiri, Indrajaya bermain-main dengan kimcil." Mereka mengikat janji suci bukan berdasarkan cinta, tapi berdasarkan kepentingan. Indrajaya jatuh hati kepada Dyah Citraningrum, sementara Jayanti mempunyai kekasih pangeran dari kerajaan Tandem. Mereka dipertemukan untuk mempertahankan dinasti yang mulai kencang dihembus angin perubahan. Jayanti adalah puteri mahapatih. "Sementara Pratiwi dijodohkan dengan putera panglima perang," nyinyir Cakra. "Itulah alasan puteri mahkota minggat, ia menolak mempunyai garwa sesama obesitas." Padahal Pratiwi diam-diam jatuh cinta kepada Pangeran Woles, pamannya yang kurus kering. Hal terlarang di kerajaan
"Seharusnya elang raksasa sudah tiba." Jayanti mondar-mandir dengan gelisah di graha tamu. Ia sudah mencoba menghubungi keempat sahabatnya lewat sambung kalbu, tapi mereka menutup mata batin, seperti tidak mau diganggu. Padahal Cakra mengisolasi istana terasing dengan tabir misteri sehingga terputus komunikasi dengan dunia luar. "Apakah terjadi sesuatu dengan elang raksasa?" Jayanti tak habis pikir. "Tapi mereka pasti menghubungi kalau elang itu belum muncul." Jayanti makin gelisah. Biasanya mereka pergi bersama-sama naik kereta, sebab mangsa sudah disiapkan pengawal kepercayaan. Mereka berburu ke pelosok untuk menangkap ksatria pekon, kadang pesta baru berakhir setelah korban mati lemas. Sekarang Jayanti berangkat duluan karena kuatir ksatria pekon sadar apa yang terjadi. Ia berharap pemuda itu tidak mati melayani mereka sampai pagi. "Makan sore sudah siap gusti puteri." Pelayan perempuan datang memberi tahu. "Aku menunggu circle bestie ku," sahut Jayanti. "Apakah ksatria itu
"Bagaimana aku menikmatinya kalau kau menyiksaku?" Jayanti mengeluarkan sumpah serapah saat Cakra mengikat tangan dan kakinya dengan rantai di besi silang vertikal di bilik pesta. "Yang penting aku menikmatinya," sahut Cakra masa bodoh. "Bukankah setiap kali pesta kau rudapaksa laki-laki sampai mati?" Cakra menarik rok Jayanti dengan kasar sehingga robek besar. Jayanti meneteskan air mata diperlakukan secara bengis begitu. Ia meratap, "Aku ingin bercinta denganmu, sungguh, tidak dapatkah kau berlaku sedikit romantis?" "Mereka juga ingin bercinta denganmu, tapi kau perlakukan secara biadab." Cakra melumuri kemaluan Jayanti dengan cairan beraroma ikan asin, kemudian melumuri payudara dengan jus kental. "Sekarang cobalah kau renungkan perbuatanmu. Mengapa kau membunuh ksatria pekon hanya untuk cinta?" "Aku mohon lepaskan aku." "Semoga tidak ada kucing dan semut." Tiba-tiba terdengar suara kucing seraya mendatangi bau ikan asin, "Meong...! Meong...!" "Sayang sekali...!" Cakra
"Kurang ajar!" Perampok berkumis mengepalkan tangan dengan marah sampai bergemeretak. "Lemes betul mulutmu!" Dyah Citraningrum berteriak dari dalam kereta, "Tabrak saja kalau tidak mau minggir, Pak Tua!" Sais menarik tali kekang kuda, kereta melaju dengan kencang. Empat Setan Alas berjumpalitan di udara menghindar. Perampok berkumis hinggap di atap kereta. "Hey, Seruling Sakti!" bentak lelaki berwajah codet itu. "Kau hentikan kereta atau kuhancurkan batok kepalamu!" "Apa maumu sebenarnya Setan Gimbal?" tanya Seruling Sakti. "Aku tidak membawa perhiasan berharga." "Perempuan di dalam kereta lebih berharga dari perhiasan! Aku tahu kau membawa empat puteri bangsawan!" "Kau mau apa kalau aku membawa empat puteri bangsawan?" "Aku menginginkan puteri tercantik di antara mereka! Dyah Citraningrum! Sisanya untuk temanku!" "Hentikan, Pak Tua!" perintah Dyah Citraningrum. "Aku mau melihat tampang setan yang menginginkan diriku!" Perempuan secantik bidadari itu melompat
"Jangan asal!" Dyah Citraningrum dongkol disebut bau ikan asin. "Aku bukan Jayanti!" "Tapi satu bangsa, aromanya pasti sama," kata Cakra kurang ajar. "Bau ikan asin." "Sok tahu!" Cakra pergi meninggalkan mereka. "Kau mau ke mana?" tanya Dyah Citraningrum. "Cari wangi gardenia." "Aku wangi gardenia." "Bullshit! Aku tidak mau kena prank dua kali!" Dyah Citraningrum melompat ke udara dan bersalto lalu mendarat di hadapan Cakra. "Kau tidak bisa pergi dariku! Kau harus menemaniku pesta!" "Bunuh saja aku, ketimbang menjilat bau ikan asin!" "Ibuku bangsa Incubus! Ayahku bangsa Lucis? Bagiamana aku beraroma ikan asin?" "Bukankah kau ingin menjadi selir pangeran Nusa Kencana?" "Aku berubah pikiran setelah melihat dirimu. Berat bagiku untuk menjadi selir pangeran tertampan itu." "Maka itu jangan mencampuradukkan urusan pribadi dengan kepentingan kerajaan." "Aku mendahulukan kepentingan kerajaan." "Perempuan bodoh. Tapi percuma juga, pangeran Nusa Kencana tidak suka bau ikan asi
Dyah Citraningrum lega. Ksatria pekon lolos dari pemeriksaan, kereta meluncur menuju kastil di sektor barat istana. Ada beberapa kastil dan terlihat suram dengan langit berawan. Benteng kokoh dan tinggi memisahkan kompleks istana dengan kehidupan luar. Kereta berhenti di halaman batu pualam, beberapa pelayan menyambut kedatangan sang puteri. "Bawa peti pakaian ke kamarku," kata Dyah Citraningrum. Mereka heran. Sejak kapan peti pakaian disimpan di kamar? Biasanya peti itu langsung dibawa ke bilik cuci. Pelayan separuh baya bertanya untuk memastikan, "Di bawa ke kamar raden ayu?" "Ya." Mereka menggotong peti dari kayu langka itu ke kamar raden ayu, dan diletakkan di dekat pembaringan berlapis emas. "Aku curiga raden ayu terganggu ingatan karena kelamaan traveling," kata pelayan separuh baya. "Buat apa ia menyimpan pakaian kotor di dalam kamar?" "Sudahlah, jangan menggosip," potong pelayan lain. "Raden ayu paling benci kepada pelayan suka menggosip, padahal ia sendiri ratu gos
"Aku sangat berminat menjadi juru cicip istana." Keesokan harinya Cakra bangun sangat pagi, lebih pagi dari Dyah Citraningrum yang tidur kelelahan tanpa sempat berpakaian. Ia benar-benar terkalahkan oleh ksatria pekon. Puteri bangsawan itu bangun kesiangan. "Apa saja persyaratan untuk menjadi juru cicip?" Padahal Cakra sekedar ingin tahu saja. Ia lagi mencari peluang untuk masuk ke istana Selatan. Cakra ingin segera menyelesaikan misi untuk melenyapkan Ratu Selatan, meski sangat betah tinggal di kastil. "Kau serius ingin menjadi juru cicip?" tanya Dyah Citraningrum dengan sinar mata berawan. "Sebaiknya kau kubur keinginan itu." "Kenapa?" pandang Cakra heran. "Apakah perempuan saja yang boleh menjadi juru cicip?" Puteri bangsawan itu menghela nafas seolah ada hal yang perlu dipertimbangkan. "Aku kira kau cukup menjadi juru cicip ku," kata Dyah Citraningrum. "Apakah belum cukup kenikmatan yang kau peroleh?" "Aku menjadi juru jilat mu, bukan juru cicip!" "Seperti itulah profes
Seperti biasa Dyah Citraningrum pergi ke dapur istana memeriksa kesiapan makan pagi untuk maharatu. Ia bersama tiga juru cicip mencoba masakan yang akan dihidangkan, untuk merasakan cita rasa, suhu, dan kadar racun. "Apakah Tuan Lu Qiu Khan ada di istana pagi ini?" tanya Dyah Citraningrum. "Aku lihat porsinya bertambah." "Tuan Lu Qiu Khan pulang kemarin senja," jawab juru saji. "Jadi ada tambahan porsi." Ratu Selatan biasanya makan terlambat jika Lu Qiu Khan berada di istana. Mereka bangun sedikit siang. Malam tadi adalah jadwal Lu Qiu Khan menyambangi Ratu Selatan. Ia pulang atas perintah sri baginda. Lu Qiu Khan pergi lagi nanti selesai makan pagi, banyak urusan yang mesti diselesaikan. "Tuan Lu Qiu Khan pulang mendadak karena ada urusan sangat penting," kata pengawal istana. "Khong Jie Na membelot bersama tujuh puluh ribu prajurit." Dyah Citraningrum sudah mendengar kabar itu dari penjaga di depan. Pengkhianatan wakil panglima perang adalah pukulan telak bagi istana. Ratu