Cakra mengalirkan energi inti ke Tongkat Petir dengan ujungnya menempel di dahi Fredy. Ia belum pernah merasa demikian berat menggenggam tongkat sakti itu. Menghilangkan kutukan begitu dashyat pengaruhnya sampai menggetarkan tongkat yang dipegangnya. Keringat mengucur deras membasahi tubuh. Asap hitam beraroma busuk mengepul tebal di sekitar ujung tongkat dan mengeluarkan bunyi seperti besi panas dicelupkan ke dalam air. Wajah Fredy berangsur-angsur berubah ke bentuk asli. "Kau sudah tewas dalam proses pemusnahan kutukan kalau tidak mempunyai chi paripurna," kata Fredy. "Ada aliran chi sangat sejuk merasuki batinku." Pengembalian wajah sahabatnya ke rupa asli sungguh berat dan membutuhkan banyak energi inti. Cakra merasa energi inti di dalam batinnya terserap habis. Ia tidak mampu lagi berdiri dan jatuh berlutut. Tongkat Petir lepas dari pegangan dan melesat ke angkasa, kepulan asap beraroma busuk menghilang. Sebuah senyum terukir di antara peluh yang mengucur deras di wajahnya.
Mereka sudah terlambat untuk bersembunyi. Sepasang pendekar bertopeng sudah mengetahui keberadaan mereka. Dua tokoh sakti dari kerajaan Sihir itu melompat turun dari pucuk pohon dan mendarat di hadapan mereka. "Akhirnya bertemu juga dengan si pengkhianat," geram pendekar berselendang ungu. "Kau tidak bisa lari dari kami." Cakra tahu bahaya sedang mengancam, tapi ia berusaha untuk tenang, sementara Fredy duduk gelisah di sampingnya. "Kalian kayaknya masih muda kalau dilihat dari bentuk tubuh yang segar dan seksi," kata Cakra. "Apakah kalian berwajah jelek sehingga perlu ditutupi pakai topeng kucing besar? Atau kalian sedang menarik perhatian kucing jantan di sampingku untuk mengajak bercinta?" Fredy melotot ke arahnya. "Siapa dirimu, anak muda?" gertak pendekar berselendang biru. "Sok akrab betul." "Namaku Cakra Agusti Bimantara, kalian boleh panggil Xiao Zhan atau Kim Seon Ho. Jangan panggil anak muda, terasa geli di kuping. Aku yakin usia kalian tidak beda jauh dariku."
Bidadari Penabur Cinta dan Kupu-kupu Madu melompat turun dari pucuk pohon. Mereka heran melihat Cakra tertidur pulas bersama temannya. Bagaimana mungkin ia tidak tahu kedatangan mereka? "Cakra sama sekali tidak memandang kita," geram Bidadari Penabur Cinta. "Ia memilih tidur, ketimbang menyambut kedatangan kita." "Siapa pemuda yang tidur di sampingnya?" tanya Kupu-kupu Madu dengan sinar mata bergairah. "Aku tidak tidur," sahut Fredy. "Aku tidak berani membuka mata." "Kenapa tidak berani membuka mata?" tatap Bidadari Penabur Cinta. "Apakah wajah kami menjijikkan?" "Aku takut jatuh cinta. Siapa yang tidak tahu kecantikan Bidadari Penabur Cinta dan Kupu-kupu Madu?" Kedua pendekar wanita itu memerah parasnya mendapat pujian pemuda tampan. "Siapakah gerangan dirimu?" senyum Kupu-kupu Madu mulai menebar pesona. "Jalan-jalanku rupanya kurang jauh sehingga belum kenal pemuda setampan dirimu." "Sahabat yang sedang bermimpi di sampingku menyebut aku Fredy Erlangga. Aku berasal dari Bukit
"Jadi kalian menerima tawaran kontrak dari Indragiri untuk menangkap penjahat kelamin?" tanya Cakra. "Aku kira kalian penyedia jasa pengawalan perdagangan saja." "Aku penasaran seberapa tinggi ilmu penculik bertopeng sampai demikian sulit ditangkap," sahut Ranggaslawi. "Aku khawatir suatu saat kalian jadi pembunuh bayaran. Pasti kacau dunia perkelahian." "Kami tidak kepikiran untuk menyediakan jasa kotor," kata Ranggaslawe. "Kami bukan sekedar mencari imbalan, juga membantu kerajaan untuk menciptakan keamanan wilayah." "Lalu kenapa kalian tidak pergi ke Bukit Penamburan untuk menumpas pemberontak? Aku kira kerajaan tidak masalah dengan bayaran yang kalian minta." "Kau pikir Tapak Mega pemberontak kaleng-kaleng? Prajuritnya cuma tameng rapuh untuk menciptakan kekacauan di kadipaten Barat, kekuatan semu untuk mengalihkan perhatian. Tapi sembilan pendekar di belakangnya berilmu sangat tinggi, sebagian berasal dari kerajaan Utara. Mereka jarang turun dari Bukit Penamburan." "Lalu mer
Cakra tiba di penginapan sudah hampir pagi. Ia mendengar kabar dari Rangkuti kalau Minarti pergi tadi malam menyusulnya. "Tuan Muda tidak bertemu dengannya?" tanya Rangkuti. "Hutan Gerimis adalah sepertiga wilayah kerajaan, bagaimana kami bisa bertemu?" "Ia kelihatan sangat gelisah. Barangkali ia mengkhawatirkan Tuan." "Ia mengkhawatirkan kakaknya, gara-gara kalian membangun opini tidak benar." "Bukti-bukti menjurus ke saudagar bangkrut itu, Tuan." "Karena kalian mengarahkannya. Tapi sudahlah. Mana bosmu? Aku mau pamit." Saat itu Indragiri turun dari lantai atas, dan menyapanya, "Selamat pagi, Tuan Muda." "Kebetulan kau muncul," kata Cakra. "Pagi ini aku akan melanjutkan perjalanan ke istana. Berapa semuanya?" "Tuan kan tidak menginap. Jadi tidak ada biaya yang dikeluarkan." "Makan malamku gratis?" "Sudah dibayar pemilik Puri Mentari." "Kalau begitu aku permisi. Sungguh menyenangkan singgah di penginapan ini." "Tunggu sebentar, Tuan." Indragiri mengeluarkan kantong uang
Cakra melanjutkan perjalanan selesai makan siang. Ia tidak membeli perbekalan untuk di perjalanan. Restoran dan kedai mudah ditemukan di sepanjang jalan sehingga tidak perlu kuatir kelaparan. Perbincangan ketiga bangsawan di rumah makan tadi adalah informasi penting baginya. Ia jadi memiliki gambaran tentang situasi di istana. Ratu Nusa Kencana rupanya sakit hati pada keluarganya, dan ia akan memupuk rasa itu agar mudah untuk meninggalkan istana. Jadi situasinya sangat mendukung. Baginda ratu ingin segera mengadakan acara ritual penyatuan sekedar memenuhi perjanjian leluhur, sementara Cakra sekedar memenuhi permintaan gurunya. "Sejujurnya aku tidak peduli dengan kekacauan yang terjadi di Bukit Penamburan," kata Cakra. "Tapi aku mesti tirakat di tujuh air terjun yang dikuasai mereka, berarti dalam tujuh purnama aku mesti membereskan Tapak Mega dan antek-anteknya." "Mereka telah memicu ketegangan antara Nusa Kencana dan kerajaan Bunian," sahut si Gemblung. "Penculikan perempuan Buni
Budaya yang lagi menggejala pada puteri bangsawan di Nusa Kencana adalah percintaan lintas negara. Mereka berlomba-lomba mendapatkan kekasih dari kerajaan lain, dan bercinta untuk bersenang-senang. Semua warga asing yang datang berkunjung disebut bangsawan pelancong, padahal di negerinya sendiri hidup terlunta-lunta. Puteri bangsawan bangga menjadi pacar mereka. Bangsawan setempat adalah pilihan sisa. Bangsawan pelancong akhirnya menumpuk di Nusa Kencana dan bekerja di kongsi-kongsi ternama sesuai rekomendasi orang tua mereka. Kedatangan bangsawan pelancong mempersempit lapangan kerja. "Sungguh memalukan," kritik Iblis Cinta dulu. "Mereka bangga terhadap pria yang di negerinya jadi sampah di mata perempuan." "Barangkali karena bangsawan lokal mempersoalkan status virgin," kata Cakra. "Jadi puteri bangsawan yang sudah lost virgin merasa muak." "Berarti bangsawan lokal seleranya tinggi! Nah, mereka mencari bangsawan pelancong yang seleranya rendah! Payah!" "Cinta bukan soal selera,
Mereka berangkat dari penginapan setelah matahari terbit. Puteri mahkota bangun terlambat. Semalam pesta dansa sampai larut malam. Semua puteri bangsawan memuji keahlian Cakra dalam berdansa. Mereka membayangkan di istana pasti sering mengadakan pesta. Padahal Cakra hanya ingin memberikan kesan kalau pangeran kedelapan patut dikenang setelah meninggalkan negeri ini. Ia kira banyak hal bisa dipersembahkan dalam waktu yang tersisa. Menurutnya, pengangkatan Bramantana sebagai adipati Kadipaten Barat adalah keputusan spekulatif yang memungkinkan segala hal terjadi. Jadi tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. "Pengangkatan Bramantana membuktikan bahwa sri ratu sudah memenuhi tuntutan Ratu Sihir untuk mengakui puteranya sebagai trah Pangeran Wiraswara," kata Cakra. "Nasibnya lebih baik dariku." "Kanda jangan baperan," tegur Dewi Anjani yang berkuda di sampingnya. "Menolak permintaan kanda bukan berarti ibunda ratu tidak mengakui kanda sebagai Pangeran Nusa Kencana." Sejujurnya Cakra
Raden Manggala bersama beberapa pembantunya mengadakan perjamuan makan malam yang dihadiri puluhan istrinya. Perempuan-perempuan muda itu pergi ke Puri Abadi secara sukarela tanpa sepengetahuan suami atau orang tua sehingga dikabarkan diculik. Kebiasaan jelek warga kampung Luhan adalah menyebarkan berita tanpa menyaring dahulu kebenaran berita itu. "Perjuangan takkan pernah padam," kata Raden Manggala. "Kita tinggalkan para pecundang yang menginginkan imbalan semata. Aku akan berusaha memberikan kehidupan yang lebih baik bagi kalian." Semua wanita yang menghadiri perjamuan tidak tahu kalau makanan dan minuman yang dihidangkan adalah hasil rampokan. Mereka mengira uang hasil usaha penginapan termewah di Butong, milik Manggala. Mereka juga baru mengetahui sosok Manggala secara jelas, dan mereka tidak menyesal menjadi istrinya. Manggala sangat gagah dan tampan. "Aku sebelumnya minta maaf, kalian ke depannya akan mengalami pengurangan fasilitas, sebab hartaku ludes diambil
Cakra merasa banyak waktu senggang. Kelompok pergerakan bukan ancaman serius secara global, skalanya sangat kecil. Maka itu ia tidak keberatan ketika istana mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam untuk janji suci mereka. "Pesta itu untuk rakyat," kata Nawangwulan. "Kita tidak perlu hadir sepanjang waktu." "Protokoler istana melarang rakyat untuk menyampaikan ucapan selamat secara langsung," keluh Cakra. "Jadi kita hadir sekedar seremonial saja." "Kau maunya seperti apa?" "Kita keliling Kotaraja untuk menyapa rakyat." "Perlu berapa hari kita mengelilingi Kotaraja?" "Tidak sampai tujuh hari tujuh malam kan? Apa salahnya kita mengadakan resepsi di setiap penginapan yang disinggahi supaya rakyat merasa lebih dekat?" "Sayang ... aku berarti harus merubah protokoler istana." "Ibunda ratu keberatan?" "Ia keberatan kalau kita merasa kecewa dengan perjamuan." "Kalau begitu kita rubah pesta sesuai keinginan kita!" Seluruh pegawai istana kelimpungan ada perubahan agenda
Dengan bantuan intisari roh, Cakra berhasil memindahkan harta di kediaman adipati ke rumah Adinda yang kini kosong. "Aku butuh kereta barang untuk mengangkut ke istana," gumam Cakra. "Warga kampung Luhan pasti curiga kalau aku sewa kereta barang. Apakah aku minta bantuan Nawangwulan saja?" Ratu Kencana muncul di kamar tirakat. Cakra tersenyum senang. "Kebetulan...!" seru Cakra. "Kebetulan apa?" sergah Ratu Kencana. "Kebetulan kau sedang mau digampar?" "Aku butuh kereta barang untuk mengangkut harta karun ke istana. Dapatkah kau menciptakan binatang penarik bertenaga super?" "Tidak ada ilmu yang bisa menciptakan makhluk hidup, tapi kau bisa menciptakan tiruannya." "Betul juga...! Lalu kau datang mau apa?" Plak! Plak! "Aku ingin menamparmu...!" geram Ratu Kencana. "Aku menjadi gunjingan di semua jazirah gara-gara kau!" Pasti soal bercinta lagi, batin Cakra kecut. Ratu itu sangat jengkel dibilang mentransfer ilmu lewat kemesraan. "Kau mestinya memberi klarifikasi! Ja
Kampung Luhan gempar. Penggerebekan rumah Adinda oleh pasukan elit Kotaraja sangat mengejutkan. Gelombang protes muncul secara sporadis. Mereka menganggap penangkapan lima puluh wanita dan beberapa petugas keamanan sangat beraroma politis. Adipati Butong laksana kebakaran jenggot, padahal tidak berjenggot. Ia bukan meredam massa yang berdemo di depan kantor kadipaten, malah semakin membangkitkan amarah. "Tenang! Tenang! Beri saya kesempatan untuk berbicara!" Warga berusaha diam, kebanyakan orang tua perempuan yang ditangkap. "Saya tidak tahu apa-apa dalam peristiwa itu! Istana tidak berkoordinasi dengan saya! Saya akan melancarkan protes keras pada istana!" "Bukan protes! Bebaskan anak kami! Mereka tidak bersalah!" "Pasukan elit sudah berbuat sewenang-wenang! Mereka membawa anak kami ke Kotaraja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak mereka lakukan!" "Bebaskan anak kami...!" "Bebaskan istri kami...!" "Tenang! Tenang! Beri saya waktu untuk menyelesaikan
"Selamat pagi, Tuan Khong!" Seluruh pelayan di dapur mengangguk hormat menyambut kedatangan kepala koki di pintu masuk. "Ada yang sakit pagi ini?" "Tidak ada, Tuan Khong." "Bagus." Khong mendatangi Chan Xian yang tengah menyiapkan minuman hangat. "Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Khong. "Pagi terindah bagiku," jawab Chan Xian. "Kau pasti mendapat gift universe lagi." Pelayanan kamar yang memuaskan akan menerima uang tip besar dari tamu. Chan Xian adalah primadona di penginapan termewah di Butong. Chan Xian terlihat sangat ceria, padahal hatinya menderita. "Aku dapat sepuluh gift universe pagi ini. Entah karena pelayanan yang memuaskan atau karena kecantikan diriku." "Perempuan cantik selalu memuaskan." Khong adalah kepala koki mata keranjang. Beberapa asisten koki sering tidur dengannya. Chan Xian pasti sudah jadi korban kalau bukan puteri mahkota. Semua pegawai menaruh hormat kepadanya. Chan Xian menjadi asisten koki secara sukarela. Ia tinggal di rumah mewah dengan
Hari sudah pagi. Cakra bangun dan pergi mandi, kemudian berpakaian. Jie masih tertidur pulas di pembaringan. Cakra menghubungi Nawangwulan lewat Sambung Kalbu. "Sayang...!" pekik puteri mahkota Segara gembira. "Ada apa menghubungi aku?" "Aku ada informasi penting," sahut Cakra. "Lima puluh istri Manggala akan mengadakan pertemuan rahasia di rumah Adinda, kepala front office kastil Mentari, dengan modus party dance." "Sayang ... kau berada di kampung Luhan?" "Ikan paus membawa diriku ke mari." "Ia ratu siluman. Ia sering menolong kesatria yang ingin berkunjung ke negeriku." "Tapi jutek banget." Nawangwulan tertawa lembut. "Ia biasanya minta upah ... barangkali ia sungkan karena kau adalah calon garwaku, ia jadi bete." "Dari mana ia tahu aku calon garwamu?" "Seluruh penghuni samudera sudah tahu kabar itu, dan Ratu Paus bukan sekedar tahu, ia mengenal sosokmu." Upah yang diminta pasti bercinta. Edan. Bagaimana ia bercinta dengan ikan paus? Siluman ikan biasanya hanya berubah
Sejak awal Cakra sudah curiga dengan Jie. Ia melihat sosok berbeda terbelenggu tabir misteri. Cakra ingin membebaskan sosok itu dari belenggu dengan mengalirkan energi intisari roh. "Aku adalah puteri mahkota dari kerajaan Terumbu," kata Jie. "Aku mendapat kutukan dari Raja Sihir karena menolak lamarannya." "Ada kerajaan sihir di jazirah tirta?" "Tidak ada. Ia pemilik Puri Abadi di wilayah tak bertuan." "Kalian kesulitan menangkap Raja Sihir untuk mencabut kutukan?" "Raja Sihir ditemukan tewas saat tokoh istana menyerbu ke Puri Abadi." "Siapa yang membunuhnya?" "Ia mati diracun murid tunggalnya, Raden Manggala." "Jadi kau datang ke kampung Luhan dalam rangka mencari Raden Manggala untuk mencabut kutukan?" "Ahli nujum istana mendapat wangsit; aku akan terbebas dari kutukan kalau ada kesatria gagah dan tampan bersedia bercinta denganku." "Kesatria di negerimu tidak ada yang bersedia?" "Lubangku mendadak hilang, ada bibir besar saja." "Lubangmu tertutup tabir sehingga ter
Kehidupan di kampung Luhan tenteram dan damai, padahal menjadi markas pergerakan. Kelompok ini sulit diketahui keberadaannya. Mereka berbaur dengan masyarakat dan menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Pada saat dibutuhkan, mereka beroperasi secara masif, terstruktur, dan sistematis. Pergerakan seperti itu sangat berbahaya karena mereka akan memanfaatkan setiap peristiwa untuk menjatuhkan istana. "Kau tahu di mana kediaman Raden Manggala?" tanya Cakra. "Aku melihat tidak ada kekacauan di kampung ini. Gerakan mereka rapi sekali." "Bagaimana rupa Raden Manggala saja aku tidak tahu," sahut Jie. "Konon ia operasi plastik di negeri manusia sehingga sulit dikenali. Aku curiga anggota pergerakan telah menculik Chan Xian." "Apakah kakakmu pernah berurusan dengan kelompok Manggala?""Tidak." "Lalu ia diculik untuk apa? Untuk minta tebusan?" "Untuk jadi istri." "Jadi pemimpin pemberontak itu bujang lapuk?" "Istri keseribu." "Luar biasa...! Cukup untuk modal pemberont
"Aku berasal dari bangsa Incubus." Cakra merasa jawaban itu adalah jawaban paling aman. Nama bangsa itu sudah termasyhur ke seantero jagat raya. Ia pasti menjadi binatang buruan jika mengaku bangsa manusia. Perempuan di negeri ini akan menjadikan dirinya gongli dengan penampilan sekeren ini. "Jangan keras-keras," tegur perempuan gembrot. "Kedengaran mereka hidupmu dijamin bakal susah." Cakra kaget. "Mereka tergila-gila pada bangsa Incubus. Mereka rela meninggalkan suami untuk mendapatkan pria Incubus, lebih-lebih pria segagah dan setampan dirimu." Cakra terbelalak. Celaka! "Kau bukan wanita kampung ini?" "Namaku Jiefan, panggil saja Jie, kayaknya kita seumuran. Aku dari negeri tetangga." "Oh, pantas...! Lagi pula, siapa yang tertarik kepada perempuan sebesar kerbau bunting? Ia pasti menjadi musuh lelaki satu bangsa! "Jadi aku aman jalan bersama dirimu?" "Kau aman kalau mengaku dari bangsa manusia dan berwajah jelek." "Waduh...!" "Kau akan jadi musuh per