Bidadari Penabur Cinta dan Kupu-kupu Madu melompat turun dari pucuk pohon. Mereka heran melihat Cakra tertidur pulas bersama temannya. Bagaimana mungkin ia tidak tahu kedatangan mereka? "Cakra sama sekali tidak memandang kita," geram Bidadari Penabur Cinta. "Ia memilih tidur, ketimbang menyambut kedatangan kita." "Siapa pemuda yang tidur di sampingnya?" tanya Kupu-kupu Madu dengan sinar mata bergairah. "Aku tidak tidur," sahut Fredy. "Aku tidak berani membuka mata." "Kenapa tidak berani membuka mata?" tatap Bidadari Penabur Cinta. "Apakah wajah kami menjijikkan?" "Aku takut jatuh cinta. Siapa yang tidak tahu kecantikan Bidadari Penabur Cinta dan Kupu-kupu Madu?" Kedua pendekar wanita itu memerah parasnya mendapat pujian pemuda tampan. "Siapakah gerangan dirimu?" senyum Kupu-kupu Madu mulai menebar pesona. "Jalan-jalanku rupanya kurang jauh sehingga belum kenal pemuda setampan dirimu." "Sahabat yang sedang bermimpi di sampingku menyebut aku Fredy Erlangga. Aku berasal dari Bukit
"Jadi kalian menerima tawaran kontrak dari Indragiri untuk menangkap penjahat kelamin?" tanya Cakra. "Aku kira kalian penyedia jasa pengawalan perdagangan saja." "Aku penasaran seberapa tinggi ilmu penculik bertopeng sampai demikian sulit ditangkap," sahut Ranggaslawi. "Aku khawatir suatu saat kalian jadi pembunuh bayaran. Pasti kacau dunia perkelahian." "Kami tidak kepikiran untuk menyediakan jasa kotor," kata Ranggaslawe. "Kami bukan sekedar mencari imbalan, juga membantu kerajaan untuk menciptakan keamanan wilayah." "Lalu kenapa kalian tidak pergi ke Bukit Penamburan untuk menumpas pemberontak? Aku kira kerajaan tidak masalah dengan bayaran yang kalian minta." "Kau pikir Tapak Mega pemberontak kaleng-kaleng? Prajuritnya cuma tameng rapuh untuk menciptakan kekacauan di kadipaten Barat, kekuatan semu untuk mengalihkan perhatian. Tapi sembilan pendekar di belakangnya berilmu sangat tinggi, sebagian berasal dari kerajaan Utara. Mereka jarang turun dari Bukit Penamburan." "Lalu mer
Cakra tiba di penginapan sudah hampir pagi. Ia mendengar kabar dari Rangkuti kalau Minarti pergi tadi malam menyusulnya. "Tuan Muda tidak bertemu dengannya?" tanya Rangkuti. "Hutan Gerimis adalah sepertiga wilayah kerajaan, bagaimana kami bisa bertemu?" "Ia kelihatan sangat gelisah. Barangkali ia mengkhawatirkan Tuan." "Ia mengkhawatirkan kakaknya, gara-gara kalian membangun opini tidak benar." "Bukti-bukti menjurus ke saudagar bangkrut itu, Tuan." "Karena kalian mengarahkannya. Tapi sudahlah. Mana bosmu? Aku mau pamit." Saat itu Indragiri turun dari lantai atas, dan menyapanya, "Selamat pagi, Tuan Muda." "Kebetulan kau muncul," kata Cakra. "Pagi ini aku akan melanjutkan perjalanan ke istana. Berapa semuanya?" "Tuan kan tidak menginap. Jadi tidak ada biaya yang dikeluarkan." "Makan malamku gratis?" "Sudah dibayar pemilik Puri Mentari." "Kalau begitu aku permisi. Sungguh menyenangkan singgah di penginapan ini." "Tunggu sebentar, Tuan." Indragiri mengeluarkan kantong uang
Cakra melanjutkan perjalanan selesai makan siang. Ia tidak membeli perbekalan untuk di perjalanan. Restoran dan kedai mudah ditemukan di sepanjang jalan sehingga tidak perlu kuatir kelaparan. Perbincangan ketiga bangsawan di rumah makan tadi adalah informasi penting baginya. Ia jadi memiliki gambaran tentang situasi di istana. Ratu Nusa Kencana rupanya sakit hati pada keluarganya, dan ia akan memupuk rasa itu agar mudah untuk meninggalkan istana. Jadi situasinya sangat mendukung. Baginda ratu ingin segera mengadakan acara ritual penyatuan sekedar memenuhi perjanjian leluhur, sementara Cakra sekedar memenuhi permintaan gurunya. "Sejujurnya aku tidak peduli dengan kekacauan yang terjadi di Bukit Penamburan," kata Cakra. "Tapi aku mesti tirakat di tujuh air terjun yang dikuasai mereka, berarti dalam tujuh purnama aku mesti membereskan Tapak Mega dan antek-anteknya." "Mereka telah memicu ketegangan antara Nusa Kencana dan kerajaan Bunian," sahut si Gemblung. "Penculikan perempuan Buni
Budaya yang lagi menggejala pada puteri bangsawan di Nusa Kencana adalah percintaan lintas negara. Mereka berlomba-lomba mendapatkan kekasih dari kerajaan lain, dan bercinta untuk bersenang-senang. Semua warga asing yang datang berkunjung disebut bangsawan pelancong, padahal di negerinya sendiri hidup terlunta-lunta. Puteri bangsawan bangga menjadi pacar mereka. Bangsawan setempat adalah pilihan sisa. Bangsawan pelancong akhirnya menumpuk di Nusa Kencana dan bekerja di kongsi-kongsi ternama sesuai rekomendasi orang tua mereka. Kedatangan bangsawan pelancong mempersempit lapangan kerja. "Sungguh memalukan," kritik Iblis Cinta dulu. "Mereka bangga terhadap pria yang di negerinya jadi sampah di mata perempuan." "Barangkali karena bangsawan lokal mempersoalkan status virgin," kata Cakra. "Jadi puteri bangsawan yang sudah lost virgin merasa muak." "Berarti bangsawan lokal seleranya tinggi! Nah, mereka mencari bangsawan pelancong yang seleranya rendah! Payah!" "Cinta bukan soal selera,
Mereka berangkat dari penginapan setelah matahari terbit. Puteri mahkota bangun terlambat. Semalam pesta dansa sampai larut malam. Semua puteri bangsawan memuji keahlian Cakra dalam berdansa. Mereka membayangkan di istana pasti sering mengadakan pesta. Padahal Cakra hanya ingin memberikan kesan kalau pangeran kedelapan patut dikenang setelah meninggalkan negeri ini. Ia kira banyak hal bisa dipersembahkan dalam waktu yang tersisa. Menurutnya, pengangkatan Bramantana sebagai adipati Kadipaten Barat adalah keputusan spekulatif yang memungkinkan segala hal terjadi. Jadi tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. "Pengangkatan Bramantana membuktikan bahwa sri ratu sudah memenuhi tuntutan Ratu Sihir untuk mengakui puteranya sebagai trah Pangeran Wiraswara," kata Cakra. "Nasibnya lebih baik dariku." "Kanda jangan baperan," tegur Dewi Anjani yang berkuda di sampingnya. "Menolak permintaan kanda bukan berarti ibunda ratu tidak mengakui kanda sebagai Pangeran Nusa Kencana." Sejujurnya Cakra
Kotaraja Nusa Kencana adalah ibukota termegah di jazirah ini. Benteng tinggi dan kokoh berdiri mengelilingi Kotaraja dan menjadi batas wilayah dengan empat kota metro. Dewi Anjani menjelaskan, "Ada empat gerbang untuk masuk ke Kotaraja, satu gerbang untuk satu kota metro. Empat gerbang itu berada satu garis lurus dengan empat gerbang labirin." Mereka masuk lewat gerbang barat. Pos penjagaan sangat ketat, tidak semua warga bisa masuk. "Aku tidak akan lolos pemeriksaan tanpa bantuanmu," kata Cakra. "Aku tidak ada bukti bahwa aku ini calon pangeran." "Maka itu aku minta kanda menunggu di penginapan." Begitu masuk pintu gerbang, sudah terpancar keindahan Kotaraja. Rumah-rumah bertingkat berderet di sepanjang jalan dengan berbagai model unik dan menarik. Tidak ada kedai kopi, warung pojok, atau pasar tradisional. Pusat perbelanjaan dan tempat kongkow tertata rapi dalam bangunan bertingkat dan sangat mewah. Penginapan dan restoran menawarkan berbagai fasilitas dengan tarif selangit.
Malam mulai turun. Lampu warna-warni yang terpancar dari rumah dan penginapan menyuguhkan pemandangan menakjubkan. Kegembiraan masyarakat Kotaraja dalam menyambut pesta perkawinan puteri mahkota terlihat dari hiasan menarik yang terdapat di setiap halaman. Mereka mampir di penginapan di mana sahabat puteri mahkota sudah menunggu untuk makan malam di restoran di lantai bawah. "Penginapan ini milik penasehat istana bernama Abimanyu," kata Dewi Anjani. "Penginapan termewah di jazirah ini. Ia menyediakan penginapan gratis untuk tamu yang akan menghadiri pesta perkawinan. Tamu adalah hasil undian dari seluruh puteri bangsawan di wilayah Nusa Kencana." Restoran memiliki banyak meja berbentuk unik dan antik, dengan interior sangat ekslusif, dapat menampung lima ratus pengunjung. Cakra kagum kepada puteri mahkota yang mengenali mereka satu per satu. Barangkali sama kagumnya dengan mereka melihat ketampanan calon pangeran. Setelah Dewi Anjani berkeliling memperkenalkan dirinya, mere