"Baiklah, aku akan mencatat siapa saja yang memesan barang. Seminggu lagi aku akan berangkat ke desa kuncup..." jelas Rama.
Rama mulai mengeluarkan buku kecil dan bolpoin, para warga kebingungan dengan barang yang dipakai Rama karena barang-barang itu terlihat menakjubkan dan ajaib. Namun, mereka menahan rasa penasaran mereka. Saat ini, yang terpenting adalah cairan ajaib yang dimiliki Rama! "Aku..." "Aku juga..." Satu persatu warga desa mulai mengangkat tangan dan mengatakan keinginannya. "Tuan Muda Rama, pupuk apa yang tadi kamu pakai?" Tanya pak Jarwo. "Itu pupuk untuk merangsang pembuahan, membuatnya berkualitas dan produksinya melimpah." jelas Rama. Meski terkadang warga desa kebingungan dengan perkataan Rama. Mereka tetap mengangguk, sepertinya apa yang Rama ucapkan adalah kata-kata para keluarga kerajaan yang terpelajar saja. "Aku pesan itu juga ya Tuan Muda Rama..." sambung pak Jarwo. "Aku juga..." kata pak Bromo dan warga lainnya pun mulai mengerumuni Rama. *** Selesai mencatat pesanan para warga, Rama mulai merasa kelaparan. Selesai bekerja mereka duduk berkumpul di pondok dekat kebun. Rama melihat ke sekeliling, hanya ada dia dan pak Bima. Jaya ditugaskan berjaga di depan pondok agar tidak ada yang melihat saat Rama mengeluarkan barang dari kotak penyimpanan. "Kamu mau masak apa Nak?" Tanya pak Bima. "Mau masak mie pak, Bapak suka yang berkuah atau tidak?" tanya Rama lagi. "Mie? Makanan apalagi itu nak? Tapi, terserah kamu saja yang penting enak nak..." "Pasti enak pak..." sahut Rama yakin. Rama mulai mengeluarkan kompor kecil, 4 bungkus mie rasa "limau kuwit". Rama memasak air di panci, ketika air sudah mendidih Rama memasukkan mie, ketika mie terasa sudah hampir matang Rama memasukkan daun bawang dan irisan daun sawi. Setelah selesai Rama menyingkirkan mie, kemudian menggoreng telur dadar dan beberapa sosis. Rama menyiapkan 3 mangkuk serta sumpit. "Sudah siap pak, silahkan dinikmati..." jelas Rama ketika sudah memasukkan kompor ke kotak penyimpanan. "Jaya..." Panggil pak Bima. Jaya yang mendengar kode itu langsung bersemangat masuk ke pondok. Angin semilir membuat suasana di pondok terasa sejuk. "ENAK!!!" teriak Jaya. Bapak langsung menyikutnya, meskipun sebenarnya pak Bima juga menahan suara untuk ikut berteriak. Mie yang dimasak Rama sangat lezat. Ditambah dengan telor dan sosis. Mereka makan tanpa suara, hanya terdengar suara sumpit yang beradu dengan mangkuk. Jaya yang paling bersemangat makan. Ketika melihat mie di panci sudah habis, Rama mengeluarkan layar onshop dan membeli 3 kaleng soda manis. Jaya dan pak Bima menerima minuman itu, meniru cara Rama membukanya. Ketika mereka minum, Jaya sempat tersedak karna buru-buru saat meminumnya. "Uhuk... Uhuk..." Pak Bima menepuk-nepuk pundak Jaya. Rama tersenyum lucu, Meskipun tersedak. Rasa soda yang manis membuat siapapun akan meminumnya lagi. "Apa nama minuman ini?" tanya pak Bima. "Soda gembira pak..."jawab Rama asal. Bapak dan Jaya mengangguk kembali takjub pada minuman yang Rama keluarkan. "Rasa minuman ini sangat nikmat...apa kamu akan menjual minuman ini juga Ram? " tanya Jaya. "Entahlah...saat ini aku akan mengembangkan produk pertanian, mungkin akan aku pikirkan nanti, selanjutnya akan menjual apa?" "Ram, aku akan membantumu... Berapa kamu akan menggajiku?" Tanya Jaya dengan mata berbinar. "Kamu ini nak, kamu itu harusnya bersyukur Rama itu sudah ngasih kita makan enak, bantu-bantu di kebun..." pak Bima menyikut bahu Jaya. Jaya nyengir malu dan menggaruk kepalanya. "Tidak masalah pak, nanti kalau bisnis ini berhasil kak Jaya akan mendapatkan keuntungan juga. Itu juga berlaku untuk bapak dan ibu." "Haish kamu ini nak, pikirkan masa depan kalian saja, buat rumah dan lamar seorang gadis... Itu akan membahagiakan kami orangtuamu." Rama menggeleng, menikah belum ada dalam rencananya, ada banyak hal yang ingin ia lakukan di masa ini. Sepertinya menikah adalah pilihan akhir jika ia sudah bosan. "Aku akan menikah dan membuat rumah jika sudah dapat keuntungan." kata Jaya berangan."aku akan melamar putri Ningsih..." lanjutnya. Sebuah ingatan muncul di kepala Rama, ingatan pemilik tubuh. Putri Ningsih adalah keluarga bangsawan Atmanegara, keluarga kaya raya yg juga memiliki usaha toko kain. Mereka juga menerima bahan sutra yang di datangkan dari Asia. Keluarga Ningsih adalah keluarga Atmanegara, yang sejalur dengan Raja Atmanegara. Jadi membuat mereka mudah dalam melakukan perdagangan karena memiliki koneksi langsung dengan Raja. "Wah, targetmu tinggi juga ya Kak..." goda Rama. "Kamu ini loh nak, putri Ningsih itu mana mau sama kamu. Maharnya itu mahal loh..." pak Bima juga ikut menggoda. Wajah Jaya langsung terlihat muram dan sedih. "Aku akan membantumu kak, tenang saja..." Mendengar itu Jaya merasa sedikit lega. Setidaknya jika Rama berkata seperti itu akan ada harapan melamar putri Ningsih. ia mulai mengkhayal melamar dan menikahi putri Ningsih, membangun rumah dan memiliki anak setidaknya 2. Berbeda dengan kebahagiaan keluarga Bima, sesuatu yang buruk sedang terjadi di pusat pemerintahan. Pembantu menteri luar dan dalam kota berlari tergesa-gesa dengan gulungan surat merah di tangannya. Namanya Bastian, lelaki muda berumur 20 tahun itu sesekali membenarkan langkahnya agar tidak terjatuh, namun berita yang baru saja sampai memaksanya untuk segera sampai di kantor menteri luar dan dalam. "Pak Bagas!!" Bastian mencari ke segala sudut, namun menteri yang ia cari tidak ia temukan. Hanya ada bayu di ruangan, sedang membersihkan meja menteri luar dan dalam. "Pak Bagas sedang bertemu pak Andi menteri perdagangan, di balai pertemuan." Jelas Bayu. Mendengar itu Bastian mengangguk, kemudian kembali berlari menuju ruangan pertemuan para menteri. Sesampainya di sana terlihat pak Bagas dan pak Andi sedang bercengkrama dan sesekali menyesap minuman mereka. "Duk! " Bastian langsung berlutut dan mengangkat gulungan surat merah yang sedari tadi ia bawa. Melihat warna gulungan surat yang dipegang Bastian, membuat pak Bagas dan pak Andi langsung berdiri. Pak Bagas bergegas mengambil gulungan surat dan membacanya. Ada 4 jenis warna gulungan surat. Putih adalah gulungan surat yang menandakan berita lokal, hitam gulungan surat perang, merah gulungan surat bencana, emas gulungan surat pemberkatan. Benar saja, ketika membaca isi surat tangan Pak Bagas bergetar dan iapun terjatuh tak berdaya. Isi surat tersebut memberitakan bahwa kapal pengangkut barang dari eropa diterjang badai, bahkan tidak ada satupun barang yang bisa diselamatkan karna nyawa kru dan pedagang lebih di utamakan. Sebenarnya dimasa ini bukanlah hal yang asing ketika kapal diterjang badai, hanya saja bagi pihak kerajaan yang sebentar lagi akan menjamu utusan dari Timur. Itu sebuah berita yang sangat buruk! Pasalnya utusan kali ini datang sebagai utusan politik Perdamaian dengan bangsa BarBar yang selalu menjarah kerajaan Bamaraya yang melewati rute laut mereka. Utusan Timur digadang-gadang adalah sebagai penengah hubungan politik ini, karna utusan Timur mempunyai hubungan politik yang erat dengan bangsa BarBar. "Bagaimana ini? Semua bahan baku untuk menjamu utusan Timur ada di kapal itu." Pak Andi ikut mengerutkan kening ketika membaca isi surat gulungan merah. "Cari menteri pertanian dan kamu pak Andi... Coba cari juga pedagang yang saat ini memiliki stok barang dari luar kerajaan." "Apa yang kamu pikirkan, bagaimana bisa kamu memanggil menteri pertanian? Apa yang bisa diharapkan dari pertanian kita?" Bagas langsung mengepalkan tangan, berpikir keras."mereka hanya sebagai bahan pertimbangan jika para pedagang tidak memiliki stok." jelasnya lagi. "Aku akan menghubungi keluarga Pratama, mereka pengepul yang selalu mempunyai stok hasil pertanian." sahut pak Andi. Bagas mengangguk setuju, berharap kali ini mereka tidak akan terkena masalah. Sejatinya keadaan di kerajaan sedang tidak baik-baik saja, pihak kerajaan sedang melakukan upaya perdagangan dengan kerajaan luar. Namun bangsa BarBar selalu mencegat dan menjarah bawaan mereka. Mereka selalu mengambil hingga 50% bahan dagang yang harusnya sampai di kerajaan Bamaraya. Ada dua rute pelayaran yang bisa dilalui, jalur tercepat melewati bangsa BarBar, dan jalur laut prima yang agak jauh. Jalur prima selalu terhadang badai, sehingga kadang kala pihak pemerintah memutuskan melewati jalur bangsa BarBar. Kali ini mereka memutuskan melewati jalur prima karena bahan yang datang kali ini sangat mahal, demi menjamu utusan Timur jalur prima dipilih. Mereka tidak menyangka akan mendapatkan nasib sial kali ini, padahal pawang cuaca mengatakan akan cerah. Tidak seharusnya mereka percaya pawang itu. Mereka sudah menghabiskan ritual hingga 10 logam emas untuk ritual tersebut, namun mereka malah harus kehilangan bahan hingga 100 logam emas. "Wahai, Dewa! Siapakah yang dapat membantu kami?" lirih pemimpin paling dihormati itu dengan pelan.Kembali ke desa Mekarsari. Kebun milik pak Bima dan pak Suli sudah mulai bisa dipanen 2 hari lagi. Sedangkan milik petani lain juga sudah bisa dipanen sekitar seminggu kemudian. Rama menjual beberapa bahan insektisida, pestisida dan pupuk. Ada yang berbahan organik maupun sintetis. "Nah ini sabun yang aku janjikan..." Selesai dari kebun, Rama mulai membagikan beberapa sabun batangan kepada para penduduk desa yang ingin pergi ke sungai. "Ini beneran gratis Tuan Muda?" "Waah, anakku akan semakin cantik kalau memakai sabun ini." "Terima kasih Tuan Muda Rama." Penduduk desa bergantian mengucapkan pujian dan terima kasih kepada Rama. Semua kini memandang Rama dengan takjub, masalah pertanian mereka terselesaikan, Rama juga membagikan sabun batangan secara gratis pada mereka. Siapa yang tidak menyukai barang gratis, bahkan bantuan Rama terhadap kebun-kebun yang terkena hama sangat membantu. Tadinya warga mengira mereka akan kembali terlilit hutan dan upeti jika kali ini kembali meng
"Tuan muda Rama, aku akan ikut bersamamu ke kota. Aku tidak ingin kamu menanggung hutangku... Kamu sudah membantu hasil panenku agar tidak gagal." Pak Suli mendekati Rama ketika pak Arya dan pengawalnya berlalu pergi. "Aku bersyukur jika paman bisa ikut...tapi tak apa jika aku yang menanggung hutangnya, karna ini ideku..." jelas Rama lagi. Pak Suli langsung bersujud dan meneteskan airmata. Rama sudah menolongnya memberantas hama, memberikan pupuk untuk cabainya dan kini bersedia menanggung hutangnya. Entah bagaimana pak Suli dan keluarganya akan membalas kebaikan Rama. "Nak, sebaiknya kita bersiap berangkat, karna jika terlambat maka cabai kita akan mengalami penurunan kualitas." ajak pak Bima. "Bapak di desa saja sama ibu, biar Jaya dan Rama yang berangkat." Jelas Jaya, Rama langsung mengangguk setuju. "Betul, lebih baik Bapak jaga ibu di rumah... Biar kita yang berangkat." "Kalian bisa memakai kereta kudaku, agar bisa cepat sampai..." jelas pak Wijaya. "kebetulan aku jug
"Tuan Muda, aku akan menginap di penginapan Melati. Karna berada di jalan utama, akan mudah untuk menemukannya," jelas pak Wijaya dengan hormat pada akhirnya. "Baiklah, ketika urusan di sini selesai, aku akan langsung menyusul kalian." "Tuan Muda Rama, tolong jaga dirimu..." kata pak Suli juga. Rama mengangguk dan tersenyum meyakinkan. Pak Wijaya dan pak Suli masuk kedalam kereta kuda dan berlalu. "Jadi kalian belum makan?" Rama kembali fokus kepada Alan dan adik-adiknya. Alan mengangguk takut. "Dimana kalian tinggal?" tanya Jaya. Alan menunjuk ke arah perkampungan pinggir jalan, Rama menatap perkampungan itu nanar. Beberapa kemah didirikan, berdinding kan pelepah daun dan atap jerami. Rama mengisyaratkan Alan untuk menuntunnya. Jaya menatap ragu namun tetap mengikuti Rama dan Alan, ketiga adik Alan mengikuti mereka dengan tertatih. Tapi ketika mereka akan masuk, beberapa pemuda yang sama kurusnya namun terlihat masih mempunyai tenaga menghentikan mereka. "Kalian jangan ma
"BRAK!!!" Seseorang terlempar keluar dari penginapan. Hampir saja mengenai Rama dan Jaya yang akan masuk ke penginapan. Untungnya Jaya yang memang menguasai bela diri langsung menahan tubuh Rama ke belakang. Padahal Rama modern juga lebih peka, meskipun ia hanya mengikuti silat sampai sabuk hijau. "Uhuk!" Pak Petra yang terlempar itu mengeluarkan darah, meskipun tidak banyak namun tubuhnya mengalami luka dalam. Semua orang memandang tanpa berbuat apapun, lalu Rama juga melihat pak Wijaya dan pak Suli di dalam tanpa berbuat apapun. 'Apa yang sebenarnya terjadi? ' "Bush!" Surya seorang bangsawan, menyiram Petra dengan semangkok sup sayur. "Coba kamu rasakan, apakah masakanmu ini layak untuk aku makan?!" katanya lagi dengan sebelah kaki yang kini berada di dada pak Petra. "Uhuk!! Maa... Maafkan aku Tuan Muda Surya!! Aku mohon... Beri aku kesempatan." "Duk!!" Pak Petra langsung berlutut ketika Surya melepaskan kakinya di dada pak Petra. "Waktumu hanya sampai besok!" katanya kemu
"Baiklah, besok pagi ketika urusanku sudah selesai. Aku akan memberikan beberapa resep masakan pada paman." kata Rama berjanji pada pak Petra. ketika urusannya dengan pak Andik selesai, maka Rama akan memberikan beberapa resep tambahan untuk menu di penginapan Melati. Jadi, di sinilah ia sekarang. Di rumah pak Andik Pratama. Setelah berkeliling akhirnya mereka menemukan rumah pak Andik. Rumah bata yang terbuat sangat mewah, dikelilingi pagar tinggi. Ketika masuk mereka juga disuguhi dengan taman bunga yang indah, ada kolam ikan dengan jembatan kayu yang menghubungkan kerumah utama. Pak Andik menyambut mereka dengan ramah, dan lebih ramah lagi ketika melihat hasil panen cabai yang sangat bagus. "Jadi berapa harga cabai yang akan paman beli perkilonya?" tanya Rama tanpa basa-basi. "4 logam emas!!!" seru pak Andik saking senangnya. Mendengar harga yang sangat mahal itu pak Wijaya, pak Suli dan Jaya langsung terperangah. Menatap Rama tak percaya. "Baiklah paman, tapi aku ingin
"Tuan...." Rupanya Rianty menunggu Rama di depan penginapan. Ketika Rama turun dari kereta kuda, ia langsung mencegatnya dengan tangan di pinggang dan wajah cantik yang cemberut. Rama tersenyum ramah, seperti suami yang dicegat istri karna pulang terlambat. "Wah kamu semangat sekali nona muda..." goda Jaya. Hari ini Rianty terlihat cantik dengan rambut yang dikepang satu kebelakang. "Tuan, lebih cepat lebih baik untuk kamu buktikan kemampuan memasakmu." "Baiklah... Tapi apa boleh aku kekamarku dulu untuk mengambil persiapan?" tanya Rama, padahal ia hanya ingin tempat aman untuk diam-diam membeli bumbu di onshop. "Baik... jangan berpikir untuk kabur ya Tuan Muda!!" ancam Rianty. "Hei mana mungkin kami kabur!!" tegas Jaya, sementara Jaya dan Rianty berdebat, Rama naik ke lantai 2 , kekamar ia dan Jaya. Sesampainya dikamar, Rama membuka onshop dan membeli beberapa bumbu ikan bakar, madu, kaldu ayam, garam, veksin, dan bumbu saji bihun goreng. Tidak lupa tepung kriyuk serbaguna
Plak! Sebuah tamparan mengenai pipi Surya, Antoni bangsawan dari klan Jagatraya yang digadang-gadang sebagai penerus, melayangkan tamparan itu. Matanya memerah karna marah, bahkan ia ingin menghajar Surya hingga babak belur. Jika saja Surya bukan bagian dari klan, itu bisa saja terjadi. Namun Antoni masih menahan amarahnya. "Kau, kuberi misi untuk mendapatkan toko itu bagaimanapun caranya!!Tapi yang kudengar kamu malah memberikan tip pada makanannya!!! Dimana otakmu?!!" Kata Antoni dengan tangan dikepal. Surya memegangi pipinya yang memerah, ia menahan malu saat ini. Namun ia tak bisa melawan karna Antoni mempunyai temperamen yang tidak bisa ditahan. "Kakak tertua, aku khilaf karna rasa masakan itu. Aku benar-benar minta maaf!!" ucap Surya sembari berlutut. "Rasanya belum pernah aku rasakan, aku seperti tersihir!!" kata Surya beralasan. "Cih!! Itu hanya penginapan biasa, bahkan yang datang kesana bukanlah para bangsawan. Penginapan itu hanya memiliki nilai jual karna letak
"Kak Rama, biarkan kami ikut bersamamu..." tiba-tiba Toni memeluk Rama. "Iya Kak... Aku bisa membantumu membersihkan rumah." Rita juga ikut memeluk Rama. Diikuti Santi yang juga memeluk Rama. Alan menatap marah kepada ketiga adiknya yang ia rasa tidak tau malu. Alan tidak ingin menyusahkan Rama, bahkan bantuan yang Rama berikan padanya sudah sangat membantu mereka. Rama berpikir sejenak. Bukannya ia tak mau mengajak anak-anak ini, namun selain belum mendapatkan izin dari kedua orangtuanya, rumah Rama belum mampu menampung mereka berempat. "Tuan Muda Rama, jika kau ingin membawa mereka, saya bisa membantu memberikan tumpangan. " Kata pak Wijaya memberikan saran. Jaya mengangguk sebelum akhirnya bicara. "Kita bisa bawa tenda itu untuk mereka kan Ram..." Rama menggeleng,saat ini akan banyak orang yang penasaran dengan tenda yang ia miliki. Bahkan saat ini saja pengawal pak Wijaya terlihat mengagumi tenda milik Rama. Pak Suli juga menatap kagum, namun tidak berani bertanya pada R