"Tuan Muda, aku akan menginap di penginapan Melati. Karna berada di jalan utama, akan mudah untuk menemukannya," jelas pak Wijaya dengan hormat pada akhirnya.
"Baiklah, ketika urusan di sini selesai, aku akan langsung menyusul kalian." "Tuan Muda Rama, tolong jaga dirimu..." kata pak Suli juga. Rama mengangguk dan tersenyum meyakinkan. Pak Wijaya dan pak Suli masuk kedalam kereta kuda dan berlalu. "Jadi kalian belum makan?" Rama kembali fokus kepada Alan dan adik-adiknya. Alan mengangguk takut. "Dimana kalian tinggal?" tanya Jaya. Alan menunjuk ke arah perkampungan pinggir jalan, Rama menatap perkampungan itu nanar. Beberapa kemah didirikan, berdinding kan pelepah daun dan atap jerami. Rama mengisyaratkan Alan untuk menuntunnya. Jaya menatap ragu namun tetap mengikuti Rama dan Alan, ketiga adik Alan mengikuti mereka dengan tertatih. Tapi ketika mereka akan masuk, beberapa pemuda yang sama kurusnya namun terlihat masih mempunyai tenaga menghentikan mereka. "Kalian jangan masuk Alan, keluargamu terkena penyakit menular!!" Pandu menghalangi mereka dengan beberapa tongkat kayu. "Kami akan tinggal dimana? Adikku sedang sakit dan belum makan..." Rintih Alan tak berdaya. "Maaf Alan, kami tidak akan mengusir kalian jika saja tidak ada penyakit itu. Tolong mengertilah..." Kata Pandu dengan sorot mata menyesal. Alan meneteskan airmata dan memandang ke arah Rama. "Baiklah... Kami akan pergi dari sini." Jelas Rama dan mengisyaratkan Alan untuk kembali mengikutinya. Alan mengajak adik-adiknya untuk mengikuti Rama dan Jaya. Namun, Santi yang sedang sakit dan belum makan tidak memiliki tenaga. Sehingga ia pun tidak sadarkan diri. Melihat itu Rama langsung menggendongnya, Santi baru berusia 8 tahun. Namun badannya yang kurus membuatnya terlihat lebih muda dari umurnya. Melihat Rama yang tanpa ragu menggendong adiknya, Alan langsung menatap dengan penuh rasa haru. Baru kali ini ada orang yang mau mendekati mereka, bahkan bersentuhan langsung dengan mereka. Ketika sampai di samping pohon rindang, Rama langsung merebahkan Santi dan meminta Alan untuk menjaganya. Rama langsung meminta Jaya mengikutinya, Rama harus pergi agak menjauh jika akan mengeluarkan sesuatu dari onshop agar tidak ada yang melihat. Namun melihat Rama dan Jaya yang pergi menjauh dan menghilang di balik pepohonan membuat Alan dan adik-adiknya kembali bersedih. 'Apa mereka akan kembali ditinggalkan?' "Kak..." Toni dan Rita mulai meneteskan airmata. Melihat adiknya yang berumur tidak jauh darinya menangis, membuat Alan juga mulai meneteskan airmata. Mereka adalah anak yatim piatu, ibu dan Bapaknya meninggal juga karna flu, sekarang adik bungsu mereka juga terkena. Entah bagaimana lagi nasib mereka kini jika tidak ada yang mau menolong mereka. "Kenapa kalian menangis?" tanya Rama yang datang dengan berbagai macam barang ditangannya dan Jaya. "Tuan... ternyata kau tidak meninggalkan kami. Huhuhu...." Alan mulai menangis tersedu. "Ah..." Rama tersenyum paham. Jaya yang tadinya takut menjadi tidak takut lagi, tadi Rama sudah memberinya sebuah obat agar tidak tertular. Padahal, Rama hanya memberinya suplemen, agar daya tahan tubuhnya terjaga dan tidak mudah tertular. Tapi walaupun tertular ada berbagai macam merek obat flu di onshop untuk menyembuhkannya. Rama membeli sebuah tenda yang muat 10 orang dewasa, membeli 1 kasur angin kecil untuk Santi,1 kasur angin kecil untuk Rita dan 1 kasur angin agak besar untuk Alan dan Toni, serta beberapa bahan makanan. Ketika sudah membangun sebuah tenda, Rama mengajak Alan dan adik-adiknya untuk masuk. Rama merebahkan Santi di kasur, sementara Alan, Toni dan Rita menatap kagum tenda yang dibangun Rama. Belum pernah mereka melihat kemah sebagus ini. Sementara anak-anak itu terkagum-kagum, Rama mulai memotong bahan makanan. Ia akan membuat sop dan ayam goreng. Cuaca sudah mulai memasuki musim penghujan, tak lupa Rama membeli beberapa selimut untuk Alan dan adik-adiknya. Rama juga seorang yatim piatu di masa depan, makanya ia tak bisa untuk tidak peduli kepada Alan dan adik-adiknya. Rama seperti melihat dirinya ketika masih seumuran Alan. Ketika masakan sudah selesai, Rama mulai menyajikannya di piring yang terbuat dari tanah merah. Alan, Toni, Rita bahkan Jaya pun akan meneteskan air liur ketika melihat makanan yang Rama sajikan. "Makanlah sepuas kalian, jangan takut kehabisan." perintah Rama. "Ayo kita makan!" seru Jaya. Tanpa menunda waktu mereka makan dengan lahap, wangi sop sudah membuat mereka kelaparan. "Kak ini enak sekali!!" seru Toni. "Kak apakah kita berada di surga? Jangan-jangan kita sudah mati?" kata Santi dengan dramanya. "Hahaha...." mereka kemudian tertawa bersama, sampai lupa pada Santi. Rama mencoba menyadarkan Santi. Ia menyodorkan inhealer ke hidung Santi yang mampet. Aroma inhealer begitu kuat, dingin dan membuat hidungnya tidak mampet. Santi tersadar, menatap Rama bingung. Rama memapah Santi untuk duduk dan menyodorkan sesendok nasi sop ke mulutnya. Mencium aroma yang begitu lezat Santi menerima suapan pertamanya. Namun begitu kuah sop yang hangat itu masuk, ia yang memang belum makan dari kemarin langsung merebut sepiring nasi sop dari tangan Rama. Rama tak terlalu terkejut, ia hanya memusut bahu Santi."pelan-pelan makannya, masih banyak..." katanya mengingatkan. Santi memandangnya dengan tatapan polos dan menurut untuk makan secara perlahan. "Nanti kalau sudah makan, minum obat ini..." kata Rama pada Santi sembari menyerahkan obat flu dan batuk merek procald. "Obat ini pahit, tapi kamu harus meminumnya jika ingin sembuh." jelas Rama lagi. "Baik paman..." kata Santi dengan anggukan penuh. "Kalian juga harus minum obat ini setelah selesai makan." kata Rama juga menyerahkan imboster anak untuk Alan, Toni dan Rita. Ketiganya mengangguk tanpa pertanyaan, bagaimana mungkin ketiga anak itu berani bertanya dan berprasangka kepada orang sebaik Rama. Mereka diberi tempat tinggal, kasur yang empuk, selimut yang hangat dan makanan yang nikmat, yang belum pernah mereka temukan di manapun. Padahal semua itu Rama buat dengan bahan cepat jadi. "Santi, kamu pakai penutup mulut ini... Jika sakitmu belum sembuh, jangan dilepas." kata Rama lagi memakai masker di wajahnya, memperlihatkan kepada Santi cara memakainya. Santi mengangguk paham. "Kalian akan aku tinggalkan obat, Alan pantau obat Santi, pastikan ia meminumnya setelah makan pagi, siang, sore atau malam. Pastikan ia meminum obat ini 3x sehari. Kamu mengerti?" "Aku mengerti paman..." Alan memang anak yatim piatu namun tak banyak orang yang tau jika Alan memiliki ingatan yang sangat kuat. Ia mudah hapal dan sulit lupa. "Bagus!!" Seru Jaya."nah ini sabun, pastikan kalian mandi."kata Jaya yang sudah menyiapkan potongan-potongan kecil sabun di dalam kotak atas permintaan Rama. Alan memandangi sabun tersebut dan mencium aromanya yang wangi,menerima dengan segan. "Aku meninggalkan beberapa makanan untuk kalian..." Jelas Rama lagi membuka kotak yang berisi beberapa roti dan selai. Alan berlutut di hadapan Rama dan Jaya, melihat itu, Toni dan Rita mengikutinya. "Paman, terima kasih... Aku tidak akan pernah melupakan jasa paman." Alan mulai meneteskan airmata. Begitu pula Toni dan Rita. "Paman, terima kasih..."Santi memeluk Rama. Rama mengusap kepala anak itu. "Jangan berterima kasih padaku. Aku ingin kalian tetap semangat menjalani hidup, bekerja keras dan jangan berputus asa. Kalian masih muda... Kalian hanya perlu menolong orang lain yang membutuhkan, maka itu sudah cukup bagiku." Jelas Rama. Padahal itu adalah kata-kata seorang sufi. Ia suka kata-kata itu dan kembali mengucapkannya. "Terima kasih paman..." kata mereka lagi. Alan, Toni, Rita dan Santi menyimpan kata-kata Rama dihati mereka, dan mereka akan selalu mengingat pesan itu."BRAK!!!" Seseorang terlempar keluar dari penginapan. Hampir saja mengenai Rama dan Jaya yang akan masuk ke penginapan. Untungnya Jaya yang memang menguasai bela diri langsung menahan tubuh Rama ke belakang. Padahal Rama modern juga lebih peka, meskipun ia hanya mengikuti silat sampai sabuk hijau. "Uhuk!" Pak Petra yang terlempar itu mengeluarkan darah, meskipun tidak banyak namun tubuhnya mengalami luka dalam. Semua orang memandang tanpa berbuat apapun, lalu Rama juga melihat pak Wijaya dan pak Suli di dalam tanpa berbuat apapun. 'Apa yang sebenarnya terjadi? ' "Bush!" Surya seorang bangsawan, menyiram Petra dengan semangkok sup sayur. "Coba kamu rasakan, apakah masakanmu ini layak untuk aku makan?!" katanya lagi dengan sebelah kaki yang kini berada di dada pak Petra. "Uhuk!! Maa... Maafkan aku Tuan Muda Surya!! Aku mohon... Beri aku kesempatan." "Duk!!" Pak Petra langsung berlutut ketika Surya melepaskan kakinya di dada pak Petra. "Waktumu hanya sampai besok!" katanya kemu
"Baiklah, besok pagi ketika urusanku sudah selesai. Aku akan memberikan beberapa resep masakan pada paman." kata Rama berjanji pada pak Petra. ketika urusannya dengan pak Andik selesai, maka Rama akan memberikan beberapa resep tambahan untuk menu di penginapan Melati. Jadi, di sinilah ia sekarang. Di rumah pak Andik Pratama. Setelah berkeliling akhirnya mereka menemukan rumah pak Andik. Rumah bata yang terbuat sangat mewah, dikelilingi pagar tinggi. Ketika masuk mereka juga disuguhi dengan taman bunga yang indah, ada kolam ikan dengan jembatan kayu yang menghubungkan kerumah utama. Pak Andik menyambut mereka dengan ramah, dan lebih ramah lagi ketika melihat hasil panen cabai yang sangat bagus. "Jadi berapa harga cabai yang akan paman beli perkilonya?" tanya Rama tanpa basa-basi. "4 logam emas!!!" seru pak Andik saking senangnya. Mendengar harga yang sangat mahal itu pak Wijaya, pak Suli dan Jaya langsung terperangah. Menatap Rama tak percaya. "Baiklah paman, tapi aku ingin
"Tuan...." Rupanya Rianty menunggu Rama di depan penginapan. Ketika Rama turun dari kereta kuda, ia langsung mencegatnya dengan tangan di pinggang dan wajah cantik yang cemberut. Rama tersenyum ramah, seperti suami yang dicegat istri karna pulang terlambat. "Wah kamu semangat sekali nona muda..." goda Jaya. Hari ini Rianty terlihat cantik dengan rambut yang dikepang satu kebelakang. "Tuan, lebih cepat lebih baik untuk kamu buktikan kemampuan memasakmu." "Baiklah... Tapi apa boleh aku kekamarku dulu untuk mengambil persiapan?" tanya Rama, padahal ia hanya ingin tempat aman untuk diam-diam membeli bumbu di onshop. "Baik... jangan berpikir untuk kabur ya Tuan Muda!!" ancam Rianty. "Hei mana mungkin kami kabur!!" tegas Jaya, sementara Jaya dan Rianty berdebat, Rama naik ke lantai 2 , kekamar ia dan Jaya. Sesampainya dikamar, Rama membuka onshop dan membeli beberapa bumbu ikan bakar, madu, kaldu ayam, garam, veksin, dan bumbu saji bihun goreng. Tidak lupa tepung kriyuk serbaguna
Plak! Sebuah tamparan mengenai pipi Surya, Antoni bangsawan dari klan Jagatraya yang digadang-gadang sebagai penerus, melayangkan tamparan itu. Matanya memerah karna marah, bahkan ia ingin menghajar Surya hingga babak belur. Jika saja Surya bukan bagian dari klan, itu bisa saja terjadi. Namun Antoni masih menahan amarahnya. "Kau, kuberi misi untuk mendapatkan toko itu bagaimanapun caranya!!Tapi yang kudengar kamu malah memberikan tip pada makanannya!!! Dimana otakmu?!!" Kata Antoni dengan tangan dikepal. Surya memegangi pipinya yang memerah, ia menahan malu saat ini. Namun ia tak bisa melawan karna Antoni mempunyai temperamen yang tidak bisa ditahan. "Kakak tertua, aku khilaf karna rasa masakan itu. Aku benar-benar minta maaf!!" ucap Surya sembari berlutut. "Rasanya belum pernah aku rasakan, aku seperti tersihir!!" kata Surya beralasan. "Cih!! Itu hanya penginapan biasa, bahkan yang datang kesana bukanlah para bangsawan. Penginapan itu hanya memiliki nilai jual karna letak
"Kak Rama, biarkan kami ikut bersamamu..." tiba-tiba Toni memeluk Rama. "Iya Kak... Aku bisa membantumu membersihkan rumah." Rita juga ikut memeluk Rama. Diikuti Santi yang juga memeluk Rama. Alan menatap marah kepada ketiga adiknya yang ia rasa tidak tau malu. Alan tidak ingin menyusahkan Rama, bahkan bantuan yang Rama berikan padanya sudah sangat membantu mereka. Rama berpikir sejenak. Bukannya ia tak mau mengajak anak-anak ini, namun selain belum mendapatkan izin dari kedua orangtuanya, rumah Rama belum mampu menampung mereka berempat. "Tuan Muda Rama, jika kau ingin membawa mereka, saya bisa membantu memberikan tumpangan. " Kata pak Wijaya memberikan saran. Jaya mengangguk sebelum akhirnya bicara. "Kita bisa bawa tenda itu untuk mereka kan Ram..." Rama menggeleng,saat ini akan banyak orang yang penasaran dengan tenda yang ia miliki. Bahkan saat ini saja pengawal pak Wijaya terlihat mengagumi tenda milik Rama. Pak Suli juga menatap kagum, namun tidak berani bertanya pada R
"Beraninya kamu menghina keluarga kerajaan!!" Jaya akan maju menghajar pak Arya, namun Rama kembali menahannya. Saat ini jika Jaya menghajar Pak Arya, ia hanya akan menimbulkan masalah baru. Terlebih Rama tidak ingin pak Arya merasa lebih sombong ketika yakin keluarga Adipati memang dibuang. "Paman... Kami kesini ingin membayar upeti, bebaskan keluarga kami!" Mendengar kata-kata Rama mata Arya kembali dipenuhi rasa tamak akan kekayaan. "Aku tidak akan menerima kurang dari 25%!! Jika kalian memberikan kurang dari itu maka keluarga kalian akan aku tahan!!" "Kami menjual 40kg cabai dikali dengan 1 logam emas, sama dengan 40 logam emas, jika 25% untuk paman, maka kami membayar 10 logam emas untuk paman. Masing-masing dari kami akan membayar 5 logam emas." kata Rama kemudian menyerahkan 5 logam emas,disusul pak Suli yang juga memberikan 5 logam emas kepada pak Arya. Untung saja ia mendengarkan nasehat Rama untuk menukar 1 batang emas dengan beberapa logam emas dan perak. Pak Arya me
Rama tersenyum puas, ternyata begitu mudah mempengaruhi orang-orang di masa ini, terutama yang tamak. Pemuda itu kini berbisik kepada pak Arya, membuat mata pak Arya berbinar. Kemudian ia mengangguk. Para pengawal yang memperhatikan dari kejauhan menatap bingung. Mereka melihat Rama mengeluarkan suatu kotak kayu dan memberikannya pada pak Arya. "Apa itu?" *** Di sisi lain, Pak Andik berlari tergopoh-gopoh ke arah gerbang rumahnya diikuti para pegawainya, pak Andi seorang Menteri Perdagangan datang berkunjung ke rumahnya. "Terima hormat Tuan Besar!" Pak Andik menangkupkan tangannya. "Langsung saja, ada hal penting yang ingin aku bicarakan!" kata pak Andi. Pak Andik langsung mengangguk paham dan mengajak pak Andi ke ruang pertemuannya. Sesampainya di sana sudah ada beberapa hidangan, secara khusus pak Andik juga meletakkan bubuk cabai original dan rumput laut di atas meja. Baunya tercium sangat kuat, membuat pak Andi langsung memperhatikan kotak itu. "Aku membutuhkan bantu
"Tuan Muda Rama..." Pak Arya datang dengan senyuman di wajahnya. Dan memamerkan cincin giok hijau di jarinya. Tadi malam Rama memberikan 1 kotak suplemen, 1 buah sabun batangan dan 1 cincin bermatakan giok hijau. Di zaman ini tak banyak pejabat yang mampu memiliki cincin bermatakan giok hijau, bahkan ukiran cincin ini begitu indah dan elegan. Membuat siapapun yang melihatnya akan terpukau. Jelas cincin yang Rama hadiahkan adalah cincin yang ia beli dari onshop, Rama hanya melihat pak Arya ini orang yang suka memperhatikan penampilannya, jadi memberi hadiah berupa cincin. Rama bahkan tak pernah menyangka kalau pak Arya menyukai hadiah yang Rama berikan. "Pak Arya..." "Saya dengar Tuan Muda Rama mencari orang untuk membuat tambahan kamar?" 'Lihatlah, bahkan hadiah bisa membuat sikap orang menjadi ramah dalam semalam!' Batin Rama. "Benar, apa paman punya kenalan?" "Hahaha....aku adalah kepala desa, aku tau warga yang bisa membantumu Tuan Muda." Lanjutnya lagi. "Baiklah...bisa