"Tuan muda Rama, aku akan ikut bersamamu ke kota. Aku tidak ingin kamu menanggung hutangku... Kamu sudah membantu hasil panenku agar tidak gagal."
Pak Suli mendekati Rama ketika pak Arya dan pengawalnya berlalu pergi. "Aku bersyukur jika paman bisa ikut...tapi tak apa jika aku yang menanggung hutangnya, karna ini ideku..." jelas Rama lagi. Pak Suli langsung bersujud dan meneteskan airmata. Rama sudah menolongnya memberantas hama, memberikan pupuk untuk cabainya dan kini bersedia menanggung hutangnya. Entah bagaimana pak Suli dan keluarganya akan membalas kebaikan Rama. "Nak, sebaiknya kita bersiap berangkat, karna jika terlambat maka cabai kita akan mengalami penurunan kualitas." ajak pak Bima. "Bapak di desa saja sama ibu, biar Jaya dan Rama yang berangkat." Jelas Jaya, Rama langsung mengangguk setuju. "Betul, lebih baik Bapak jaga ibu di rumah... Biar kita yang berangkat." "Kalian bisa memakai kereta kudaku, agar bisa cepat sampai..." jelas pak Wijaya. "kebetulan aku juga akan ke kota" "Wah, terima kasih paman..." sekali lagi Rama menangkupkan tangannya. "Haish...jangan begitu, wajar jika kita saling menolong sesama warga desa." "Terima kasih paman..." kata Jaya pula. "Terima kasih pak Wijaya..." kali ini pak Suli juga mengikuti. "Ayo kita bersiap saja..." Pak Wijaya terlihat malu pada penghormatan orang lain kepadanya. Meski didalam hati ia merasa takjub pada cara Rama berterima kasih pada orang lain. Anak itu bisa memberikan contoh yang baik kepada orang lain. *** Rama hanya mengemas hasil panen cabainya, karna kebutuhannya sudah tersedia di dalam kotak penyimpanan. Kali ini Rama bisa membeli kotak penyimpanan Reguler dari hasil menjual insektisida, pestisida dan pupuk. Kini Rama bisa menyimpan hingga 50 barang. Jika ia mendapatkan keuntungan yang banyak dari hasil menjual cabai, maka Rama akan meng-upgrade kotak penyimpanannya. Kali ini Rama membawa tas selempang untuk menyimpan bekal dan pisau lipat kecil untuk menjaganya selama di perjalanan. Tak lupa Rama juga membawa permen kopiku sebagai penahan ngantuk jika dibutuhkan. Pak Wijaya membawa kereta kuda yang lumayan besar, di depan bisa 2 orang yang duduk. Jaya duduk di depan menemani pengawal pak Wijaya yang mengarahkan kereta kuda. Sementara Rama, pak Wijaya, dan pak Suli di dalam kereta kuda. Itu pun masih muat 3 orang lagi di dalamnya. Di bagian belakang bisa memuat sekitar 40 kg hasil panen cabai dan barang dagangan pak Wijaya. Para pengawal ada 4 orang yang berjaga di sekitaran kereta dengan pedang dan busur. Kali ini mereka akan langsung ke kota Mekaragung, tidak terlalu jauh dari desa Mekarsari. Rama sesekali menguap dan memandang keluar jendela kereta kuda. Hanya terlihat pohon-pohon rindang dan puncak gunung, Rama mengulum permen kopikunya, berharap rasa ngantuk itu mulai hilang. Kali ini ia membuka 2 permen sekaligus. Di liriknya pak Suli yang bersender dan mulai tertidur. Sedangkan Pak Wijaya sedang menatap keluar jendela juga. "Paman akan membeli atau berdagang sesampainya di kota Mekaragung nanti?" Rama memecahkan kesunyian di antara mereka. Pak Wijaya menoleh dan tersenyum." Aku akan berdagang dan membeli beberapa stok barang nanti." Jelasnya. "Hmm... Jenis barang seperti apa yang akan paman perjual-belikan?" "Apa saja, asalkan bukan bahan makanan." Rama mengangguk paham kemudian mengeluarkan kotak kayu. "Coba paman lihat barangku ini, apa menurut paman barang ini akan laku dijual?" Pak Wijaya menyambut kotak kayu tersebut dan membukanya, sebuah sabun batangan berwarna merah muda dengan wangi mawar. Pak Wijaya menatap barang tersebut dengan binar ceria. "Apakah ini sabun?" Rama mengangguk."sabun ini memiliki wangi khas, melembutkan kulit bahkan bisa mencerahkan kulit."jelas Rama. "Ini barang yang sangat bagus dengan kualitas terbaik, belum pernah aku menemukan sabun batangan seharum ini!! Darimana kamu mendapatkan barang ini Tuan Muda?" Rama tersenyum senang. "Rahasia dagang..." "Ah..." Pak Wijaya paham, namun wajahnya terlihat muram. "Tapi aku ingin paman membantuku menjualnya, aku akan membagi keuntungan 10%." "10%?!" Pak Wijaya langsung bersemangat mendengarnya, pedagang mana yang tidak ingin keuntungan sebanyak itu. "Berapa harga sabun batang yang akan Tuan Muda jual?" Lanjutnya lagi. "Menurut paman berapa harga yg bagus? Karna target pembelinya adalah para wanita pejabat atau bangsawan." Pak Wijaya terlihat berpikir, "Sabun batang biasa terjual dengan harga 5 perunggu, sedangkan sabun ini memiliki kualitas yang baik. Mungkin harganya bisa naik sampai 10 perunggu?" Rama menggeleng tidak setuju "15 perunggu?" Lanjut pak Wijaya dan Rama kembali menggeleng. "Langsung saja Tuan Muda, sebutkan harga yang kamu inginkan. Aku akan berusaha menjualnya!" sahut pak Wijaya penuh semangat. "20 perunggu per batang." Pak Wijaya menatap ragu sekaligus takjub, jika sabun ini dijual di kalangan bangsawan maka harga 20 perunggu sangatlah pantas. Apalagi sabun ini memang ditargetkan untuk para bangsawan dan pejabat. "Berapa sabun yang Tuan Muda bawa?" "Ah...aku tidak membawanya, aku hanya membawa 1 batang untuk uji coba gratis...paman bisa memotongnya kecil-kecil jika ada yang ingin mencobanya." jelas Rama. Sebenarnya mudah buat Rama jika ingin mengeluarkan beberapa sabun lagi. Namun ia ingin melihat pangsa pasar, seperti apa trend di kota. Karna Rama harus melakukan riset pasar terlebih dahulu. Meskipun ia yakin, sabun itu akan laris terjual. Para wanita itu menyukai kebersihan. Apalagi jika dengan embel-embel bisa mencerahkan dan melembutkan kulit. Wanita mana yang tidak ingin membeli? "Duk! duk! duk!" Seseorang melempari kereta kuda mereka dengan beberapa batu. Kereta kuda berhenti dan Rama mengintip dari jendela. Beberapa anak kecil yang tidak memakai baju, berbadan kurus dan terlihat lemah. Namun yang melempar batu sepertinya memiliki tekad ketika melempar batu ke kereta kuda pak Wijaya. "Apa yg kalian lakukan?!" pengawal Pak Wijaya langsung menangkap anak kecil yang melempar batu. Sedangkan 3 yang lain meringkuk ketakutan. "Hei, jangan kasar pada anak kecil!!" Tegur Jaya. "Maafkan aku Tuan...aku hanya bermaksud menghentikan kereta kuda kalian..." jelas anak kecil yang melempari kereta dengan batu. "Kenapa kamu menghentikan kereta kuda kami?" Rama yang turun dari kereta menatap iba kepada anak kecil itu. "Siapa namamu?" tanya Rama kemudian. "Aku Alan tuan...mohon jangan hukum kami...aku hanya berharap tuan memberikan kami sedikit makanan..." Anak itu menunduk takut. "Adikku sedang sakit tuan..." lanjut anak yang bernama Alan itu. "Sakit apa?" tanya pak Wijaya. "Dia.... batuk dan hidungnya tidak bisa bernapas tuan..." Mendengar itu pengawal pak Wijaya langsung melepas cengkramannya pada Alan dan mendorongnya. Bahkan pak Wijaya, Jaya dan pengawal lainnya mulai menjaga jarak karna takut tertular. Hanya Rama yang terlihat santai di tempatnya semula. Alan mulai berlinang airmata, sepertinya usahanya tadi akan berakhir sia-sia. Sudah beberapa kereta kuda yang ia hentikan, namun tak ada yang mau menolong mereka. Bahkan jika ada yang berniat menolong pun, ketika mendengar sakit adiknya, maka mereka akan menjauh. Rama menatap Alan, melihat beberapa lebam di tubuh anak itu. "Pak Wijaya, seberapa jauh lagi pusat kota Mekaragung?" tanya Rama. "Sekitar 300 meter lagi." jelas pak Wijaya, ia tidak paham dengan maksud pertanyaan Rama. "Kalian bisa ke penginapan terlebih dahulu, aku akan menyusul. Tapi tolong jangan cari penginapan terlalu jauh, agar aku bisa menemukan kalian." jelas Rama. "Tapi.... Apa yang ingin kamu perbuat Tuan Muda Rama?" tanya Pak Wijaya, terlihat khawatir karna jarak Rama begitu dekat dengan anak-anak itu. Namun ia juga takut untuk mendekat. "Penyakit itu... Maaf, bukan bermaksud menyinggung... Tapi itu begitu menular." jelasnya lagi. Karna Rama juga pernah terkena penyakit tersebut dan sembuh. Karena itulah pak Wijaya menjaga bicaranya. Rama melambaikan tangan, "jangan khawatir paman...kalian bisa duluan, kak Jaya, kamu ikut aku." Jaya merasa kurang beruntung ketika mendengar Rama memintanya untuk tinggal, namun Jaya tetap harus tinggal karna dia adalah seorang abang yang harus menjaga adiknya. Jika ia meninggalkan Rama disini dan terjadi sesuatu padanya, maka ia akan mati dibunuh ibunya! "Ram, apa yang kamu lakukan?" Tanya Jaya setengah berbisik. "Tenanglah...." "Tapi Tuan Muda..." "Paman, percayalah padaku..." Entah kenapa setiap Rama bersuara, ia merasa terpedaya. Pak Wijaya merasa harus menurut ketika Rama sudah berkata begitu. Meski tidak mengerti, tapi dia menantikan apa yang akan dilakukan oleh pemuda satu ini."Tuan Muda, aku akan menginap di penginapan Melati. Karna berada di jalan utama, akan mudah untuk menemukannya," jelas pak Wijaya dengan hormat pada akhirnya. "Baiklah, ketika urusan di sini selesai, aku akan langsung menyusul kalian." "Tuan Muda Rama, tolong jaga dirimu..." kata pak Suli juga. Rama mengangguk dan tersenyum meyakinkan. Pak Wijaya dan pak Suli masuk kedalam kereta kuda dan berlalu. "Jadi kalian belum makan?" Rama kembali fokus kepada Alan dan adik-adiknya. Alan mengangguk takut. "Dimana kalian tinggal?" tanya Jaya. Alan menunjuk ke arah perkampungan pinggir jalan, Rama menatap perkampungan itu nanar. Beberapa kemah didirikan, berdinding kan pelepah daun dan atap jerami. Rama mengisyaratkan Alan untuk menuntunnya. Jaya menatap ragu namun tetap mengikuti Rama dan Alan, ketiga adik Alan mengikuti mereka dengan tertatih. Tapi ketika mereka akan masuk, beberapa pemuda yang sama kurusnya namun terlihat masih mempunyai tenaga menghentikan mereka. "Kalian jangan ma
"BRAK!!!" Seseorang terlempar keluar dari penginapan. Hampir saja mengenai Rama dan Jaya yang akan masuk ke penginapan. Untungnya Jaya yang memang menguasai bela diri langsung menahan tubuh Rama ke belakang. Padahal Rama modern juga lebih peka, meskipun ia hanya mengikuti silat sampai sabuk hijau. "Uhuk!" Pak Petra yang terlempar itu mengeluarkan darah, meskipun tidak banyak namun tubuhnya mengalami luka dalam. Semua orang memandang tanpa berbuat apapun, lalu Rama juga melihat pak Wijaya dan pak Suli di dalam tanpa berbuat apapun. 'Apa yang sebenarnya terjadi? ' "Bush!" Surya seorang bangsawan, menyiram Petra dengan semangkok sup sayur. "Coba kamu rasakan, apakah masakanmu ini layak untuk aku makan?!" katanya lagi dengan sebelah kaki yang kini berada di dada pak Petra. "Uhuk!! Maa... Maafkan aku Tuan Muda Surya!! Aku mohon... Beri aku kesempatan." "Duk!!" Pak Petra langsung berlutut ketika Surya melepaskan kakinya di dada pak Petra. "Waktumu hanya sampai besok!" katanya kemu
"Baiklah, besok pagi ketika urusanku sudah selesai. Aku akan memberikan beberapa resep masakan pada paman." kata Rama berjanji pada pak Petra. ketika urusannya dengan pak Andik selesai, maka Rama akan memberikan beberapa resep tambahan untuk menu di penginapan Melati. Jadi, di sinilah ia sekarang. Di rumah pak Andik Pratama. Setelah berkeliling akhirnya mereka menemukan rumah pak Andik. Rumah bata yang terbuat sangat mewah, dikelilingi pagar tinggi. Ketika masuk mereka juga disuguhi dengan taman bunga yang indah, ada kolam ikan dengan jembatan kayu yang menghubungkan kerumah utama. Pak Andik menyambut mereka dengan ramah, dan lebih ramah lagi ketika melihat hasil panen cabai yang sangat bagus. "Jadi berapa harga cabai yang akan paman beli perkilonya?" tanya Rama tanpa basa-basi. "4 logam emas!!!" seru pak Andik saking senangnya. Mendengar harga yang sangat mahal itu pak Wijaya, pak Suli dan Jaya langsung terperangah. Menatap Rama tak percaya. "Baiklah paman, tapi aku ingin
"Tuan...." Rupanya Rianty menunggu Rama di depan penginapan. Ketika Rama turun dari kereta kuda, ia langsung mencegatnya dengan tangan di pinggang dan wajah cantik yang cemberut. Rama tersenyum ramah, seperti suami yang dicegat istri karna pulang terlambat. "Wah kamu semangat sekali nona muda..." goda Jaya. Hari ini Rianty terlihat cantik dengan rambut yang dikepang satu kebelakang. "Tuan, lebih cepat lebih baik untuk kamu buktikan kemampuan memasakmu." "Baiklah... Tapi apa boleh aku kekamarku dulu untuk mengambil persiapan?" tanya Rama, padahal ia hanya ingin tempat aman untuk diam-diam membeli bumbu di onshop. "Baik... jangan berpikir untuk kabur ya Tuan Muda!!" ancam Rianty. "Hei mana mungkin kami kabur!!" tegas Jaya, sementara Jaya dan Rianty berdebat, Rama naik ke lantai 2 , kekamar ia dan Jaya. Sesampainya dikamar, Rama membuka onshop dan membeli beberapa bumbu ikan bakar, madu, kaldu ayam, garam, veksin, dan bumbu saji bihun goreng. Tidak lupa tepung kriyuk serbaguna
Plak! Sebuah tamparan mengenai pipi Surya, Antoni bangsawan dari klan Jagatraya yang digadang-gadang sebagai penerus, melayangkan tamparan itu. Matanya memerah karna marah, bahkan ia ingin menghajar Surya hingga babak belur. Jika saja Surya bukan bagian dari klan, itu bisa saja terjadi. Namun Antoni masih menahan amarahnya. "Kau, kuberi misi untuk mendapatkan toko itu bagaimanapun caranya!!Tapi yang kudengar kamu malah memberikan tip pada makanannya!!! Dimana otakmu?!!" Kata Antoni dengan tangan dikepal. Surya memegangi pipinya yang memerah, ia menahan malu saat ini. Namun ia tak bisa melawan karna Antoni mempunyai temperamen yang tidak bisa ditahan. "Kakak tertua, aku khilaf karna rasa masakan itu. Aku benar-benar minta maaf!!" ucap Surya sembari berlutut. "Rasanya belum pernah aku rasakan, aku seperti tersihir!!" kata Surya beralasan. "Cih!! Itu hanya penginapan biasa, bahkan yang datang kesana bukanlah para bangsawan. Penginapan itu hanya memiliki nilai jual karna letak
"Kak Rama, biarkan kami ikut bersamamu..." tiba-tiba Toni memeluk Rama. "Iya Kak... Aku bisa membantumu membersihkan rumah." Rita juga ikut memeluk Rama. Diikuti Santi yang juga memeluk Rama. Alan menatap marah kepada ketiga adiknya yang ia rasa tidak tau malu. Alan tidak ingin menyusahkan Rama, bahkan bantuan yang Rama berikan padanya sudah sangat membantu mereka. Rama berpikir sejenak. Bukannya ia tak mau mengajak anak-anak ini, namun selain belum mendapatkan izin dari kedua orangtuanya, rumah Rama belum mampu menampung mereka berempat. "Tuan Muda Rama, jika kau ingin membawa mereka, saya bisa membantu memberikan tumpangan. " Kata pak Wijaya memberikan saran. Jaya mengangguk sebelum akhirnya bicara. "Kita bisa bawa tenda itu untuk mereka kan Ram..." Rama menggeleng,saat ini akan banyak orang yang penasaran dengan tenda yang ia miliki. Bahkan saat ini saja pengawal pak Wijaya terlihat mengagumi tenda milik Rama. Pak Suli juga menatap kagum, namun tidak berani bertanya pada R
"Beraninya kamu menghina keluarga kerajaan!!" Jaya akan maju menghajar pak Arya, namun Rama kembali menahannya. Saat ini jika Jaya menghajar Pak Arya, ia hanya akan menimbulkan masalah baru. Terlebih Rama tidak ingin pak Arya merasa lebih sombong ketika yakin keluarga Adipati memang dibuang. "Paman... Kami kesini ingin membayar upeti, bebaskan keluarga kami!" Mendengar kata-kata Rama mata Arya kembali dipenuhi rasa tamak akan kekayaan. "Aku tidak akan menerima kurang dari 25%!! Jika kalian memberikan kurang dari itu maka keluarga kalian akan aku tahan!!" "Kami menjual 40kg cabai dikali dengan 1 logam emas, sama dengan 40 logam emas, jika 25% untuk paman, maka kami membayar 10 logam emas untuk paman. Masing-masing dari kami akan membayar 5 logam emas." kata Rama kemudian menyerahkan 5 logam emas,disusul pak Suli yang juga memberikan 5 logam emas kepada pak Arya. Untung saja ia mendengarkan nasehat Rama untuk menukar 1 batang emas dengan beberapa logam emas dan perak. Pak Arya me
Rama tersenyum puas, ternyata begitu mudah mempengaruhi orang-orang di masa ini, terutama yang tamak. Pemuda itu kini berbisik kepada pak Arya, membuat mata pak Arya berbinar. Kemudian ia mengangguk. Para pengawal yang memperhatikan dari kejauhan menatap bingung. Mereka melihat Rama mengeluarkan suatu kotak kayu dan memberikannya pada pak Arya. "Apa itu?" *** Di sisi lain, Pak Andik berlari tergopoh-gopoh ke arah gerbang rumahnya diikuti para pegawainya, pak Andi seorang Menteri Perdagangan datang berkunjung ke rumahnya. "Terima hormat Tuan Besar!" Pak Andik menangkupkan tangannya. "Langsung saja, ada hal penting yang ingin aku bicarakan!" kata pak Andi. Pak Andik langsung mengangguk paham dan mengajak pak Andi ke ruang pertemuannya. Sesampainya di sana sudah ada beberapa hidangan, secara khusus pak Andik juga meletakkan bubuk cabai original dan rumput laut di atas meja. Baunya tercium sangat kuat, membuat pak Andi langsung memperhatikan kotak itu. "Aku membutuhkan bantu