Setelah menunggu cukup lama dan Hengky tidak juga kunjung kembali, Winda merasa rasa sakit di kakinya semakin parah. Dia mengangkat kakinya dan melihat ke bawah. Dua pecahan keramik menempel di bagian luar kakinya. Kelihatannya tusukannya tidak dalam, dan tidak terlalu banyak darah.Dia ragu-ragu sejenak, lalu mengulurkan tangannya untuk mengeluarkan pecahan itu terlebih dahulu ....Hengky memasuki pintu sambil membawa kotak obat. Dia melihat apa yang hendak dilakukan Winda, segera berjalan cepat ke sana dan meraih pergelangan tangan wanita itu.“Bukannya aku menyuruhmu jangan bergerak!” ucap Hengky dengan suara berat, tatapannya dipenuhi amarah.Melihat tatapan marah pria itu, Winda tanpa sadar jadi merasa bersalah. Dia dengan hati-hati melirik ke arah Hengky dan berkata pelan, “Aku nggak bergerak, aku hanya ingin mencabutnya ….”Raut muka Hengky muram. Dia mencibir, “Kamu benar-benar nggak bisa tenang.”Mendengar kalimat itu, Winda tanpa sadar ingin menjawab, “Aku belum ….”Ketika Wi
Memikirkan hal itu, Winda jadi tidak bisa marah. Dia segera bangkit, berdiri di atas tempat tidur dan memeriksa kepala Hengky.“Apa kamu terluka? Kepalamu ada terbentur, nggak?” Suaranya terdengar sangat panik dan cemas.Begitu jarinya menyentuh kepala Hengky, Hengky meraih tangannya sebelum dia sempat memeriksa kepala pria itu dengan cermat.“Kamu terluka. Kenapa masih nggak bisa diam?” Hengky menoleh ke arahnya dan berkata dengan nada tidak senang.“Aku mengkhawatirkanmu. Biarkan aku memeriksanya.” Sambil mengatakan itu, Winda ingin menarik tangannya kembali dan memeriksa kepala Hengky.Hengky langsung memeluk pinggang wanita itu, mengangkatnya dari tempat tidur, dan mendudukkannya di tepi tempat tidur.“Berhenti bergerak. Kalau lukanya terbuka lagi, aku nggak akan mengurusnya,” ujar Hengky, memberinya tatapan peringatan.Winda mengangkat kepalanya dan melihat ekspresi marah pria itu. Dia tidak bisa menahan senyumnya. Namun, dia teringat kalau mereka masih bertengkar barusan, jadi di
Hengky menunggu Winda menghabiskan air di gelas, lalu mengambil cangkir dari tangan wanita itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika dia mendengar langkah kaki di belakangnya.Dita memapah Sekar masuk ke kamar. “Hengky, Nenek dengar dari pelayan, kamu baru saja meminta kotak P3K. Ada apa? Kamu terluka?”Sekar sangat cemas dan raut wajahnya penuh kekhawatiran.Hengky meletakkan cangkir itu di meja samping tempat tidur dan menoleh ke arah Sekar. Melihat Dita juga ada di sana, dia tanpa sadar mengerutkan keningnya.Dia membuang muka dengan tenang dan berkata pelan, “Nenek, aku baik-baik saja. Winda yang terluka.”Meskipun Hengky bilang dirinya baik-baik saja, Sekar tetap mengamati seluruh tubuh cucunya itu baik-baik, lalu merasa lega saat melihat bahwa pria itu memang tidak terluka. Kemudian, matanya tertuju pada Winda yang duduk di samping tempat tidur.Melihat kain kasa yang membungkus kaki Winda, dia mengerutkan keningnya dan berkata, “Apa y
Mendengar hal itu, ekspresi di wajah Sekar berubah menjadi semakin masam. Dia tidak berkata apa-apa lama sekali.Dita masih ingin menambahkan kata-kata untuk mengadu domba, karena dia tujuannya belum tercapai. Tiba-tiba, Sekar menoleh ke arahnya.“Kamu sebaiknya jangan banyak berkomentar,” tegur Sekar Dita dengan suara dingin.Namun, meski begitu, apa yang baru saja dikatakan Dita masih membuatnya merasa kesal. Terlebih lagi saat memikirkan kecelakaan mobil atau cedera yang dialami Hengky baru-baru ini ada hubungannya dengan Winda. Dia tiba-tiba merasa sedikit tidak nyaman di hati.Namun, Winda tidak hanya mendorong Hengky tepat pada waktunya untuk mencegah cucunya itu terluka. Jadi, kalaupun dia tidak senang, dia tidak bisa menyalahkan Winda.“Ma, kenapa mama juga membelanya?” Dita terlihat tidak senang.Sekar memelototinya dengan tatapan penuh peringatan, lalu menatap Pak Doni dan berkata, “Aku nggak ingin hal seperti ini terjadi lagi. Kamu harus tahu bagaimana mengatasi wanita itu.”
Winda merasa sedikit tidak nyaman mendengarnya, tapi dia menekan perasaan tidak nyaman itu, menatap pria di depannya itu, dan tersenyum.“Aku nggak percaya. Pasti kamu yang peduli padaku dan ingin membawaku ke rumah sakit,” ujar Winda dengan tegas, menatap langsung ke arah Hengky.Ekspresi di wajah Hengky seketika menjadi masam. Matanya menghadap ke bawah, jadi kelopak matanya yang sedikit menutup menutupi emosi di matanya.Dia berkata dengan nada sinis, “Peduli padamu? Berhentilah berharap.”Mendengar perkataan Hengky, Winda berjalan dengan kaki telanjang di atas karpet, menahan rasa sakit dan berjinjit untuk dekati telinga pria itu. Dia tertawa pelan dan berkata, “Kamu yang tahu kamu peduli padaku atau nggak. Kalau nggak, kenapa kamu mencegah Nenek bertanya waktu di kamar?”Sambil mengatakan itu, Winda mengulurkan tangannya dan meletakkan telapak tangannya di dada Hengky. Bibir merahnya hanya berjarak beberapa milimeter dari telinga pria itu. “Kamu jelas mencintaiku, tetapi kamu ngga
Ketika Hengky mengucapkan kata-kata terakhir itu, Winda tiba-tiba mendekat, hampir menyentuh bibirnya dan bertanya, “Berkhayal? Pak Hengky, sepertinya kamu lupa kalau kemarin kamu sendiri yang mengatakan bahwa aku adalah istrimu di depan seluruh anggota keluarga.”Dia mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Hengky. Senyuman muncul di bibir merahnya. “Sekarang sudah terlambat untuk menarik kata-kata itu kembali, Pak Hengky!”“Kamu ….”Winda mencium pria itu, lalu cepat-cepat melepaskan diri, menatap pria itu dengan senyuman licik, lalu menjilat bibirnya dengan ujung lidahnya yang merah. Sikapnya itu sangat menggoda dan menggairahkan.Dia mengulurkan tangannya, meletakkan jari telunjuknya di bibir Hengky, lalu berkata sambil tersenyum, “Kasih tanda.”Hengky meraih pergelangan tangan Winda, matanya penuh emosi. Dia menatap Winda dan sesaat tidak mengerti apa yang dipikirkan wanita mungil di depannya itu.Winda tidak terlalu memedulikannya, dia langsung meraih bahu Hengky, berjinjit dan ber
Saat mereka lewat, para pelayan berkumpul di belakang mereka.“Aku tidak menyangka Den Hengky yang terlihat begitu dingin ternyata begitu menyayangi Non Winda.”“Itu karena kaki Non Winda baru saja terluka. Kalian semua nggak tahu betapa cemasnya Den Hengky ketika pergi mengambil kotak P3K. Selain itu, Non Dita juga mempersulit Non Winda kemarin. Den Hengky langsung berdiri untuk membela istrinya, tanpa menghormati Non Dita sedikit pun. Muka Non Dita jadi masam karena hal itu.”“Hei, kenapa aku dengar-dengar hubungan antara Den Hengky dan Non Winda nggak pernah akur? Katanya, Non Winda punya selingkuhan di luar, jadi cepat atau lambat akan bercerai dengan Den Hengky.”“Ssst!” Pelayan lain di samping menjadi panik, segera menutup mulut pelayan yang barusan berbicara dan merendahkan suaranya sambil memperingatkan, “Beraninya kamu mengatakan hal seperti ini. Kalau Bu Sekar mendengarnya ….”Sebelum pelayan itu selesai berbicara, mereka mendengar teguran keras dari belakang, “Mengapa kalian
Willy menoleh untuk menatap asistennya dan memerintahkan, “Tolong disiapkan.”“Baik, Dok.” Asisten itu berbalik badan dan meninggalkan kantor.Willy menghampiri Winda dan langsung berkata, “Coba aku lihat lukanya.”Winda mengangkat kakinya dan mengangkat kain kasa pada lukanya. Lukanya langsung tertiup udara, sehingga dia merasa perih. Karena Hengky sudah mengobati lukanya dengan cepat dan benar, lukanya tidak lagi mengeluarkan darah, dan sepertinya lukanya tidak terlalu dalam.Willy berlutut dan memeriksanya dengan cermat, lalu berdiri dan berkata, “Lukanya baik-baik saja. Hati-hati, jangan sampai terkena air. Justru luka di pergelangan kaki yang harus dirawat baik-baik. Sampai bengkak seperti ini.”Mendengar perkataan Willy, Hengky dan Winda pun mengamati pergelangan kaki itu secara bersamaan. Benar saja, pergelangan kaki Winda bengkak dan agak biru.Kaki Winda masih tak kunjung pulih sejak terkilir pada kecelakaan mobil terakhir. Apalagi, setelah itu sempat terkilir beberapa kali la