Vivi melihat Winda sepertinya agak pucat. Dia jadi agak khawatir dan berkata, “Kamu terlihat pucat. Apa kamu merasa nggak enak badan?”Mendengar itu, hati Winda terasa hangat. Dia tersenyum dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi ada suara tajam datang dari belakangnya, “Mama nggak lihat kamu peduli sama Mama kalau Mama lagi nggak enak badan. Sekarang, kamu malah peduli sama orang luar.”Entah sejak kapan Dita keluar. Dia merasa lucu dan ingin menyindir ketika melihat kedekatan Vivi dan Winda.Vivi tampak tidak berdaya. Dia berbalik badan dan memberi isyarat mata pada Dita, ingin meminta ibunya itu untuk berhenti bicara.Namun, Dita bersikap seolah-olah tidak melihatnya, bersandar pada pilar dan terus berkata sinis, “Memang ada orang-orang yang nggak tahu malu. Latar belakangnya nggak jelas tapi masih berharap untuk menjadi nyonya rumah di keluarga Pranoto. Nggak berkaca apa dirinya layak.”Sambil mengatakan itu, mata Dita tertuju pada cupang di leher Winda. Dia pun berkata dengan ekspre
Dita tidak pernah menganggap Winda sebagai keluarganya sendiri, apalagi setelah sikap Winda barusan yang begitu tidak sopan padanya hingga membuatnya merasa sangat terhina.Hengky menunduk dan menatap Dita dengan dingin, berjalan ke arah Winda, merangkul bahunya, menatap istrinya itu dan berkata, “Tante, ini istriku, calon nyonya rumah di keluarga Pranoto! Aku mendengar semua yang Tante katakan padanya barusan. Aku harap hal ini nggak terjadi lagi!”Saat mengucapkan kata terakhir, mata dingin Hengky menatap Dita dengan sedikit peringatan.Dita tanpa sadar menghindari mata keponakannya yang dingin itu, tapi hatinya menahan rasa kesal.Dia menggertakkan gigi, menekan rasa takut di hatinya, menatap Hengky dan berkata marah, “Hengky, aku yang lebih tua darimu. Begini caramu berbicara dengan tantemu? Kamu kurang ajar!”Hengky tersenyum dingin dan berkata dengan nada sinis, “Sikap sopanku hanya untuk orang terpelajar. Kalau Tante merasa nggak senang, Tante bisa mengadu ke nenek. Aku tunggu d
Dia menggigit bibirnya dan terlihat sedikit terhina. “Tapi, malam itu, kamu jelas tahu itu pertama kalinya aku ....”Winda terlihat salah tingkah. Setelah mengatakan hal itu, dia berbalik badan dan ingin pergi. Dia takut jika dia terus berada di sini, dia akan kehilangan kendali atas emosinya sendiri.Hengky terkejut melihat reaksi Winda dan tanpa sadar mengejarnya.Saat itu, tiba-tiba sebuah pot bunga jatuh dari teras lantai atas dan hampir mengenai kepala Hengky.Winda menyadari sesuatu yang aneh terlebih dahulu, refleks dan secara naluriah buru-buru berbalik badan dan mendorong Hengky menjauh. Di saat yang sama, dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke arah Hengky.Hengky bereaksi cepat, memeluknya dan menggunakan tubuhnya sendiri untuk melindungi kepala dan tubuh Winda. Lalu, keduanya terjatuh dengan keras ke tanah.Kemudian, “Buk!”Pot bunga itu menghantam tanah dan retak.Detik berikutnya, Winda menjerit pelan. Ada pecahan keramik yang mengenai dan melukai betisnya.Hengky me
Sikap Hengky yang mencurigai dan meragukannya membuat Winda merasa malu dan sedih.“Aku bilang, aku percaya padamu,” ulang Hengky lagi sambil melihat ekspresi di wajah Winda.Dia takut jika dia tidak menjelaskan dengan jelas, wanita mungil di pelukannya itu akan menangis.Bahkan, dia sendiri tidak menyadari kalau emosinya saat ini sepenuhnya seolah dikendalikan oleh Winda.Mendengar kata-kata Hengky, Winda sempat merasa senang untuk beberapa saat, tetapi kemudian tetap marah.Dia mengangkat kepalanya dan menatap Hengky. Ada amarah wajahnya yang cantik. “Lalu, kenapa kamu barusan mengatakan itu?”Hengky mengerucutkan bibirnya dan tidak berkata apa-apa.Karena, dia tidak senang dan kesal ketika mendengar perkataan Dita, sehingga dia berkata seperti itu hampir tanpa sadar ….Melihat Hengky diam saja, amarah Winda kembali membara. Dia berkata dengan marah, “Turunkan aku jika kamu nggak mau mengatakan apa-apa.”Dia meronta ingin dilepaskan beberapa kali. Meskipun Hengky memeluknya dengan sa
Setelah menunggu cukup lama dan Hengky tidak juga kunjung kembali, Winda merasa rasa sakit di kakinya semakin parah. Dia mengangkat kakinya dan melihat ke bawah. Dua pecahan keramik menempel di bagian luar kakinya. Kelihatannya tusukannya tidak dalam, dan tidak terlalu banyak darah.Dia ragu-ragu sejenak, lalu mengulurkan tangannya untuk mengeluarkan pecahan itu terlebih dahulu ....Hengky memasuki pintu sambil membawa kotak obat. Dia melihat apa yang hendak dilakukan Winda, segera berjalan cepat ke sana dan meraih pergelangan tangan wanita itu.“Bukannya aku menyuruhmu jangan bergerak!” ucap Hengky dengan suara berat, tatapannya dipenuhi amarah.Melihat tatapan marah pria itu, Winda tanpa sadar jadi merasa bersalah. Dia dengan hati-hati melirik ke arah Hengky dan berkata pelan, “Aku nggak bergerak, aku hanya ingin mencabutnya ….”Raut muka Hengky muram. Dia mencibir, “Kamu benar-benar nggak bisa tenang.”Mendengar kalimat itu, Winda tanpa sadar ingin menjawab, “Aku belum ….”Ketika Wi
Memikirkan hal itu, Winda jadi tidak bisa marah. Dia segera bangkit, berdiri di atas tempat tidur dan memeriksa kepala Hengky.“Apa kamu terluka? Kepalamu ada terbentur, nggak?” Suaranya terdengar sangat panik dan cemas.Begitu jarinya menyentuh kepala Hengky, Hengky meraih tangannya sebelum dia sempat memeriksa kepala pria itu dengan cermat.“Kamu terluka. Kenapa masih nggak bisa diam?” Hengky menoleh ke arahnya dan berkata dengan nada tidak senang.“Aku mengkhawatirkanmu. Biarkan aku memeriksanya.” Sambil mengatakan itu, Winda ingin menarik tangannya kembali dan memeriksa kepala Hengky.Hengky langsung memeluk pinggang wanita itu, mengangkatnya dari tempat tidur, dan mendudukkannya di tepi tempat tidur.“Berhenti bergerak. Kalau lukanya terbuka lagi, aku nggak akan mengurusnya,” ujar Hengky, memberinya tatapan peringatan.Winda mengangkat kepalanya dan melihat ekspresi marah pria itu. Dia tidak bisa menahan senyumnya. Namun, dia teringat kalau mereka masih bertengkar barusan, jadi di
Hengky menunggu Winda menghabiskan air di gelas, lalu mengambil cangkir dari tangan wanita itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika dia mendengar langkah kaki di belakangnya.Dita memapah Sekar masuk ke kamar. “Hengky, Nenek dengar dari pelayan, kamu baru saja meminta kotak P3K. Ada apa? Kamu terluka?”Sekar sangat cemas dan raut wajahnya penuh kekhawatiran.Hengky meletakkan cangkir itu di meja samping tempat tidur dan menoleh ke arah Sekar. Melihat Dita juga ada di sana, dia tanpa sadar mengerutkan keningnya.Dia membuang muka dengan tenang dan berkata pelan, “Nenek, aku baik-baik saja. Winda yang terluka.”Meskipun Hengky bilang dirinya baik-baik saja, Sekar tetap mengamati seluruh tubuh cucunya itu baik-baik, lalu merasa lega saat melihat bahwa pria itu memang tidak terluka. Kemudian, matanya tertuju pada Winda yang duduk di samping tempat tidur.Melihat kain kasa yang membungkus kaki Winda, dia mengerutkan keningnya dan berkata, “Apa y
Mendengar hal itu, ekspresi di wajah Sekar berubah menjadi semakin masam. Dia tidak berkata apa-apa lama sekali.Dita masih ingin menambahkan kata-kata untuk mengadu domba, karena dia tujuannya belum tercapai. Tiba-tiba, Sekar menoleh ke arahnya.“Kamu sebaiknya jangan banyak berkomentar,” tegur Sekar Dita dengan suara dingin.Namun, meski begitu, apa yang baru saja dikatakan Dita masih membuatnya merasa kesal. Terlebih lagi saat memikirkan kecelakaan mobil atau cedera yang dialami Hengky baru-baru ini ada hubungannya dengan Winda. Dia tiba-tiba merasa sedikit tidak nyaman di hati.Namun, Winda tidak hanya mendorong Hengky tepat pada waktunya untuk mencegah cucunya itu terluka. Jadi, kalaupun dia tidak senang, dia tidak bisa menyalahkan Winda.“Ma, kenapa mama juga membelanya?” Dita terlihat tidak senang.Sekar memelototinya dengan tatapan penuh peringatan, lalu menatap Pak Doni dan berkata, “Aku nggak ingin hal seperti ini terjadi lagi. Kamu harus tahu bagaimana mengatasi wanita itu.”