Dita tidak pernah menganggap Winda sebagai keluarganya sendiri, apalagi setelah sikap Winda barusan yang begitu tidak sopan padanya hingga membuatnya merasa sangat terhina.Hengky menunduk dan menatap Dita dengan dingin, berjalan ke arah Winda, merangkul bahunya, menatap istrinya itu dan berkata, “Tante, ini istriku, calon nyonya rumah di keluarga Pranoto! Aku mendengar semua yang Tante katakan padanya barusan. Aku harap hal ini nggak terjadi lagi!”Saat mengucapkan kata terakhir, mata dingin Hengky menatap Dita dengan sedikit peringatan.Dita tanpa sadar menghindari mata keponakannya yang dingin itu, tapi hatinya menahan rasa kesal.Dia menggertakkan gigi, menekan rasa takut di hatinya, menatap Hengky dan berkata marah, “Hengky, aku yang lebih tua darimu. Begini caramu berbicara dengan tantemu? Kamu kurang ajar!”Hengky tersenyum dingin dan berkata dengan nada sinis, “Sikap sopanku hanya untuk orang terpelajar. Kalau Tante merasa nggak senang, Tante bisa mengadu ke nenek. Aku tunggu d
Dia menggigit bibirnya dan terlihat sedikit terhina. “Tapi, malam itu, kamu jelas tahu itu pertama kalinya aku ....”Winda terlihat salah tingkah. Setelah mengatakan hal itu, dia berbalik badan dan ingin pergi. Dia takut jika dia terus berada di sini, dia akan kehilangan kendali atas emosinya sendiri.Hengky terkejut melihat reaksi Winda dan tanpa sadar mengejarnya.Saat itu, tiba-tiba sebuah pot bunga jatuh dari teras lantai atas dan hampir mengenai kepala Hengky.Winda menyadari sesuatu yang aneh terlebih dahulu, refleks dan secara naluriah buru-buru berbalik badan dan mendorong Hengky menjauh. Di saat yang sama, dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke arah Hengky.Hengky bereaksi cepat, memeluknya dan menggunakan tubuhnya sendiri untuk melindungi kepala dan tubuh Winda. Lalu, keduanya terjatuh dengan keras ke tanah.Kemudian, “Buk!”Pot bunga itu menghantam tanah dan retak.Detik berikutnya, Winda menjerit pelan. Ada pecahan keramik yang mengenai dan melukai betisnya.Hengky me
Sikap Hengky yang mencurigai dan meragukannya membuat Winda merasa malu dan sedih.“Aku bilang, aku percaya padamu,” ulang Hengky lagi sambil melihat ekspresi di wajah Winda.Dia takut jika dia tidak menjelaskan dengan jelas, wanita mungil di pelukannya itu akan menangis.Bahkan, dia sendiri tidak menyadari kalau emosinya saat ini sepenuhnya seolah dikendalikan oleh Winda.Mendengar kata-kata Hengky, Winda sempat merasa senang untuk beberapa saat, tetapi kemudian tetap marah.Dia mengangkat kepalanya dan menatap Hengky. Ada amarah wajahnya yang cantik. “Lalu, kenapa kamu barusan mengatakan itu?”Hengky mengerucutkan bibirnya dan tidak berkata apa-apa.Karena, dia tidak senang dan kesal ketika mendengar perkataan Dita, sehingga dia berkata seperti itu hampir tanpa sadar ….Melihat Hengky diam saja, amarah Winda kembali membara. Dia berkata dengan marah, “Turunkan aku jika kamu nggak mau mengatakan apa-apa.”Dia meronta ingin dilepaskan beberapa kali. Meskipun Hengky memeluknya dengan sa
Setelah menunggu cukup lama dan Hengky tidak juga kunjung kembali, Winda merasa rasa sakit di kakinya semakin parah. Dia mengangkat kakinya dan melihat ke bawah. Dua pecahan keramik menempel di bagian luar kakinya. Kelihatannya tusukannya tidak dalam, dan tidak terlalu banyak darah.Dia ragu-ragu sejenak, lalu mengulurkan tangannya untuk mengeluarkan pecahan itu terlebih dahulu ....Hengky memasuki pintu sambil membawa kotak obat. Dia melihat apa yang hendak dilakukan Winda, segera berjalan cepat ke sana dan meraih pergelangan tangan wanita itu.“Bukannya aku menyuruhmu jangan bergerak!” ucap Hengky dengan suara berat, tatapannya dipenuhi amarah.Melihat tatapan marah pria itu, Winda tanpa sadar jadi merasa bersalah. Dia dengan hati-hati melirik ke arah Hengky dan berkata pelan, “Aku nggak bergerak, aku hanya ingin mencabutnya ….”Raut muka Hengky muram. Dia mencibir, “Kamu benar-benar nggak bisa tenang.”Mendengar kalimat itu, Winda tanpa sadar ingin menjawab, “Aku belum ….”Ketika Wi
Memikirkan hal itu, Winda jadi tidak bisa marah. Dia segera bangkit, berdiri di atas tempat tidur dan memeriksa kepala Hengky.“Apa kamu terluka? Kepalamu ada terbentur, nggak?” Suaranya terdengar sangat panik dan cemas.Begitu jarinya menyentuh kepala Hengky, Hengky meraih tangannya sebelum dia sempat memeriksa kepala pria itu dengan cermat.“Kamu terluka. Kenapa masih nggak bisa diam?” Hengky menoleh ke arahnya dan berkata dengan nada tidak senang.“Aku mengkhawatirkanmu. Biarkan aku memeriksanya.” Sambil mengatakan itu, Winda ingin menarik tangannya kembali dan memeriksa kepala Hengky.Hengky langsung memeluk pinggang wanita itu, mengangkatnya dari tempat tidur, dan mendudukkannya di tepi tempat tidur.“Berhenti bergerak. Kalau lukanya terbuka lagi, aku nggak akan mengurusnya,” ujar Hengky, memberinya tatapan peringatan.Winda mengangkat kepalanya dan melihat ekspresi marah pria itu. Dia tidak bisa menahan senyumnya. Namun, dia teringat kalau mereka masih bertengkar barusan, jadi di
Hengky menunggu Winda menghabiskan air di gelas, lalu mengambil cangkir dari tangan wanita itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika dia mendengar langkah kaki di belakangnya.Dita memapah Sekar masuk ke kamar. “Hengky, Nenek dengar dari pelayan, kamu baru saja meminta kotak P3K. Ada apa? Kamu terluka?”Sekar sangat cemas dan raut wajahnya penuh kekhawatiran.Hengky meletakkan cangkir itu di meja samping tempat tidur dan menoleh ke arah Sekar. Melihat Dita juga ada di sana, dia tanpa sadar mengerutkan keningnya.Dia membuang muka dengan tenang dan berkata pelan, “Nenek, aku baik-baik saja. Winda yang terluka.”Meskipun Hengky bilang dirinya baik-baik saja, Sekar tetap mengamati seluruh tubuh cucunya itu baik-baik, lalu merasa lega saat melihat bahwa pria itu memang tidak terluka. Kemudian, matanya tertuju pada Winda yang duduk di samping tempat tidur.Melihat kain kasa yang membungkus kaki Winda, dia mengerutkan keningnya dan berkata, “Apa y
Mendengar hal itu, ekspresi di wajah Sekar berubah menjadi semakin masam. Dia tidak berkata apa-apa lama sekali.Dita masih ingin menambahkan kata-kata untuk mengadu domba, karena dia tujuannya belum tercapai. Tiba-tiba, Sekar menoleh ke arahnya.“Kamu sebaiknya jangan banyak berkomentar,” tegur Sekar Dita dengan suara dingin.Namun, meski begitu, apa yang baru saja dikatakan Dita masih membuatnya merasa kesal. Terlebih lagi saat memikirkan kecelakaan mobil atau cedera yang dialami Hengky baru-baru ini ada hubungannya dengan Winda. Dia tiba-tiba merasa sedikit tidak nyaman di hati.Namun, Winda tidak hanya mendorong Hengky tepat pada waktunya untuk mencegah cucunya itu terluka. Jadi, kalaupun dia tidak senang, dia tidak bisa menyalahkan Winda.“Ma, kenapa mama juga membelanya?” Dita terlihat tidak senang.Sekar memelototinya dengan tatapan penuh peringatan, lalu menatap Pak Doni dan berkata, “Aku nggak ingin hal seperti ini terjadi lagi. Kamu harus tahu bagaimana mengatasi wanita itu.”
Winda merasa sedikit tidak nyaman mendengarnya, tapi dia menekan perasaan tidak nyaman itu, menatap pria di depannya itu, dan tersenyum.“Aku nggak percaya. Pasti kamu yang peduli padaku dan ingin membawaku ke rumah sakit,” ujar Winda dengan tegas, menatap langsung ke arah Hengky.Ekspresi di wajah Hengky seketika menjadi masam. Matanya menghadap ke bawah, jadi kelopak matanya yang sedikit menutup menutupi emosi di matanya.Dia berkata dengan nada sinis, “Peduli padamu? Berhentilah berharap.”Mendengar perkataan Hengky, Winda berjalan dengan kaki telanjang di atas karpet, menahan rasa sakit dan berjinjit untuk dekati telinga pria itu. Dia tertawa pelan dan berkata, “Kamu yang tahu kamu peduli padaku atau nggak. Kalau nggak, kenapa kamu mencegah Nenek bertanya waktu di kamar?”Sambil mengatakan itu, Winda mengulurkan tangannya dan meletakkan telapak tangannya di dada Hengky. Bibir merahnya hanya berjarak beberapa milimeter dari telinga pria itu. “Kamu jelas mencintaiku, tetapi kamu ngga
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a