Yang membuat Winda terkejut adalah Yanti tidak mencari gara-gara dengannya, melainkan berbalik pergi. Dia menatap punggung perempuan itu dengan sebersit perasaan tidak enak.Bi Citra mendekat dan mengingatkan Winda dengan suara berbisik, “Bu, Bapak tahu kalau hari ini Pak Jefri datang. Saya nggak tahu apa yang disampaikan Yanti pada Pak Hengky dan sepertinya beliau sangat marah. Nanti Ibu jelaskan baik-baik pada Pak Hengky dan jangan sampai salah paham.”Winda sudah tahu kalau Yanti pasti akan berulah. Akan tetapi dia tidak tahu ini maksud Nenek atau Yanti pribadi. Oleh karena itu Winda tidak berani langsung mengusirnya. Akan tetapi kalau Yanti berani merusak hubungan dia dengan Hengky, maka Winda tidak akan mempertahankan perempuan itu di rumahnya.Winda menaiki tangga dan melangkah ke arah kamar tamu. Dia mengetuk pintu dengan perlahan sambil bertanya, “Sayang, aku boleh masuk?”Tidak ada orang yang menjawabnya. Winda ragu sejenak dan memutuskan untuk membuka pintu secara perlahan. K
Winda merasa pergelangan tangannya seperti nyaris remuk. Keringat dingin mengalir dengan deras karena menahan rasa sakit tersebut.“Sa-sakit ….” Winda merintih sambil menatap mata menyeramkan milik lelaki itu. Winda bisa merasakan kalau lelaki itu sedang marah pada dirinya. Winda senang karena setidaknya Hengky masih peduli dengan dirinya. Jika tidak, lelaki itu tidak akan peduli dengan Jefri yang datang ke rumah.Hengky tidak melonggarkan cengkeramannya karena mendengar rintihan perempuan itu. Akan tetapi dia tidak menambah kekuatannya juga. Dia mengeluarkan semua emosinya di balik kegelapan agar tidak dapat diketahui oleh Winda.Winda melebarkan matanya untuk melihat raut wajah lelaki itu lebih jelas. Akan tetapi karena cahaya kamar yang sangat minim, dia tidak bisa melihat dengan jelas.“Sayang, kamu cemburu?” tanya Winda penuh harap serta gugup.Hengky memicing tanpa bicara. Winda anggap itu sebagai sebuah kebenaran dan lanjut berkata, “Kalau kamu beneran cemburu, aku sungguh bahag
“Menjelaskan?” Hengky mendengus dan kembali berkata, “Takut aku macam-macam dengan Jefri? Kamu begitu khawatir dengannya?”Winda tidak menyangka Hengky tetap tidak percaya dengannya meski dia sudah menjelaskannya berulang kali. Akan tetapi masalah ini dimulai dari kesalahannya Winda, dia tidak berhak menyalahkan Hengky.“Aku nggak ada masalah sama sekali dengan apa pun yang ingin kamu lakukan pada Jefri. Yang aku pedulikan hanya kamu! Hengky, seberapa curiga dan nggak percayanya kamu padaku, aku tetap akan bilang kalau orang yang aku cinta bukan Jefri! Tapi kamu!”Hengky tertawa dingin dan berkata, “Kamu pik-““Kamu jangan bicara dulu! Dengarkan aku selesai bicara, ok?” potong Winda sambil membekap mulut lelaki itu dengan cepat.Dia menatap Hengky beberapa detik dan melepaskan tangannya kemudian lanjut berkata, “Karena aku sudah janji denganmu untuk nggak mengizinkan Jefri ke rumah, aku nggak akan mengingkarinya. Hari ini dia mendadak datang dan aku nggak tahu itu sama sekali. Kalau ak
“Aku mau kamu menemaniku biar aku bisa melihat kamu kapan pun itu.”Winda terkekeh dan mencoba menutupi sorot sedihnya sambil berkata, “Sebenarnya waktu Bi Citra bilang mau telepon kamu, aku ingin sekali kamu tahu. Tapi kita baru saja berantem kemarin malam dan kamu sedang marah. Aku takut setelah Bi Citra kasih tahu kamu, kamu justru nggak peduli.”Kalau sampai Hengky berkata bahwa hal kecil seperti ini tidak perlu memberi tahu lelaki itu, maka Winda pasti akan semakin sakit lagi. Lebih baik lelaki itu tidak perlu tahu, dia masih bisa berpura-pura berbohong pada dirinya sendiri bahwa Hengky peduli dengannya.Mendengar nada sedih suara perempuan itu membuat hati Hengky tercubit. Tatapannya pada Winda berubah lembut.“Kenapa nggak ke dokter?”Suara lembut lelaki itu membuat Winda menghela napas lega. Dia memeluk pinggul Hengky dan dengan suara seraknya berkata, “Hanya demam, tinggal minum obat saja.”Kening Hengky berkerut mendengar suara perempuan itu dan bertanya, “Kenapa suara kamu j
Hengky menuruni tangga sambil menghubungi Willy. Telepon berdering selama beberapa kali baru diterima oleh lelaki itu. Suara malas Willy terdengar di seberang telepon.“Kamu telepon aku malam-malam karena berantem dengan istrimu?”“Sekarang kamu di mana?” tanya Hengky.“Kenapa? Mau ajak aku minum? Hari ini aku sibuk, aku sedang jalan-“Sebelum lelaki itu selesai berbicara, Hengky langsung memotong, “Dia sakit, sekarang kamu datang dulu ke sini.”Hengky berdecak dan berkata, “Aku nggak ada waktu. Bukannya kamu ada dokter pribadi? Kenapa nggak minta dia saja yang datang?”“Nggak boleh! Aku kasih kamu waktu 20 menit dan segera datang!” jawab Hengky tanpa menerima penolakan.“Ak-“Hengky tidak memberikan kesempatan untuk lelaki itu menolak. Dia langsung memutuskan sambungan telepon.Yanti dan Bi Citra melihat ke arah Hengky yang menuruni tangga. Mereka menilai dan menebak raut wajah lelaki itu. Melihat ekspresi tenang Hengky membuat Yanti mengumpat dalam hati dan mendesah kecewa. Sedangkan
Hengky hening sejenak dan dengan suara dingin berkata, “Panggil mereka ke sini.”“Baik.”Sesaat kemudian Bi Citra memanggil seluruh pelayan suruhan Sekar. Semua orang berbaris di hadapan Hengky yang tengah memainkan pemantik di tangannya. Lelaki itu memandangi setiap orang yang ada di sana dengan dingin. Setiap orang menunduk tanpa ada yang berani berbicara. Yanti juga merasakan suasananya ada yang aneh dan tidak berani berbicara.Setelah satu menit, Hengky melempar pemantik ke atas meja hingga menghasilkan suara nyaring. Semua orang terlonjak dan gemetar di tempat.“Kalian semua dipecat! Sepuluh menit lagi saya nggak mau lihat satu pun dari kalian!”Kalimat tersebut membuat kehebohan kecil. Semua orang saling berpandangan dan tidak tahu harus berbuat apa. Yanti juga tidak menyangka akan seperti ini. Awalnya dia pikir paling gawat dia diusir kembali ke kediamannya Sekar. Ternyata Hengky langsung memecat mereka semua.“Den, kami dipekerjakan oleh Nyonya. Seharusnya Den Hengky nggak berh
Tidak sampai dua menit kemudian, Bi Citra membawa Willy naik ke kamar utama. Bi Citra tidak masuk, dia hanya membawa lelaki itu sampai di depan pintu saja. Dia mengetuk pintu dan berkata, “Pak, Pak Willy sudah datang.”Winda meletakkan sendoknya dan melirik ke arah luar. Pandangannya dengan Willy bertemu. Lelaki itu melambaikan tangan ke arahnya sambil berjalan masuk dan berkata, “Hengky bilang kamu sakit dan minta aku datang. Kamu kenapa?”“Kamu ….” Winda menoleh ke arah Hengky dan menatap lelaki itu. Hengky melayangkan lirikan penuh peringatan pada Willy sambil berkata, “Kata Bi Citra kamu demam seharian, kamu periksa dia.”Willy mengangkat alisnya dan menatap Winda sekilas. Selain pucat dan sedikit lemas, dia tidak terlihat ada apa-apa. Lelaki itu menarik Hengky agar menjauh dari Winda dan berbisik, “Kamu panggil aku hanya untuk hal kecil ini? kamu tahu malam ini aku ada kencan yang sangat penting?!”Hengky menatapnya datar dan dengan santai berkata, “Kalau sampai kakekmu tahu-”“Su
Hengky menatap Willy selama beberapa detik dengan ekspresi muram. Kemudian, dia membuka pintu kantor dan masuk tanpa berkata apa-apa.Willy ikut masuk ke dalam kantor lalu menutup pintu. Belum sempat dia duduk, Hengky sudah bertanya padanya, “Bagaimana dengan kondisi tubuhnya? Ada masalah apa, nggak?”“Nggak apa-apa, kok.” Willy menatapnya dengan heran dan berkata, “Demamnya sudah reda, biasa-biasa saja.”Setelah melihat ekspresi Hengky yang aneh, Willy mendengus dan berkata, “Masa, sih? Cuma demam saja sudah buat kamu begitu khawatir?”Hengky mengerutkan bibir tipisnya dan berkata dengan acuh tak acuh, “Nggak, mungkin aku yang terlalu berprasangka.”Jelas-jelas waktu kembali dari rumah kakek, Winda masih baik-baik saja. Hari ini tiba-tiba dia demam ....Willy mengangkat alisnya dan tertawa pelan, lalu berkata, “Aku rasa kamu sudah jatuh ke tangannya.”Hengky mengerutkan bibirnya tanpa mengatakan apa pun.“Kalau nggak ada apa-apa lagi, aku pergi dulu,” kata Willy sambil tersenyum.“Sat
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a