Winda merasa pergelangan tangannya seperti nyaris remuk. Keringat dingin mengalir dengan deras karena menahan rasa sakit tersebut.“Sa-sakit ….” Winda merintih sambil menatap mata menyeramkan milik lelaki itu. Winda bisa merasakan kalau lelaki itu sedang marah pada dirinya. Winda senang karena setidaknya Hengky masih peduli dengan dirinya. Jika tidak, lelaki itu tidak akan peduli dengan Jefri yang datang ke rumah.Hengky tidak melonggarkan cengkeramannya karena mendengar rintihan perempuan itu. Akan tetapi dia tidak menambah kekuatannya juga. Dia mengeluarkan semua emosinya di balik kegelapan agar tidak dapat diketahui oleh Winda.Winda melebarkan matanya untuk melihat raut wajah lelaki itu lebih jelas. Akan tetapi karena cahaya kamar yang sangat minim, dia tidak bisa melihat dengan jelas.“Sayang, kamu cemburu?” tanya Winda penuh harap serta gugup.Hengky memicing tanpa bicara. Winda anggap itu sebagai sebuah kebenaran dan lanjut berkata, “Kalau kamu beneran cemburu, aku sungguh bahag
“Menjelaskan?” Hengky mendengus dan kembali berkata, “Takut aku macam-macam dengan Jefri? Kamu begitu khawatir dengannya?”Winda tidak menyangka Hengky tetap tidak percaya dengannya meski dia sudah menjelaskannya berulang kali. Akan tetapi masalah ini dimulai dari kesalahannya Winda, dia tidak berhak menyalahkan Hengky.“Aku nggak ada masalah sama sekali dengan apa pun yang ingin kamu lakukan pada Jefri. Yang aku pedulikan hanya kamu! Hengky, seberapa curiga dan nggak percayanya kamu padaku, aku tetap akan bilang kalau orang yang aku cinta bukan Jefri! Tapi kamu!”Hengky tertawa dingin dan berkata, “Kamu pik-““Kamu jangan bicara dulu! Dengarkan aku selesai bicara, ok?” potong Winda sambil membekap mulut lelaki itu dengan cepat.Dia menatap Hengky beberapa detik dan melepaskan tangannya kemudian lanjut berkata, “Karena aku sudah janji denganmu untuk nggak mengizinkan Jefri ke rumah, aku nggak akan mengingkarinya. Hari ini dia mendadak datang dan aku nggak tahu itu sama sekali. Kalau ak
“Aku mau kamu menemaniku biar aku bisa melihat kamu kapan pun itu.”Winda terkekeh dan mencoba menutupi sorot sedihnya sambil berkata, “Sebenarnya waktu Bi Citra bilang mau telepon kamu, aku ingin sekali kamu tahu. Tapi kita baru saja berantem kemarin malam dan kamu sedang marah. Aku takut setelah Bi Citra kasih tahu kamu, kamu justru nggak peduli.”Kalau sampai Hengky berkata bahwa hal kecil seperti ini tidak perlu memberi tahu lelaki itu, maka Winda pasti akan semakin sakit lagi. Lebih baik lelaki itu tidak perlu tahu, dia masih bisa berpura-pura berbohong pada dirinya sendiri bahwa Hengky peduli dengannya.Mendengar nada sedih suara perempuan itu membuat hati Hengky tercubit. Tatapannya pada Winda berubah lembut.“Kenapa nggak ke dokter?”Suara lembut lelaki itu membuat Winda menghela napas lega. Dia memeluk pinggul Hengky dan dengan suara seraknya berkata, “Hanya demam, tinggal minum obat saja.”Kening Hengky berkerut mendengar suara perempuan itu dan bertanya, “Kenapa suara kamu j
Hengky menuruni tangga sambil menghubungi Willy. Telepon berdering selama beberapa kali baru diterima oleh lelaki itu. Suara malas Willy terdengar di seberang telepon.“Kamu telepon aku malam-malam karena berantem dengan istrimu?”“Sekarang kamu di mana?” tanya Hengky.“Kenapa? Mau ajak aku minum? Hari ini aku sibuk, aku sedang jalan-“Sebelum lelaki itu selesai berbicara, Hengky langsung memotong, “Dia sakit, sekarang kamu datang dulu ke sini.”Hengky berdecak dan berkata, “Aku nggak ada waktu. Bukannya kamu ada dokter pribadi? Kenapa nggak minta dia saja yang datang?”“Nggak boleh! Aku kasih kamu waktu 20 menit dan segera datang!” jawab Hengky tanpa menerima penolakan.“Ak-“Hengky tidak memberikan kesempatan untuk lelaki itu menolak. Dia langsung memutuskan sambungan telepon.Yanti dan Bi Citra melihat ke arah Hengky yang menuruni tangga. Mereka menilai dan menebak raut wajah lelaki itu. Melihat ekspresi tenang Hengky membuat Yanti mengumpat dalam hati dan mendesah kecewa. Sedangkan
Hengky hening sejenak dan dengan suara dingin berkata, “Panggil mereka ke sini.”“Baik.”Sesaat kemudian Bi Citra memanggil seluruh pelayan suruhan Sekar. Semua orang berbaris di hadapan Hengky yang tengah memainkan pemantik di tangannya. Lelaki itu memandangi setiap orang yang ada di sana dengan dingin. Setiap orang menunduk tanpa ada yang berani berbicara. Yanti juga merasakan suasananya ada yang aneh dan tidak berani berbicara.Setelah satu menit, Hengky melempar pemantik ke atas meja hingga menghasilkan suara nyaring. Semua orang terlonjak dan gemetar di tempat.“Kalian semua dipecat! Sepuluh menit lagi saya nggak mau lihat satu pun dari kalian!”Kalimat tersebut membuat kehebohan kecil. Semua orang saling berpandangan dan tidak tahu harus berbuat apa. Yanti juga tidak menyangka akan seperti ini. Awalnya dia pikir paling gawat dia diusir kembali ke kediamannya Sekar. Ternyata Hengky langsung memecat mereka semua.“Den, kami dipekerjakan oleh Nyonya. Seharusnya Den Hengky nggak berh
Tidak sampai dua menit kemudian, Bi Citra membawa Willy naik ke kamar utama. Bi Citra tidak masuk, dia hanya membawa lelaki itu sampai di depan pintu saja. Dia mengetuk pintu dan berkata, “Pak, Pak Willy sudah datang.”Winda meletakkan sendoknya dan melirik ke arah luar. Pandangannya dengan Willy bertemu. Lelaki itu melambaikan tangan ke arahnya sambil berjalan masuk dan berkata, “Hengky bilang kamu sakit dan minta aku datang. Kamu kenapa?”“Kamu ….” Winda menoleh ke arah Hengky dan menatap lelaki itu. Hengky melayangkan lirikan penuh peringatan pada Willy sambil berkata, “Kata Bi Citra kamu demam seharian, kamu periksa dia.”Willy mengangkat alisnya dan menatap Winda sekilas. Selain pucat dan sedikit lemas, dia tidak terlihat ada apa-apa. Lelaki itu menarik Hengky agar menjauh dari Winda dan berbisik, “Kamu panggil aku hanya untuk hal kecil ini? kamu tahu malam ini aku ada kencan yang sangat penting?!”Hengky menatapnya datar dan dengan santai berkata, “Kalau sampai kakekmu tahu-”“Su
Hengky menatap Willy selama beberapa detik dengan ekspresi muram. Kemudian, dia membuka pintu kantor dan masuk tanpa berkata apa-apa.Willy ikut masuk ke dalam kantor lalu menutup pintu. Belum sempat dia duduk, Hengky sudah bertanya padanya, “Bagaimana dengan kondisi tubuhnya? Ada masalah apa, nggak?”“Nggak apa-apa, kok.” Willy menatapnya dengan heran dan berkata, “Demamnya sudah reda, biasa-biasa saja.”Setelah melihat ekspresi Hengky yang aneh, Willy mendengus dan berkata, “Masa, sih? Cuma demam saja sudah buat kamu begitu khawatir?”Hengky mengerutkan bibir tipisnya dan berkata dengan acuh tak acuh, “Nggak, mungkin aku yang terlalu berprasangka.”Jelas-jelas waktu kembali dari rumah kakek, Winda masih baik-baik saja. Hari ini tiba-tiba dia demam ....Willy mengangkat alisnya dan tertawa pelan, lalu berkata, “Aku rasa kamu sudah jatuh ke tangannya.”Hengky mengerutkan bibirnya tanpa mengatakan apa pun.“Kalau nggak ada apa-apa lagi, aku pergi dulu,” kata Willy sambil tersenyum.“Sat
“Bagaimanapun, kalian harus lebih berhati-hati. Kalau orang itu masih belum menyerah lalu melakukan sesuatu yang ekstrim lagi ... kalian mungkin nggak akan seberuntung saat itu.”Untung saja mereka bertiga selamat dalam kecelakaan mobil saat itu. Kalau tidak, orang yang terbaring di kamar mayat sekarang pasti Hengky dan yang lainnya.Namun, luka yang dialami Hengky cukup serius. Agar Winda dan keluarganya tidak khawatir, Hengky berpura-pura kalau dirinya baik-baik saja. Dia pun memaksa diri untuk keluar dari rumah sakit.Setelah memikirkan hal ini, Willy pun merasa khawatir, “Minggu ini lebih baik kamu pergi ke rumah sakit saja untuk diperiksa. Aku takut kecelakaan waktu itu akan meninggalkan gejala sisa apa.”“Nggak usah,” tolak Hengky.Willy sudah menduga Hengky akan berkata seperti itu. Dia pun mengancam sambil tersenyum, “Kalau kamu nggak mau pergi, mau nggak mau aku harus telepon nenekmu.”Hengky spontan menatap Willy sambil mengerutkan kening. Beberapa detik kemudian, dia akhirny