“Hmm.” Hengky mengangguk pelan.“Kamu cucu pertama yang harus mewarisi bisnis keluarga. Aku juga sudah tua sekarang, sudah nggak bisa kelola bisnis keluarga sendirian. Semakin cepat kamu punya anak, semakin cepat aku bisa pensiun dan menikmati masa tuaku.” Adi berkata kepada cucunya, nada bicaranya pun jadi jauh lebih ramah. Bahkan ada sedikit tawa di suaranya.Hengky tidak mengatakan apa-apa. Winda hanya bisa menyembunyikan kesedihan di hatinya, lalu memaksakan senyum merekah di sudut bibirnya. Dia duduk lebih dekat dengan Hengky dan mengedipkan matanya sambil berkata, “Lihat, Kakek sudah berkata seperti itu. Kamu masih nggak janji sama Kakek?”Hengky memperhatikan senyum di wajah Winda, sebuah perasaan aneh terpancar di mata pria itu sekilas.Winda memantapkan hatinya, dia pun langsung merangkul lengan Hengky dan bersandar pada pria itu. Kemudian, dia tersenyum dan berkata, “Kamu mempertimbangkannya terlalu lama. Sayang, kamu sedang pikir mau punya anak laki-laki atau anak perempuan,
Winda tahu dia tidak bisa membantah dalam hal ini, karena itu dia menganggukkan kepala sambil tersenyum.Sekar masih ingin mengatakan sesuatu, tapi Adi yang duduk di sebelahnya berdehem. Sekar pun terpaksa menelan kembali kata-kata yang ingin dia ucapkan.Winda spontan menghela napas lega, lalu menatap Adi dengan penuh rasa terima kasih. Setelah berpamitan, Winda bergegas ke lantai atas.Dulu dia selalu tidur di kamar tamu setiap kali kembali ke rumah ini. Dia tidak pernah masuk ke kamar Hengky, kecuali di malam pertama pernikahan mereka. Winda sudah berdiri di depan pintu kamar. Setelah meyakinkan dirinya sendiri, dia baru mengangkat tangan dan mengetuk pintu dua kali.“Masuk.”Winda membuka pintu dan mengambil satu langkah kecil. Dia melihat Hengky yang sedang duduk di kursi sambil membaca buku. Dia yang berdiri di depan pintu tiba-tiba merasa tidak tahu harus berbuat apa.“Malam ini aku ....”Sebelum Winda menyelesaikan kalimatnya, Hengky sudah mengangkat tangan dan menunjuk ke sofa
Hengky mengatupkan bibirnya, dia tidak mengatakan apa pun, juga tidak mendorong Winda menjauh darinya.“Semua gara-gara aku ....”Suara Winda penuh dengan perasaan bersalah dan sakit hati. Kalau bukan karena dirinya, Hengky tidak akan terluka seperti ini.Tanpa Winda sadari, jakun Hengky bergerak naik turun. Matanya yang sedikit menyipit penuh dengan emosi. Dia meraih tangan Winda yang menyentuh tulang belikatnya, lalu berkata dengan suara seperti sedang berusaha menahan diri, “Keluar.”“Nggak mau.”Winda memberanikan diri untuk menempelkan wajahnya di punggung Hengky. Kemudian, dia mencium setiap bekas luka di punggung pria itu dengan hati-hati, seolah-olah dengan begitu dia bisa menyembuhkan rasa sakit yang Hengky alami.Sentuhan yang lembut dan hangan itu membuat tubuh Hengky menjadi tegang. Sorot matanya perlahan-lahan menjadi dalam dan gelap, bahkan tatapan matanya mulai memancarkan nafsu berahinya.Hengky tampaknya sudah tidak sanggup menahan diri lagi. Dia mengulurkan tangan dan
Winda merasa sangat gembira meski hanya mendapat tanggapan seperti itu. Tampaknya hubungan suami istri itu sangat penting, itu adalah cara terbaik untuk meningkatkan hubungan mereka menjadi lebih baik.“Sudah jam berapa sekarang? Masih selamat pagi. Jadi begini sikapmu sebagai seorang istri di rumah?”Pada saat ini, tiba-tiba ada suara yang datang dan merusak suasana. Sekarang Winda langsung merasa sakit kepala setiap kali mendengar suara Dita. Dia menggosok pelipisnya, lalu berbalik menghadap Dita dan berkata, “Tadi malam aku ....”Winda hendak berbicara, tapi dia tiba-tiba menyadari sesuatu. Dia pun menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa.Dia benar-benar malu untuk berkata di depan nenek dan tante Hengky kalau dia terlalu lelah tadi malam, tengah malam dia baru bisa tidur, makanya dia bangun kesiangan hari ini.Namun, sekalipun Winda tidak mengatakan apa pun Sekar dan Dita bisa melihat bekas di leher Winda. Raut wajah ibu dan anak itu seketika berubah.“Kalian ....” Wajah D
“Hengky!” Winda melipat tangannya di depan dada dan memelototi Hengky sambil mengerutkan kening, “Kamu jelas-jelas peduli padaku. Kenapa kamu harus lain di mulut lain di hati begini, sih?”Hengky menatap Winda dengan dingin. Perasaan kesal meluap di dalam hatinya. Seolah-olah, kata-kata Winda barusan telah mengungkapkan pikirannya yang tersembunyi. Pada detik itu juga, dia langsung membalas dengan dingin dan tidak sabar.“Nggak!”“Nggak?” Winda mengangkat alisnya dan sengaja mendekat, lalu berkata sambil tertawa ringan, “Kalau kamu nggak peduli padaku, kenapa kamu marahi pelayan itu demi aku? Kalau kamu nggak peduli padaku, kenapa kamu nggak mau ceraikan aku? Hengky, akui saja, di dalam hatimu ada aku.”Napas Winda yang hangat menyembur ke telinga Hengky, membangkitkan api di dalam hati pria itu. Hengky menatapnya dalam-dalam, tapi di suaranya yang dingin sama sekali tidak ada kehangatan, “Winda, jangan anggap dirimu terlalu penting. Aku bukan sedang bantu kamu.”“Bagaimanapun, kamu ad
“Apakah karena perjanjian pernikahan itu?”Winda menundukkan kepalanya, bahkan keberanian untuk menatap pria di depannya sudah tidak ada lagi. Dia mengepalkan tangannya erat-erat, hanya merasa waktu untuk menunggu jawaban pria itu terasa sangat lama.Hengky memperhatikan penampilan Winda yang gugup sejenak. Bibir tipisnya terbuka sedikit, tepat ketika dia hendak menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba ponsel Winda berdering. Suara dering ponsel memecah kesunyian di dalam mobil.Entah mengapa Winda merasa lega. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dengan panik. Namun, begitu dia melihat nama penelepon itu, ekspresinya tiba-tiba menjadi muram.Dari sudut matanya Hengky bisa melihat nama Jefri di layar ponsel Winda selama beberapa detik. Ekspresi wajah pria itu mendadak menjadi sangat dingin. Matanya yang tajam menyipit, lalu dia menjawab dengan sinis, “Kalau nggak, kamu kira aku akan menikah denganmu?”Usai berkata, dia menarik kembali pandangannya dengan acuh tak acuh. Dia men
Rumah kakek Hengky jauh dari perkotaan. Butuh waktu lebih dari satu jam untuk pergi ke restoran itu dari sini. Apalagi di jam seperti ini, lalu lintas lebih macet dari biasanya. Pada saat Winda tiba di restoran, tinggal lima menit lagi sebelum pukul 12.00.Winda mengeluarkan topi dan masker dari tas dan memakainya. Dia menutupi dirinya sebelum keluar dari mobil. Setelah sopir melihatnya masuk ke dalam restoran, sopir itu mengeluarkan ponselnya dan menelepon Hengky.Lantai teratas gedung Pranoto Group, di ruang CEO. Hengky menerima sebuah panggilan tak terduga.“Pak Hengky, aku Jefri.”Hengky menyipitkan matanya dengan wajah tanpa ekspresi. Dia mengetukkan jarinya ke meja dengan ringan, lalu tertawa sinis dan berkata, “Ada apa?”“Aku ingin bertaruh dengan Pak Hengky. Apakah Pak Hengky tertarik?”“Nggak tertarik.” Hengky menjawab dengan dingin, hendak menutup telepon.Pasti ada yang salah dengan otak Jefri, makanya pria itu berani bersikap arogan di depan Hengky. Seolah teringat dengan k
Ada keheningan yang mencekam di ujung telepon yang lain. Seiring waktu berlalu, kepercayaan diri di dalam hati Jefri berangsur-angsur memudar. Tangannya yang memegang ponsel spontan mengencang, berubah menjadi tegang.Tepat ketika dia berpikir Hengky tidak akan setuju bertaruh dengannya, suara dingin Hengky datang dari ujung telepon.“Oke, kita taruhan.”Usai berkata, Hengky langsung menutup telepon. Dia melihat jam sebentar, lalu menelepon ke rumah kakeknya dan menanyakan nomor ponsel sopir yang mengantarnya tadi. Kemudian, dia mengirim pesan ke nomor sopir itu.Satu jam kemudian, dia mendapat telepon dari sopir.“Den, Non Winda pergi ke Palate Pleasure.” Seketika raut wajah Hengky menjadi sangat menakutkan. Pena di tangannya pun berubah bentuk karena dia tenaganya yang berlebihan.Hengky mengerutkan bibirnya dan berkata dengan dingin, “Jangan beri tahu siapa pun tentang hal ini.””Baik, Den.”Setelah menutup telepon, Hengky langsung memukul meja dengan kepalan tangannya. Wajahnya su
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a