Sore itu.. dia mengatakan sesuatu yang tak masuk di akal sehatku. Dia mengaku namanya adalah Diara. Berasal dari masa depan. Tahun 2024. Aku pikir.. Ranti gila. Atau, aku yang tidak waras. Bahkan, aku menampar diriku sendiri. Memastikan, jika ini bukanlah mimpi. Aku berharap.. ini adalah mimpi. Terlebih, saat dia mengatakan—jika, aku akan mati di tahun 1992.2024Ranti baru saja selesai membaca satu lembar buku harian Tomi, yang masih terawat. Hanya saja, kertasnya mulai bewarna cokelat susu. Dan, berkerut-kerut. Terlihat sekali, buku harian ini, sering dibaca.Sulit bagi Ranti untuk mengontrol emosinya. Ia menggigit bibir bawahnya. Satu airmata yang sulit di kendalikan, akhirnya bergulir di pipi."Dan, seperti yang tertulis di buku harian itu, Paman Tomi, tewas di tahun 1992. Bagaimana, kau menjelaskannya?"Ranti menggelengkan kepala."Aku tidak tahu.""Bagaimana kau bisa tidak tahu? Sementara, ia menyebutkan namamu di buku harian itu. Apa.. kau dan Ibumu sudah merencanakan ini? Untu
1991Diara tengah melipat tangan di dada. Di dalam kamarnya. Duduk di tepi ranjang. Mendesis singkat."Apa benar akan berhasil, mengirim pesan lewat buku harian? Tapi.. di mana aku harus meletakkannya? Agar, Rendi dan yang lain membacanya?"Diara berdecak kesal."Haaah.. otakku tidak bisa bekerja, kalau sedang lapar.""Baiklah. Isi perut. Lalu, berpikir lagi."Lantas, Diara keluar dari kamar. Belok ke kiri. Mendekati meja makan. Mengangkat tudung saji. Tidak ada apapun di sana. Kecuali, Nasi. Maya memang tidak pernah memasak untuk Ranti.Diara mendesah panjang."Benar juga.. sebelum memikirkan hal itu.. ada hal penting yang harus aku lakukan di sini. Aku.. harus memperbaiki hubungan Ibu dan Nenek."Diara kemudian menggunakan keahlian memasaknya, yang didapat dari Hara.Hara sangat pintar dalam hal memasak. Diara membuka kulkas, yang tingginya hanya sampai dada. Berwarna putih. Juga, tidak ada apapun di dalamnya. Hanya beberapa bumbu dapur. Bawang baik dan bawang jahat. Cabe. Dan, pas
Diara berjalan dengan kebingungan. Mengedarkan pandangan, yang sejauh mata memandang, tidak ada apapun yang terlihat. Sekitar gelap. Hanya dirinya yang bersinar. Hingga, dia melihat punggung seseorang. Lantas, di tepuk nya."Permisi.. kita.. ada di mana sekarang? Kenapa sangat gelap sekali di sini."Seseorang tersebut menengok. Mereka saling berhadapan."Kau..Ibu?""Diara?""Apakah ini mimpi?" tanya Diara."Entahlah. Ibu juga tidak tahu. Tapi, yang pasti.. Ibu sangat bahagia bertemu kau di sini."Ranti memeluk Diara dengan erat."Kau.. tumbuh menjadi gadis yang cantik dan baik. Terima kasih, Diara."Diara mendorong Ranti dengan perlahan."Tapi.. kenapa Ibu meninggalkanku?""Ibu tak pernah berniat untuk meninggalkanmu.""Lalu, kenapa Ibu melakukan itu? Kenapa Ibu bunuh diri?""Ibu.. tidak bunuh diri, Diara.""Jadi.. benar Ibu di bunuh seseorang?"Ranti mengangguk."Siapa yang melakukan itu? Apakah.. Ibu tahu?"Ranti mengangguk."Dia adalah.."Jam weker berbunyi. Membuat Diara terbangun
1991Hari Minggu. Saatnya DMA berkumpul. Tapi, kali ini mereka tidak berkumpul di rumah Haris. Melainkan, di.."Kenapa toko kasetnya di jadikan markas sekarang? Dan, siapa yang mengajak dia?" tanya Diara. Menatap Farel."Emm, aku yang mengajaknya. Hehe." Sinta mengangkat tangannya.Diara mendesah pasrah. Beberapa rak kaset, dipindahkan ke pinggir. Karena, mereka berkumpul di tengah-tengah. Papan kosong di siapkan. "Lalu.. kenapa kau juga membawa kekasihmu?""Itu.. Emm, karena aku merindukannya?"Diara memutar bola matanya dengan cepat. Menggeram muak."Ini jadwalku untuk berkencan. Lantas, kenapa kau mengajakku berkumpul? Menjengkelkan.""Ini lebih penting dari kencanmu. Kau tidak memikirkan perempuan yang hilang kemarin?" "Kita laporkan saja pada polisi.""Aku dan Tomi sudah melaporkannya kemarin. Tetap saja, kita harus ikut mencarinya.""Kenapa? Aku heran denganmu. Kenapa kau harus merepotkan dirimu sendiri?""Itu.. karena..""Saling peduli. Bukankah itu penting?" sahut Tomi.Kare
2024"Racun arsenik?" ulang Rendi. Terkejut mendengar penjelasan Angga.Angga mengangguk."Aku rasa.. ini ada hubungannya dengan kematian siswi dan 2 anak buah Tuan Haris.""Kenapa Anda sangat yakin?""Pelaku mengatakan, kalau korban tak sengaja mendengar percakapannya dengan seseorang. Kalau mereka.. akan membunuh Mila.""Apa? Mila? Siapa yang dendam padanya?""Seharusnya, kau yang lebih tahu. Menurutmu, siapa yang membenci Mila?"Rendi mendesah singkat."Semua orang. Semuanya membenci Mila. Karena, sikapnya yang sangat menjengkelkan.""Untuk sementara ini.. kalian akan dalam pengawasan kami. Tapi.. jangan beritahu yang lain. Aku yakin.. salah satu dari kalian adalah seseorang yang di hubungi oleh pelaku. Dan, dia.. adalah pelaku utamanya."Rendi mendesah berat."Lalu.. apa kata Dokter? Dia.. akan segera sadar?" tanya Rendi. Menatap Evan, yang tengah terbaring di ranjang. Alat bantu napas terpasang di hidungnya. Juga, selang infus berdiri di sebelah ranjang."Dokter juga tidak bisa m
1991 Hei, hentikan! Jangan berkelahi di sini!" pekik Sinta. "Itu semua berkat siapa?" tanya Diara. Melempar picingan kesal pada Sinta, yang kini berdeham. "Tidak perlu baku hantam untuk menarik perhatian Ranti. Kalau kalian sanggup makan makanan pedas, Ranti akan kagum dengan kalian." "Hei, kenapa kau yang memutuskan?" tanya Diara. "Bukankah, memang begitu? Dulu, kau pernah bilang padaku. Jika.. kau sangat menyukai laki-laki yang kuat makan pedas." "Oh, benarkah? Aku mengatakan itu?" Sinta mengangguk. "Pak! Tolong, pesananku sambalnya harus sangat pedas!" pekik Tomi. "Pesananku juga!" tambah Farel. Keduanya saling melemparkan picingan tajam. "Hei, kau tidak ikutan?" tanya Sinta pada Haris. "Kenapa aku harus ikut?" "Bukankah, kau suka pada Ranti?" "Iya. Tapi, aku alergi dengan cabai. Aku tidak bisa makan pedas. Meskipun, aku menyukai Ranti— aku juga menyayangi diriku." "Ah.. begitu. Memang, apa yang terjadi kalau kau makan cabai?" "Itu.." Haris tidak melanjutkan
"Jangan salah paham. Aku melakukan hal tadi, karena aku masih menganggapmu sebagai Ranti," jelas Tomi.Mereka baru saja tiba di depan rumah Ranti. Mengendarai motor Tomi.Diara turun. Memberikan helm pada Tomi."Aku tahu. Kau menyukai Ibuku. Bukan aku. Karena itu.. aku akan menjodohkanmu dengan Ibu. Dan, menjauhkannya dari Farel.""Kenapa?""Agar kau bisa hidup dengan Ibuku.""Maksudku.. kenapa kau melakukannya?""Emm.. karena aku lebih menyukaimu?"Tomi berdeham."Hei, aku suka kau menjadi Ayahku. Bukan yang lain.""Ah, haha. Aku kira, akan terlibat cinta segitiga."Diara berdecak. Meliriknya."Aku juga punya seseorang yang aku sukai, di tahunku.""Oh, benarkah?"Diara mengangguk."Well, jadi sekarang kita teman?"Diara mengulurkan tangannya yang mengepal. Tomi melihatnya sejenak. Kemudian, ikut mengulurkan kepalan tangannya."Teman," ucap Tomi."Kalau begitu, sampai besok."Diara berbalik badan, saat Tomi mengatakan,"Kenapa kau berbohong?"Diara kembali menghadap Tomi."Apa?""Soal
Diara dan Tomi menatap kesal pada Haris yang sedang makan roti, pemberian dari teman satu kelas. Masih di Rumah Sakit. Di ruang perawatan. Tidak lagi di infus. Lantas, keduanya melipat tangan di dada."Apa kita kubur hidup-hidup saja dia?" bisik Tomi pada Diara."Sebelum itu.. kita kuliti dulu. Aku ingin melihatnya menderita dulu.""Oh, itu ide bagus."Keduanya menyeringai. Haris yang tengah menggigit roti, menatap Diara dan Tomi secara bergantian."Kenapa kalian melihatku seperti itu?"Diara tersenyum. Mendekatinya."Aku.. bahagia sekali melihatmu sudah sehat kembali," kata Diara. Sembari menampar pelan pipi Haris. Berulang kali."Benar. Kenapa tubuhmu sangat kuat sekali! Haha," tambah Tomi. Menepuk lengan Haris. Cukup keras.Haris mengerutkan dahi. Kesal."Firasatku.. kalian mengatakan sebaliknya.""Haha. Bicara apa kau ini? Sungguh, aku sangat bahagia.. kau sudah sembuh," ucap Diara.Tomi mengangguk berulang kali."Kalau begitu, aku dan yang lain pamit dulu, ya?" kata Andi.Dia dat
Diara melebarkan mata. Tersenyum gembira."Kita sahabat?""Heh? Kau, sudah tak ingin berteman denganku? Wah.. keterlaluan sekali. Mentang-mentang, kau baru saja memenangkan penghargaan Sutradara terbaik, kau jadi melupakanku."Diara memeluk Selly erat-erat."Mana mungkin, aku bisa melupakanmu. Susah dan senang, kita selalu bersama.""Well, benar juga. Aku bisa sampai di titik ini, juga karena dirimu dan teatermu."Diara melepaskan pelukan."Lalu, ada urusan apa kau kemari? Juga, Darel.. kenapa kau di sini?""Aku ada rapat pembacaan naskah. Tapi, Diara.. kenapa kau bisa kenal dengan kekasihku?""Kekasihmu? Kalian.. berpacaran? Bagaimana bisa? Seharusnya, aku yang mempertemukan kalian. Wah, kalau memang sudah takdirnya, jodoh pun tak dapat di rubah.""Kau ini bicara apa?""Sayang.. kau kenal Diara?" lanjut Selly."Tidak. Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya? Aku lihat-lihat, wajahmu juga tidak asing bagiku.""Hehe. Mungkin, kau tidak kenal denganku. Tapi.. aku sangat mengenalmu. Terutam
1983 "Dian! Cepat!" Dian yang sedikit ragu, akhirnya berlari ke arah Sonia. Di saat yang sama, Tomi mendobrak pintu. Dan, mengacungkan senjata."BERHENTI! LEMPARKAN PISAU ITU KE SAMPING. DAN, ANGKAT TANGAN KALIAN!"Dian yang panik, segera melempar pisau. Dan, bergerak sesuai perintah."Itu juga berlaku untukmu, pria brengsek! kata Tomi pada Kardi."Wah.. Tomi terlihat keren. Seandainya, aku perempuan.. aku akan menikahinya," celetuk Haris.Membuat Diara mengerutkan dahi. Menatapnya heran. Sementara, Kardi melepaskan Sonia."Kalian berdua, merapat ke tembok. Dan, jangan pernah menengok ke belakang!" perintah Tomi.Setelah itu, Diara segera menghampiri Sonia."Kau, baik-baik saja?"Sonia yang masih syok, hanya bisa mengangguk."Farel.. Anakku.""Farel? Dia ada di mana?"Sonia menunjuk ke lantai atas. Diara bergegas ke lantai atas. Membuka pintu kamar. Terlihat, Farel tengah berdiri dengan badan gemetar, di sebelah pintu. Diara berlutut di depannya."Semuanya sudah berakhir, Farel. Ka
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanya Haris. Duduk di sofa tunggal. Sementara, Tomi dan Diara duduk di sofa panjang. Di sebelah kirinya. "Entahlah. Mungkin sudah 30 tahun lebih? Sejak, kau menikah kita sudah tidak pernah bertemu," kata Tomi. Haris mengangguk. "Lalu, bagaimana kau tahu alamat rumahku? Apa.. kau memakai kekuatanmu menjadi Kepala Polisi, untuk melacak keberadaan ku?" Diara terbelalak. "Ayah, menjadi Kepala Polisi sekarang?" bisik Diara. "Oh.. Ayah belum cerita padamu?" "Wah.. keren sekali." Haris berdeham. Membuat Diara dan Tomi menatapnya. "Ah.. Diara yang memberitahu." Haris menatap Diara. "Dia.. anak Ranti?" Diara mendengus. Lalu, terkekeh. "Ayolah. Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu.. kau mengingat semuanya." "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kata Haris. "Kau masih ingin berbohong? Kau ingin aku percaya? Kau, tidak mengingat segalanya? Oh, Ayolah. Pertama kali, kau melihatku dan Ayahku tadi, kau tidak terkejut. Dulu kalian bersah
1992Tomi tengah menggendong Diara, yang tengah menangis karena sakit. Badannya demam sudah 2 hari. Mengayun tubuhnya, agar Diara segera tertidur. Butuh kerja keras selama 20 menit, untuk membuat Diara tidur."Dia sudah tidur?" tanya Ranti. Baru saja selesai mencuci baju."Iya. Baru saja.""Berikan padaku."Diara terbangun, ketika Ranti menyentuh tangannya. Seketika, menangis. Tomi mulai mengayun tubuhnya lagi."Biar aku saja," kata Tomi.Ranti mendesah singkat."Maaf, jadi merepotkan mu.""Hei, dia juga anakku. Kenapa harus mengatakan seperti itu.""Tapi, tetap saja..""Ingat, Ranti. Dia adalah anakku. Bukan anak orang kaya itu. Jadi.. jangan pernah sebutkan nama itu di depan Diara atau di depanku. Kau mengerti?"Ranti mengangguk paham.Keduanya menikah, saat usia kandungan Ranti masih 10 minggu. Tomi bergegas memberitahu orang tuanya, untuk segera meminang Ranti. Namun, Tomi juga menjelaskan kondisi Ranti. Cukup terkejut dengan itu, tapi, Tomi menjelaskan dengan baik. Dengan berat
2024Diara, Haris, dan Ranti saling berhadapan."Semuanya sudah berakhir, Bu. Kami.. berhasil menangkap Farel."Ranti tersenyum. Mendekati Diara. Menggenggam kedua tangannya."Kau sudah bekerja keras. Terima kasih, Diara.""Sekarang, Ibu bisa kembali ke sana dengan tenang. Jalani hidupmu yang sebelumnya hancur, karena laki-laki itu. Dan.. coba perbaiki hubunganmu dengan Nenek. Kau hanya perlu bersikap manis. Sesekali, makan bersama dengannya."Ranti mengangguk."Aku akan melakukan itu."Mata Ranti berkaca-kaca. Memeluk Diara."Maafkan Ibu, Diara. Selama ini, kau hidup dengan sangat tersiksa.""Tidak, Bu. Aku sudah cukup bahagia, bersama Bu Lia dan teman-temanku. Sampai jumpa di masa depan, Bu.""Kita bertemu lagi di masa kecilmu, ya? Ibu.. akan selalu ada di sampingmu sekarang."Setelahnya, Haris mengantarkan Ranti kembali ke masanya.Sekarang.. semuanya, akan baik-baik saja, kan?**"Ibu? Ibu? Di mana kau? Ibu?? Aku berhasil mengubahnya. Ibu?!"Diara berdiri di dapur, dengan terengah
Beberapa Jam Sebelum PenangkapanDiara dan yang lain kembali ke markas. Baru saja, selesai mengobati luka Haris dan Sinta."Hei, ada apa dengan Tomi?" tanya Haris pada Sinta. Tomi nampak lesu. Duduk di sudut. Sementara, Diara membereskan kotak obat."Laki-laki yang hampir menabrak ku tadi adalah kekasih Ranti," bisik Sinta."APA?" Haris nyaris berteriak."Pelan kan suaramu!""Tunggu.. jadi.. Ranti selingkuh dari Tomi?""Aku juga tidak tahu. Tapi, dari pengamatanku.. sepertinya, laki-laki tadi adalah kekasih pertama Ranti.""Jadi.. Tomi yang menjadi selingkuhannya?""Hmm, sepertinya tidak juga.""Lalu, bagaimana ceritanya? Kau ini, kalau bicara jangan sepotong demi sepotong. Menjengkelkan sekali."Sinta berdecak kesal. Lalu, berdeham."Ini menurutku.. cinta Tomi bertepuk sebelah tangan. Dan, mereka sebenarnya tidak pernah ada hubungan. Hanya saja, Tomi menganggap Ranti menerima cintanya. Kau tahu, kan? Ranti itu sangat baik hati. Dia.. tidak tega untuk mengatakan pada Tomi, jika ia su
Diara berada di markas DMA bersama yang lain. Mengulang kejadian, di saat mereka membahas kasus Rima. "Rima-""Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," sahut Diara. Memotong kalimat Tomi."Yap. Betul kata Ranti.""Orang tuanya sudah melapor. Namun, polisi belum menemukan petunjuk. Karena, si pelaku tidak meninggalkan jejak," jelas Diara.Tomi mendengus."Terima kasih, Sayang. Kau menjelaskan dengan sangat sempurna."Diara menggerakkan dua alisnya ke atas."Tidak ada saksi?" Sinta bertanya.Tomi menggeleng. Dan, Diara mendesah singkat."Kali ini, kalimatku akan cukup panjang," gumamnya, dengan nada lelah."Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. Lalu, mendesah panjang."Oh, bisakah kita segera pergi ke lokasinya? Tak jauh dari sini, kan? Haris ada 2 moto
Ketika manusia akan bertemu dengan ajalnya, maka.. akan di putarkan kisah hidupnya dari sejak ia di lahirkan, hingga di detik akhir hidupnya.Banyak manusia akan sangat menyesali perbuatannya semasa hidup. Tapi, juga akan banyak yang bersyukur dengan hidup yang ia jalani.Termasuk, manusia yang bergelar Ibu. Perjalanannya menjadi seorang Ibu, akan kembali di putar di hadapannya. Saat, berusaha untuk hamil. Lalu, mendapat kabar jika rahimnya sudah terisi malaikat kecil. Menjaganya sepenuh hati. Sampai, janin membesar dan sehat sempurna. Dan, ketika tiba janin tersebut di lahirkan. Bertaruh nyawa. Setengah mati. Menggendong bayinya pertama kali. Menyusui. Terjaga di setiap malam. Dia nikmati sendiri. Melihat senyuman pertama bayinya. Merasakan genggaman tangan mungil bayinya. Hingga, ia tumbuh besar. Kasih sayangnya, tak akan pernah pupus.Gambaran itu yang juga di lihat Ranti di sisa-sisa nafasnya, saat nyawanya hampir menghilang. Tersenyum dengan kesakitan. Tetesan air matanya untuk
"Haris.. kita perlu bicara," kata Sekar. Berdiri, agak jauh di belakangnya.Haris meletakkan kembali gagang telepon. Berbalik badan. Menatap Sekar lamat-lamat."Oh.. ada apa?"Sekar mendengus."Ada apa katamu? Dari mana saja kau?""Aku ada urusan.""Sangat penting urusanmu? Sampai, kau membiarkan Ayah dan Ibuku, menunggu di Restoran berjam-jam lamanya?"Haris tercengang. Menahan napas 1 detik."Ah.. maafkan aku. Aku.. lupa.""Lupa katamu? Tadi pagi, aku sudah mengingatkanmu, kan?""Iya. Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Nanti, biar aku menelepon Ayah dan Ibu, hm?"Sekar mendesah kesal."Kau.. masih berusaha mencari Ranti? Itu alasanmu tak datang tadi?"Haris diam. Menundukkan kepala."Kau tidak bisa menjawab? Yang artinya.. kau memang sengaja tidak datang tadi, karena tengah mencari Ranti. Kau sangat tega sekali, Haris."Haris membasahi bibirnya. Berjalan mendekat pada Sekar."Sungguh.. maafkan aku. Bagaimana, aku bisa menebus kesalahanku?"Sekar mengerutkan dahi."Kau.. benar Har