Diara dan Tomi menatap kesal pada Haris yang sedang makan roti, pemberian dari teman satu kelas. Masih di Rumah Sakit. Di ruang perawatan. Tidak lagi di infus. Lantas, keduanya melipat tangan di dada."Apa kita kubur hidup-hidup saja dia?" bisik Tomi pada Diara."Sebelum itu.. kita kuliti dulu. Aku ingin melihatnya menderita dulu.""Oh, itu ide bagus."Keduanya menyeringai. Haris yang tengah menggigit roti, menatap Diara dan Tomi secara bergantian."Kenapa kalian melihatku seperti itu?"Diara tersenyum. Mendekatinya."Aku.. bahagia sekali melihatmu sudah sehat kembali," kata Diara. Sembari menampar pelan pipi Haris. Berulang kali."Benar. Kenapa tubuhmu sangat kuat sekali! Haha," tambah Tomi. Menepuk lengan Haris. Cukup keras.Haris mengerutkan dahi. Kesal."Firasatku.. kalian mengatakan sebaliknya.""Haha. Bicara apa kau ini? Sungguh, aku sangat bahagia.. kau sudah sembuh," ucap Diara.Tomi mengangguk berulang kali."Kalau begitu, aku dan yang lain pamit dulu, ya?" kata Andi.Dia dat
2024Ranti meminta tolong pada Rendi untuk di antarkan pergi ke rumah Haris. Dengan membawa buku harian miliknya. Meminjam mobil milik Darel."Kenapa kau membawa buku harian itu?" tanya Rendi. Begitu mereka tiba di depan rumah Haris.Ranti membuka halaman, yang mendadak muncul tulisan dari Diara. Rendi yang membacanya terbelalak."Ini..""Semalam.. waktu aku membuka buku harian ini—tiba-tiba tulisan itu muncul begitu saja.""Jadi.. itu benar, Diara?"Ranti mengangguk."Sepertinya begitu."Rendi mendesah berat."Dia.. terjebak di sana rupanya.""Maaf, karena diriku—semua jadi seperti ini.""Bukan karena kau. Tapi, semua karena Tuan Haris."Ranti mendesah berat."Seperti kata Diara.. kita harus mendapatkan alat yang di maksud oleh Diara.""Lalu, untuk apa kau bawa buku harian?""Akan aku tunjukkan pada Haris.""Dan, kau berharap dia akan luluh saat membaca itu?""Mungkin saja?""Lebih baik, simpan buku harian ini. Jangan sampai, Tuan Haris tahu—kalau Diara dapat mengirim pesan untuk kit
1991Kue 3 tingkat dengan krim putih dan merah muda, berada di tengah-tengah ruangan. Di kelilingi oleh tamu undangan dari siswa-siswi SMA 991.Baru saja, Haris meniup lilin. Di iringi tepuk tangan para undangan. Setelahnya, mereka di persilakan, untuk menikmati makanan yang sudah di sediakan.Mereka semua, menikmati acara ulang tahun Haris. Kecuali, Diara, Tomi, Farel. Sinta? Dia buru-buru mengantre makanan."Di mana Haris?" tanya Diara pada Tomi."Sedang berganti pakaian. Ada seseorang yang tak sengaja menumpahkan air padanya tadi," jelas Tomi."Ranti! Kau harus coba semua makanan di sini. Enak sekali!" Sinta datang dengan membawa 2 piring, yang berisi berbagai macam makanan. Di jadikan satu oleh Sinta. Mulutnya menggemuk. "Oh, benarkah?" tanya Tomi.Sinta hanya mengangguk. Sibuk mengunyah. Sementara, Tomi mengambil 1 piring milik Sinta. Menjejalkan makanan ke mulutnya sendiri."Wah! Makanan orang kaya memang berbeda," kata Tomi."Dia—Ah, Ranti! Kau harus mencoba ini. Sangat-sanga
Diara berjalan ke arah belakang gedung hotel, di mana saat itu tengah sepi. Tidak ada siapapun yang datang ke belakang gedung di pukul 22.00 malam.Langkahnya berhenti. Berbalik badan. Segera terbelalak, karena seseorang tersebut berlari kencang ke arahnya. Membawa sebilah pisau, di tangan kirinya. Diara mundur dengan cepat. Menghindar dengan tangkas. Pun, seseorang itu juga bergerak dengan tangkas.Ketika, seseorang itu mencoba menusukkan pisaunya, Diara dengan cepat mencengkeram pergelangan tangan seseorang tersebut. Sementara, tangan satunya berusaha untuk merebut pisau. Dan, sulit untuk di lakukan. Hingga pada akhirnya, Diara menggigit punggung tangan seseorang tersebut. Tangannya meregang—Diara memukul punggung tangannya, dan pisau pun terjatuh. Diara menendangnya kuat-kuat.Seseorang tersebut melotot marah. Mencekik leher Diara. Mendorongnya, hingga menabrak dinding di belakangnya. Otot pelipis Diara menonjol. Wajahnya mulai semu merah.Diara berusaha mencoba menarik resleting t
1991 Kejadian Sebelum Diara Pergi Ke Masa Lalu Martin. Seorang buruh pabrik biasa. Tidak pernah merokok. Atau mengkonsumsi minuman keras. Dia dikenal sangat pendiam. Rekan kerjanya, satu pun tidak ada yang tahu tentang kehidupannya. Pun dengan kehidupan percintaannya. Banyak gadis yang mendekatinya. Tapi, satu pun tidak ada yang menarik perhatiannya. Setidaknya, sampai ia bertemu dengan Sinta. Martin selalu lewat lapangan bola basket—tempat di mana Sinta selalu berlatih basket dengan Tomi. Ia selalu menghentikan laju sepeda onthel-nya, setiap ia melihat Sinta ada di lapangan tersebut. Memandangi Sinta, sampai dia pergi dari lapangan. Seperti saat ini. Bola basket menggelinding ke arah Martin. Ia segera turun dari sepeda. Mengambil bola tersebut, bersamaan dengan Sinta berlari ke arah dirinya. "Oh, terima kasih." Sinta mengulurkan tangan. "Oh, ini." Martin memberikan bolanya. Senyum Sinta membuat jantung Martin berdegup dengan kencang. "Na-Namamu.." Sinta yang tadinya suda
Sudah 3 hari, sejak Martin di tangkap. Sinta mengurung diri di dalam kamar. Pertama kalinya, ia bolos sekolah. Telepon dari kawan-kawannya, ia abaikan.Bahkan, ia juga tak menghiraukan, Diara yang ada di depan rumahnya saat ini."Sinta.. Ranti sejak tadi menunggumu di depan. Temui dia sebentar," kata Sang Ayah, berdiri di ambang pintu kamar Sinta.Sementara, Sinta menutupi wajahnya dengan bantal."Sinta.. ayolah.""Aku tidak mau! Usir saja dia!" pekik Sinta.Sikap yang tak pernah di tunjukkan Sinta itu, membuat Sang Ayah terkejut. Pun, dengan Diara yang berdiri di pintu depan. Mendengar pekikan Sinta, ia merasa kesal. Berjalan mendekati Ayah Sinta. Menepuk bahunya. Agar Ayah Sinta mundur."Kenapa kau tidak ingin bertemu denganku?"Sinta yang mendengar suara Diara, menyingkirkan bantal yang menutupi wajahnya."Pergi. Aku tidak ingin bicara denganmu.""Kenapa kau tak ingin bicara denganku?""Karena aku telah membuat hidupmu hancur? Membuat kejahatan Martin terungkap?""Pergi. Aku benar-
2024Pukul 20.15. Rendi banyak termenung hari ini, setelah mendengar, jika Diara adalah anak Haris. Desahan panjang terus terdengar darinya. Duduk di tepi ranjang. Sembari, membawa buku harian Ranti.Di detik selanjutnya, ia membuka buku harian. Tepat di halaman, di mana pesan Diara tertulis."Kau baik-baik saja di sana, Diara? Kenapa kau tidak menuliskan pesan lagi? Aku.. benar-benar khawatir padamu."Kembali terdengar desahan panjang darinya."Ren.. kau tidak makan malam?" tanya Darel. Masuk ke dalam kamar."Tidak. Kau makan saja.""Kenapa? Memikirkan Diara?"Rendi diam."Hei.. kau mengenalnya lebih lama dari aku. Seharusnya, kau tahu.. dia adalah gadis yang kuat. Di manapun dia berada, dia pasti bisa bertahan.""Tetap saja, aku khawatir dengannya. Di masa lalu.. dia berhadapan dengan seorang pembunuh berantai."Darel mengangguk samar."Tapi, aku tetap yakin. Dia.. akan baik-baik saja.""Aku harap juga begitu.""Sudah jangan terlalu banyak melamun. Ayo makan bersama dengan yang lai
Sekitar pukul 14.45. Diara tiba dirumah Sinta. Mengetuk pintu. Sementara itu, Haris gelisah di ruangannya. Menggenggam alat yang di gunakannya untuk membuka pintu waktu. Sesekali mendesah panjang."Apa yang kau lakukan Haris? Cepat selamatkan Diara," gumamnya pada diri sendiri.Lantas, ia menekan tombol pada alat tersebut. Dan, menghilang seperti debu yang tertiup angin.Sedangkan, Diara masih mengetuk pintu. Cukup lama. Mengintip di jendela. Sepi. Tidak ada siapapun. Ia menyipitkan mata. Melihat beberapa barang berserakan di lantai. Ia yang sedikit curiga, akhirnya memutuskan untuk mencoba membuka pintu. Dan, ternyata tidak terkunci.Diara masuk ke dalam. Bersamaan dengan, wanita paruh baya, yang berpapasan dengannya tempo hari, melihatnya masuk ke dalam rumah Sinta.Wanita itu terbelalak. Buru-buru memutar haluan. Berjalan cepat. Menuju rumahnya, yang berada di tepat di sebelah rumah Sinta. Menelepon kantor polisi."Halo.. aku rasa.. mereka akan bertengkar lagi! Kali ini, perasaanku