Sekitar pukul 14.45. Diara tiba dirumah Sinta. Mengetuk pintu. Sementara itu, Haris gelisah di ruangannya. Menggenggam alat yang di gunakannya untuk membuka pintu waktu. Sesekali mendesah panjang."Apa yang kau lakukan Haris? Cepat selamatkan Diara," gumamnya pada diri sendiri.Lantas, ia menekan tombol pada alat tersebut. Dan, menghilang seperti debu yang tertiup angin.Sedangkan, Diara masih mengetuk pintu. Cukup lama. Mengintip di jendela. Sepi. Tidak ada siapapun. Ia menyipitkan mata. Melihat beberapa barang berserakan di lantai. Ia yang sedikit curiga, akhirnya memutuskan untuk mencoba membuka pintu. Dan, ternyata tidak terkunci.Diara masuk ke dalam. Bersamaan dengan, wanita paruh baya, yang berpapasan dengannya tempo hari, melihatnya masuk ke dalam rumah Sinta.Wanita itu terbelalak. Buru-buru memutar haluan. Berjalan cepat. Menuju rumahnya, yang berada di tepat di sebelah rumah Sinta. Menelepon kantor polisi."Halo.. aku rasa.. mereka akan bertengkar lagi! Kali ini, perasaanku
1971Pukul 01.30 seorang bayi laki-laki lahir dengan normal. Di dalam kamar mewah milik orang tuanya.Adalah Sonia dan Kardi. Pasangan sukses, kaya raya di kampungnya. Perkebunan kelapa sawit, yang di wariskan oleh Almarhum Ayah Sonia, berhasil di besarkan oleh keduanya. Ekspor dan Impor juga berhasil di lakukan.Semua orang iri pada Sonia. Mendapat seorang Kardi yang tampan, setia dan sangat menyayangi keluarganya. Setidaknya, itu yang terlihat saat ini.Dulunya, Kardi hanyalah buruh di pabrik tembakau Ayah Sonia, yang sekarang sudah gulung tikar. Karena, keuletan dan kerja kerasnya.. Ayah Sonia menjodohkan Kardi dengan anak semata wayangnya itu. Tidak ada paksaan. Karena, memang mereka juga saling menyukai.Ayah Sonia meninggal 3 tahun yang lalu, karena serangan jantung. Dan, Ibunya baru 1 tahun yang lalu meninggal. Karena, kematian Ayah Sonia yang mendadak, menjadikan dirinya depresi.Sonia memberikan ASI pertamanya, untuk bayi laki-lakinya, setelah di mandikan oleh dukun bayi. Dan
Sonia mengabarkan pada seluruh warga kampung, tentang perselingkuhan Kardi dan Ratmi.Warga berbondong-bondong pergi ke rumah Pak Lurah. Memaksa Pak Lurah agar melepas jabatannya. Dan, mengusir Ratmi dari kampung.Beberapa warga pria, menyeret Ratmi dari rumah yang diberikan oleh Kardi. Mendorongnya. Hingga, ia jatuh terjerembab. Di dekat Ayahnya.Ratmi hanya memakai kamisol hitam dan jarit cokelat gelap. Rambutnya pun tak sempat ia gulung."Anakmu sudah membuat malu warga kampung! Tidak sepantasnya, anak perawan bermain api dengan pria yang sudah memiliki istri!" kata salah satu laki-laki, berkulit eksotis. Bertelanjang dada. Memakai celana kain hitam, panjang."Susilo! Kau harus bertanggung jawab! Kau sudah tidak pantas menjadi kepala desa di sini! Kami menuntut mu, agar melepas jabatanmu!"Susilo. Pria paruh baya, berwajah licik. Berkumis tebal."Mereka saling mencintai. Apa tidak sebaiknya, kita biarkan mereka?" kata Susilo.Semakin menyulut emosi para warga."Kau sudah tak waras,
Hujan rintik-rintik. Para warga berkumpul di pemakaman. Mengelilingi tanah yang berlubang. Ukuran 2,5 × 1,5. Jasad Sonia yang sudah terbujur kaku. Di bungkus kain mori.Kardi berpura-pura sedih. Ikut turun untuk menyerukan adzan. Setiap manusia yang lahir, tidak memakai sehelai pun benang. Seorang Ayah akan menyerukan adzan di telinga kanan. Sementara, iqamah di telinga kiri. Pun, saat jiwa manusia meninggalkan tubuhnya. Tidak ada satu pun harta yang bisa di bawanya. Pakaian kesukaan miliknya pun, di tinggalkan begitu saja. Di mandikan. Sebagaimana, ketika bayi juga di mandikan. Dan, semua yang berasal dari tanah—akan kembali ke tanah.Kardi sudah selesai mengumandangkan adzan untuk Sonia. Satu-satu para Bapak yang membantu meletakkan jasad Sonia ke liang kubur, naik ke atas.Ketika Kardi akan naik ke atas, seseorang yang mengulurkan tangan untuk menolongnya, di tarik oleh Farel."KUBUR DIA BERSAMA IBUKU! DIA TAK PANTAS HIDUP!" teriak Farel."Farel? Dari mana saja kau? Kenapa kau baru
"Kenapa Ibu suka mendengarkan lagu?" tanya Farel, yang kala itu masih berusia 6 tahun. Duduk di sebelah Sonia."Lagu.. memiliki melodi yang indah. Juga, lirik yang menyenangkan. Hati Ibu.. merasa tenang, ketika mendengar alunan musik yang tenang. Beban dan masalah Ibu rasanya hilang seketika. Seperti, saat Ibu melihatmu. Kau.. seperti lagu cinta yang indah bagi Ibu."** "KARDI!"Kardi yang baru saja akan memilih tempat duduk, menengok. Dan, terkejut melihat Farel ada di luar restoran. Segera menghampirinya."Farel? Ini benar, kau? Astaga.. aku sudah lama mencarimu. Kemana saja kau selama ini?"Kardi memeluk Farel, yang hanya diam saja. Sementara, Dian yang melenggang santai dengan melipat tangan di dada, menatap kesal pada Farel.Penampilannya sudah tak seperti dulu. Pun, juga tak menggambarkan pribadi Dian. Dia meniru gaya berpakaian Sonia. Senang memakai gaun panjang, di bawah lutut. Mengembang di bawah. Ketat di atas. Bermotif bunga. Rambut di gulung menjadi satu. Dan, memakai ban
Setelah membalas dendam pada beberapa warga kampung, Farel kembali ke rumah Bu Lia. Pagi-pagi. Setelah membersihkan darah dari tubuhnya, dan berganti pakaian. Bukan darahnya tentu saja. Percikan-percikan darah dari Dian, Sarmi, dan beberapa warga desa yang di bantainya."Farel? Dari mana saja kau?" tanya Bu Lia, membuka pintu.Farel diam. Menggandeng tangan Bu Lia. Masuk ke dalam kamarnya."Duduk," pinta Farel."Ada apa, Farel?"Bu Lia duduk di kursi kayu cokelat, yang memiliki sandaran. Sementara, Farel mengambil tas, yang ia letakkan di bawah ranjang. Mengeluarkan bajunya. Dan, satu baju yang di gulungnya rapi. Di bukanya.Bu Lia segera terkesiap."Farel.. perhiasan dan uang milik siapa ini?""Ini semua adalah milik Ibuku. Dan, sekarang akan menjadi milik Bibi.""Apa? Kenapa kau memberikannya padaku?""Pakailah ini untuk kebutuhanmu. Membeli rumah.""Tidak, Farel. Aku tidak membutuhkan ini.""Bibi.. tolong terima. Selama ini, kau memberiku tempat tinggal, makan dan merawat ku. Seka
1989Sejak menghilangkan nyawa pelanggan pertamanya tahun lalu, Farel mula mengincar siswi SMU 999, yang gedung sekolahnya, hanya berjarak beberapa meter dari toko kasetnya.PTSD ; POST TRAUMATIC STRESS DISORDER ; Kondisi masalah mental yang terjadi karena seseorang mengalami kejadian traumatis. Adalah yang di alami oleh Farel. Menghidupkan peristiwa traumatis, yang pernah di alaminya. Seakan peristiwa tersebut terjadi lagi. Yaitu, kejadian saat Dian membunuh Sonia.Penderita PTSD tidak bisa di abaikan. Dan, harus segera di tangani. Hanya saja, medis di Indonesia dulu belum semaju sekarang. Dan, Farel juga tak pernah menceritakan itu pada orang lain. Kecuali, Martin. Pertemuan pertamanya dengan Martin, adalah di bulan Desember, tahun kemarin.**Pukul 22.00. Martin baru saja pulang kerja. Mengendarai sepeda onthelnya. Ia mengayuh sepedanya dengan cepat. Seolah-olah, ia takut akan sesuatu."Hei, bodoh! Kenapa cepat sekali?!" pekik, kawan kerjanya, yang membuntuti. Juga, memakai sepeda
Malam Saat Sinta TerbunuhSinta baru selesai mandi. Masuk ke dalam kamar. Menyisir rambutnya yang basah. Di saat yang sama, Romi ; Ayahnya, membuka pintu."Sinta.. bisa tolong belikan obat nyamuk?"Sinta hanya menjawab dengan anggukan. Dan, segera pergi ke toko kelontong, yang tak jauh dari rumahnya. Sementara, di lokasi lain, namun, masih di area rumah Sinta.. seorang gadis tengah berjuang untuk melindungi nyawanya, dari serangan Farel. Ia menahan sekuat mungkin, pisau yang ujungnya sudah ada tepat di depan matanya. Dengan posisi yang telentang, ia menggenggam erat pisau tersebut. Sedangkan, Farel juga dengan sekuat tenaga, berusaha menusukkan pisau miliknya.Namun, gadis itu menendang bagian vital Farel, yang membuatnya terguling ke samping. Dan, meringis kesakitan.Kesempatan itu, tidak di sia-siakan oleh gadis tersebut. Berdiri dengan cepat-cepat dan berlari, keluar dari rumah. Lurus. Dan, berbelok pada gang kecil.Sementara, Sinta berjalan kembali ke rumah. Di jalanan yang sepi s
Diara melebarkan mata. Tersenyum gembira."Kita sahabat?""Heh? Kau, sudah tak ingin berteman denganku? Wah.. keterlaluan sekali. Mentang-mentang, kau baru saja memenangkan penghargaan Sutradara terbaik, kau jadi melupakanku."Diara memeluk Selly erat-erat."Mana mungkin, aku bisa melupakanmu. Susah dan senang, kita selalu bersama.""Well, benar juga. Aku bisa sampai di titik ini, juga karena dirimu dan teatermu."Diara melepaskan pelukan."Lalu, ada urusan apa kau kemari? Juga, Darel.. kenapa kau di sini?""Aku ada rapat pembacaan naskah. Tapi, Diara.. kenapa kau bisa kenal dengan kekasihku?""Kekasihmu? Kalian.. berpacaran? Bagaimana bisa? Seharusnya, aku yang mempertemukan kalian. Wah, kalau memang sudah takdirnya, jodoh pun tak dapat di rubah.""Kau ini bicara apa?""Sayang.. kau kenal Diara?" lanjut Selly."Tidak. Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya? Aku lihat-lihat, wajahmu juga tidak asing bagiku.""Hehe. Mungkin, kau tidak kenal denganku. Tapi.. aku sangat mengenalmu. Terutam
1983 "Dian! Cepat!" Dian yang sedikit ragu, akhirnya berlari ke arah Sonia. Di saat yang sama, Tomi mendobrak pintu. Dan, mengacungkan senjata."BERHENTI! LEMPARKAN PISAU ITU KE SAMPING. DAN, ANGKAT TANGAN KALIAN!"Dian yang panik, segera melempar pisau. Dan, bergerak sesuai perintah."Itu juga berlaku untukmu, pria brengsek! kata Tomi pada Kardi."Wah.. Tomi terlihat keren. Seandainya, aku perempuan.. aku akan menikahinya," celetuk Haris.Membuat Diara mengerutkan dahi. Menatapnya heran. Sementara, Kardi melepaskan Sonia."Kalian berdua, merapat ke tembok. Dan, jangan pernah menengok ke belakang!" perintah Tomi.Setelah itu, Diara segera menghampiri Sonia."Kau, baik-baik saja?"Sonia yang masih syok, hanya bisa mengangguk."Farel.. Anakku.""Farel? Dia ada di mana?"Sonia menunjuk ke lantai atas. Diara bergegas ke lantai atas. Membuka pintu kamar. Terlihat, Farel tengah berdiri dengan badan gemetar, di sebelah pintu. Diara berlutut di depannya."Semuanya sudah berakhir, Farel. Ka
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanya Haris. Duduk di sofa tunggal. Sementara, Tomi dan Diara duduk di sofa panjang. Di sebelah kirinya. "Entahlah. Mungkin sudah 30 tahun lebih? Sejak, kau menikah kita sudah tidak pernah bertemu," kata Tomi. Haris mengangguk. "Lalu, bagaimana kau tahu alamat rumahku? Apa.. kau memakai kekuatanmu menjadi Kepala Polisi, untuk melacak keberadaan ku?" Diara terbelalak. "Ayah, menjadi Kepala Polisi sekarang?" bisik Diara. "Oh.. Ayah belum cerita padamu?" "Wah.. keren sekali." Haris berdeham. Membuat Diara dan Tomi menatapnya. "Ah.. Diara yang memberitahu." Haris menatap Diara. "Dia.. anak Ranti?" Diara mendengus. Lalu, terkekeh. "Ayolah. Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu.. kau mengingat semuanya." "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kata Haris. "Kau masih ingin berbohong? Kau ingin aku percaya? Kau, tidak mengingat segalanya? Oh, Ayolah. Pertama kali, kau melihatku dan Ayahku tadi, kau tidak terkejut. Dulu kalian bersah
1992Tomi tengah menggendong Diara, yang tengah menangis karena sakit. Badannya demam sudah 2 hari. Mengayun tubuhnya, agar Diara segera tertidur. Butuh kerja keras selama 20 menit, untuk membuat Diara tidur."Dia sudah tidur?" tanya Ranti. Baru saja selesai mencuci baju."Iya. Baru saja.""Berikan padaku."Diara terbangun, ketika Ranti menyentuh tangannya. Seketika, menangis. Tomi mulai mengayun tubuhnya lagi."Biar aku saja," kata Tomi.Ranti mendesah singkat."Maaf, jadi merepotkan mu.""Hei, dia juga anakku. Kenapa harus mengatakan seperti itu.""Tapi, tetap saja..""Ingat, Ranti. Dia adalah anakku. Bukan anak orang kaya itu. Jadi.. jangan pernah sebutkan nama itu di depan Diara atau di depanku. Kau mengerti?"Ranti mengangguk paham.Keduanya menikah, saat usia kandungan Ranti masih 10 minggu. Tomi bergegas memberitahu orang tuanya, untuk segera meminang Ranti. Namun, Tomi juga menjelaskan kondisi Ranti. Cukup terkejut dengan itu, tapi, Tomi menjelaskan dengan baik. Dengan berat
2024Diara, Haris, dan Ranti saling berhadapan."Semuanya sudah berakhir, Bu. Kami.. berhasil menangkap Farel."Ranti tersenyum. Mendekati Diara. Menggenggam kedua tangannya."Kau sudah bekerja keras. Terima kasih, Diara.""Sekarang, Ibu bisa kembali ke sana dengan tenang. Jalani hidupmu yang sebelumnya hancur, karena laki-laki itu. Dan.. coba perbaiki hubunganmu dengan Nenek. Kau hanya perlu bersikap manis. Sesekali, makan bersama dengannya."Ranti mengangguk."Aku akan melakukan itu."Mata Ranti berkaca-kaca. Memeluk Diara."Maafkan Ibu, Diara. Selama ini, kau hidup dengan sangat tersiksa.""Tidak, Bu. Aku sudah cukup bahagia, bersama Bu Lia dan teman-temanku. Sampai jumpa di masa depan, Bu.""Kita bertemu lagi di masa kecilmu, ya? Ibu.. akan selalu ada di sampingmu sekarang."Setelahnya, Haris mengantarkan Ranti kembali ke masanya.Sekarang.. semuanya, akan baik-baik saja, kan?**"Ibu? Ibu? Di mana kau? Ibu?? Aku berhasil mengubahnya. Ibu?!"Diara berdiri di dapur, dengan terengah
Beberapa Jam Sebelum PenangkapanDiara dan yang lain kembali ke markas. Baru saja, selesai mengobati luka Haris dan Sinta."Hei, ada apa dengan Tomi?" tanya Haris pada Sinta. Tomi nampak lesu. Duduk di sudut. Sementara, Diara membereskan kotak obat."Laki-laki yang hampir menabrak ku tadi adalah kekasih Ranti," bisik Sinta."APA?" Haris nyaris berteriak."Pelan kan suaramu!""Tunggu.. jadi.. Ranti selingkuh dari Tomi?""Aku juga tidak tahu. Tapi, dari pengamatanku.. sepertinya, laki-laki tadi adalah kekasih pertama Ranti.""Jadi.. Tomi yang menjadi selingkuhannya?""Hmm, sepertinya tidak juga.""Lalu, bagaimana ceritanya? Kau ini, kalau bicara jangan sepotong demi sepotong. Menjengkelkan sekali."Sinta berdecak kesal. Lalu, berdeham."Ini menurutku.. cinta Tomi bertepuk sebelah tangan. Dan, mereka sebenarnya tidak pernah ada hubungan. Hanya saja, Tomi menganggap Ranti menerima cintanya. Kau tahu, kan? Ranti itu sangat baik hati. Dia.. tidak tega untuk mengatakan pada Tomi, jika ia su
Diara berada di markas DMA bersama yang lain. Mengulang kejadian, di saat mereka membahas kasus Rima. "Rima-""Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," sahut Diara. Memotong kalimat Tomi."Yap. Betul kata Ranti.""Orang tuanya sudah melapor. Namun, polisi belum menemukan petunjuk. Karena, si pelaku tidak meninggalkan jejak," jelas Diara.Tomi mendengus."Terima kasih, Sayang. Kau menjelaskan dengan sangat sempurna."Diara menggerakkan dua alisnya ke atas."Tidak ada saksi?" Sinta bertanya.Tomi menggeleng. Dan, Diara mendesah singkat."Kali ini, kalimatku akan cukup panjang," gumamnya, dengan nada lelah."Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. Lalu, mendesah panjang."Oh, bisakah kita segera pergi ke lokasinya? Tak jauh dari sini, kan? Haris ada 2 moto
Ketika manusia akan bertemu dengan ajalnya, maka.. akan di putarkan kisah hidupnya dari sejak ia di lahirkan, hingga di detik akhir hidupnya.Banyak manusia akan sangat menyesali perbuatannya semasa hidup. Tapi, juga akan banyak yang bersyukur dengan hidup yang ia jalani.Termasuk, manusia yang bergelar Ibu. Perjalanannya menjadi seorang Ibu, akan kembali di putar di hadapannya. Saat, berusaha untuk hamil. Lalu, mendapat kabar jika rahimnya sudah terisi malaikat kecil. Menjaganya sepenuh hati. Sampai, janin membesar dan sehat sempurna. Dan, ketika tiba janin tersebut di lahirkan. Bertaruh nyawa. Setengah mati. Menggendong bayinya pertama kali. Menyusui. Terjaga di setiap malam. Dia nikmati sendiri. Melihat senyuman pertama bayinya. Merasakan genggaman tangan mungil bayinya. Hingga, ia tumbuh besar. Kasih sayangnya, tak akan pernah pupus.Gambaran itu yang juga di lihat Ranti di sisa-sisa nafasnya, saat nyawanya hampir menghilang. Tersenyum dengan kesakitan. Tetesan air matanya untuk
"Haris.. kita perlu bicara," kata Sekar. Berdiri, agak jauh di belakangnya.Haris meletakkan kembali gagang telepon. Berbalik badan. Menatap Sekar lamat-lamat."Oh.. ada apa?"Sekar mendengus."Ada apa katamu? Dari mana saja kau?""Aku ada urusan.""Sangat penting urusanmu? Sampai, kau membiarkan Ayah dan Ibuku, menunggu di Restoran berjam-jam lamanya?"Haris tercengang. Menahan napas 1 detik."Ah.. maafkan aku. Aku.. lupa.""Lupa katamu? Tadi pagi, aku sudah mengingatkanmu, kan?""Iya. Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Nanti, biar aku menelepon Ayah dan Ibu, hm?"Sekar mendesah kesal."Kau.. masih berusaha mencari Ranti? Itu alasanmu tak datang tadi?"Haris diam. Menundukkan kepala."Kau tidak bisa menjawab? Yang artinya.. kau memang sengaja tidak datang tadi, karena tengah mencari Ranti. Kau sangat tega sekali, Haris."Haris membasahi bibirnya. Berjalan mendekat pada Sekar."Sungguh.. maafkan aku. Bagaimana, aku bisa menebus kesalahanku?"Sekar mengerutkan dahi."Kau.. benar Har