Sonia mengabarkan pada seluruh warga kampung, tentang perselingkuhan Kardi dan Ratmi.Warga berbondong-bondong pergi ke rumah Pak Lurah. Memaksa Pak Lurah agar melepas jabatannya. Dan, mengusir Ratmi dari kampung.Beberapa warga pria, menyeret Ratmi dari rumah yang diberikan oleh Kardi. Mendorongnya. Hingga, ia jatuh terjerembab. Di dekat Ayahnya.Ratmi hanya memakai kamisol hitam dan jarit cokelat gelap. Rambutnya pun tak sempat ia gulung."Anakmu sudah membuat malu warga kampung! Tidak sepantasnya, anak perawan bermain api dengan pria yang sudah memiliki istri!" kata salah satu laki-laki, berkulit eksotis. Bertelanjang dada. Memakai celana kain hitam, panjang."Susilo! Kau harus bertanggung jawab! Kau sudah tidak pantas menjadi kepala desa di sini! Kami menuntut mu, agar melepas jabatanmu!"Susilo. Pria paruh baya, berwajah licik. Berkumis tebal."Mereka saling mencintai. Apa tidak sebaiknya, kita biarkan mereka?" kata Susilo.Semakin menyulut emosi para warga."Kau sudah tak waras,
Hujan rintik-rintik. Para warga berkumpul di pemakaman. Mengelilingi tanah yang berlubang. Ukuran 2,5 × 1,5. Jasad Sonia yang sudah terbujur kaku. Di bungkus kain mori.Kardi berpura-pura sedih. Ikut turun untuk menyerukan adzan. Setiap manusia yang lahir, tidak memakai sehelai pun benang. Seorang Ayah akan menyerukan adzan di telinga kanan. Sementara, iqamah di telinga kiri. Pun, saat jiwa manusia meninggalkan tubuhnya. Tidak ada satu pun harta yang bisa di bawanya. Pakaian kesukaan miliknya pun, di tinggalkan begitu saja. Di mandikan. Sebagaimana, ketika bayi juga di mandikan. Dan, semua yang berasal dari tanah—akan kembali ke tanah.Kardi sudah selesai mengumandangkan adzan untuk Sonia. Satu-satu para Bapak yang membantu meletakkan jasad Sonia ke liang kubur, naik ke atas.Ketika Kardi akan naik ke atas, seseorang yang mengulurkan tangan untuk menolongnya, di tarik oleh Farel."KUBUR DIA BERSAMA IBUKU! DIA TAK PANTAS HIDUP!" teriak Farel."Farel? Dari mana saja kau? Kenapa kau baru
"Kenapa Ibu suka mendengarkan lagu?" tanya Farel, yang kala itu masih berusia 6 tahun. Duduk di sebelah Sonia."Lagu.. memiliki melodi yang indah. Juga, lirik yang menyenangkan. Hati Ibu.. merasa tenang, ketika mendengar alunan musik yang tenang. Beban dan masalah Ibu rasanya hilang seketika. Seperti, saat Ibu melihatmu. Kau.. seperti lagu cinta yang indah bagi Ibu."** "KARDI!"Kardi yang baru saja akan memilih tempat duduk, menengok. Dan, terkejut melihat Farel ada di luar restoran. Segera menghampirinya."Farel? Ini benar, kau? Astaga.. aku sudah lama mencarimu. Kemana saja kau selama ini?"Kardi memeluk Farel, yang hanya diam saja. Sementara, Dian yang melenggang santai dengan melipat tangan di dada, menatap kesal pada Farel.Penampilannya sudah tak seperti dulu. Pun, juga tak menggambarkan pribadi Dian. Dia meniru gaya berpakaian Sonia. Senang memakai gaun panjang, di bawah lutut. Mengembang di bawah. Ketat di atas. Bermotif bunga. Rambut di gulung menjadi satu. Dan, memakai ban
Setelah membalas dendam pada beberapa warga kampung, Farel kembali ke rumah Bu Lia. Pagi-pagi. Setelah membersihkan darah dari tubuhnya, dan berganti pakaian. Bukan darahnya tentu saja. Percikan-percikan darah dari Dian, Sarmi, dan beberapa warga desa yang di bantainya."Farel? Dari mana saja kau?" tanya Bu Lia, membuka pintu.Farel diam. Menggandeng tangan Bu Lia. Masuk ke dalam kamarnya."Duduk," pinta Farel."Ada apa, Farel?"Bu Lia duduk di kursi kayu cokelat, yang memiliki sandaran. Sementara, Farel mengambil tas, yang ia letakkan di bawah ranjang. Mengeluarkan bajunya. Dan, satu baju yang di gulungnya rapi. Di bukanya.Bu Lia segera terkesiap."Farel.. perhiasan dan uang milik siapa ini?""Ini semua adalah milik Ibuku. Dan, sekarang akan menjadi milik Bibi.""Apa? Kenapa kau memberikannya padaku?""Pakailah ini untuk kebutuhanmu. Membeli rumah.""Tidak, Farel. Aku tidak membutuhkan ini.""Bibi.. tolong terima. Selama ini, kau memberiku tempat tinggal, makan dan merawat ku. Seka
1989Sejak menghilangkan nyawa pelanggan pertamanya tahun lalu, Farel mula mengincar siswi SMU 999, yang gedung sekolahnya, hanya berjarak beberapa meter dari toko kasetnya.PTSD ; POST TRAUMATIC STRESS DISORDER ; Kondisi masalah mental yang terjadi karena seseorang mengalami kejadian traumatis. Adalah yang di alami oleh Farel. Menghidupkan peristiwa traumatis, yang pernah di alaminya. Seakan peristiwa tersebut terjadi lagi. Yaitu, kejadian saat Dian membunuh Sonia.Penderita PTSD tidak bisa di abaikan. Dan, harus segera di tangani. Hanya saja, medis di Indonesia dulu belum semaju sekarang. Dan, Farel juga tak pernah menceritakan itu pada orang lain. Kecuali, Martin. Pertemuan pertamanya dengan Martin, adalah di bulan Desember, tahun kemarin.**Pukul 22.00. Martin baru saja pulang kerja. Mengendarai sepeda onthelnya. Ia mengayuh sepedanya dengan cepat. Seolah-olah, ia takut akan sesuatu."Hei, bodoh! Kenapa cepat sekali?!" pekik, kawan kerjanya, yang membuntuti. Juga, memakai sepeda
Malam Saat Sinta TerbunuhSinta baru selesai mandi. Masuk ke dalam kamar. Menyisir rambutnya yang basah. Di saat yang sama, Romi ; Ayahnya, membuka pintu."Sinta.. bisa tolong belikan obat nyamuk?"Sinta hanya menjawab dengan anggukan. Dan, segera pergi ke toko kelontong, yang tak jauh dari rumahnya. Sementara, di lokasi lain, namun, masih di area rumah Sinta.. seorang gadis tengah berjuang untuk melindungi nyawanya, dari serangan Farel. Ia menahan sekuat mungkin, pisau yang ujungnya sudah ada tepat di depan matanya. Dengan posisi yang telentang, ia menggenggam erat pisau tersebut. Sedangkan, Farel juga dengan sekuat tenaga, berusaha menusukkan pisau miliknya.Namun, gadis itu menendang bagian vital Farel, yang membuatnya terguling ke samping. Dan, meringis kesakitan.Kesempatan itu, tidak di sia-siakan oleh gadis tersebut. Berdiri dengan cepat-cepat dan berlari, keluar dari rumah. Lurus. Dan, berbelok pada gang kecil.Sementara, Sinta berjalan kembali ke rumah. Di jalanan yang sepi s
"Tidak. Tidak ada yang boleh kembali ke sana!" tegas Haris."Aku tidak bisa membiarkan Sinta terbunuh seperti itu! Aku harus mencegah itu terjadi!" kata Diara. Berdiri di hadapan Haris. Di ruangan Haris.Ranti, Darel, Selly dan Rendi juga ada di situ."Dan, aku juga tidak bisa membiarkan kau dalam bahaya. Tahun itu.. sungguh tahun mencekam untuk kami semua, Diara.""Kau tahu, pelakunya, kan? Kita kembali kesana, lalu tangkap pelakunya. Dengan begitu, Sinta tidak akan terbunuh.""Lagipula, dia akan tetap terbunuh suatu saat nanti. Itu sudah takdirnya."Diara mendesah kesal."Kita harus membantu Sinta. Agar, Mila juga bisa hidup dengannya."Haris mengerutkan kening."Siapa Mila?""Hei, jangan bercanda.""Sungguh, aku tidak tahu. Siapa dia?"Diara mengerutkan kening. Sembari, tersenyum bingung."Dia temanmu?" tanya Rendi.Diara menengok pada Rendi."Kau juga.. jangan bercanda denganku.""Hm?"Dari ekspresi Rendi, terlihat dia benar-benar tidak mengenal Mila.Diara terkekeh takut."Kalian
1992SEBELUM DIARA MELAKUKAN PERJALANAN WAKTURanti curiga Farel berselingkuh. Karena, setelah toko tutup, ia selalu pergi keluar. Dan, pulang larut malam.Hari ini, dia pun mengikuti Farel. Dengan menggendong Diara yang masih bayi. Mengendarai motor milik Farel. Sementara, Farel mengendarai jeep miliknya.Sekitar 1 jam lebih, ia mengikuti Farel, yang akhirnya berhenti di satu rumah mewah. Di dalam kampung. Adalah, rumah Sonia. Yang tak pernah di ceritakan pada Ranti."Rumah siapa ini?" gumam Ranti. Celingukan di depan gerbang."Siapa.. kau?" Seorang wanita paruh baya, yang melintas, menegur Ranti.Ranti berbalik badan. Menghampiri wanita tersebut."Anda.. tinggal di daerah sini?" tanya Ranti."Iya. Kau.. sepertinya bukan warga kampung sini.""Iya. Saya dari Kota. Kalau boleh tahu, ini rumah siapa?""Itu.. rumah Pak Kardi. Satu-satunya orang paling kaya di kampung ini.""Ah, begitu. Lalu, apa mereka memiliki anak?"Wanita itu mengangguk."Anak laki-laki. Satu-satunya.""Apa.. namanya