Setelah membalas dendam pada beberapa warga kampung, Farel kembali ke rumah Bu Lia. Pagi-pagi. Setelah membersihkan darah dari tubuhnya, dan berganti pakaian. Bukan darahnya tentu saja. Percikan-percikan darah dari Dian, Sarmi, dan beberapa warga desa yang di bantainya."Farel? Dari mana saja kau?" tanya Bu Lia, membuka pintu.Farel diam. Menggandeng tangan Bu Lia. Masuk ke dalam kamarnya."Duduk," pinta Farel."Ada apa, Farel?"Bu Lia duduk di kursi kayu cokelat, yang memiliki sandaran. Sementara, Farel mengambil tas, yang ia letakkan di bawah ranjang. Mengeluarkan bajunya. Dan, satu baju yang di gulungnya rapi. Di bukanya.Bu Lia segera terkesiap."Farel.. perhiasan dan uang milik siapa ini?""Ini semua adalah milik Ibuku. Dan, sekarang akan menjadi milik Bibi.""Apa? Kenapa kau memberikannya padaku?""Pakailah ini untuk kebutuhanmu. Membeli rumah.""Tidak, Farel. Aku tidak membutuhkan ini.""Bibi.. tolong terima. Selama ini, kau memberiku tempat tinggal, makan dan merawat ku. Seka
1989Sejak menghilangkan nyawa pelanggan pertamanya tahun lalu, Farel mula mengincar siswi SMU 999, yang gedung sekolahnya, hanya berjarak beberapa meter dari toko kasetnya.PTSD ; POST TRAUMATIC STRESS DISORDER ; Kondisi masalah mental yang terjadi karena seseorang mengalami kejadian traumatis. Adalah yang di alami oleh Farel. Menghidupkan peristiwa traumatis, yang pernah di alaminya. Seakan peristiwa tersebut terjadi lagi. Yaitu, kejadian saat Dian membunuh Sonia.Penderita PTSD tidak bisa di abaikan. Dan, harus segera di tangani. Hanya saja, medis di Indonesia dulu belum semaju sekarang. Dan, Farel juga tak pernah menceritakan itu pada orang lain. Kecuali, Martin. Pertemuan pertamanya dengan Martin, adalah di bulan Desember, tahun kemarin.**Pukul 22.00. Martin baru saja pulang kerja. Mengendarai sepeda onthelnya. Ia mengayuh sepedanya dengan cepat. Seolah-olah, ia takut akan sesuatu."Hei, bodoh! Kenapa cepat sekali?!" pekik, kawan kerjanya, yang membuntuti. Juga, memakai sepeda
Malam Saat Sinta TerbunuhSinta baru selesai mandi. Masuk ke dalam kamar. Menyisir rambutnya yang basah. Di saat yang sama, Romi ; Ayahnya, membuka pintu."Sinta.. bisa tolong belikan obat nyamuk?"Sinta hanya menjawab dengan anggukan. Dan, segera pergi ke toko kelontong, yang tak jauh dari rumahnya. Sementara, di lokasi lain, namun, masih di area rumah Sinta.. seorang gadis tengah berjuang untuk melindungi nyawanya, dari serangan Farel. Ia menahan sekuat mungkin, pisau yang ujungnya sudah ada tepat di depan matanya. Dengan posisi yang telentang, ia menggenggam erat pisau tersebut. Sedangkan, Farel juga dengan sekuat tenaga, berusaha menusukkan pisau miliknya.Namun, gadis itu menendang bagian vital Farel, yang membuatnya terguling ke samping. Dan, meringis kesakitan.Kesempatan itu, tidak di sia-siakan oleh gadis tersebut. Berdiri dengan cepat-cepat dan berlari, keluar dari rumah. Lurus. Dan, berbelok pada gang kecil.Sementara, Sinta berjalan kembali ke rumah. Di jalanan yang sepi s
"Tidak. Tidak ada yang boleh kembali ke sana!" tegas Haris."Aku tidak bisa membiarkan Sinta terbunuh seperti itu! Aku harus mencegah itu terjadi!" kata Diara. Berdiri di hadapan Haris. Di ruangan Haris.Ranti, Darel, Selly dan Rendi juga ada di situ."Dan, aku juga tidak bisa membiarkan kau dalam bahaya. Tahun itu.. sungguh tahun mencekam untuk kami semua, Diara.""Kau tahu, pelakunya, kan? Kita kembali kesana, lalu tangkap pelakunya. Dengan begitu, Sinta tidak akan terbunuh.""Lagipula, dia akan tetap terbunuh suatu saat nanti. Itu sudah takdirnya."Diara mendesah kesal."Kita harus membantu Sinta. Agar, Mila juga bisa hidup dengannya."Haris mengerutkan kening."Siapa Mila?""Hei, jangan bercanda.""Sungguh, aku tidak tahu. Siapa dia?"Diara mengerutkan kening. Sembari, tersenyum bingung."Dia temanmu?" tanya Rendi.Diara menengok pada Rendi."Kau juga.. jangan bercanda denganku.""Hm?"Dari ekspresi Rendi, terlihat dia benar-benar tidak mengenal Mila.Diara terkekeh takut."Kalian
1992SEBELUM DIARA MELAKUKAN PERJALANAN WAKTURanti curiga Farel berselingkuh. Karena, setelah toko tutup, ia selalu pergi keluar. Dan, pulang larut malam.Hari ini, dia pun mengikuti Farel. Dengan menggendong Diara yang masih bayi. Mengendarai motor milik Farel. Sementara, Farel mengendarai jeep miliknya.Sekitar 1 jam lebih, ia mengikuti Farel, yang akhirnya berhenti di satu rumah mewah. Di dalam kampung. Adalah, rumah Sonia. Yang tak pernah di ceritakan pada Ranti."Rumah siapa ini?" gumam Ranti. Celingukan di depan gerbang."Siapa.. kau?" Seorang wanita paruh baya, yang melintas, menegur Ranti.Ranti berbalik badan. Menghampiri wanita tersebut."Anda.. tinggal di daerah sini?" tanya Ranti."Iya. Kau.. sepertinya bukan warga kampung sini.""Iya. Saya dari Kota. Kalau boleh tahu, ini rumah siapa?""Itu.. rumah Pak Kardi. Satu-satunya orang paling kaya di kampung ini.""Ah, begitu. Lalu, apa mereka memiliki anak?"Wanita itu mengangguk."Anak laki-laki. Satu-satunya.""Apa.. namanya
1992MALAM SAAT TOMI TERBUNUH "Martin.. adalah tangan kananku," kata Farel.Lantas, melepas topinya. Membuat Tomi terbelalak. Meski, ia sudah menduga. Tapi, ia tetap saja terkejut. Mendesah kesal."Dan, kau.. membunuh gadis yang sangat mencintaimu? Kau benar-benar brengsek!""Diam! Ranti.. dia berselingkuh dengan Haris!""Apa? Omong kosong macam apa itu?! Kami semua bersahabat!"Farel mendengus."Sahabat? Ah, dalam persahabatan kalian.. apakah sah-sah saja, jika mencicipi tubuh sahabat gadisnya? Hingga, ia hamil?"Tomi mengerutkan kening."Ranti.. hamil? Dengan Haris?""Ya! Dia mengatakannya sendiri!""Tidak. Tidak mungkin itu terjadi! Haris memang menyukai Ranti! Bahkan, aku! Juga menyukainya. Tapi.. Ranti menolak kami. Dia.. mengatakan jika sudah memiliki kekasih, yang sangat di cintainya. Dan, itu adalah kau, brengsek!"Farel terdiam. Rasa penyesalan tiba-tiba muncul kembali. Ia menggeram kesal."Diam, kau brengsek! Kau terlalu banyak bicara! Kau.. tidak takut sekarang? Aku bisa s
"Farel," katanya.Farel tercekat. Terbelalak. Menelan ludah gugup."Apa.. kau pernah mendengar nama itu?" Lanjutnya.Farel terdiam beberapa saat."Oh.. entahlah. Banyak orang yang bernama Farel."Bu Lia tersenyum samar."Kau benar juga. Sepertinya, aku memang salah paham tentangmu."Bu Lia mendesah berat."Kenapa memang?""Wajahmu.. sangat mirip dengan laki-laki bernama Farel. Aku.. mengenalnya pada tahun 1983. Dia.. anak yang baik, sopan. Dan.. berkat dialah, panti asuhan ini dapat berdiri."Farel memasang wajah poker."Dia.. sangat berarti untukmu?""Tentu. Dia.. mengubah hidupku. Aku.. selalu mencari tahu tentang hidupnya. Meski, dia selalu melarangku untuk berhubungan lagi dengannya.""Kenapa kau lakukan itu? Kau.. takut dia berbuat jahat di luar sana?""Karena aku takut, dia akan terluka di luar sana."Farel terhenyak. Mendengar jawaban dari Bu Lia."Kau khawatir dengannya?""Iya. Apalagi, setelah aku tahu.. apa yang dia perbuat."Mata Farel melebar. Membasahi bibirnya. Mendesah
Diara baru saja tiba di rumah Haris. Bersama Ranti. Tanpa basa-basi, dia segera naik ke lantai 2. Berbelok ke kiri. Melewati lorong pendek. Dan, masuk ke ruangan Haris. Di mana, ia siap memaki Haris. Namun, ia tak ada di sana."Kemana si tua brengsek ini?!" rutuk Diara."Diara.. jaga bicaramu. Bagaimanapun, dia lebih tua darimu," kata Ranti, berdiri di belakang Diara.Diara berdeham."Sudah aku katakan, Tuan tidak ada di rumah, Nona," jelas asisten rumah tangga."Lantas, kemana dia?""Aku juga tidak tahu.""Sialan! Apa dia berusaha menghindar dariku?!""Coba telepon dia," gagas Ranti.Diara mengeluarkan ponsel, dari dalam tas selempangnya. Menghubungi Haris berkali-kali. Namun, tidak satu pun panggilannya di jawab oleh Haris."Ini sudah jelas.. dia menghindari ku.""Kita keluar dulu, Bu," ajak Diara.Keduanya pun turun. Di saat yang sama, Sekar muncul dari arah dapur."Ranti.. kau sudah datang?"Ranti menengok. Melihat Sekar, berjalan menghampirinya."Ranti.. kau tahu, berapa lama Har