"Tidak. Tidak ada yang boleh kembali ke sana!" tegas Haris."Aku tidak bisa membiarkan Sinta terbunuh seperti itu! Aku harus mencegah itu terjadi!" kata Diara. Berdiri di hadapan Haris. Di ruangan Haris.Ranti, Darel, Selly dan Rendi juga ada di situ."Dan, aku juga tidak bisa membiarkan kau dalam bahaya. Tahun itu.. sungguh tahun mencekam untuk kami semua, Diara.""Kau tahu, pelakunya, kan? Kita kembali kesana, lalu tangkap pelakunya. Dengan begitu, Sinta tidak akan terbunuh.""Lagipula, dia akan tetap terbunuh suatu saat nanti. Itu sudah takdirnya."Diara mendesah kesal."Kita harus membantu Sinta. Agar, Mila juga bisa hidup dengannya."Haris mengerutkan kening."Siapa Mila?""Hei, jangan bercanda.""Sungguh, aku tidak tahu. Siapa dia?"Diara mengerutkan kening. Sembari, tersenyum bingung."Dia temanmu?" tanya Rendi.Diara menengok pada Rendi."Kau juga.. jangan bercanda denganku.""Hm?"Dari ekspresi Rendi, terlihat dia benar-benar tidak mengenal Mila.Diara terkekeh takut."Kalian
1992SEBELUM DIARA MELAKUKAN PERJALANAN WAKTURanti curiga Farel berselingkuh. Karena, setelah toko tutup, ia selalu pergi keluar. Dan, pulang larut malam.Hari ini, dia pun mengikuti Farel. Dengan menggendong Diara yang masih bayi. Mengendarai motor milik Farel. Sementara, Farel mengendarai jeep miliknya.Sekitar 1 jam lebih, ia mengikuti Farel, yang akhirnya berhenti di satu rumah mewah. Di dalam kampung. Adalah, rumah Sonia. Yang tak pernah di ceritakan pada Ranti."Rumah siapa ini?" gumam Ranti. Celingukan di depan gerbang."Siapa.. kau?" Seorang wanita paruh baya, yang melintas, menegur Ranti.Ranti berbalik badan. Menghampiri wanita tersebut."Anda.. tinggal di daerah sini?" tanya Ranti."Iya. Kau.. sepertinya bukan warga kampung sini.""Iya. Saya dari Kota. Kalau boleh tahu, ini rumah siapa?""Itu.. rumah Pak Kardi. Satu-satunya orang paling kaya di kampung ini.""Ah, begitu. Lalu, apa mereka memiliki anak?"Wanita itu mengangguk."Anak laki-laki. Satu-satunya.""Apa.. namanya
1992MALAM SAAT TOMI TERBUNUH "Martin.. adalah tangan kananku," kata Farel.Lantas, melepas topinya. Membuat Tomi terbelalak. Meski, ia sudah menduga. Tapi, ia tetap saja terkejut. Mendesah kesal."Dan, kau.. membunuh gadis yang sangat mencintaimu? Kau benar-benar brengsek!""Diam! Ranti.. dia berselingkuh dengan Haris!""Apa? Omong kosong macam apa itu?! Kami semua bersahabat!"Farel mendengus."Sahabat? Ah, dalam persahabatan kalian.. apakah sah-sah saja, jika mencicipi tubuh sahabat gadisnya? Hingga, ia hamil?"Tomi mengerutkan kening."Ranti.. hamil? Dengan Haris?""Ya! Dia mengatakannya sendiri!""Tidak. Tidak mungkin itu terjadi! Haris memang menyukai Ranti! Bahkan, aku! Juga menyukainya. Tapi.. Ranti menolak kami. Dia.. mengatakan jika sudah memiliki kekasih, yang sangat di cintainya. Dan, itu adalah kau, brengsek!"Farel terdiam. Rasa penyesalan tiba-tiba muncul kembali. Ia menggeram kesal."Diam, kau brengsek! Kau terlalu banyak bicara! Kau.. tidak takut sekarang? Aku bisa s
"Farel," katanya.Farel tercekat. Terbelalak. Menelan ludah gugup."Apa.. kau pernah mendengar nama itu?" Lanjutnya.Farel terdiam beberapa saat."Oh.. entahlah. Banyak orang yang bernama Farel."Bu Lia tersenyum samar."Kau benar juga. Sepertinya, aku memang salah paham tentangmu."Bu Lia mendesah berat."Kenapa memang?""Wajahmu.. sangat mirip dengan laki-laki bernama Farel. Aku.. mengenalnya pada tahun 1983. Dia.. anak yang baik, sopan. Dan.. berkat dialah, panti asuhan ini dapat berdiri."Farel memasang wajah poker."Dia.. sangat berarti untukmu?""Tentu. Dia.. mengubah hidupku. Aku.. selalu mencari tahu tentang hidupnya. Meski, dia selalu melarangku untuk berhubungan lagi dengannya.""Kenapa kau lakukan itu? Kau.. takut dia berbuat jahat di luar sana?""Karena aku takut, dia akan terluka di luar sana."Farel terhenyak. Mendengar jawaban dari Bu Lia."Kau khawatir dengannya?""Iya. Apalagi, setelah aku tahu.. apa yang dia perbuat."Mata Farel melebar. Membasahi bibirnya. Mendesah
Diara baru saja tiba di rumah Haris. Bersama Ranti. Tanpa basa-basi, dia segera naik ke lantai 2. Berbelok ke kiri. Melewati lorong pendek. Dan, masuk ke ruangan Haris. Di mana, ia siap memaki Haris. Namun, ia tak ada di sana."Kemana si tua brengsek ini?!" rutuk Diara."Diara.. jaga bicaramu. Bagaimanapun, dia lebih tua darimu," kata Ranti, berdiri di belakang Diara.Diara berdeham."Sudah aku katakan, Tuan tidak ada di rumah, Nona," jelas asisten rumah tangga."Lantas, kemana dia?""Aku juga tidak tahu.""Sialan! Apa dia berusaha menghindar dariku?!""Coba telepon dia," gagas Ranti.Diara mengeluarkan ponsel, dari dalam tas selempangnya. Menghubungi Haris berkali-kali. Namun, tidak satu pun panggilannya di jawab oleh Haris."Ini sudah jelas.. dia menghindari ku.""Kita keluar dulu, Bu," ajak Diara.Keduanya pun turun. Di saat yang sama, Sekar muncul dari arah dapur."Ranti.. kau sudah datang?"Ranti menengok. Melihat Sekar, berjalan menghampirinya."Ranti.. kau tahu, berapa lama Har
"Cepat, Haris! Kau tidak sayang dengan cinta pertamamu ini?!" gertak Diara.Haris mendesah kesal. Mengeluarkan alat yang ada di sakunya. Kecil. Tapi, seperti remote. Hanya ada 1 tombol."Letakkan itu pada meja."Haris mengikuti perintah Diara. "Lalu, berdiri. Dan, menjauh dari meja."Dilakukan juga oleh Haris."Ambil itu," perintah Diara pada Ranti.Lantas, keduanya berdiri. Berjalan perlahan. Dengan langkah mundur."Aku sudah memberikan itu padamu. Lepaskan Ibumu, Diara. Jangan menjadi anak durhaka."Diara mendengus."Jangan mengajariku, Haris. Perbuatanmu.. lebih dari durhaka. Kau, menghancurkan hidup semua orang, hanya untuk mencapai bahagiamu.""Aku tahu. Maafkan aku. Tolong, jangan lukai Ranti.""Kalau kau tidak ingin dia terluka.. maka, jangan ikuti kami, Haris.""Aku paham. Aku mengerti. Tapi, Diara.. bisakah kau berhenti memanggil namaku? Aku Ayahmu. Ayah kandungmu.""Aku tidak memiliki Ayah, Haris. Sejak kecil.. aku hidup di panti asuhan."Haris mendesah gugup.Diara terus b
2023Setelah makan siang bersama, Diara mendekati Bu Lia dan mengajaknya masuk ke dalam ruangan."Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Bu Lia.Diara mendesah panjang, sebelum mulai bicara."Soal suami Ibuku.. apa kau mengenalnya?"Bu Lia mengerutkan kening."Suami Ibumu? Kenapa kau menanyakan itu?""Kau pernah mengatakan.. jika, Farel mirip dengan Hara. Yang berarti, kau pernah bertemu dengannya, kan?""Aku mengatakan seperti itu? Dan, darimana kau tahu nama Ayahmu adalah Farel?"Diara terdiam. Dengan mulut setengah terbuka."Aku lupa.. jika sekarang masih tahun 2023," kata Diara dalam hati."Ah.. kau tidak pernah bilang seperti itu?"Bu Lia menggelengkan kepala."Oh.. mungkin.. itu hanya mimpiku saja. Hehe.""Kalau begitu, aku keluar dulu," lanjutnya.Diara berjalan. Melangkahkan kaki. Dengan mendesis kesal. Kesal akan dirinya sendiri."Diara.." panggil Bu Lia.Diara berbalik badan."Kenapa.. kau tiba-tiba menanyakan soal orang tuamu?""Tidak apa-apa. Hanya.. penasaran saja."Bu Lia
Diara duduk di tepi ranjang, di apartemennya. Memandang udara kosong di depannya. Mulutnya sedikit terbuka. Kalimat mengerikan dari Farel di studio hari kemarin, membuatnya tak dapat terpejam."Farel.. si brengsek itu.. benar-benar mengerikan. Aku.. harus melindungi Mila."**3 Hari KemudianDiara berada di studio dengan Selly dan lainnya, yang tengah kebingungan karena Mila dan Hara tidak dapat di hubungi."Ini.. adalah waktu ketika, aku tahu Mila mengunggah foto sepatu Hara di apartemennya," kata Diara dalam hati."Diara.. kenapa kau terlihat tenang? Suamimu menghilang, sudah beberapa hari yang lalu. Bukankah, kita harus melapor pada polisi?" ucap Selly.Mereka berkumpul di tengah panggung."Tidak. Sebentar lagi, kita juga akan tahu dia ada di mana.""Oh, sungguh? Kau yakin sekali?""Tentu saja, aku yakin. Aku sudah pernah mengalami ini sebelumnya.""Oh?""Ah, maksud ku.. ah, sudahlah. Lihat saja, beberapa menit kemudian. Kau yang akan memberitahuku di mana Fa—Hara berada.""Aku? Ak
Diara melebarkan mata. Tersenyum gembira."Kita sahabat?""Heh? Kau, sudah tak ingin berteman denganku? Wah.. keterlaluan sekali. Mentang-mentang, kau baru saja memenangkan penghargaan Sutradara terbaik, kau jadi melupakanku."Diara memeluk Selly erat-erat."Mana mungkin, aku bisa melupakanmu. Susah dan senang, kita selalu bersama.""Well, benar juga. Aku bisa sampai di titik ini, juga karena dirimu dan teatermu."Diara melepaskan pelukan."Lalu, ada urusan apa kau kemari? Juga, Darel.. kenapa kau di sini?""Aku ada rapat pembacaan naskah. Tapi, Diara.. kenapa kau bisa kenal dengan kekasihku?""Kekasihmu? Kalian.. berpacaran? Bagaimana bisa? Seharusnya, aku yang mempertemukan kalian. Wah, kalau memang sudah takdirnya, jodoh pun tak dapat di rubah.""Kau ini bicara apa?""Sayang.. kau kenal Diara?" lanjut Selly."Tidak. Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya? Aku lihat-lihat, wajahmu juga tidak asing bagiku.""Hehe. Mungkin, kau tidak kenal denganku. Tapi.. aku sangat mengenalmu. Terutam
1983 "Dian! Cepat!" Dian yang sedikit ragu, akhirnya berlari ke arah Sonia. Di saat yang sama, Tomi mendobrak pintu. Dan, mengacungkan senjata."BERHENTI! LEMPARKAN PISAU ITU KE SAMPING. DAN, ANGKAT TANGAN KALIAN!"Dian yang panik, segera melempar pisau. Dan, bergerak sesuai perintah."Itu juga berlaku untukmu, pria brengsek! kata Tomi pada Kardi."Wah.. Tomi terlihat keren. Seandainya, aku perempuan.. aku akan menikahinya," celetuk Haris.Membuat Diara mengerutkan dahi. Menatapnya heran. Sementara, Kardi melepaskan Sonia."Kalian berdua, merapat ke tembok. Dan, jangan pernah menengok ke belakang!" perintah Tomi.Setelah itu, Diara segera menghampiri Sonia."Kau, baik-baik saja?"Sonia yang masih syok, hanya bisa mengangguk."Farel.. Anakku.""Farel? Dia ada di mana?"Sonia menunjuk ke lantai atas. Diara bergegas ke lantai atas. Membuka pintu kamar. Terlihat, Farel tengah berdiri dengan badan gemetar, di sebelah pintu. Diara berlutut di depannya."Semuanya sudah berakhir, Farel. Ka
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanya Haris. Duduk di sofa tunggal. Sementara, Tomi dan Diara duduk di sofa panjang. Di sebelah kirinya. "Entahlah. Mungkin sudah 30 tahun lebih? Sejak, kau menikah kita sudah tidak pernah bertemu," kata Tomi. Haris mengangguk. "Lalu, bagaimana kau tahu alamat rumahku? Apa.. kau memakai kekuatanmu menjadi Kepala Polisi, untuk melacak keberadaan ku?" Diara terbelalak. "Ayah, menjadi Kepala Polisi sekarang?" bisik Diara. "Oh.. Ayah belum cerita padamu?" "Wah.. keren sekali." Haris berdeham. Membuat Diara dan Tomi menatapnya. "Ah.. Diara yang memberitahu." Haris menatap Diara. "Dia.. anak Ranti?" Diara mendengus. Lalu, terkekeh. "Ayolah. Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu.. kau mengingat semuanya." "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kata Haris. "Kau masih ingin berbohong? Kau ingin aku percaya? Kau, tidak mengingat segalanya? Oh, Ayolah. Pertama kali, kau melihatku dan Ayahku tadi, kau tidak terkejut. Dulu kalian bersah
1992Tomi tengah menggendong Diara, yang tengah menangis karena sakit. Badannya demam sudah 2 hari. Mengayun tubuhnya, agar Diara segera tertidur. Butuh kerja keras selama 20 menit, untuk membuat Diara tidur."Dia sudah tidur?" tanya Ranti. Baru saja selesai mencuci baju."Iya. Baru saja.""Berikan padaku."Diara terbangun, ketika Ranti menyentuh tangannya. Seketika, menangis. Tomi mulai mengayun tubuhnya lagi."Biar aku saja," kata Tomi.Ranti mendesah singkat."Maaf, jadi merepotkan mu.""Hei, dia juga anakku. Kenapa harus mengatakan seperti itu.""Tapi, tetap saja..""Ingat, Ranti. Dia adalah anakku. Bukan anak orang kaya itu. Jadi.. jangan pernah sebutkan nama itu di depan Diara atau di depanku. Kau mengerti?"Ranti mengangguk paham.Keduanya menikah, saat usia kandungan Ranti masih 10 minggu. Tomi bergegas memberitahu orang tuanya, untuk segera meminang Ranti. Namun, Tomi juga menjelaskan kondisi Ranti. Cukup terkejut dengan itu, tapi, Tomi menjelaskan dengan baik. Dengan berat
2024Diara, Haris, dan Ranti saling berhadapan."Semuanya sudah berakhir, Bu. Kami.. berhasil menangkap Farel."Ranti tersenyum. Mendekati Diara. Menggenggam kedua tangannya."Kau sudah bekerja keras. Terima kasih, Diara.""Sekarang, Ibu bisa kembali ke sana dengan tenang. Jalani hidupmu yang sebelumnya hancur, karena laki-laki itu. Dan.. coba perbaiki hubunganmu dengan Nenek. Kau hanya perlu bersikap manis. Sesekali, makan bersama dengannya."Ranti mengangguk."Aku akan melakukan itu."Mata Ranti berkaca-kaca. Memeluk Diara."Maafkan Ibu, Diara. Selama ini, kau hidup dengan sangat tersiksa.""Tidak, Bu. Aku sudah cukup bahagia, bersama Bu Lia dan teman-temanku. Sampai jumpa di masa depan, Bu.""Kita bertemu lagi di masa kecilmu, ya? Ibu.. akan selalu ada di sampingmu sekarang."Setelahnya, Haris mengantarkan Ranti kembali ke masanya.Sekarang.. semuanya, akan baik-baik saja, kan?**"Ibu? Ibu? Di mana kau? Ibu?? Aku berhasil mengubahnya. Ibu?!"Diara berdiri di dapur, dengan terengah
Beberapa Jam Sebelum PenangkapanDiara dan yang lain kembali ke markas. Baru saja, selesai mengobati luka Haris dan Sinta."Hei, ada apa dengan Tomi?" tanya Haris pada Sinta. Tomi nampak lesu. Duduk di sudut. Sementara, Diara membereskan kotak obat."Laki-laki yang hampir menabrak ku tadi adalah kekasih Ranti," bisik Sinta."APA?" Haris nyaris berteriak."Pelan kan suaramu!""Tunggu.. jadi.. Ranti selingkuh dari Tomi?""Aku juga tidak tahu. Tapi, dari pengamatanku.. sepertinya, laki-laki tadi adalah kekasih pertama Ranti.""Jadi.. Tomi yang menjadi selingkuhannya?""Hmm, sepertinya tidak juga.""Lalu, bagaimana ceritanya? Kau ini, kalau bicara jangan sepotong demi sepotong. Menjengkelkan sekali."Sinta berdecak kesal. Lalu, berdeham."Ini menurutku.. cinta Tomi bertepuk sebelah tangan. Dan, mereka sebenarnya tidak pernah ada hubungan. Hanya saja, Tomi menganggap Ranti menerima cintanya. Kau tahu, kan? Ranti itu sangat baik hati. Dia.. tidak tega untuk mengatakan pada Tomi, jika ia su
Diara berada di markas DMA bersama yang lain. Mengulang kejadian, di saat mereka membahas kasus Rima. "Rima-""Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," sahut Diara. Memotong kalimat Tomi."Yap. Betul kata Ranti.""Orang tuanya sudah melapor. Namun, polisi belum menemukan petunjuk. Karena, si pelaku tidak meninggalkan jejak," jelas Diara.Tomi mendengus."Terima kasih, Sayang. Kau menjelaskan dengan sangat sempurna."Diara menggerakkan dua alisnya ke atas."Tidak ada saksi?" Sinta bertanya.Tomi menggeleng. Dan, Diara mendesah singkat."Kali ini, kalimatku akan cukup panjang," gumamnya, dengan nada lelah."Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. Lalu, mendesah panjang."Oh, bisakah kita segera pergi ke lokasinya? Tak jauh dari sini, kan? Haris ada 2 moto
Ketika manusia akan bertemu dengan ajalnya, maka.. akan di putarkan kisah hidupnya dari sejak ia di lahirkan, hingga di detik akhir hidupnya.Banyak manusia akan sangat menyesali perbuatannya semasa hidup. Tapi, juga akan banyak yang bersyukur dengan hidup yang ia jalani.Termasuk, manusia yang bergelar Ibu. Perjalanannya menjadi seorang Ibu, akan kembali di putar di hadapannya. Saat, berusaha untuk hamil. Lalu, mendapat kabar jika rahimnya sudah terisi malaikat kecil. Menjaganya sepenuh hati. Sampai, janin membesar dan sehat sempurna. Dan, ketika tiba janin tersebut di lahirkan. Bertaruh nyawa. Setengah mati. Menggendong bayinya pertama kali. Menyusui. Terjaga di setiap malam. Dia nikmati sendiri. Melihat senyuman pertama bayinya. Merasakan genggaman tangan mungil bayinya. Hingga, ia tumbuh besar. Kasih sayangnya, tak akan pernah pupus.Gambaran itu yang juga di lihat Ranti di sisa-sisa nafasnya, saat nyawanya hampir menghilang. Tersenyum dengan kesakitan. Tetesan air matanya untuk
"Haris.. kita perlu bicara," kata Sekar. Berdiri, agak jauh di belakangnya.Haris meletakkan kembali gagang telepon. Berbalik badan. Menatap Sekar lamat-lamat."Oh.. ada apa?"Sekar mendengus."Ada apa katamu? Dari mana saja kau?""Aku ada urusan.""Sangat penting urusanmu? Sampai, kau membiarkan Ayah dan Ibuku, menunggu di Restoran berjam-jam lamanya?"Haris tercengang. Menahan napas 1 detik."Ah.. maafkan aku. Aku.. lupa.""Lupa katamu? Tadi pagi, aku sudah mengingatkanmu, kan?""Iya. Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Nanti, biar aku menelepon Ayah dan Ibu, hm?"Sekar mendesah kesal."Kau.. masih berusaha mencari Ranti? Itu alasanmu tak datang tadi?"Haris diam. Menundukkan kepala."Kau tidak bisa menjawab? Yang artinya.. kau memang sengaja tidak datang tadi, karena tengah mencari Ranti. Kau sangat tega sekali, Haris."Haris membasahi bibirnya. Berjalan mendekat pada Sekar."Sungguh.. maafkan aku. Bagaimana, aku bisa menebus kesalahanku?"Sekar mengerutkan dahi."Kau.. benar Har