Diara berjalan ke arah belakang gedung hotel, di mana saat itu tengah sepi. Tidak ada siapapun yang datang ke belakang gedung di pukul 22.00 malam.Langkahnya berhenti. Berbalik badan. Segera terbelalak, karena seseorang tersebut berlari kencang ke arahnya. Membawa sebilah pisau, di tangan kirinya. Diara mundur dengan cepat. Menghindar dengan tangkas. Pun, seseorang itu juga bergerak dengan tangkas.Ketika, seseorang itu mencoba menusukkan pisaunya, Diara dengan cepat mencengkeram pergelangan tangan seseorang tersebut. Sementara, tangan satunya berusaha untuk merebut pisau. Dan, sulit untuk di lakukan. Hingga pada akhirnya, Diara menggigit punggung tangan seseorang tersebut. Tangannya meregang—Diara memukul punggung tangannya, dan pisau pun terjatuh. Diara menendangnya kuat-kuat.Seseorang tersebut melotot marah. Mencekik leher Diara. Mendorongnya, hingga menabrak dinding di belakangnya. Otot pelipis Diara menonjol. Wajahnya mulai semu merah.Diara berusaha mencoba menarik resleting t
1991 Kejadian Sebelum Diara Pergi Ke Masa Lalu Martin. Seorang buruh pabrik biasa. Tidak pernah merokok. Atau mengkonsumsi minuman keras. Dia dikenal sangat pendiam. Rekan kerjanya, satu pun tidak ada yang tahu tentang kehidupannya. Pun dengan kehidupan percintaannya. Banyak gadis yang mendekatinya. Tapi, satu pun tidak ada yang menarik perhatiannya. Setidaknya, sampai ia bertemu dengan Sinta. Martin selalu lewat lapangan bola basket—tempat di mana Sinta selalu berlatih basket dengan Tomi. Ia selalu menghentikan laju sepeda onthel-nya, setiap ia melihat Sinta ada di lapangan tersebut. Memandangi Sinta, sampai dia pergi dari lapangan. Seperti saat ini. Bola basket menggelinding ke arah Martin. Ia segera turun dari sepeda. Mengambil bola tersebut, bersamaan dengan Sinta berlari ke arah dirinya. "Oh, terima kasih." Sinta mengulurkan tangan. "Oh, ini." Martin memberikan bolanya. Senyum Sinta membuat jantung Martin berdegup dengan kencang. "Na-Namamu.." Sinta yang tadinya suda
Sudah 3 hari, sejak Martin di tangkap. Sinta mengurung diri di dalam kamar. Pertama kalinya, ia bolos sekolah. Telepon dari kawan-kawannya, ia abaikan.Bahkan, ia juga tak menghiraukan, Diara yang ada di depan rumahnya saat ini."Sinta.. Ranti sejak tadi menunggumu di depan. Temui dia sebentar," kata Sang Ayah, berdiri di ambang pintu kamar Sinta.Sementara, Sinta menutupi wajahnya dengan bantal."Sinta.. ayolah.""Aku tidak mau! Usir saja dia!" pekik Sinta.Sikap yang tak pernah di tunjukkan Sinta itu, membuat Sang Ayah terkejut. Pun, dengan Diara yang berdiri di pintu depan. Mendengar pekikan Sinta, ia merasa kesal. Berjalan mendekati Ayah Sinta. Menepuk bahunya. Agar Ayah Sinta mundur."Kenapa kau tidak ingin bertemu denganku?"Sinta yang mendengar suara Diara, menyingkirkan bantal yang menutupi wajahnya."Pergi. Aku tidak ingin bicara denganmu.""Kenapa kau tak ingin bicara denganku?""Karena aku telah membuat hidupmu hancur? Membuat kejahatan Martin terungkap?""Pergi. Aku benar-
2024Pukul 20.15. Rendi banyak termenung hari ini, setelah mendengar, jika Diara adalah anak Haris. Desahan panjang terus terdengar darinya. Duduk di tepi ranjang. Sembari, membawa buku harian Ranti.Di detik selanjutnya, ia membuka buku harian. Tepat di halaman, di mana pesan Diara tertulis."Kau baik-baik saja di sana, Diara? Kenapa kau tidak menuliskan pesan lagi? Aku.. benar-benar khawatir padamu."Kembali terdengar desahan panjang darinya."Ren.. kau tidak makan malam?" tanya Darel. Masuk ke dalam kamar."Tidak. Kau makan saja.""Kenapa? Memikirkan Diara?"Rendi diam."Hei.. kau mengenalnya lebih lama dari aku. Seharusnya, kau tahu.. dia adalah gadis yang kuat. Di manapun dia berada, dia pasti bisa bertahan.""Tetap saja, aku khawatir dengannya. Di masa lalu.. dia berhadapan dengan seorang pembunuh berantai."Darel mengangguk samar."Tapi, aku tetap yakin. Dia.. akan baik-baik saja.""Aku harap juga begitu.""Sudah jangan terlalu banyak melamun. Ayo makan bersama dengan yang lai
Sekitar pukul 14.45. Diara tiba dirumah Sinta. Mengetuk pintu. Sementara itu, Haris gelisah di ruangannya. Menggenggam alat yang di gunakannya untuk membuka pintu waktu. Sesekali mendesah panjang."Apa yang kau lakukan Haris? Cepat selamatkan Diara," gumamnya pada diri sendiri.Lantas, ia menekan tombol pada alat tersebut. Dan, menghilang seperti debu yang tertiup angin.Sedangkan, Diara masih mengetuk pintu. Cukup lama. Mengintip di jendela. Sepi. Tidak ada siapapun. Ia menyipitkan mata. Melihat beberapa barang berserakan di lantai. Ia yang sedikit curiga, akhirnya memutuskan untuk mencoba membuka pintu. Dan, ternyata tidak terkunci.Diara masuk ke dalam. Bersamaan dengan, wanita paruh baya, yang berpapasan dengannya tempo hari, melihatnya masuk ke dalam rumah Sinta.Wanita itu terbelalak. Buru-buru memutar haluan. Berjalan cepat. Menuju rumahnya, yang berada di tepat di sebelah rumah Sinta. Menelepon kantor polisi."Halo.. aku rasa.. mereka akan bertengkar lagi! Kali ini, perasaanku
1971Pukul 01.30 seorang bayi laki-laki lahir dengan normal. Di dalam kamar mewah milik orang tuanya.Adalah Sonia dan Kardi. Pasangan sukses, kaya raya di kampungnya. Perkebunan kelapa sawit, yang di wariskan oleh Almarhum Ayah Sonia, berhasil di besarkan oleh keduanya. Ekspor dan Impor juga berhasil di lakukan.Semua orang iri pada Sonia. Mendapat seorang Kardi yang tampan, setia dan sangat menyayangi keluarganya. Setidaknya, itu yang terlihat saat ini.Dulunya, Kardi hanyalah buruh di pabrik tembakau Ayah Sonia, yang sekarang sudah gulung tikar. Karena, keuletan dan kerja kerasnya.. Ayah Sonia menjodohkan Kardi dengan anak semata wayangnya itu. Tidak ada paksaan. Karena, memang mereka juga saling menyukai.Ayah Sonia meninggal 3 tahun yang lalu, karena serangan jantung. Dan, Ibunya baru 1 tahun yang lalu meninggal. Karena, kematian Ayah Sonia yang mendadak, menjadikan dirinya depresi.Sonia memberikan ASI pertamanya, untuk bayi laki-lakinya, setelah di mandikan oleh dukun bayi. Dan
Sonia mengabarkan pada seluruh warga kampung, tentang perselingkuhan Kardi dan Ratmi.Warga berbondong-bondong pergi ke rumah Pak Lurah. Memaksa Pak Lurah agar melepas jabatannya. Dan, mengusir Ratmi dari kampung.Beberapa warga pria, menyeret Ratmi dari rumah yang diberikan oleh Kardi. Mendorongnya. Hingga, ia jatuh terjerembab. Di dekat Ayahnya.Ratmi hanya memakai kamisol hitam dan jarit cokelat gelap. Rambutnya pun tak sempat ia gulung."Anakmu sudah membuat malu warga kampung! Tidak sepantasnya, anak perawan bermain api dengan pria yang sudah memiliki istri!" kata salah satu laki-laki, berkulit eksotis. Bertelanjang dada. Memakai celana kain hitam, panjang."Susilo! Kau harus bertanggung jawab! Kau sudah tidak pantas menjadi kepala desa di sini! Kami menuntut mu, agar melepas jabatanmu!"Susilo. Pria paruh baya, berwajah licik. Berkumis tebal."Mereka saling mencintai. Apa tidak sebaiknya, kita biarkan mereka?" kata Susilo.Semakin menyulut emosi para warga."Kau sudah tak waras,
Hujan rintik-rintik. Para warga berkumpul di pemakaman. Mengelilingi tanah yang berlubang. Ukuran 2,5 × 1,5. Jasad Sonia yang sudah terbujur kaku. Di bungkus kain mori.Kardi berpura-pura sedih. Ikut turun untuk menyerukan adzan. Setiap manusia yang lahir, tidak memakai sehelai pun benang. Seorang Ayah akan menyerukan adzan di telinga kanan. Sementara, iqamah di telinga kiri. Pun, saat jiwa manusia meninggalkan tubuhnya. Tidak ada satu pun harta yang bisa di bawanya. Pakaian kesukaan miliknya pun, di tinggalkan begitu saja. Di mandikan. Sebagaimana, ketika bayi juga di mandikan. Dan, semua yang berasal dari tanah—akan kembali ke tanah.Kardi sudah selesai mengumandangkan adzan untuk Sonia. Satu-satu para Bapak yang membantu meletakkan jasad Sonia ke liang kubur, naik ke atas.Ketika Kardi akan naik ke atas, seseorang yang mengulurkan tangan untuk menolongnya, di tarik oleh Farel."KUBUR DIA BERSAMA IBUKU! DIA TAK PANTAS HIDUP!" teriak Farel."Farel? Dari mana saja kau? Kenapa kau baru