"Jangan salah paham. Aku melakukan hal tadi, karena aku masih menganggapmu sebagai Ranti," jelas Tomi.Mereka baru saja tiba di depan rumah Ranti. Mengendarai motor Tomi.Diara turun. Memberikan helm pada Tomi."Aku tahu. Kau menyukai Ibuku. Bukan aku. Karena itu.. aku akan menjodohkanmu dengan Ibu. Dan, menjauhkannya dari Farel.""Kenapa?""Agar kau bisa hidup dengan Ibuku.""Maksudku.. kenapa kau melakukannya?""Emm.. karena aku lebih menyukaimu?"Tomi berdeham."Hei, aku suka kau menjadi Ayahku. Bukan yang lain.""Ah, haha. Aku kira, akan terlibat cinta segitiga."Diara berdecak. Meliriknya."Aku juga punya seseorang yang aku sukai, di tahunku.""Oh, benarkah?"Diara mengangguk."Well, jadi sekarang kita teman?"Diara mengulurkan tangannya yang mengepal. Tomi melihatnya sejenak. Kemudian, ikut mengulurkan kepalan tangannya."Teman," ucap Tomi."Kalau begitu, sampai besok."Diara berbalik badan, saat Tomi mengatakan,"Kenapa kau berbohong?"Diara kembali menghadap Tomi."Apa?""Soal
Diara dan Tomi menatap kesal pada Haris yang sedang makan roti, pemberian dari teman satu kelas. Masih di Rumah Sakit. Di ruang perawatan. Tidak lagi di infus. Lantas, keduanya melipat tangan di dada."Apa kita kubur hidup-hidup saja dia?" bisik Tomi pada Diara."Sebelum itu.. kita kuliti dulu. Aku ingin melihatnya menderita dulu.""Oh, itu ide bagus."Keduanya menyeringai. Haris yang tengah menggigit roti, menatap Diara dan Tomi secara bergantian."Kenapa kalian melihatku seperti itu?"Diara tersenyum. Mendekatinya."Aku.. bahagia sekali melihatmu sudah sehat kembali," kata Diara. Sembari menampar pelan pipi Haris. Berulang kali."Benar. Kenapa tubuhmu sangat kuat sekali! Haha," tambah Tomi. Menepuk lengan Haris. Cukup keras.Haris mengerutkan dahi. Kesal."Firasatku.. kalian mengatakan sebaliknya.""Haha. Bicara apa kau ini? Sungguh, aku sangat bahagia.. kau sudah sembuh," ucap Diara.Tomi mengangguk berulang kali."Kalau begitu, aku dan yang lain pamit dulu, ya?" kata Andi.Dia dat
2024Ranti meminta tolong pada Rendi untuk di antarkan pergi ke rumah Haris. Dengan membawa buku harian miliknya. Meminjam mobil milik Darel."Kenapa kau membawa buku harian itu?" tanya Rendi. Begitu mereka tiba di depan rumah Haris.Ranti membuka halaman, yang mendadak muncul tulisan dari Diara. Rendi yang membacanya terbelalak."Ini..""Semalam.. waktu aku membuka buku harian ini—tiba-tiba tulisan itu muncul begitu saja.""Jadi.. itu benar, Diara?"Ranti mengangguk."Sepertinya begitu."Rendi mendesah berat."Dia.. terjebak di sana rupanya.""Maaf, karena diriku—semua jadi seperti ini.""Bukan karena kau. Tapi, semua karena Tuan Haris."Ranti mendesah berat."Seperti kata Diara.. kita harus mendapatkan alat yang di maksud oleh Diara.""Lalu, untuk apa kau bawa buku harian?""Akan aku tunjukkan pada Haris.""Dan, kau berharap dia akan luluh saat membaca itu?""Mungkin saja?""Lebih baik, simpan buku harian ini. Jangan sampai, Tuan Haris tahu—kalau Diara dapat mengirim pesan untuk kit
1991Kue 3 tingkat dengan krim putih dan merah muda, berada di tengah-tengah ruangan. Di kelilingi oleh tamu undangan dari siswa-siswi SMA 991.Baru saja, Haris meniup lilin. Di iringi tepuk tangan para undangan. Setelahnya, mereka di persilakan, untuk menikmati makanan yang sudah di sediakan.Mereka semua, menikmati acara ulang tahun Haris. Kecuali, Diara, Tomi, Farel. Sinta? Dia buru-buru mengantre makanan."Di mana Haris?" tanya Diara pada Tomi."Sedang berganti pakaian. Ada seseorang yang tak sengaja menumpahkan air padanya tadi," jelas Tomi."Ranti! Kau harus coba semua makanan di sini. Enak sekali!" Sinta datang dengan membawa 2 piring, yang berisi berbagai macam makanan. Di jadikan satu oleh Sinta. Mulutnya menggemuk. "Oh, benarkah?" tanya Tomi.Sinta hanya mengangguk. Sibuk mengunyah. Sementara, Tomi mengambil 1 piring milik Sinta. Menjejalkan makanan ke mulutnya sendiri."Wah! Makanan orang kaya memang berbeda," kata Tomi."Dia—Ah, Ranti! Kau harus mencoba ini. Sangat-sanga
Diara berjalan ke arah belakang gedung hotel, di mana saat itu tengah sepi. Tidak ada siapapun yang datang ke belakang gedung di pukul 22.00 malam.Langkahnya berhenti. Berbalik badan. Segera terbelalak, karena seseorang tersebut berlari kencang ke arahnya. Membawa sebilah pisau, di tangan kirinya. Diara mundur dengan cepat. Menghindar dengan tangkas. Pun, seseorang itu juga bergerak dengan tangkas.Ketika, seseorang itu mencoba menusukkan pisaunya, Diara dengan cepat mencengkeram pergelangan tangan seseorang tersebut. Sementara, tangan satunya berusaha untuk merebut pisau. Dan, sulit untuk di lakukan. Hingga pada akhirnya, Diara menggigit punggung tangan seseorang tersebut. Tangannya meregang—Diara memukul punggung tangannya, dan pisau pun terjatuh. Diara menendangnya kuat-kuat.Seseorang tersebut melotot marah. Mencekik leher Diara. Mendorongnya, hingga menabrak dinding di belakangnya. Otot pelipis Diara menonjol. Wajahnya mulai semu merah.Diara berusaha mencoba menarik resleting t
1991 Kejadian Sebelum Diara Pergi Ke Masa Lalu Martin. Seorang buruh pabrik biasa. Tidak pernah merokok. Atau mengkonsumsi minuman keras. Dia dikenal sangat pendiam. Rekan kerjanya, satu pun tidak ada yang tahu tentang kehidupannya. Pun dengan kehidupan percintaannya. Banyak gadis yang mendekatinya. Tapi, satu pun tidak ada yang menarik perhatiannya. Setidaknya, sampai ia bertemu dengan Sinta. Martin selalu lewat lapangan bola basket—tempat di mana Sinta selalu berlatih basket dengan Tomi. Ia selalu menghentikan laju sepeda onthel-nya, setiap ia melihat Sinta ada di lapangan tersebut. Memandangi Sinta, sampai dia pergi dari lapangan. Seperti saat ini. Bola basket menggelinding ke arah Martin. Ia segera turun dari sepeda. Mengambil bola tersebut, bersamaan dengan Sinta berlari ke arah dirinya. "Oh, terima kasih." Sinta mengulurkan tangan. "Oh, ini." Martin memberikan bolanya. Senyum Sinta membuat jantung Martin berdegup dengan kencang. "Na-Namamu.." Sinta yang tadinya suda
Sudah 3 hari, sejak Martin di tangkap. Sinta mengurung diri di dalam kamar. Pertama kalinya, ia bolos sekolah. Telepon dari kawan-kawannya, ia abaikan.Bahkan, ia juga tak menghiraukan, Diara yang ada di depan rumahnya saat ini."Sinta.. Ranti sejak tadi menunggumu di depan. Temui dia sebentar," kata Sang Ayah, berdiri di ambang pintu kamar Sinta.Sementara, Sinta menutupi wajahnya dengan bantal."Sinta.. ayolah.""Aku tidak mau! Usir saja dia!" pekik Sinta.Sikap yang tak pernah di tunjukkan Sinta itu, membuat Sang Ayah terkejut. Pun, dengan Diara yang berdiri di pintu depan. Mendengar pekikan Sinta, ia merasa kesal. Berjalan mendekati Ayah Sinta. Menepuk bahunya. Agar Ayah Sinta mundur."Kenapa kau tidak ingin bertemu denganku?"Sinta yang mendengar suara Diara, menyingkirkan bantal yang menutupi wajahnya."Pergi. Aku tidak ingin bicara denganmu.""Kenapa kau tak ingin bicara denganku?""Karena aku telah membuat hidupmu hancur? Membuat kejahatan Martin terungkap?""Pergi. Aku benar-
2024Pukul 20.15. Rendi banyak termenung hari ini, setelah mendengar, jika Diara adalah anak Haris. Desahan panjang terus terdengar darinya. Duduk di tepi ranjang. Sembari, membawa buku harian Ranti.Di detik selanjutnya, ia membuka buku harian. Tepat di halaman, di mana pesan Diara tertulis."Kau baik-baik saja di sana, Diara? Kenapa kau tidak menuliskan pesan lagi? Aku.. benar-benar khawatir padamu."Kembali terdengar desahan panjang darinya."Ren.. kau tidak makan malam?" tanya Darel. Masuk ke dalam kamar."Tidak. Kau makan saja.""Kenapa? Memikirkan Diara?"Rendi diam."Hei.. kau mengenalnya lebih lama dari aku. Seharusnya, kau tahu.. dia adalah gadis yang kuat. Di manapun dia berada, dia pasti bisa bertahan.""Tetap saja, aku khawatir dengannya. Di masa lalu.. dia berhadapan dengan seorang pembunuh berantai."Darel mengangguk samar."Tapi, aku tetap yakin. Dia.. akan baik-baik saja.""Aku harap juga begitu.""Sudah jangan terlalu banyak melamun. Ayo makan bersama dengan yang lai
Diara melebarkan mata. Tersenyum gembira."Kita sahabat?""Heh? Kau, sudah tak ingin berteman denganku? Wah.. keterlaluan sekali. Mentang-mentang, kau baru saja memenangkan penghargaan Sutradara terbaik, kau jadi melupakanku."Diara memeluk Selly erat-erat."Mana mungkin, aku bisa melupakanmu. Susah dan senang, kita selalu bersama.""Well, benar juga. Aku bisa sampai di titik ini, juga karena dirimu dan teatermu."Diara melepaskan pelukan."Lalu, ada urusan apa kau kemari? Juga, Darel.. kenapa kau di sini?""Aku ada rapat pembacaan naskah. Tapi, Diara.. kenapa kau bisa kenal dengan kekasihku?""Kekasihmu? Kalian.. berpacaran? Bagaimana bisa? Seharusnya, aku yang mempertemukan kalian. Wah, kalau memang sudah takdirnya, jodoh pun tak dapat di rubah.""Kau ini bicara apa?""Sayang.. kau kenal Diara?" lanjut Selly."Tidak. Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya? Aku lihat-lihat, wajahmu juga tidak asing bagiku.""Hehe. Mungkin, kau tidak kenal denganku. Tapi.. aku sangat mengenalmu. Terutam
1983 "Dian! Cepat!" Dian yang sedikit ragu, akhirnya berlari ke arah Sonia. Di saat yang sama, Tomi mendobrak pintu. Dan, mengacungkan senjata."BERHENTI! LEMPARKAN PISAU ITU KE SAMPING. DAN, ANGKAT TANGAN KALIAN!"Dian yang panik, segera melempar pisau. Dan, bergerak sesuai perintah."Itu juga berlaku untukmu, pria brengsek! kata Tomi pada Kardi."Wah.. Tomi terlihat keren. Seandainya, aku perempuan.. aku akan menikahinya," celetuk Haris.Membuat Diara mengerutkan dahi. Menatapnya heran. Sementara, Kardi melepaskan Sonia."Kalian berdua, merapat ke tembok. Dan, jangan pernah menengok ke belakang!" perintah Tomi.Setelah itu, Diara segera menghampiri Sonia."Kau, baik-baik saja?"Sonia yang masih syok, hanya bisa mengangguk."Farel.. Anakku.""Farel? Dia ada di mana?"Sonia menunjuk ke lantai atas. Diara bergegas ke lantai atas. Membuka pintu kamar. Terlihat, Farel tengah berdiri dengan badan gemetar, di sebelah pintu. Diara berlutut di depannya."Semuanya sudah berakhir, Farel. Ka
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanya Haris. Duduk di sofa tunggal. Sementara, Tomi dan Diara duduk di sofa panjang. Di sebelah kirinya. "Entahlah. Mungkin sudah 30 tahun lebih? Sejak, kau menikah kita sudah tidak pernah bertemu," kata Tomi. Haris mengangguk. "Lalu, bagaimana kau tahu alamat rumahku? Apa.. kau memakai kekuatanmu menjadi Kepala Polisi, untuk melacak keberadaan ku?" Diara terbelalak. "Ayah, menjadi Kepala Polisi sekarang?" bisik Diara. "Oh.. Ayah belum cerita padamu?" "Wah.. keren sekali." Haris berdeham. Membuat Diara dan Tomi menatapnya. "Ah.. Diara yang memberitahu." Haris menatap Diara. "Dia.. anak Ranti?" Diara mendengus. Lalu, terkekeh. "Ayolah. Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu.. kau mengingat semuanya." "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kata Haris. "Kau masih ingin berbohong? Kau ingin aku percaya? Kau, tidak mengingat segalanya? Oh, Ayolah. Pertama kali, kau melihatku dan Ayahku tadi, kau tidak terkejut. Dulu kalian bersah
1992Tomi tengah menggendong Diara, yang tengah menangis karena sakit. Badannya demam sudah 2 hari. Mengayun tubuhnya, agar Diara segera tertidur. Butuh kerja keras selama 20 menit, untuk membuat Diara tidur."Dia sudah tidur?" tanya Ranti. Baru saja selesai mencuci baju."Iya. Baru saja.""Berikan padaku."Diara terbangun, ketika Ranti menyentuh tangannya. Seketika, menangis. Tomi mulai mengayun tubuhnya lagi."Biar aku saja," kata Tomi.Ranti mendesah singkat."Maaf, jadi merepotkan mu.""Hei, dia juga anakku. Kenapa harus mengatakan seperti itu.""Tapi, tetap saja..""Ingat, Ranti. Dia adalah anakku. Bukan anak orang kaya itu. Jadi.. jangan pernah sebutkan nama itu di depan Diara atau di depanku. Kau mengerti?"Ranti mengangguk paham.Keduanya menikah, saat usia kandungan Ranti masih 10 minggu. Tomi bergegas memberitahu orang tuanya, untuk segera meminang Ranti. Namun, Tomi juga menjelaskan kondisi Ranti. Cukup terkejut dengan itu, tapi, Tomi menjelaskan dengan baik. Dengan berat
2024Diara, Haris, dan Ranti saling berhadapan."Semuanya sudah berakhir, Bu. Kami.. berhasil menangkap Farel."Ranti tersenyum. Mendekati Diara. Menggenggam kedua tangannya."Kau sudah bekerja keras. Terima kasih, Diara.""Sekarang, Ibu bisa kembali ke sana dengan tenang. Jalani hidupmu yang sebelumnya hancur, karena laki-laki itu. Dan.. coba perbaiki hubunganmu dengan Nenek. Kau hanya perlu bersikap manis. Sesekali, makan bersama dengannya."Ranti mengangguk."Aku akan melakukan itu."Mata Ranti berkaca-kaca. Memeluk Diara."Maafkan Ibu, Diara. Selama ini, kau hidup dengan sangat tersiksa.""Tidak, Bu. Aku sudah cukup bahagia, bersama Bu Lia dan teman-temanku. Sampai jumpa di masa depan, Bu.""Kita bertemu lagi di masa kecilmu, ya? Ibu.. akan selalu ada di sampingmu sekarang."Setelahnya, Haris mengantarkan Ranti kembali ke masanya.Sekarang.. semuanya, akan baik-baik saja, kan?**"Ibu? Ibu? Di mana kau? Ibu?? Aku berhasil mengubahnya. Ibu?!"Diara berdiri di dapur, dengan terengah
Beberapa Jam Sebelum PenangkapanDiara dan yang lain kembali ke markas. Baru saja, selesai mengobati luka Haris dan Sinta."Hei, ada apa dengan Tomi?" tanya Haris pada Sinta. Tomi nampak lesu. Duduk di sudut. Sementara, Diara membereskan kotak obat."Laki-laki yang hampir menabrak ku tadi adalah kekasih Ranti," bisik Sinta."APA?" Haris nyaris berteriak."Pelan kan suaramu!""Tunggu.. jadi.. Ranti selingkuh dari Tomi?""Aku juga tidak tahu. Tapi, dari pengamatanku.. sepertinya, laki-laki tadi adalah kekasih pertama Ranti.""Jadi.. Tomi yang menjadi selingkuhannya?""Hmm, sepertinya tidak juga.""Lalu, bagaimana ceritanya? Kau ini, kalau bicara jangan sepotong demi sepotong. Menjengkelkan sekali."Sinta berdecak kesal. Lalu, berdeham."Ini menurutku.. cinta Tomi bertepuk sebelah tangan. Dan, mereka sebenarnya tidak pernah ada hubungan. Hanya saja, Tomi menganggap Ranti menerima cintanya. Kau tahu, kan? Ranti itu sangat baik hati. Dia.. tidak tega untuk mengatakan pada Tomi, jika ia su
Diara berada di markas DMA bersama yang lain. Mengulang kejadian, di saat mereka membahas kasus Rima. "Rima-""Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," sahut Diara. Memotong kalimat Tomi."Yap. Betul kata Ranti.""Orang tuanya sudah melapor. Namun, polisi belum menemukan petunjuk. Karena, si pelaku tidak meninggalkan jejak," jelas Diara.Tomi mendengus."Terima kasih, Sayang. Kau menjelaskan dengan sangat sempurna."Diara menggerakkan dua alisnya ke atas."Tidak ada saksi?" Sinta bertanya.Tomi menggeleng. Dan, Diara mendesah singkat."Kali ini, kalimatku akan cukup panjang," gumamnya, dengan nada lelah."Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. Lalu, mendesah panjang."Oh, bisakah kita segera pergi ke lokasinya? Tak jauh dari sini, kan? Haris ada 2 moto
Ketika manusia akan bertemu dengan ajalnya, maka.. akan di putarkan kisah hidupnya dari sejak ia di lahirkan, hingga di detik akhir hidupnya.Banyak manusia akan sangat menyesali perbuatannya semasa hidup. Tapi, juga akan banyak yang bersyukur dengan hidup yang ia jalani.Termasuk, manusia yang bergelar Ibu. Perjalanannya menjadi seorang Ibu, akan kembali di putar di hadapannya. Saat, berusaha untuk hamil. Lalu, mendapat kabar jika rahimnya sudah terisi malaikat kecil. Menjaganya sepenuh hati. Sampai, janin membesar dan sehat sempurna. Dan, ketika tiba janin tersebut di lahirkan. Bertaruh nyawa. Setengah mati. Menggendong bayinya pertama kali. Menyusui. Terjaga di setiap malam. Dia nikmati sendiri. Melihat senyuman pertama bayinya. Merasakan genggaman tangan mungil bayinya. Hingga, ia tumbuh besar. Kasih sayangnya, tak akan pernah pupus.Gambaran itu yang juga di lihat Ranti di sisa-sisa nafasnya, saat nyawanya hampir menghilang. Tersenyum dengan kesakitan. Tetesan air matanya untuk
"Haris.. kita perlu bicara," kata Sekar. Berdiri, agak jauh di belakangnya.Haris meletakkan kembali gagang telepon. Berbalik badan. Menatap Sekar lamat-lamat."Oh.. ada apa?"Sekar mendengus."Ada apa katamu? Dari mana saja kau?""Aku ada urusan.""Sangat penting urusanmu? Sampai, kau membiarkan Ayah dan Ibuku, menunggu di Restoran berjam-jam lamanya?"Haris tercengang. Menahan napas 1 detik."Ah.. maafkan aku. Aku.. lupa.""Lupa katamu? Tadi pagi, aku sudah mengingatkanmu, kan?""Iya. Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Nanti, biar aku menelepon Ayah dan Ibu, hm?"Sekar mendesah kesal."Kau.. masih berusaha mencari Ranti? Itu alasanmu tak datang tadi?"Haris diam. Menundukkan kepala."Kau tidak bisa menjawab? Yang artinya.. kau memang sengaja tidak datang tadi, karena tengah mencari Ranti. Kau sangat tega sekali, Haris."Haris membasahi bibirnya. Berjalan mendekat pada Sekar."Sungguh.. maafkan aku. Bagaimana, aku bisa menebus kesalahanku?"Sekar mengerutkan dahi."Kau.. benar Har