1991 Hei, hentikan! Jangan berkelahi di sini!" pekik Sinta. "Itu semua berkat siapa?" tanya Diara. Melempar picingan kesal pada Sinta, yang kini berdeham. "Tidak perlu baku hantam untuk menarik perhatian Ranti. Kalau kalian sanggup makan makanan pedas, Ranti akan kagum dengan kalian." "Hei, kenapa kau yang memutuskan?" tanya Diara. "Bukankah, memang begitu? Dulu, kau pernah bilang padaku. Jika.. kau sangat menyukai laki-laki yang kuat makan pedas." "Oh, benarkah? Aku mengatakan itu?" Sinta mengangguk. "Pak! Tolong, pesananku sambalnya harus sangat pedas!" pekik Tomi. "Pesananku juga!" tambah Farel. Keduanya saling melemparkan picingan tajam. "Hei, kau tidak ikutan?" tanya Sinta pada Haris. "Kenapa aku harus ikut?" "Bukankah, kau suka pada Ranti?" "Iya. Tapi, aku alergi dengan cabai. Aku tidak bisa makan pedas. Meskipun, aku menyukai Ranti— aku juga menyayangi diriku." "Ah.. begitu. Memang, apa yang terjadi kalau kau makan cabai?" "Itu.." Haris tidak melanjutkan
"Jangan salah paham. Aku melakukan hal tadi, karena aku masih menganggapmu sebagai Ranti," jelas Tomi.Mereka baru saja tiba di depan rumah Ranti. Mengendarai motor Tomi.Diara turun. Memberikan helm pada Tomi."Aku tahu. Kau menyukai Ibuku. Bukan aku. Karena itu.. aku akan menjodohkanmu dengan Ibu. Dan, menjauhkannya dari Farel.""Kenapa?""Agar kau bisa hidup dengan Ibuku.""Maksudku.. kenapa kau melakukannya?""Emm.. karena aku lebih menyukaimu?"Tomi berdeham."Hei, aku suka kau menjadi Ayahku. Bukan yang lain.""Ah, haha. Aku kira, akan terlibat cinta segitiga."Diara berdecak. Meliriknya."Aku juga punya seseorang yang aku sukai, di tahunku.""Oh, benarkah?"Diara mengangguk."Well, jadi sekarang kita teman?"Diara mengulurkan tangannya yang mengepal. Tomi melihatnya sejenak. Kemudian, ikut mengulurkan kepalan tangannya."Teman," ucap Tomi."Kalau begitu, sampai besok."Diara berbalik badan, saat Tomi mengatakan,"Kenapa kau berbohong?"Diara kembali menghadap Tomi."Apa?""Soal
Diara dan Tomi menatap kesal pada Haris yang sedang makan roti, pemberian dari teman satu kelas. Masih di Rumah Sakit. Di ruang perawatan. Tidak lagi di infus. Lantas, keduanya melipat tangan di dada."Apa kita kubur hidup-hidup saja dia?" bisik Tomi pada Diara."Sebelum itu.. kita kuliti dulu. Aku ingin melihatnya menderita dulu.""Oh, itu ide bagus."Keduanya menyeringai. Haris yang tengah menggigit roti, menatap Diara dan Tomi secara bergantian."Kenapa kalian melihatku seperti itu?"Diara tersenyum. Mendekatinya."Aku.. bahagia sekali melihatmu sudah sehat kembali," kata Diara. Sembari menampar pelan pipi Haris. Berulang kali."Benar. Kenapa tubuhmu sangat kuat sekali! Haha," tambah Tomi. Menepuk lengan Haris. Cukup keras.Haris mengerutkan dahi. Kesal."Firasatku.. kalian mengatakan sebaliknya.""Haha. Bicara apa kau ini? Sungguh, aku sangat bahagia.. kau sudah sembuh," ucap Diara.Tomi mengangguk berulang kali."Kalau begitu, aku dan yang lain pamit dulu, ya?" kata Andi.Dia dat
2024Ranti meminta tolong pada Rendi untuk di antarkan pergi ke rumah Haris. Dengan membawa buku harian miliknya. Meminjam mobil milik Darel."Kenapa kau membawa buku harian itu?" tanya Rendi. Begitu mereka tiba di depan rumah Haris.Ranti membuka halaman, yang mendadak muncul tulisan dari Diara. Rendi yang membacanya terbelalak."Ini..""Semalam.. waktu aku membuka buku harian ini—tiba-tiba tulisan itu muncul begitu saja.""Jadi.. itu benar, Diara?"Ranti mengangguk."Sepertinya begitu."Rendi mendesah berat."Dia.. terjebak di sana rupanya.""Maaf, karena diriku—semua jadi seperti ini.""Bukan karena kau. Tapi, semua karena Tuan Haris."Ranti mendesah berat."Seperti kata Diara.. kita harus mendapatkan alat yang di maksud oleh Diara.""Lalu, untuk apa kau bawa buku harian?""Akan aku tunjukkan pada Haris.""Dan, kau berharap dia akan luluh saat membaca itu?""Mungkin saja?""Lebih baik, simpan buku harian ini. Jangan sampai, Tuan Haris tahu—kalau Diara dapat mengirim pesan untuk kit
1991Kue 3 tingkat dengan krim putih dan merah muda, berada di tengah-tengah ruangan. Di kelilingi oleh tamu undangan dari siswa-siswi SMA 991.Baru saja, Haris meniup lilin. Di iringi tepuk tangan para undangan. Setelahnya, mereka di persilakan, untuk menikmati makanan yang sudah di sediakan.Mereka semua, menikmati acara ulang tahun Haris. Kecuali, Diara, Tomi, Farel. Sinta? Dia buru-buru mengantre makanan."Di mana Haris?" tanya Diara pada Tomi."Sedang berganti pakaian. Ada seseorang yang tak sengaja menumpahkan air padanya tadi," jelas Tomi."Ranti! Kau harus coba semua makanan di sini. Enak sekali!" Sinta datang dengan membawa 2 piring, yang berisi berbagai macam makanan. Di jadikan satu oleh Sinta. Mulutnya menggemuk. "Oh, benarkah?" tanya Tomi.Sinta hanya mengangguk. Sibuk mengunyah. Sementara, Tomi mengambil 1 piring milik Sinta. Menjejalkan makanan ke mulutnya sendiri."Wah! Makanan orang kaya memang berbeda," kata Tomi."Dia—Ah, Ranti! Kau harus mencoba ini. Sangat-sanga
Diara berjalan ke arah belakang gedung hotel, di mana saat itu tengah sepi. Tidak ada siapapun yang datang ke belakang gedung di pukul 22.00 malam.Langkahnya berhenti. Berbalik badan. Segera terbelalak, karena seseorang tersebut berlari kencang ke arahnya. Membawa sebilah pisau, di tangan kirinya. Diara mundur dengan cepat. Menghindar dengan tangkas. Pun, seseorang itu juga bergerak dengan tangkas.Ketika, seseorang itu mencoba menusukkan pisaunya, Diara dengan cepat mencengkeram pergelangan tangan seseorang tersebut. Sementara, tangan satunya berusaha untuk merebut pisau. Dan, sulit untuk di lakukan. Hingga pada akhirnya, Diara menggigit punggung tangan seseorang tersebut. Tangannya meregang—Diara memukul punggung tangannya, dan pisau pun terjatuh. Diara menendangnya kuat-kuat.Seseorang tersebut melotot marah. Mencekik leher Diara. Mendorongnya, hingga menabrak dinding di belakangnya. Otot pelipis Diara menonjol. Wajahnya mulai semu merah.Diara berusaha mencoba menarik resleting t
1991 Kejadian Sebelum Diara Pergi Ke Masa Lalu Martin. Seorang buruh pabrik biasa. Tidak pernah merokok. Atau mengkonsumsi minuman keras. Dia dikenal sangat pendiam. Rekan kerjanya, satu pun tidak ada yang tahu tentang kehidupannya. Pun dengan kehidupan percintaannya. Banyak gadis yang mendekatinya. Tapi, satu pun tidak ada yang menarik perhatiannya. Setidaknya, sampai ia bertemu dengan Sinta. Martin selalu lewat lapangan bola basket—tempat di mana Sinta selalu berlatih basket dengan Tomi. Ia selalu menghentikan laju sepeda onthel-nya, setiap ia melihat Sinta ada di lapangan tersebut. Memandangi Sinta, sampai dia pergi dari lapangan. Seperti saat ini. Bola basket menggelinding ke arah Martin. Ia segera turun dari sepeda. Mengambil bola tersebut, bersamaan dengan Sinta berlari ke arah dirinya. "Oh, terima kasih." Sinta mengulurkan tangan. "Oh, ini." Martin memberikan bolanya. Senyum Sinta membuat jantung Martin berdegup dengan kencang. "Na-Namamu.." Sinta yang tadinya suda
Sudah 3 hari, sejak Martin di tangkap. Sinta mengurung diri di dalam kamar. Pertama kalinya, ia bolos sekolah. Telepon dari kawan-kawannya, ia abaikan.Bahkan, ia juga tak menghiraukan, Diara yang ada di depan rumahnya saat ini."Sinta.. Ranti sejak tadi menunggumu di depan. Temui dia sebentar," kata Sang Ayah, berdiri di ambang pintu kamar Sinta.Sementara, Sinta menutupi wajahnya dengan bantal."Sinta.. ayolah.""Aku tidak mau! Usir saja dia!" pekik Sinta.Sikap yang tak pernah di tunjukkan Sinta itu, membuat Sang Ayah terkejut. Pun, dengan Diara yang berdiri di pintu depan. Mendengar pekikan Sinta, ia merasa kesal. Berjalan mendekati Ayah Sinta. Menepuk bahunya. Agar Ayah Sinta mundur."Kenapa kau tidak ingin bertemu denganku?"Sinta yang mendengar suara Diara, menyingkirkan bantal yang menutupi wajahnya."Pergi. Aku tidak ingin bicara denganmu.""Kenapa kau tak ingin bicara denganku?""Karena aku telah membuat hidupmu hancur? Membuat kejahatan Martin terungkap?""Pergi. Aku benar-