Farhan sontak mematung dan terjatuh di tempat. Hidung dan telinganya berdarah. Dia tidak bernapas lagi.Klang! Panci juga terjatuh. Obat yang dimasak oleh Maudy pun tumpah. Setelah merasa terkejut, orang-orang sibuk berlarian.Semua ini terjadi terlalu mendadak. Tidak ada yang menyangka Farhan yang baik-baik saja akan disambar petir dan mati.Dewi pun terperangah, lalu memandang jasad Farhan dan menangis histeris. Ketika mendengar gemuruh lagi, Dewi ragu-ragu sejenak sebelum mundur dan bersembunyi di dekat pilar."Putraku!" Wulan meratap dan hendak maju, tetapi Hidayat buru-buru menghentikannya. Dia memperingatkan, "Ibu, jangan sentuh Farhan! Dia baru disambar petir!"Yang dikatakan Hidayat tidak salah. Masih ada petir yang terlihat di sekitar tubuh Farhan. Tanah di sekitar sampai hangus karena jasadnya.Wulan sungguh getir. Dia membentak, "Hidayat, kamu kejam sekali! Adikmu disambar petir! Masa kamu berpangku tangan begini?"Ekspresi Hidayat tampak lelah. Dia membiarkan Wulan memukuln
Setelah merenung sejenak, Maudy berucap, "Aku curiga bendungan di sekitar sini akan runtuh. Ketika saat itu tiba, kuil ini akan terkena imbasnya dan semua orang bakal mati."Petra termangu sebelum bertanya, "Gimana bisa kamu tahu?""Ini intuisiku." Maudy menunjuk genangan air sambil menjelaskan, "Lihat, air hujan sudah masuk ke kuil dan mencapai pergelangan kaki kita. Kalau terus menunggu, kita bakal tenggelam sekalipun bendungan nggak runtuh."Sebenarnya, Maudy juga tidak bisa memastikan karena tidak tahu apakah bendungan itu terletak di area ini atau bukan. Tidak ada penjelasan rinci di novel, apalagi Maudy sudah mulai lupa. Yang jelas, mereka harus segera meninggalkan kuil ini atau akan tenggelam di sini!Petra menatap genangan air dan berharap spekulasi Maudy tidak benar. Dia berucap, "Mungkin ini cuma sementara. Hujan ini nggak mungkin turun sampai sejam lebih, 'kan? Sebentar lagi juga reda."Maudy mulai merasa bingung. Petra ini benar-benar keras kepala. Kalau bukan karena ada ke
"Di luar hujan deras, lebih aman di dalam kuil bobrok ini. Memangnya kenapa kalau airnya masuk? Setidaknya kita nggak kehujanan. Kalau keluar sekarang, pasti akan basah kuyup." Alasan mereka tidak mau keluar dari tempat itu sama persis dengan Petra sebelumnya.Melihat air di kakinya mulai naik perlahan-lahan, sementara segerombolan orang ini masih terus mengeluh dan berlambat-lambat. Saking marahnya, Petra langsung mengeluarkan cambuknya. Bagaimana Maudy bisa menahan diri untuk tidak menghajar mereka tadi?Yang jelas, Petra tidak bisa bersabar lagi!"Kupukul kalian sampai mati!""Kak Petra, tunggu!" cegah Maudy buru-buru.Melihat begitu banyak tahanan yang tidak mau pergi, tidak ada gunanya jika Petra menggunakan cambuk. Bahkan jika para tahanan ini bersedia untuk pergi sekalipun, mereka pasti akan tetap bermalas-malasan hingga memperlambat perjalanan mereka.Maudy memberikan tatapan kepada Petra untuk menenangkannya, lalu berbalik dan berkata pada semua orang, "Semuanya tolong dengark
Sepanjang perjalanan ini, keluarga Hidayat telah bekerja keras, tetapi Wulan malah tidak menghargainya sama sekali."Teriak apaan? Ibu sedang marah, wajar saja dia memukulku." Wajah Hidayat tampak kaku. Bagaimanapun Wulan memarahinya, Hidayat tetap menggendongnya untuk mengikuti langkah gerombolan tersebut.Sementara itu, jasad Farhan terpaksa ditinggalkan di kuil itu. Setelah keluar dari kuil, Petra bertanya, "Maudy, sekarang kita mau jalan ke mana?"Maudy telah memeriksa kondisi medan sebelumnya, sehingga dia bisa memutuskan dengan tegas, "Kita ke lereng bukit di kedua sisi sungai. Meski bendungan runtuh, banjir nggak akan sampai ke kita." Vegetasi di sekitarnya cukup lebat dan di lereng bukit tidak ada risiko longsor.Mengingat kematian tragis Farhan, Maudy merasa perlu menambahkan peringatan, "Semua orang usahakan ikuti aku. Jangan berdiri di tempat terbuka sambil berteriak, berjalanlah di bawah pepohonan, tapi jauhi pohon yang paling besar dan tinggi supaya nggak tersambar petir.
Siska menoleh untuk melihat ke sekelilingnya, lalu berkata, "Abbas, Mina, mana Mina?""Bukannya Mina ada di punggungku?" Abbas baru bereaksi, lalu bergegas melihat keranjang di punggungnya yang sudah kosong. Dia tiba-tiba teringat saat banjir menghantam tadi, sempat terjatuh. Mungkin saat itu Mina terjatuh dari punggungnya."Mu ... mungkin sudah terbawa arus. Ini nggak bisa salahkan aku. Kenapa anak bodoh itu nggak ikut lari ...," sergah Abbas dengan tatapan bersalah.Siska langsung berteriak histeris. Meskipun pihak keluarga mereka selalu mengejeknya karena tidak bisa melahirkan anak laki-laki, Siska tidak pernah merasa keberatan dengan kedua putrinya. Kini melihat putrinya dicelakakan oleh Abbas, Siska langsung marah besar dan melayangkan cakaran ke arah Abbas."Abbas, kamu bajingan! Berani-beraninya kamu meninggalkan anakmu untuk menyelamatkan diri! Mina baru lima tahun, gimana dia bisa lari dari banjir? Kembalikan Mina!"Seiring dengan terdengarnya suara cakaran, kuku panjang Siska
Kayu yang lembap karena air hujan sangat sulit untuk dinyalakan. Maudy memasuki ruang penyimpanannya, lalu membuka market untuk membeli bensin dan menyiramnya ke kayu bakar tersebut."Wush!" Api langsung berkobar seketika.Dafin membelalakkan matanya dengan kaget. "Kak Maudy hebat sekali!"Laksmi juga berseru, "Syukurlah! Ada api!"Melihat tong bensin itu, mata Ammar berbinar sekilas. Dia tahu bahwa benda itu pasti erat kaitannya dengan "rahasia" Maudy.Maudy tidak terlalu peduli dengan tatapan Ammar yang menyelidikinya. Lagi pula, dia tidak akan bisa mengelabui Ammar. Jadi, dia hanya berkata, "Mau kupapah lebih dekat untuk keringkan bajumu dulu?"Ammar mengangguk. Saat berdiri, dia tiba-tiba merasakan sensasi di kedua kakinya dan matanya membelalak terkejut. Namun, sensasi itu hanya berlangsung sesaat dan segera hilang. Dia tetap tenang, membiarkan Maudy memindahkannya lebih dekat ke perapian."Terima kasih.""Sama-sama." Maudy melambaikan tangannya, lalu membawa tong bensin itu dan m
"Kamu ini jahat sekali! Aku yang duluan temukan jamur ini, kenapa kamu malah merebutnya semuanya?" teriak Wani dengan kesal. Dia telah mencari sayur liar seharian di semak-semak sekitar tempat itu dan baru bersusah payah menemukan beberapa jamur segar.Saat baru saja hendak memetiknya, Sandra tiba-tiba merebut semua jamur itu. Dengan wajah bangga, Sandra berkata, "Jamu ini nggak tulis namamu. Siapa cepat dia dapat! Siapa suruh kamu lamban sekali?""Kamu ... kejam sekali ucapanmu itu!" bentak Wani dengan jengkel. Dia ingin berdebat dengan Sandra, tetapi merasa gengsi untuk bertengkar hanya demi beberapa buah jamur.Saat Maudy keluar dari tenda, dia melihat Sandra berjalan melewatinya dengan ekspresi bangga. Tadinya Maudy ingin membela Wani. Namun saat melihat jamur yang berada di baju Sandra, matanya langsung membelalak. Si Sandra ini benar-benar berani memakan segalanya."Jamur ini warna-warni, sudah jelas ada racunnya. Kamu masih mau rebutan sama orang?" Maudy berbaik hati mengingatka
Lantaran Maudy ingin bermain, Ammar pun memutuskan untuk meladeninya. Setelah berhasil mengumpulkan sepuluh ekor merpati dan lima ekor burung lainnya, Maudy merasa sudah cukup. Dia kembali sambil membawa keranjang penuh dengan gembira. Begitu tiba, dia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lebar dan mencium Ammar."Sayang, kamu hebat sekali bisa memburu merpati sebanyak itu!" Semua merpati yang dilepaskan Maudy dari market berhasil ditembak oleh Ammar tanpa meleset sedikit pun. Pria ini benar-benar luar biasa!"Berhubung dirinya selalu menjadi beban dalam sepanjang perjalanan ini, Ammar tiba-tiba merasa senang setelah dipuji dan dicium oleh Maudy seperti ini. Wajah dan telinganya sampai memerah karena tersipu. Ternyata dipuji orang rasanya menyenangkan sekali."Setelah kakiku sembuh nanti, kalian nggak akan begitu menderita lagi," ucap Ammar memberi jaminan. Dia punya firasat bahwa hari seperti itu tidak akan lama lagi.Melihat kakak dan kakak iparnya yang mendapatkan burung merpati