Hanya anggota Keluarga Lesmana yang berekspresi masam. Mereka melihat orang lainnya mendapat makanan, tetapi mereka tidak mendapat apa pun. Tatapan mereka dipenuhi keirihatian. Hanya saja, mereka tidak berani membuat onar dan hanya bisa memaki.Para narapidana menunggu di penginapan. Setelah Petra dan lainnya selesai melapor di kantor pemerintah, mereka pun meninggalkan Provinsi Culem.Siapa sangka, Maudy tiba-tiba melihat Ade di gerbang kota. Ade berseru, "Nyonya, akhirnya kamu muncul juga!"Ade langsung menghampiri saat melihat Maudy. Dia mengetahui status Maudy dari orang Keluarga Ranggau. Kemudian, dia langsung kemari untuk menunggu Maudy."Berkat kamu, Keluarga Ranggau membeli resepku dan memberiku 500 bit!" ucap Ade. Keluarga Ranggau bersikap sangat murah hati padanya karena Maudy.Mereka bukan hanya memberinya uang 500 bit, tetapi berjanji akan memberinya dividen sebesar 5% setiap tahun. Bagi Ade yang masih miskin, ini tentu adalah rezeki nomplok.Ade berterima kasih lagi kepada
Ammar masih memikirkan ucapan Ade tadi. Maudy bertanya dengan penasaran, "Untuk apa dia menyuruhmu mencari Tuan Slamet? Siapa Tuan Slamet?"Ammar menggeleng sambil menyahut, "Aku juga penasaran. Dia cuma bilang itu. Aku nggak ngerti maksudnya. Tuan Slamet seharusnya adalah rektor Akademi Sukaraja sekaligus guru Putra Mahkota. Sekarang dia seharusnya sudah pulang ke kampung halamannya."Akademi Sukaraja adalah akademi paling terkenal di Dinasti Arya. Murid mereka ada di mana-mana, bahkan sebagian besar dari kalangan bangsawan.Ammar dan Maudy merenung untuk waktu yang cukup lama, tetapi tidak menemukan petunjuk apa pun. Namun, mereka bisa memastikan bahwa Ade tidak berniat jahat pada mereka."Entah kenapa, aku merasa familier pada Ade ini," ucap Ammar dengan heran.Maudy bergumam dalam hati, 'Kalian sama-sama cerdas dan dikhianati. Wajar kalau merasa familier, 'kan?'Karena tidak tahu jawabannya, mereka memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Lagi pula, mereka sedang dalam perjalanan
Setibanya di kuil, semua orang langsung berbaring dengan lemas.Laksmi berkata, "Maudy, cepat bangun dan ganti baju. Biar aku keringkan bajumu yang basah ini."Nirina dan Dafin sudah menyalakan api. Maudy mengangguk, lalu mendirikan tenda kecil. Sebelum masuk, dia berpesan kepada Ammar, "Bantu aku jaga. Jangan sampai ada yang masuk."Maudy ingin masuk ke ruang ajaib untuk mandi. Ammar tahu Maudy akan mengganti pakaian, jadi mengangguk dan mengiakan. "Oke."Maudy merasa tenang jika ada Ammar yang menjaga. Begitu masuk ke tenda, dia langsung pergi ke ruang ajaibnya.Maudy mandi dengan santai di mata air suci, lalu mengeringkan rambutnya sebelum keluar. Ammar terus berjaga di luar.Setelah beberapa hari ini, Ammar masih tidak bisa berjalan, tetapi dia bisa menggerakkan kakinya sedikit. Meskipun dihalangi tenda, Ammar bisa merasakan bahwa napas Maudy menghilang.Sekitar 30 menit kemudian, Maudy baru keluar dari tenda. Rambutnya sudah kering, bahkan ada aroma wangi pada tubuhnya.Ammar bisa
Farhan sontak mematung dan terjatuh di tempat. Hidung dan telinganya berdarah. Dia tidak bernapas lagi.Klang! Panci juga terjatuh. Obat yang dimasak oleh Maudy pun tumpah. Setelah merasa terkejut, orang-orang sibuk berlarian.Semua ini terjadi terlalu mendadak. Tidak ada yang menyangka Farhan yang baik-baik saja akan disambar petir dan mati.Dewi pun terperangah, lalu memandang jasad Farhan dan menangis histeris. Ketika mendengar gemuruh lagi, Dewi ragu-ragu sejenak sebelum mundur dan bersembunyi di dekat pilar."Putraku!" Wulan meratap dan hendak maju, tetapi Hidayat buru-buru menghentikannya. Dia memperingatkan, "Ibu, jangan sentuh Farhan! Dia baru disambar petir!"Yang dikatakan Hidayat tidak salah. Masih ada petir yang terlihat di sekitar tubuh Farhan. Tanah di sekitar sampai hangus karena jasadnya.Wulan sungguh getir. Dia membentak, "Hidayat, kamu kejam sekali! Adikmu disambar petir! Masa kamu berpangku tangan begini?"Ekspresi Hidayat tampak lelah. Dia membiarkan Wulan memukuln
Setelah merenung sejenak, Maudy berucap, "Aku curiga bendungan di sekitar sini akan runtuh. Ketika saat itu tiba, kuil ini akan terkena imbasnya dan semua orang bakal mati."Petra termangu sebelum bertanya, "Gimana bisa kamu tahu?""Ini intuisiku." Maudy menunjuk genangan air sambil menjelaskan, "Lihat, air hujan sudah masuk ke kuil dan mencapai pergelangan kaki kita. Kalau terus menunggu, kita bakal tenggelam sekalipun bendungan nggak runtuh."Sebenarnya, Maudy juga tidak bisa memastikan karena tidak tahu apakah bendungan itu terletak di area ini atau bukan. Tidak ada penjelasan rinci di novel, apalagi Maudy sudah mulai lupa. Yang jelas, mereka harus segera meninggalkan kuil ini atau akan tenggelam di sini!Petra menatap genangan air dan berharap spekulasi Maudy tidak benar. Dia berucap, "Mungkin ini cuma sementara. Hujan ini nggak mungkin turun sampai sejam lebih, 'kan? Sebentar lagi juga reda."Maudy mulai merasa bingung. Petra ini benar-benar keras kepala. Kalau bukan karena ada ke
"Di luar hujan deras, lebih aman di dalam kuil bobrok ini. Memangnya kenapa kalau airnya masuk? Setidaknya kita nggak kehujanan. Kalau keluar sekarang, pasti akan basah kuyup." Alasan mereka tidak mau keluar dari tempat itu sama persis dengan Petra sebelumnya.Melihat air di kakinya mulai naik perlahan-lahan, sementara segerombolan orang ini masih terus mengeluh dan berlambat-lambat. Saking marahnya, Petra langsung mengeluarkan cambuknya. Bagaimana Maudy bisa menahan diri untuk tidak menghajar mereka tadi?Yang jelas, Petra tidak bisa bersabar lagi!"Kupukul kalian sampai mati!""Kak Petra, tunggu!" cegah Maudy buru-buru.Melihat begitu banyak tahanan yang tidak mau pergi, tidak ada gunanya jika Petra menggunakan cambuk. Bahkan jika para tahanan ini bersedia untuk pergi sekalipun, mereka pasti akan tetap bermalas-malasan hingga memperlambat perjalanan mereka.Maudy memberikan tatapan kepada Petra untuk menenangkannya, lalu berbalik dan berkata pada semua orang, "Semuanya tolong dengark
Sepanjang perjalanan ini, keluarga Hidayat telah bekerja keras, tetapi Wulan malah tidak menghargainya sama sekali."Teriak apaan? Ibu sedang marah, wajar saja dia memukulku." Wajah Hidayat tampak kaku. Bagaimanapun Wulan memarahinya, Hidayat tetap menggendongnya untuk mengikuti langkah gerombolan tersebut.Sementara itu, jasad Farhan terpaksa ditinggalkan di kuil itu. Setelah keluar dari kuil, Petra bertanya, "Maudy, sekarang kita mau jalan ke mana?"Maudy telah memeriksa kondisi medan sebelumnya, sehingga dia bisa memutuskan dengan tegas, "Kita ke lereng bukit di kedua sisi sungai. Meski bendungan runtuh, banjir nggak akan sampai ke kita." Vegetasi di sekitarnya cukup lebat dan di lereng bukit tidak ada risiko longsor.Mengingat kematian tragis Farhan, Maudy merasa perlu menambahkan peringatan, "Semua orang usahakan ikuti aku. Jangan berdiri di tempat terbuka sambil berteriak, berjalanlah di bawah pepohonan, tapi jauhi pohon yang paling besar dan tinggi supaya nggak tersambar petir.
Siska menoleh untuk melihat ke sekelilingnya, lalu berkata, "Abbas, Mina, mana Mina?""Bukannya Mina ada di punggungku?" Abbas baru bereaksi, lalu bergegas melihat keranjang di punggungnya yang sudah kosong. Dia tiba-tiba teringat saat banjir menghantam tadi, sempat terjatuh. Mungkin saat itu Mina terjatuh dari punggungnya."Mu ... mungkin sudah terbawa arus. Ini nggak bisa salahkan aku. Kenapa anak bodoh itu nggak ikut lari ...," sergah Abbas dengan tatapan bersalah.Siska langsung berteriak histeris. Meskipun pihak keluarga mereka selalu mengejeknya karena tidak bisa melahirkan anak laki-laki, Siska tidak pernah merasa keberatan dengan kedua putrinya. Kini melihat putrinya dicelakakan oleh Abbas, Siska langsung marah besar dan melayangkan cakaran ke arah Abbas."Abbas, kamu bajingan! Berani-beraninya kamu meninggalkan anakmu untuk menyelamatkan diri! Mina baru lima tahun, gimana dia bisa lari dari banjir? Kembalikan Mina!"Seiring dengan terdengarnya suara cakaran, kuku panjang Siska