Sebenarnya aku deg degan kalau akan ketemu ipar kembar. Malas saja harus meladeni nyinyiran mereka yang tak pernah bosan menyerangku. Tapi syukurlah ternyata mereka sedang tak ada di rumah. Mama bilang mereka sedang reuni dengan teman-teman SMU nya dan akan menginap dua hari.Kami jalan kaki dari rumah baru Mas Agi ke rumah Mama karena jaraknya tak terlalu jauh. Hanya beda RT saja. Kugamit lengan Mama dan menuntunnya berjalan. Meski sudah sembuh tapi beliau tak boleh jalan tergesa-gesa.“Lala seneng banget Mama sekarang sudah sembuh. Jangan sakit lagi ya, Ma.”Mama Mertua merangkul pundakku, tinggi kami sepantaran. “Ini berkat kamu, La. Kamu yang selalu telaten merawat Mama. Bahkan setelah merantau pun kamu menyewakan perawat untuk Mama. Kasih sayangmu untuk Mama melebihi yang diberikan anak-anak Mama.”Kulihat Mas Agi tertegun. Mungkin dia baru menyadari artiku bagi Mama. Dia mengalihkan perhatiannya dengan menggoda Yusril yang digendongnya
Saat aku memandangi wajah anakku yang terlelap dan mengusap-usap lengannya, Mas Agi menggeser duduknya mendekatiku. Dia mengusap kepalaku dengan lembut membuat hatiku menghangat. Mendapatiku yang menerima sentuhannya suamiku makin berani. Dia mendekatkan wajahnya dan mencium pucuk kepalaku. Tubuhku mengejang.Kutatap matanya yang berjarak sejengkal di sepanku.sebuah kesalahan. Mata itu mengunci pandanganku. Mata yang selalu kurindukan kini seolah ingin menenggelamkanku di dasarnya. Aku menelan ludah saat mendapati kerinduan yang sangat besar di sana. membuatku tak dapat memalingkan wajah dari mata itu.Perlahan dia menarik kepalaku dan merengkuhnya dalam dekapan. Aku tergugu, menangis terisak di sana mencoba melarung segala luka dan kerinduan yang kupunya. Dadanya masih seperti yang kuingat, menawarkan kedamaian saat aku menenggelankan kepala di sana.Tangan yang kini terlihat lebih kokoh itu mengusap air mataku dan berbisik lirih. “Maafkan, Mas. Maafkan semua luka yang Mas beri untu
“Tolong jangan begini, La. Tolong maafkan Mas. Kamu perempuan paling pemaaf yang Mas pernah temui.” Mas Agi berusaha memelukku tapi aku terus menepisnya.“Iya aku memang pemaaf dan saking pemaafnya sampai mudah dibohongi dan disakiti.” Aku makin terisak. Tega sekali lelaki bergelar suami itu. Ingin sekali saat ini juga aku pulang ke rumah Ibu tapi kasihan anakku masih tidur nyenyak. Di sering bangun pukul tujuh. Kuhidangkan sarapan yang tadi kumasak di meja makan. Mama terlihat sangat gembira bisa sarapan bersama kami. Beliau banyak bercerita tapi kemudian terdiamsaat Melihat mata sembabku.“Lala habis nangis, Nak? Ada apa? Baru tadi Subuh Mama lihat kamu bersenandung ceria.” Aku hanya tersenyum terpaksa, bingung harus menjawab bagaimana pertanyaan Mama. Inginnya mengutarakan keinginan minta cerai tapi tak tega sama Mama.“Ya, ampuuun ternyata ada babu Arab di rumah kita. Mau dong oleh-olehnya.” Suara Yani yang baru masuk rumah menambah buruk moodku.“Beruntung banget kita ya, pulang
Tiba di rumah Ibu aku langsung menyerahkan Yusril pada Lina supaya dibujuk untuk mandi dan makan. Lina menatapku dengan iba dan mengangguk tanpa banyak bicara. Dia pasti sudah menebak yang terjadidi rumah mertuaku dari mata bengkakku.“Ibuu … Teteh tadinya sudah akan memaafkan Mas Agi. Itu setelah melihat perlakuannya yang lembut dan hangat kemarin pada Yusril. Anak itu butuh ayahnya. Biarlah Teteh sebagai ibu berkorban untuknya. Apalagi kemarin Mas Agi pun baik sekali sama Teteh. Tapi ternyata hatinya bukan milik Teteh lagi.” Kuceritakan kejadian pagi tadi saat aku membangunkannya dan dia malah menyebut nama Melia.“Rasanya sakit sekali, Bu. Suamiku menyebut nama wanita lain bahkan saat bersamaku. Bagaimana pula saat dia jauh dariku.” Aku menangis terisak-isak dalam pelukan Ibu.Ibu tak bicara apa pun hanya memeluk dan mengusap-usap punggungku. Perempuan terkasihku itu memahami yang dibutuhkan putrinya saat ini hanya didengarkan.“Bu, Teteh minta Mas Agi kesini nanti siang. Teteh sud
“Mas juga sama terima kasih untuk segala pengorbananmu untuk keluarga kita. Mas juga minta maaf untuk semua kesalahan Mas selama ini. Sekarang mari kita lupakan yang sudah lalu dan fokus kedepan. Mas janji akan berusaha menjadi suami yang lebih baik untukmu juga ayah yang lebih baik untuk Yusril. Kita berjuang bersama ya, Sayang,” kata Mas Agi sambil mengenggam tanganku. Kubiarkan saja karena dia masih berhak melakukannya. Nampaknya dia masih percaya diri kalau aku akan tetap bertahan bersamanya, setelah apa yang kami lakukan semalam.“Lala mohon maaf karena tidak bisa lagi berjuang bersama Mas. Rasanya cukup hampir tiga tahun Lala berjuang sendiri dan sekarang ingin berhenti. Apalagi saat ini kedudukanku sudah tergantikan, dengan wanita yang lebih segalanya dari diri yang hina dina ini.” Lirih suaraku tapi membuat suamiku mendongak menatapku tajam.“Apa maksudmu? Kau jangan menakuti Mas.”“Maksudku sangat jelas, Mas. Aku sudah lelah berjuang sendrian. Kemarin aku sudah berusaha memaa
“Lin, kamu masih libur kuliah?” Kudengar suara Ibu memanggil Lina. Aku kembali bergelung di bawah selimut sambil memeluk anakku setelah salat Subuh tadi. Rutinitas yang sama kulakukan selama beberapa hari ini. Tak ada gairah melakukan apa pun.“Masih, Bu. Kenapa?”“Ajak Teteh jalan-jalan. Di rumah murung terus, kasihan.”Tak kudengar jawaban adikku, tahu-tahu dia duduk di sampingku. “Teh, katanya mau ketemu Bu Mulia. Beliau nanyain terus lho kapan kita mau kesana. Mau Lina temenin mumpung libur kuliah?”Sebenarnya aku tak punya semangat melakukan apa pun. Tapi dari pada murung terus di rumah tak ada salahnya mengikuti ajakan Lina. Kusibakkan selimut dan memaksakan tersenyum,“Teteh mandi dulu ya. Kamu bangunin Yusril ya.”Setelah mandi dan sarapan rasanya lebih segar dari sebelumnya. Baru sadar kalau dari kemarin aku belum mandi. Anakku terlihat senang sekali saat tahu akan diajak jalan-jalan. Kami berangkat naik angkutan pedesaan disambung naik bis Budiman trayek Tasik-Bandung. Aku t
Sesuai kesepakatan dengan majikanku, aku hanya mudik sebulan. Meski hati sunguh berat tapi aku tak bisa menyalahi perjanjian itu. Melihat anak semata wayangku menangis meronta-ronta nyaris meruntuhkan pertahananku. Hatiku iba melihat dia jauh dari ibu juga ayahnya. Aku janji setelah masa kerjaku habis dua tahun akan segera pulang untuk mengasuhnya. Semoga saat itu tabunganku sudah terkumpul untuk membangun sebuah rumah.“Pergilah, insya Allah Yusril tak akan kekurangan kasih sayang dari Ibu dan keluarga kita.” Wanita terkasihku menguatkan langkahku saat mataku taklepas dari buah hatiku.“Titip Yusril juga Ibu ya, lin. Teteh percaya sama kamu.” Aku merangkul badan adikku yang berpostur lebih tinggi. Lina mengangguk sambil mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir. Setelah Bapak meninggalkan kami, otomatis kami bertiga saling mengandalkan satu sama lain. Aku, Ibu, dan Lina adikku.Aku sudah pamitan pada Mama mertua kemarin sore ditemani adikku tentu saja. Beliau memelukku erat den
“Tapi kamu enggak kangen-kangenan dulu kan sama suamimu? Ya kali aja, terus jadi anak tuh.” Bisik gadis Jawa itu.Wajahku pias seketika. Ayu mengingatkanku pada kemungkinan itu. Tapi tentu saja aku malu sekali untuk mengakui hal itu. Pasti wajahku sudah semerah tomat saat ini. dengan lirih aku berguman, “Ya enggak lah, ada-ada aja.”Majikanku penasaran apa yang kami bisikan dalam Bahasa Indonesia. Kusikut lengan Ayu. “Enggak apa-apa, cuman tanya mau masak apa hehe,” jawab Ayu ngarang.Setelah itu pikiran tentang kemungkinan hami terlupakan karena kesibukan merawat majikan. Selain itu otakku masih harus memikirkan bisnis kurma agar ramai seperti tahun lalu mengingat ini sudah hamper dekat Ramadhan. Hingga suatu siang setelah membantu Ummi salat Zuhur aku Melihat sahabatku tengah asik membaca novel online.“Enggak salat kamu?” tanyaku.“Lagi datang bulan. Memang kamu belum datang bulan? Biasanya kita barengan.” Eh, betul juga. Biasany