Benar kata orang bijak bahwa roda kehidupan itu selalu berputar. Kadang di atas kadang di bawah kadang di tengah. Dan hidup tak pernah selalu datar, ada tanjakan ada pula turunan. Monoton dan tak menggairahkan pastinya kalau hidup selalu datar dan tanpa belokan. “Kata orang Sunda mah hidup itu keur ceurik cape ceurik, keur seuri cape seuri (lagi nangis cape nangis, lagi ketawa cape ketawa). Itulah mengapa kita harus selalu ingat sama Sang pencipta, supaya saat nangis tak putus asa dan saat tertawa tidak jumawa.” Suatu hari Ibu menasihatiku di telpon.Demikian pula yang kurasakan. Semenjak suami di PHK hingga sebelum berangkat menjadi TKW rasanya hidupku dalam episode menangis terus. Lalu setelah beberapa waktu menjadi TKW hingga saat ini hidupku jadi banyak tertawa. Ketemu teman kerja yang baik, majikan baik, ketemu mentor bisnis, dan akhirnya merasakan manisnya bisnis kurma. Saat sedang nelpon Ibu tak pernah lupa mengingatkan agar putrinya ini lebih banyak b
Kalau apa yang dicurigari Lina itu benar sih kebangetan. Demi uang rela ibunya dianggap sakit. Tapi kalau mengingat perilaku ipar kembar sebelum ini hal itu sangat mungkin terjadi. “Teteh sepertinya akan menghentikan transfer ke mereka, Lin. Kecuali mereka ngebolehin Teteh bicara sama Mama dan beliau memang masih sakit.” Dengan berat hati aku harus mengambil keputusan ini.“Gitu dong, dari dulu Lina mikir kayak gitu. Tapi kan Teteh terlalu khawatir sama mertuanya.” Aku tertawa mendengar ucapan adikku.Ternyata tidak semua orang ikut senang dengan kemajuan bisnis kurma kami. Mamang Dasep misalnya, Lina bilang beliau berkali-kali datang memprovokasi ibu agar mau membujukku untuk kembali menabung bahan bangunan. Rasanya ada yang janggal, buat apa dia melakukan itu coba?Jika niatnya memang ikut bertanggung jawab pada kehidupan kami sebagai adik Bapak, harusnya ikut bahagia melihat bisnis kurma kami laris. Lalu jika tujuannya ingin menambah moda
Ukhuk … ukhuk … aku yang tengah minum tiba-tiba keselek mendengar candaan Ayu. Sungguh, aku panik dan khawatir dia mengetahui obrolanku dengan Ummi Maimunah. Semoga saja Ayu hanya kebetulan melontarkan candaannya. Entah apa yang harus kukatakan bila dia betulan tahu.“Rejeki orang memang beda-beda ya. Bisnis kurma kamu sukses dalam waktu singkat, sementara bisnis kurmaku bisa menghabiskan stok yang ada aja udah untung. Tapi justru dari pengalaman ini seperti membuka pikiranku tentang satu hal. Mau tahu apa?”“Apa?”“Bahwa kita tidak akan tahu dari pintu mana rejeki kita akan keluar bila kita tak pernah mencoba membuka pintunya. Seperti kamu, tak pernah tahu kan sebelumnya bahwa rejekimu ada di balik pintu kurma. Satu lagi. Kalau bisnis kurma bukan pintu rejeki untukku berarti Allah telah menyiapkan pintu lain yang harus kubuka. Tul gak?”“Masya Allah, itu benar. Kamu cerdas sekali Ayu sahabatku.” Aku memeluk erat-erat tubuh gadis manis itu. “Muji sih muji tapi jangan bikin aku mau ma
“Halo Lina, maafin Teteh tadi sempet shock. Kamu, Ibu, sama Yusril nggak ada yang luka kan? Rumah sama barang-barang kita apa masih ada yang bisa diselamatkan? Bisnis kita bagaimana nasibnya?” aku memberondong Lina dengan pertanyaan. Sungguh aku mengkhawatirkan semuanya.“Alhamdulillah kami tak ada yang terluka. Karena saat kejadian kami tengah botram di rumah Uwak. Anginnya kemaren lumayan kencang bikin kami ngantuk habis botram. Angin kencang juga bikin api cepat menyebar. Ada konslet katanya.” Nampaknya Lina juga sudah mulai tenang. Dia lancar bercerita meski sesekali isakannya lolos.“Rumah kita nyaris habis, Teh, namanya juga rumah sebagian kayu. Tapi masih untung kurma pas lagi habis. Uangnya juga semua di rekening. Hanya beberapa puluh ribu aja yang di dompet. Tapi buku sama perlengkapan sekolah aku habis semua huhuhu ….” Tangis Lina kembali meledak. Wajar, dia sebentar lagi ujian kelulusan dan sekarang semua buku dan seragamnya habis dilalap si jago merah.Telpon berpindah ke t
Di antara ungkapan empati para kerabat, teman dan tetangga, ada satu pesan chat yang berbeda membalas status WA-ku.“Turut berduka ya, La atas musibah kebakaran rumahnya. Tapi maaf ya, Cuma mau ngingetin. Katanya kalau orang kurang sedekah itu hartanya suka diambil paksa sama Allah. Itu kata ustadz lho, bukan kata aku.” Ipar kembarku memang tak berubah. Orang lagi kena musibah pun dikatainnya. Dia kira sejuta yang kukirim tiap bulan untuk Mamanya itu daun? Astaghfirulloh … bikin hati makin sumpek aja.“Makasih infonya. Cuma mau nanya aja, transferan sejuta tiap bulan itu kira-kira uang atau daun ya?”Centang dua biru tapi tak ada balasan. Malu sendiri kan!Hih! kalau bukan ipar udah kublokir nomornya dari dulu. Nggak ada bagus-bagusnya nyimpen nomor mereka. Nyesel buka chatnya.Sepanjang hari itu kuhabiskan dengan ngontak sana sini untuk tempat tinggal keluargaku juga perlengkapan sekolah adikku. Kukontak juga Bu Mulia, sekadar memberi kabar dan meminta doanya. Tak dinyana beliau memil
“Bila memang itu keputusan Teteh, Ibu hanya bisa mendoakan. Jangan lupa salat istikharah. Tak akan rugi orang yang meminta dipilihkan oleh Allah urusan pentingnya.” Kami menyudahi pembicaraan dengan hati yang berat.Enam bulan terakhir Allah mengujiku dengan kenikmatan berupa lancarnya bisnis yang baru kurintis. Dua bulan menjelang Ramadhan hingga para jamaah haji pulang ke tanah air kurma serta oleh-oleh Arab banyak dicari. Momennya pas sekali sehingga tak heran bila bisnisku melesat cepat. Ditambah tentu saja peran Bu Mulia sebagai mentor tak bisa dianggap sebelah mata. Tak akan pernah ada brand Saudagar Kurma tanpa kehadiran Bu Mulia. Lina sudah merancang masa depannya. Dia akan kuliah jurusan Manajemen Bisnis. Karena bisnis kami masih skala kecil dan online sehingga dia bisa kuliah sambil bekerja. Sahabatnya sudah siap menangani urusan teknis seperti menimbang kurma dan packing saat ada orderan. Dia tak akan melanjutkan ke perguruan tinggi.“Aku
“Teh, setelah lebaran haji penjualan kurma kita menurun drastis. Nyaris tak ada lagi yang belanja.” Lina laporan saat jam istirahat siangku. Meski sebelumnya sudah tahu akan seperti ini dari Bu Mulia tapi tetap saja membuat hati yang tengah galau makin merana.“Stok kita masih banyak enggak, Lin?”“Di rumah stok buat jualan abis sih. Tapi ya asa gimana gitu waktu Ramadhan seperti air bah sekarang tiba-tiba seperti dibendung. Aku kan kaget. Aku juga bingung kalau kurma enggak laku terus kita jualan apalagi.” Nada suara adik semata wayangku melemah.“Kamu jangan terlalu memikirkan cara menghasilkan uang, kan masih ada Teteh yang kerja. Fokus aja buat ujian. Setelah lulus nanti kamu bisa cari kerja atau jualan yang lain.”“Enggak bisa gitu juga. Aku tetap kepikiran rumah. Gimana pun caranya aku harus ikut membantu nyaari uang.” Lina yang keras kepala, aku memilih membiarkannya. Toh dia pasti akan lebih mementingkan ujiannya. Dia anak yang bertanggung jawab.“Ya
“Lala, kamu mimpi buruk lagi?”Aku membuka mata dengan keringat bercucuran dan napas terengah-engah. Rasanya mimpi tadi begitu nyata, aku nyaris tenggelam saat berjalan di pantai. Ayu menyodorkan segelas air putih lalu memelukku tanpa bicara. Akhir-akhir ini aku sering mimpi buruk hingga mengigau. Entahlah, mungkin tekanan batinku kali ini terlalu kuat. Kalau tak ingat jarak yang membentang, rasanya saat ini juga ingin pulang kampung. Mencari ketenangan di pelukan Ibu sambil mendengar wejangannya.“Kamu anak Ibu yang kuat. Kita punya Allah. Jangan menanggung beban sendirian, adukan semuanya pada Dia yang Maha Kuasa.” Terngiang selalu di telingaku kata-kata Ibu.Musibah kebakaran yang menimpaku membuat hatiku merasa sangat lelah dan ingin berhenti berjuang. Jika kemarin aku bersemangat karena masih memiliki tempat tinggal keluarga meski sangat sederhana, sekarang keadaannya berbeda. Aku bukan hanya berjuang dari nol tapi justru malah kembali ke minus. Logikaku mulai bermain, menyuruhk
“Aku enggak butuh tanah seluas ini, ya Habibi. Aku tahu uangmu tak berseri. Tapi jangan hamburkan untuk sesuatu yang sia-sia.” Suamiku mengusap-usap tanganku yang memegang lengannya.“Kalau aku tetap mau membelinya, gimana?” senyumnya dengan alis dinaik-turunkan untuk menggodaku.Ah, kadang-kadang sultan Arab ini nyebelin juga. Eh, tapi masa mau dibeliin tanah sepuluh hektar dibilang nyebelin. Tapi buat apa tanah seluas itu coba? Siapa yang mau ngurus?Aku menyimpan nomor ponsel yang tertera atas perintah suamiku tercinta sambil cemberut. Dia malah tertawa sambil mengecup bibirku dan membuat mataku melotot. Kan malu kalau ada orang yang melihat.“Bagaimana menurutmu bila di tempat ini kita bangun sebuah pesantren? Anak-anak akan belajar di sini dengan fasilitas yang baik tanpa dipungut bayaran sepeser pun?”Aku menatap matanya lekat. Itu adalah impian selintasku dulu sekali yang bahkan tak pernah berani kukatakan pada siapa pun. Impian yang muncul saat membaca tentang pesantren tahfidz
Setelah walimah kami memutuskan tinggal di rumah baru kami dengan status visa suami sebagai wisatawan. Setelah masa berlaku bisa hampir habis baru akan kami pikirkan rencana selanjutnya, apakah memperpanjang visa suami atau kami kembali ke kota Madinah. Beliau tak perlu khawatir dengan bisnisnya karena punya beberapa orang kepercayaan. Ada orang yang khusus mengelola hotel, juga ada yang khusus mengelola kebun kurma. Istilahnya mungkin bisnis jalan tapi ownernya jalan-jalan. Ibu, Lina dan Yusril senang sekali bisa berkumpul setiap hari setelah berpisah sekian lama. Rumah kami sekarang selalu hangat dengan kasih sayang dan gelak tawa.“Ucil senang sekali sekarang Ucil bisa main sama Bubu tiap hari. Sama Baba juga Ucil suka main kuda-kudaan.”Anakku selalu riang gembira. Berpindah-pindah dari pangkuanku, ke pangkuan ayah sambungnya, lalu ke pangkuan Ibu, juga ke pangkuan Lina. Dia seolah sedang memuaskan dirinya bermain bersama semua orang yang menyayanginya. Setiap waktu salat dia aka
Menjelang Ashar tamu masih berdatangan satu-satu. Tapi kami sudah terlalu lelah dan pamit masuk ke rumah untuk beristirahat. Di tenda luar dan ruang tamu masih ada Ibu dan Uwa yang bisa mewakili kami menerima tamu. Kecuali tamu spesial maka kami akan menemuinya sebentar.Saat masuk kamar mataku membola melihat ke arah tempat tidur kami. Besar sekali ukuran kasur ini. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, suamiku yang berbadan lebih tinggi dari orang Indonesia pasti merasa tak nyaman saat tidur di kasurku. aku merasa bersalah tetapi dia tak protes. Subhanallah, manisnya suamiku."Ekhem, sudah tak sabar menunggu malam, ya Habibati? Lihat kasur terus." Sebuah suara dengan nada menggoda berbisik di telingaku membuat wajahku memerah. "Apaan sih, enggak kok. Aku hanya baru sadar kasur di kamarku kecil banget buatmu. Maaf ya, Habibi, aku kurang peka." Suamiku hanya tersenyum. Dia memang selalu tidur lebih akhir dan bangun lebih awal sehingga aku tak menyadarinya."Mari kubantu melepas baju
Akhirnya tiba juga hari ini. Menjadi ratu sehari dalam pernikahan kedua. Kami duduk di pelaminan yang didekorasi indah di halaman rumah kami yang luas. Aku mengenakan gaun pengantin putih cantik yang dikirim memakai cargo dari Arab sana. Suamiku yang gagah terlihat makin memesona dalam balutan baju pengantin warna putih senada dengan gaunku. Aku di-make up minimalis saja. Ibu dan Wak Endo duduk mendampingi kami. Yusril bergabung bersama kami sebentar tapi kemudian bosan dan memilih main bersama sepupunya."Istriku cantik sekali, Masya Allah. Inginnya kusembunyikan saja di kamar," komentar suamiku saat melihatku selesai didandani."Aku juga malu sekali buat duduk di pelaminan. Betul katamu, sebaiknya aku ngumpet di kamar.""Haha aku bercanda, ya Habibati. Kita harus tetap duduk untuk menyalami tamu. Seperti adat di sini. Lagi pula kelihatannya tamu-tamu di sini sopan-sopan pakaian dan perilakunya."Panggung hiburan berdiri kokoh di sebelah kanan gerbang. Siapa pun boleh ikut berpartisi
Hari ini merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidup Ibuku, dan melihat kebahagiaan beliau adalah salah satu kebahagiaan terbesarku. Sebenarnya aku malu bila harus dipajang lagi di pelaminan sebagai mempelai. Tetapi Ibu ingin berbagi kebahagiaan kami dengan seluruh warga kampung dan kerabat kami, maka aku pun memenuhi keinginannya dengan mengadakan walimah yang meriah untuk ukuran kami.Dua hari sebelum hari-H Alhamdulillah rumah baru kami sudah selesai dibangun dan siap digunakan untuk resepsi. Masjid kampung kami pun meski belum selesai dibangun tapi sudah nampak bangunan utuhnya yang megah. Sehingga kami tidak terlalu merasa bersalah bila memiliki rumah megah tapi masjid diabaikan.Kami memilih tidak memakai jasa catering, dan memberikan kesempatan pada para tetangga untuk berpartisifasi. Para tetangga pun dengan senang hati berkumpul di dapur Ibu untuk membantu memasak. Kue-kue tradisional yang lezat-lezat memenuhi ruang keluarga rumah kontrakan Ibu sejak malam. Sementara
Entah berapa lama aku terjebak di sini hingga tiba-tiba semua orang terdiam dan melihat ke arah yang sama. Aku yang tengah menunduk jadi bingung dan ikut melihat arah tatapan mereka.“Masya Allah Nabi Yusuf lewat.”“Masya Allah ada malaikat di kampung kita.”"Lihat punggungnya, jangan-jangan dia punya sayap."Pria macho dengan wajah ganteng itu kaget sebentar saat melihat gerombolan ibu-ibu, tapi kemudian dengan tenang melewati mereka. Tanpa memandang dan tanpa senyum hanya mengucapkan assalamualaikum dengan suara tegas penuh kharisma. Di Arab sana pasti tak pernah ditemuinya gerombolan ibu-ibu nangkring sore-sore. Aku geleng-geleng kepala saat para ABG putri diam-diam mengambil foto Mister Halim.Menjelang Jum'atan aku sudah siap berangkat bersama Lina menuju rumah mantan mertua. Mengantarkan kartu undangan sebagai alasanku untuk bersilaturahim dengan beliau. Sebenarnya aku kangen sekali dengan mantan mertua yang baik hati itu. Tapi hati selalu bimbang setiap mengingat kemungkinan aka
“Jodoh kan takdir. Yang namanya takdir kan kita bisa berikhtiar enggak pasrah gitu aja. Kayaknya enggak mungkin sultan Arab itu tiba-tiba jatuh hati pada, maaf ya, seorang pembantu.”Jleb! Meski benar aku pembantu di negeri orang, tapi tak usahlah sampai ditegaskan begitu. Pembantu juga manusia yang punya hati. Rasanya malas sekali menghadapi tamu tak diundang ini. Sudah mah minta tips yang aneh-aneh eh malah menghina yang diminta tipsnya pula.“Eh, ada de Linda sama Melin, tumben ke mari. Ada hal penting ya?” Ibu masuk dari warung dan langsung menyapa. “Iya nih, Teh, ada yang mau ditanyakan sama Lala, tapi Lalanya kayak enggak mau berbagi ilmu yang dia punya.” Eh, Bi Linda malah ngadu.“Ooh mau minta ilmu jualan kurma mungkin ya? Kasih tahu atuh, Teh.” Aku jadi ingin ketawa lihat ekspresi melongo Bi Linda.“Sebentar ya, Uwa ambilin rujak, Melin suka rujak, kan?’ Ah, ibu yang selalu baik sama semua orang meski orang itu tak pernah menganggapnya.Setelah Ibu ke warung, Bi Linda dan
“Anak Ibu sama ponakan Ibu sama-sama cantiknya. Apalagi cantiknya keluar dari hati, makinlah keluar aura cantiknya.” Ibu menepuk-nepuk lengan kami. Kulihat Wak Yati tertawa dengan wajah berseri meski juga tak dapat menyembunyikan kelelahan setelah seharian keliling kota.Ucil yang tertidur dalam pelukan Wak Yati menggeliat-geliat. Sepertinya dia kelelahan dan merasa kurang nyaman tidurnya. Akhirnya kami memutuskan untuk segera pulang. Tak lupa mampir sebentar membeli ikan bakar untuk makan malam di rumah. Rasanya hari ini banyak orang bertingkah lucu. Dimulai dengan pagi-pagi ada tamu teman sekolahku. Sebenarnya kami dulu tidak bisa dibilang dekat, dia yang lumayan kaya bergaul dengan teman selevelnya. Entah angina apa yang membawanya kemari. Dia tak sendiir, membawa dua orang temannya yang tinggal di desa sebelah juga katanya. Dan kedua temannya itu masing-masing membawa dua temannya juga. Jadilah pagi ini aku menerima tamu rombongan dadakan yang sebenarnya tak kukenal. Ibu yang men
Kami sepakat untuk menggunakan jasa WO temannya Lina. Setelah itu kami mengobrolkan banyak hal seputar persiapan walimah. Sebenarnya aku malu harus walimahan yang kedua kali, cukup syukuran keluarga. Tapi suamiku tetap pada pendiriannya ingin mengadakan walimahan sekalian mengenal handai tolan kami katanya. Betul juga sih, kalau mengunjungi satu-satu kapan waktunya. Hari ini kami akan berbelanja kebutuhan walimah ke kota. Aku, Ibu, Lina, Yusril, Wak Yati, dan Imah, Kami menggunakan jasa rental mobil plus sopirnya. Sengaja kami menggunakan mobil yang agak besar karena nanti akan berbelanja cukup banyak. Suamiku yang kaya dan baik hati itu memberikan uang rupiah dalam kartu ATM-ku.“Ajak Ibu dan siapa pun yang Adik mau untuk berbelanja ke kota. Terserah mau belanja apa pun yang Adik inginkan dan butuhkan terutama untuk walimah kita. Kalian bersenang-senanglah sesekali. Makan di restoran, perawatan di salon, apa pun. Abang ingin Adik bahagia dengan keluarga. Seharian ini Abang akan sibu