Rasanya nikmat sekali tidur siang ini, aku bangun dengan badan segar siap kembali bekerja. Kulihaat sahabatku tengah menerima telpon sambil marah-marah. Duh, ada apa lagi dengannya? Semoga tak ada masalah besar.“Mbak enggak bisa seenaknya gitu dong. Kalau enggak bisa bantu seenggaknya jangan nambahin beban lah,” Suara Ayu ketus. Dia bicara sama siapa? “Kalau Mbak mau silahkan aku kasih dengan senang hati Mbak yang nikah sama Juragan Joko. Enak aja ngorbanin aku buat kepentingan kalian. Dengar ya, Mbak kalau itu Juragan Joko lelaki terakhir di dunia ini, aku tetap tak mau nikah sama dia. Ngeri aku kalau nikah sama dia tiap hari makan riba.” Ayu misuh-misuh.“Lebih baik sok suci dari pada sok najis. Terserah kata Mbak aja lah, capek aku. Assalamualaikum.” Ayu membanting ponselnya ke kasur lalu menutup mukanya. Mengambil bantal untuk menutup mukanya dan berteriak tertahan. Tangannya memukul-mukul kasur sekuat tenaga.“Hei, kenapa?” Aku tak tahan lagi.“Kesel banget sama kakakku. Enak b
Benar kata orang bijak bahwa roda kehidupan itu selalu berputar. Kadang di atas kadang di bawah kadang di tengah. Dan hidup tak pernah selalu datar, ada tanjakan ada pula turunan. Monoton dan tak menggairahkan pastinya kalau hidup selalu datar dan tanpa belokan. “Kata orang Sunda mah hidup itu keur ceurik cape ceurik, keur seuri cape seuri (lagi nangis cape nangis, lagi ketawa cape ketawa). Itulah mengapa kita harus selalu ingat sama Sang pencipta, supaya saat nangis tak putus asa dan saat tertawa tidak jumawa.” Suatu hari Ibu menasihatiku di telpon.Demikian pula yang kurasakan. Semenjak suami di PHK hingga sebelum berangkat menjadi TKW rasanya hidupku dalam episode menangis terus. Lalu setelah beberapa waktu menjadi TKW hingga saat ini hidupku jadi banyak tertawa. Ketemu teman kerja yang baik, majikan baik, ketemu mentor bisnis, dan akhirnya merasakan manisnya bisnis kurma. Saat sedang nelpon Ibu tak pernah lupa mengingatkan agar putrinya ini lebih banyak b
Kalau apa yang dicurigari Lina itu benar sih kebangetan. Demi uang rela ibunya dianggap sakit. Tapi kalau mengingat perilaku ipar kembar sebelum ini hal itu sangat mungkin terjadi. “Teteh sepertinya akan menghentikan transfer ke mereka, Lin. Kecuali mereka ngebolehin Teteh bicara sama Mama dan beliau memang masih sakit.” Dengan berat hati aku harus mengambil keputusan ini.“Gitu dong, dari dulu Lina mikir kayak gitu. Tapi kan Teteh terlalu khawatir sama mertuanya.” Aku tertawa mendengar ucapan adikku.Ternyata tidak semua orang ikut senang dengan kemajuan bisnis kurma kami. Mamang Dasep misalnya, Lina bilang beliau berkali-kali datang memprovokasi ibu agar mau membujukku untuk kembali menabung bahan bangunan. Rasanya ada yang janggal, buat apa dia melakukan itu coba?Jika niatnya memang ikut bertanggung jawab pada kehidupan kami sebagai adik Bapak, harusnya ikut bahagia melihat bisnis kurma kami laris. Lalu jika tujuannya ingin menambah moda
Ukhuk … ukhuk … aku yang tengah minum tiba-tiba keselek mendengar candaan Ayu. Sungguh, aku panik dan khawatir dia mengetahui obrolanku dengan Ummi Maimunah. Semoga saja Ayu hanya kebetulan melontarkan candaannya. Entah apa yang harus kukatakan bila dia betulan tahu.“Rejeki orang memang beda-beda ya. Bisnis kurma kamu sukses dalam waktu singkat, sementara bisnis kurmaku bisa menghabiskan stok yang ada aja udah untung. Tapi justru dari pengalaman ini seperti membuka pikiranku tentang satu hal. Mau tahu apa?”“Apa?”“Bahwa kita tidak akan tahu dari pintu mana rejeki kita akan keluar bila kita tak pernah mencoba membuka pintunya. Seperti kamu, tak pernah tahu kan sebelumnya bahwa rejekimu ada di balik pintu kurma. Satu lagi. Kalau bisnis kurma bukan pintu rejeki untukku berarti Allah telah menyiapkan pintu lain yang harus kubuka. Tul gak?”“Masya Allah, itu benar. Kamu cerdas sekali Ayu sahabatku.” Aku memeluk erat-erat tubuh gadis manis itu. “Muji sih muji tapi jangan bikin aku mau ma
“Halo Lina, maafin Teteh tadi sempet shock. Kamu, Ibu, sama Yusril nggak ada yang luka kan? Rumah sama barang-barang kita apa masih ada yang bisa diselamatkan? Bisnis kita bagaimana nasibnya?” aku memberondong Lina dengan pertanyaan. Sungguh aku mengkhawatirkan semuanya.“Alhamdulillah kami tak ada yang terluka. Karena saat kejadian kami tengah botram di rumah Uwak. Anginnya kemaren lumayan kencang bikin kami ngantuk habis botram. Angin kencang juga bikin api cepat menyebar. Ada konslet katanya.” Nampaknya Lina juga sudah mulai tenang. Dia lancar bercerita meski sesekali isakannya lolos.“Rumah kita nyaris habis, Teh, namanya juga rumah sebagian kayu. Tapi masih untung kurma pas lagi habis. Uangnya juga semua di rekening. Hanya beberapa puluh ribu aja yang di dompet. Tapi buku sama perlengkapan sekolah aku habis semua huhuhu ….” Tangis Lina kembali meledak. Wajar, dia sebentar lagi ujian kelulusan dan sekarang semua buku dan seragamnya habis dilalap si jago merah.Telpon berpindah ke t
Di antara ungkapan empati para kerabat, teman dan tetangga, ada satu pesan chat yang berbeda membalas status WA-ku.“Turut berduka ya, La atas musibah kebakaran rumahnya. Tapi maaf ya, Cuma mau ngingetin. Katanya kalau orang kurang sedekah itu hartanya suka diambil paksa sama Allah. Itu kata ustadz lho, bukan kata aku.” Ipar kembarku memang tak berubah. Orang lagi kena musibah pun dikatainnya. Dia kira sejuta yang kukirim tiap bulan untuk Mamanya itu daun? Astaghfirulloh … bikin hati makin sumpek aja.“Makasih infonya. Cuma mau nanya aja, transferan sejuta tiap bulan itu kira-kira uang atau daun ya?”Centang dua biru tapi tak ada balasan. Malu sendiri kan!Hih! kalau bukan ipar udah kublokir nomornya dari dulu. Nggak ada bagus-bagusnya nyimpen nomor mereka. Nyesel buka chatnya.Sepanjang hari itu kuhabiskan dengan ngontak sana sini untuk tempat tinggal keluargaku juga perlengkapan sekolah adikku. Kukontak juga Bu Mulia, sekadar memberi kabar dan meminta doanya. Tak dinyana beliau memil
“Bila memang itu keputusan Teteh, Ibu hanya bisa mendoakan. Jangan lupa salat istikharah. Tak akan rugi orang yang meminta dipilihkan oleh Allah urusan pentingnya.” Kami menyudahi pembicaraan dengan hati yang berat.Enam bulan terakhir Allah mengujiku dengan kenikmatan berupa lancarnya bisnis yang baru kurintis. Dua bulan menjelang Ramadhan hingga para jamaah haji pulang ke tanah air kurma serta oleh-oleh Arab banyak dicari. Momennya pas sekali sehingga tak heran bila bisnisku melesat cepat. Ditambah tentu saja peran Bu Mulia sebagai mentor tak bisa dianggap sebelah mata. Tak akan pernah ada brand Saudagar Kurma tanpa kehadiran Bu Mulia. Lina sudah merancang masa depannya. Dia akan kuliah jurusan Manajemen Bisnis. Karena bisnis kami masih skala kecil dan online sehingga dia bisa kuliah sambil bekerja. Sahabatnya sudah siap menangani urusan teknis seperti menimbang kurma dan packing saat ada orderan. Dia tak akan melanjutkan ke perguruan tinggi.“Aku
“Teh, setelah lebaran haji penjualan kurma kita menurun drastis. Nyaris tak ada lagi yang belanja.” Lina laporan saat jam istirahat siangku. Meski sebelumnya sudah tahu akan seperti ini dari Bu Mulia tapi tetap saja membuat hati yang tengah galau makin merana.“Stok kita masih banyak enggak, Lin?”“Di rumah stok buat jualan abis sih. Tapi ya asa gimana gitu waktu Ramadhan seperti air bah sekarang tiba-tiba seperti dibendung. Aku kan kaget. Aku juga bingung kalau kurma enggak laku terus kita jualan apalagi.” Nada suara adik semata wayangku melemah.“Kamu jangan terlalu memikirkan cara menghasilkan uang, kan masih ada Teteh yang kerja. Fokus aja buat ujian. Setelah lulus nanti kamu bisa cari kerja atau jualan yang lain.”“Enggak bisa gitu juga. Aku tetap kepikiran rumah. Gimana pun caranya aku harus ikut membantu nyaari uang.” Lina yang keras kepala, aku memilih membiarkannya. Toh dia pasti akan lebih mementingkan ujiannya. Dia anak yang bertanggung jawab.“Ya