“Bila memang itu keputusan Teteh, Ibu hanya bisa mendoakan. Jangan lupa salat istikharah. Tak akan rugi orang yang meminta dipilihkan oleh Allah urusan pentingnya.” Kami menyudahi pembicaraan dengan hati yang berat.Enam bulan terakhir Allah mengujiku dengan kenikmatan berupa lancarnya bisnis yang baru kurintis. Dua bulan menjelang Ramadhan hingga para jamaah haji pulang ke tanah air kurma serta oleh-oleh Arab banyak dicari. Momennya pas sekali sehingga tak heran bila bisnisku melesat cepat. Ditambah tentu saja peran Bu Mulia sebagai mentor tak bisa dianggap sebelah mata. Tak akan pernah ada brand Saudagar Kurma tanpa kehadiran Bu Mulia. Lina sudah merancang masa depannya. Dia akan kuliah jurusan Manajemen Bisnis. Karena bisnis kami masih skala kecil dan online sehingga dia bisa kuliah sambil bekerja. Sahabatnya sudah siap menangani urusan teknis seperti menimbang kurma dan packing saat ada orderan. Dia tak akan melanjutkan ke perguruan tinggi.“Aku
“Teh, setelah lebaran haji penjualan kurma kita menurun drastis. Nyaris tak ada lagi yang belanja.” Lina laporan saat jam istirahat siangku. Meski sebelumnya sudah tahu akan seperti ini dari Bu Mulia tapi tetap saja membuat hati yang tengah galau makin merana.“Stok kita masih banyak enggak, Lin?”“Di rumah stok buat jualan abis sih. Tapi ya asa gimana gitu waktu Ramadhan seperti air bah sekarang tiba-tiba seperti dibendung. Aku kan kaget. Aku juga bingung kalau kurma enggak laku terus kita jualan apalagi.” Nada suara adik semata wayangku melemah.“Kamu jangan terlalu memikirkan cara menghasilkan uang, kan masih ada Teteh yang kerja. Fokus aja buat ujian. Setelah lulus nanti kamu bisa cari kerja atau jualan yang lain.”“Enggak bisa gitu juga. Aku tetap kepikiran rumah. Gimana pun caranya aku harus ikut membantu nyaari uang.” Lina yang keras kepala, aku memilih membiarkannya. Toh dia pasti akan lebih mementingkan ujiannya. Dia anak yang bertanggung jawab.“Ya
“Lala, kamu mimpi buruk lagi?”Aku membuka mata dengan keringat bercucuran dan napas terengah-engah. Rasanya mimpi tadi begitu nyata, aku nyaris tenggelam saat berjalan di pantai. Ayu menyodorkan segelas air putih lalu memelukku tanpa bicara. Akhir-akhir ini aku sering mimpi buruk hingga mengigau. Entahlah, mungkin tekanan batinku kali ini terlalu kuat. Kalau tak ingat jarak yang membentang, rasanya saat ini juga ingin pulang kampung. Mencari ketenangan di pelukan Ibu sambil mendengar wejangannya.“Kamu anak Ibu yang kuat. Kita punya Allah. Jangan menanggung beban sendirian, adukan semuanya pada Dia yang Maha Kuasa.” Terngiang selalu di telingaku kata-kata Ibu.Musibah kebakaran yang menimpaku membuat hatiku merasa sangat lelah dan ingin berhenti berjuang. Jika kemarin aku bersemangat karena masih memiliki tempat tinggal keluarga meski sangat sederhana, sekarang keadaannya berbeda. Aku bukan hanya berjuang dari nol tapi justru malah kembali ke minus. Logikaku mulai bermain, menyuruhk
“Tega kamu sama aku ya, Mbak!” Ayu menangis tersedu-sedu dengan ponsel di dadanya. Tangisannya terdengar menyayat hati.Aku yang baru masuk kamar setelah memastikan Ummi Maimunah beristirahat malam dengan nyaman terkejut melihat kondisi sahabatku. Buru-buru kupeluk dia. Tangisan sahabatku makin menjadi dalam pelukanku.“Mbakku tega sekali sama aku, La, huhuhu ….”Aku mengusap-usap lengannya. Apakah kakaknya masih memaksa Ayu untuk menikah dengan Juragan Joko atau ada masalah lain, aku tak berani menebak. Sepertinya masalahnya serius, tangisan ini lebih menyayat dari tangisan dia saat tahu orang tuanya terjerat rentenir.“Pantesan Bapak Ibu sampai terlibat sama rentenir, ternyata uangku dipakai sama Mbak Dena. Aku tuh percaya banget sama dia, tapi kenapa dia tega ngekhinatin kepercayaanku huhuhu ….”Kudengarkan curhatan sahabatku tanpa menjawab. Saat ini dia sedang membutuhkan telinga untuk mendengar. Hanya tanganku yang terus mengusap punggungnya pelan, menyatakan dukungan. Kuambilkan
Kali ini kami konvoy empat mobil karena anak-anak Ummi yang lain jadi ikut juga bersama keluarganya. Sore hari kami berangkat dan menginap di hotel tak jauh dari pantai. Hotel yang tak kalah megah dengan hotel saat kami umroh. Kami para khadimat diberi satu kamar untuk bersama dengan Kasur tambahan, para sopir aku tak tahu tidur di mana.“Ini salah satu hotel milik keluarga majikan kita,” bisikan Ayu kini tak lagi mengagetkanku.Setelah sarapan sekitar pukul tujuh pagi kami beriringan ke pantai. Cucu-cucu Ummi yang berjumlah sepuluh orang berlarian ke sana kemari. Pasir yang halus dan bersih membuat anak-anak itu sangat senang. Khadimat mereka langsung diajak olah raga pagi mengejar anak-anak kecil yang mengikuti kakak-kakaknya. Aku dan Ayu tertawa memandangi mereka. Dalam hati bersyukur karena tak usah kerepotan seperti mereka. Ummi terlihat bahagia sekali melihat tingkah para cucunya.“Kalian main sana, Ummi di sini saja berjemur sambil nonton cucu-cucu main.” Ummi Maimunah menyuruhk
Setelah puas main di pantai kami semua kembali ke hotel untuk beristirahat dan menunggu makan siang. Aku kembali mendorong kursi roda majikanku. Para khadimat lain sibuk memandikan dan mengganti majikan cilik mereka. Ayu dengan suka rela membantu khadimat lain yang kewalahan dengan beberapa anak majikannya. Setelah semua anak kecil berganti baju dan beristirahat di kamarnya, barulah semua khadimat berkumpul di kamar kami. Nampak kelelahan di wajah mereka.“Lala sama Ayu mah enak kerjanya nyantai, enggak kayak kita-kita. Ke pantai bukannya liburan tapi pindah ngasuh kita mah. Kalian enak bisa main sepuasnya.” Tita mengomentariku yang tengah rebahan sama Ayu.“Tugasnya kan memang beda, mana bisa disamain. Setelah ini kan kalian istirahat sampe sore, lha aku sama Lala harus nyari ikan buat dibawa pulang. Kalian juga belum pernah lihat gimana Lala merawat majikannya?” Ayu yang menjawab untuk kami.“Memang gimana?” rupanya mereka penasaran.“Bayangkan, kalau kalian nyebokin anak nah Lala in
Rasanya aku baru memejamkan mata saat notifikasi ponsel berbunyi terus dan membangunkan tidurku. “Berisik banget si hape kamu. Apaan sih?” Ayu ikutan terbangun.Kulihat sekilas ponselku, ternyata notifikasi dari aplikasi biru sama hijau. Biarin saja lah. Karena baru datang tamu bulanan semalam jadi aku tidak salat. Kurenggangkan tubuh yang terasa tak karuan.“Kamu tidur jam berapa, kayaknya malam banget ya?” Ayu sudah selesai salat dan tengah melipat mukena.“Jam dua kayaknya aku tidur. Kasihan Ummi muntah-muntah masuk angin. Aku enggak tega ninggalin beliau sendirian.” Jawabku sambil berjalan ke kamar majikanku.Kemarin kami pulang dari pantai malam hari sampai rumah hamper tengah malam. Ayu dan Madam Hindun langsung ke kamar dan tidur. Sementara aku tetap menemani Ummi Maimunah.Majikanku sepertinya masuk angin. Di mobil muntah dua kali membuatnya terlihat lemas. Sampai di rumah aku memberinya seduhan madu hangat dan membalur badannya dengan minyak khusus. Kukasih kompresan mengguna
“Lho, Mama sudah sembuh ngapain masih harus transfer buat perawat?” Aku tetap selaw. Beberapa saat tak ada balasan, sepertinya kecurigaanku itu benar.“Siapa bilang Mama sudah sembuh? Belum kok!”“Aku yakin Mama sudah sembuh, buktinya kalian tak pernah mau aku telpon sama Mama. Itu karena kalian tak mau ketahuan bohong kan?” Aku memulai serangan.Beberapa saat tak ada jawaban lagi. Mungkin mereka lagi rembukan. Aku tersenyum puas.“Bohong apa sih? Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan ya. Kamu enggak mau dosa kayak pembunuh kan?” Mereka malah mengalihkan pembahasan.“Buktiin dong kalau kalian enggak bohong. Mana Mama? Aku mau bicara sama beliau, kangen banget tahu!.”“Mama lagi istirahat.”“Heran, jam berapa pun aku mau nelpon pasti Mama lagi istirahat. Aku jadi curiga, jangan-jangan kalian ngasih obat tidur ya sama Mama?” tuduhku sengaja membuat mereka lebih panik. Aku benar-benar harus bisa nelpon Mama mertua. Aku yakin beliau mengetahui sesuatu tentang suamiku.“Kamu itu ya makin m