Setelah puas main di pantai kami semua kembali ke hotel untuk beristirahat dan menunggu makan siang. Aku kembali mendorong kursi roda majikanku. Para khadimat lain sibuk memandikan dan mengganti majikan cilik mereka. Ayu dengan suka rela membantu khadimat lain yang kewalahan dengan beberapa anak majikannya. Setelah semua anak kecil berganti baju dan beristirahat di kamarnya, barulah semua khadimat berkumpul di kamar kami. Nampak kelelahan di wajah mereka.“Lala sama Ayu mah enak kerjanya nyantai, enggak kayak kita-kita. Ke pantai bukannya liburan tapi pindah ngasuh kita mah. Kalian enak bisa main sepuasnya.” Tita mengomentariku yang tengah rebahan sama Ayu.“Tugasnya kan memang beda, mana bisa disamain. Setelah ini kan kalian istirahat sampe sore, lha aku sama Lala harus nyari ikan buat dibawa pulang. Kalian juga belum pernah lihat gimana Lala merawat majikannya?” Ayu yang menjawab untuk kami.“Memang gimana?” rupanya mereka penasaran.“Bayangkan, kalau kalian nyebokin anak nah Lala in
Rasanya aku baru memejamkan mata saat notifikasi ponsel berbunyi terus dan membangunkan tidurku. “Berisik banget si hape kamu. Apaan sih?” Ayu ikutan terbangun.Kulihat sekilas ponselku, ternyata notifikasi dari aplikasi biru sama hijau. Biarin saja lah. Karena baru datang tamu bulanan semalam jadi aku tidak salat. Kurenggangkan tubuh yang terasa tak karuan.“Kamu tidur jam berapa, kayaknya malam banget ya?” Ayu sudah selesai salat dan tengah melipat mukena.“Jam dua kayaknya aku tidur. Kasihan Ummi muntah-muntah masuk angin. Aku enggak tega ninggalin beliau sendirian.” Jawabku sambil berjalan ke kamar majikanku.Kemarin kami pulang dari pantai malam hari sampai rumah hamper tengah malam. Ayu dan Madam Hindun langsung ke kamar dan tidur. Sementara aku tetap menemani Ummi Maimunah.Majikanku sepertinya masuk angin. Di mobil muntah dua kali membuatnya terlihat lemas. Sampai di rumah aku memberinya seduhan madu hangat dan membalur badannya dengan minyak khusus. Kukasih kompresan mengguna
“Lho, Mama sudah sembuh ngapain masih harus transfer buat perawat?” Aku tetap selaw. Beberapa saat tak ada balasan, sepertinya kecurigaanku itu benar.“Siapa bilang Mama sudah sembuh? Belum kok!”“Aku yakin Mama sudah sembuh, buktinya kalian tak pernah mau aku telpon sama Mama. Itu karena kalian tak mau ketahuan bohong kan?” Aku memulai serangan.Beberapa saat tak ada jawaban lagi. Mungkin mereka lagi rembukan. Aku tersenyum puas.“Bohong apa sih? Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan ya. Kamu enggak mau dosa kayak pembunuh kan?” Mereka malah mengalihkan pembahasan.“Buktiin dong kalau kalian enggak bohong. Mana Mama? Aku mau bicara sama beliau, kangen banget tahu!.”“Mama lagi istirahat.”“Heran, jam berapa pun aku mau nelpon pasti Mama lagi istirahat. Aku jadi curiga, jangan-jangan kalian ngasih obat tidur ya sama Mama?” tuduhku sengaja membuat mereka lebih panik. Aku benar-benar harus bisa nelpon Mama mertua. Aku yakin beliau mengetahui sesuatu tentang suamiku.“Kamu itu ya makin m
Hari ini matahari kota Madinah bersinar cerah. Hangat tidak terlalu panas. Membuat hati penghuninya ikut cerah. Kulihat Ummi Maimunah ditemani putri tercinta tengah duduk di ruang keluarga. Di depan mereka televisi layar datar super besar tengah menayangkan kajian langsung kuliah dluha dari masjid Nabawi. Menonton televisi tak lengkap tanpa ditemani camilan, kali ini Ayu sahabatku yang jago masak itu menyajikan Um Ali. Makanan yang dipanggang mirip pudding dengan wangi rempah khas Timur Tengah. Minumnya susu kambing hangat nan lezat.“Hei, senyum-senyum sendiri. Hati-hati lho!” Gadis Jawa bertubuh tinggi langsing itu mengagetkanku yang tengah mengintip kedua majikan.“Aku itu suka berkhayal masa tuaku akan seperti Ummi Maimunah. Tak perlu memikirkan lagi mencari nafkah, sehari-harinya hanya melakukan ibadah dan bersantai. Nikmat sekali kelihatannya.” Aku berkata sambil menerawang. Membandingkan kehidupan majikanku yang serba menyenangkan dengan Ibuku yang serba kesusahan. Di usia senj
“Hahaha kena kamu!” teriakan tertahan Ayu membuatku kaget. Rupanya dia tengah asyik dengan ponselnya. Matanya terus fokus pada layar henpon, sesekali tawanya keluar. Lagi apa sih dia, seru banget kayaknya? Sebenarnya aku penasaran, apa dia lagi main game atau lagi chat sama orang. Tapi rasanya selama kami berteman Ayu tak pernah maen game, berarti kemungkinan kedua.Kuabaikan rasa penasaran pada perilaku sahabatku karena di layar ponsel terlihat nomor kontak adikku. Mungkin dia akan ngasih kabar perkembangan persiapan kuliahnya. Setelah salam aku langsung memberondongnya dengan pertanyaan.“Jadi kamu memutuskan kuliah di mana? Ibu setuju tidak?terus beasiswanya udah dapat belum?”Adik semata wayang yang tingginya melebihiku itu terkikik. “Sabar dong Tetehku sayang. Aku bukan mau ngasih kabar soal kuliah, tapi ada hal lain. Oh iya Ibu sama Yusril sehat, anakmu senang sekali setiap ontinya yang cantik ini mengajak dia ke madrasah. Dia jadi banyak teman dan mulai tertarik membaca IQRO.” L
Tak terasa sudah setahun aku berada di kota Madinah sebagai perawat. Pekerjaanku berjalan lancar, Ummi Maimunah terbilang sehat untuk ukuran perempuan sepuh seusianya. Nafsu makannya lumayan stabil, beliau juga rajin minum madu dan air zamzam untuk menjaga kesehatannya. Secara berkala dokter keluarga mengecek kesehatan beliau.Lina juga sudah mulai kuliah di jurusan Manajemen Bisnis sesuai cita-citanya. Alhamdulillah guru BK nya berhasil membantu adikku mendapatkan beasiswa. Keadaan Lina yang dari keluarga kurang mampu dan berprestasi membuatnya mudah mendapatkan beasiswa. Warung Ibu juga katanya selalu ramai pembeli sehingga Ibu memiliki kesibukan yang membuatnya melupakan musibah yang menimpanya. “Ibu tak ada waktu untuk menangis, Teh, pembeli datang silih berganti ke warung Ibu, apalagi saat Ibu menjual masakan.” Lina terkekeh.Yusril, anakku kata Lina makin pintar, dia hampir menyelesaikan IQRO 1. “Kecerdasannya menurun dari Ibunya,” kata Lina membuatku tersenyum dikulum. Penjuala
Tak lama kemudian sebagian khadimat keluarga Ummi datang mendahului majikan mereka. Dapur yang luas jadi terasa sesak karena banyaknya orang dan perabotan besar yang keluar. Aroma aneka macam kudapan dengan rempah khas Arab memanjakan penciuman kami. Anehnya meski aromanya beda-beda tapi tak membuat penciuman kami mual. Masya Allah sungguh Maha Kuasa Sang pencipta hidung manusia.Seperti biasa saat berkumpul sesama khadimat, suasana ramai dengan obrolan dan gelak tawa. Seolah melepas rindu dengan kerabat yang sudah lama tak bertemu. Tak perlu jaim alias jaga imej yang membuat pegal.“Paling seneng kalau ngumpul kayak gini, bisa menyalurkan hobi becanda dan membanyol. Setiap hari ngomong Bahasa Arab sama majikan pegal juga haha ….” Celetukan seorang khadimat yang disambut komentar setuju dari yang lain.Ayu sebagai kepala koki sibuk sekali membagi tugas pada pasukannya. Kami menurut karena semua tahu meski usianya muda tadi keahliannya dalam memasak tak perlu diragukan lagi.“Yu, coba k
Untuk menutupi rasa malu aku masuk toilet meski tak ada hajat yang ingin kutunaikan. Di toilet aku berdiri dan berusaha menetralkan detak jantungku yang tak karuan. Untung saja toilet di rumah majikanku sangat nyaman sehingga aku tak tersiksa harus diam di dalamnya.Jadi ingat anekdot mencari toilet di negaraku. “Buat nyari toilet jangan pakai mata tapi pakai hidung, pasti lebih mudah ketemunya.” Ada-ada aja.Kututup mukaku dengan dua telapak tangan saat sekilas tadi melihat Ummi Maimunah tersenyum geli yang cepat-cepat ditutup tangannya. Beliau pasti tadi melihat kegugupanku. Aduh kayak anak abg aja. Hingga acara berakhir aku selalu berusaha menyibukkan diri di dapur. Entah nyuci piring atau beres-beres. Lebih baik mencuci peralatan yang berat-berat, dari pada harus ke ruangan para majikan dan bertemu Baba Halim atau istrinya. Untunglah teman-teman tak ada yang menyadari masalahku.Malam ini kami tidur larut malam setelah acara selesai dan membereskan semuanya setelah semua tamu pulan