Tak terasa sudah setahun aku berada di kota Madinah sebagai perawat. Pekerjaanku berjalan lancar, Ummi Maimunah terbilang sehat untuk ukuran perempuan sepuh seusianya. Nafsu makannya lumayan stabil, beliau juga rajin minum madu dan air zamzam untuk menjaga kesehatannya. Secara berkala dokter keluarga mengecek kesehatan beliau.Lina juga sudah mulai kuliah di jurusan Manajemen Bisnis sesuai cita-citanya. Alhamdulillah guru BK nya berhasil membantu adikku mendapatkan beasiswa. Keadaan Lina yang dari keluarga kurang mampu dan berprestasi membuatnya mudah mendapatkan beasiswa. Warung Ibu juga katanya selalu ramai pembeli sehingga Ibu memiliki kesibukan yang membuatnya melupakan musibah yang menimpanya. “Ibu tak ada waktu untuk menangis, Teh, pembeli datang silih berganti ke warung Ibu, apalagi saat Ibu menjual masakan.” Lina terkekeh.Yusril, anakku kata Lina makin pintar, dia hampir menyelesaikan IQRO 1. “Kecerdasannya menurun dari Ibunya,” kata Lina membuatku tersenyum dikulum. Penjuala
Tak lama kemudian sebagian khadimat keluarga Ummi datang mendahului majikan mereka. Dapur yang luas jadi terasa sesak karena banyaknya orang dan perabotan besar yang keluar. Aroma aneka macam kudapan dengan rempah khas Arab memanjakan penciuman kami. Anehnya meski aromanya beda-beda tapi tak membuat penciuman kami mual. Masya Allah sungguh Maha Kuasa Sang pencipta hidung manusia.Seperti biasa saat berkumpul sesama khadimat, suasana ramai dengan obrolan dan gelak tawa. Seolah melepas rindu dengan kerabat yang sudah lama tak bertemu. Tak perlu jaim alias jaga imej yang membuat pegal.“Paling seneng kalau ngumpul kayak gini, bisa menyalurkan hobi becanda dan membanyol. Setiap hari ngomong Bahasa Arab sama majikan pegal juga haha ….” Celetukan seorang khadimat yang disambut komentar setuju dari yang lain.Ayu sebagai kepala koki sibuk sekali membagi tugas pada pasukannya. Kami menurut karena semua tahu meski usianya muda tadi keahliannya dalam memasak tak perlu diragukan lagi.“Yu, coba k
Untuk menutupi rasa malu aku masuk toilet meski tak ada hajat yang ingin kutunaikan. Di toilet aku berdiri dan berusaha menetralkan detak jantungku yang tak karuan. Untung saja toilet di rumah majikanku sangat nyaman sehingga aku tak tersiksa harus diam di dalamnya.Jadi ingat anekdot mencari toilet di negaraku. “Buat nyari toilet jangan pakai mata tapi pakai hidung, pasti lebih mudah ketemunya.” Ada-ada aja.Kututup mukaku dengan dua telapak tangan saat sekilas tadi melihat Ummi Maimunah tersenyum geli yang cepat-cepat ditutup tangannya. Beliau pasti tadi melihat kegugupanku. Aduh kayak anak abg aja. Hingga acara berakhir aku selalu berusaha menyibukkan diri di dapur. Entah nyuci piring atau beres-beres. Lebih baik mencuci peralatan yang berat-berat, dari pada harus ke ruangan para majikan dan bertemu Baba Halim atau istrinya. Untunglah teman-teman tak ada yang menyadari masalahku.Malam ini kami tidur larut malam setelah acara selesai dan membereskan semuanya setelah semua tamu pulan
Pada dasarnya aku penggemar novel, maka tanpa disuruh langsung kudonlot aplikasi menulis incaran sahabatku itu. Bedanya dia akan menjadi penulis sedangkan aku cukup jadi pembaca saja. Bagi-bagi tugas, lumayan buat hiburan selepas lelah bekerja.Ayu merekomendasikan beberapa cerita yang lucu dan menghibur hingga kami terpingkal-pingkal membacanya. Setelahnya lumayan syaraf-syarafku agak mengendur dan siap bekerja melayani majikan.“Udah seger kan sekarang? Mau mulai cerita kenapa kemarin punya mata panda?” Ayu menatapku lembut setelah kami selesai melayani para majikan sarapan dan mereka kembali beristirahat.Aku mengangguk dan menceritakan apa yang Lina sampaikan padaku. Sahabatku menyimak dengan penuh perhatian seolah tengah menimbang kebenaran berita tersebut.“Kamu sebagai istrinya punya firasat seperti apa? Firasat seorang istri itu kan biasanya tajam ya.”Aku menghela napas berat. “Terus terang aku merasa terpuruk karena merasa itu sebuah kebenaran. Tapi aku bingung karena Mas Agi
“Sebaiknya Teteh bicara lagi sama Mama. Khawatir lain kali susah nyari waktu yang pas lagi.” Lalu suara Lina berganti suara Mama mertua.. “Maafkan Mama ya, Nak yang tak bisa mendidik anak dengan baik. Mama sungguh malu sama kamu.”“Sebenarnya ada apa ini, Ma? Apa ada rahasia yang Mama ingin sampaikan?” Aku menguatkan diri bertanya hal ini. Khawatir ipar kembar keburu pulang ke rumahnya sebelum Mama bicara.Mama menarik napas panjang, “Iya, La. Suamimu menikah lagi.”Duar!!!Suara Mama yang pelan justru bagai dentuman di telingaku. Bahuku terkulai dan tubuhku melorot ke lantai. Ternyata ini akhir perjuangan dan penantianku. Ayu yang sedari tadi bersamaku langsung memelukku agar tak jatuh. Tangannya mengusap-usap punggungku lembut mencoba menyalurkan kekuatan.“Lala … Lala Sayang … kamu yang kuat ya, Nak. Agi bilang dia sama sekali tak ada niat menyakitimu. Dia melakukan ini justru untuk kehidupan kalian. Kamu tahu kan Agi sulit mendapat pekerjaan setelah di PHK. Suatu saat dia tak seng
Setelah menganggur setahun akhirnya aku mendapat pekerjaan yang sesuai berkat Mas Adil iparku. Aku merasakan ketulusannya sebagai saudara. Tak pernah dia menghina atau meremehkanku seperti saudara yang lain karena aku menumpang hidup pada mereka. Yang ada setiap bertemu dia mengajak diskusi dan memotivasiku untuk bangkit dari keterpurukan.“Harga diri seorang suami itu ada pada tanggung jawabnya pada keluarga. Kamu harusnya bersyukur punya istri begitu sabar dalam kondisi serba kekurangan. Jangan sampai suatu saat kamu menyesal.” Kalimat bijak dari Mas Adil berhasil membuatku seolah bangun dari tidur panjang.Selama setahun ini memang aku benar-benar terpuruk, pengangguran dan menjadi benalu keluarga. Tidur numpang di rumah Mama dan makan numpang dari saudara. Membuat mentalku down, harga diriku sebagai seorang kepala keluarga rasanya hancur. Dan harga diriku makin tak berbentuk setelah Mas Doni nyaris melecehkan kehormatan Lala istriku. Emosiku sampai na
Suatu hari setelah pulang lembur aku melihat mobil bos parkir di tempat sepi. Dua orang lelaki terlihat menggedor-gedor kaca depan dengan penuh emosi. Aku yakin ada yang tak beres. Kulihat sekeliling, benar-benar sepi. Kalau berteriak pun tak yakin ada yang mendengar. Menghadapi dua penjahat itu sendirian sama saja mengantar nyawa. Otakku berputar keras. Pandanganku tertuju pada sebuah kayu yang tergeletak di jalan, lumayan berat jadi pasti mantap kalau mengenai pelipis. Dengan mengendap-endap kudekati mereka dari belakang. Teriakan minta tolong bosku makin terdengar jelas. Suaranya sarat kepanikan, aku mempercepat langkah.Setelah jarak makin dekat sekuat tenaga kupukulkan kayu itu pada mereka bergantian. Kontan mereka mendelik kaget sambil terhuyung dan berbalik menyerangku. Kini aku yang diserang rasa panik karena sebenarnya aku hanya berbekal nekat. Nuraniku tak bisa tinggal diam melihat seorang perempuan yang ketakutan. Tiba-tiba aku ingat saat Lala
Hingga suatu hari Bos Meilia curhat panjang lebar tentang dirinya. Dia yang merasa kurang aman bekerja di lingkungan yang kebanyakan laki-laki tanpa suami. Banyak yang melamarnya tapi selalu karena harta atau kecantikan dirinya. Tidak benar-benar tulus ingin melindungi dan menyayanginya."Kalau asal nikah, bukannya sombong banyak yang datang untuk meminang. Tapi sayang sekali aku tidak melihat ketulusan dalam diri mereka. Para lelaki itu hanya mengejarku sebagai tambang emas. Buat apa aku memilih mereka?" Bos Meilia menghela nafas berat.“Aku merasakan ketulusan selama berinteraksi denganmu. Nyaman rasanya. Aku hanya membutuhkan status dan perlindungan, tak akan meminta nafkah padamu. Bahkan aku akan menambahkan nafkah yang banyak untuk keluargamu. Aku pun tak akan menuntut nafkah batin kalau kau tak menginginkan.” Suara Bos Meilia terdengar putus asa. Berbanding terbalik dengan kesehariannya yang tegas dan tak kenal takut.Nuraniku tersentuh. Merasa iba sekaligus merasa sangat diharap