Suatu hari setelah pulang lembur aku melihat mobil bos parkir di tempat sepi. Dua orang lelaki terlihat menggedor-gedor kaca depan dengan penuh emosi. Aku yakin ada yang tak beres. Kulihat sekeliling, benar-benar sepi. Kalau berteriak pun tak yakin ada yang mendengar. Menghadapi dua penjahat itu sendirian sama saja mengantar nyawa. Otakku berputar keras. Pandanganku tertuju pada sebuah kayu yang tergeletak di jalan, lumayan berat jadi pasti mantap kalau mengenai pelipis. Dengan mengendap-endap kudekati mereka dari belakang. Teriakan minta tolong bosku makin terdengar jelas. Suaranya sarat kepanikan, aku mempercepat langkah.Setelah jarak makin dekat sekuat tenaga kupukulkan kayu itu pada mereka bergantian. Kontan mereka mendelik kaget sambil terhuyung dan berbalik menyerangku. Kini aku yang diserang rasa panik karena sebenarnya aku hanya berbekal nekat. Nuraniku tak bisa tinggal diam melihat seorang perempuan yang ketakutan. Tiba-tiba aku ingat saat Lala
Hingga suatu hari Bos Meilia curhat panjang lebar tentang dirinya. Dia yang merasa kurang aman bekerja di lingkungan yang kebanyakan laki-laki tanpa suami. Banyak yang melamarnya tapi selalu karena harta atau kecantikan dirinya. Tidak benar-benar tulus ingin melindungi dan menyayanginya."Kalau asal nikah, bukannya sombong banyak yang datang untuk meminang. Tapi sayang sekali aku tidak melihat ketulusan dalam diri mereka. Para lelaki itu hanya mengejarku sebagai tambang emas. Buat apa aku memilih mereka?" Bos Meilia menghela nafas berat.“Aku merasakan ketulusan selama berinteraksi denganmu. Nyaman rasanya. Aku hanya membutuhkan status dan perlindungan, tak akan meminta nafkah padamu. Bahkan aku akan menambahkan nafkah yang banyak untuk keluargamu. Aku pun tak akan menuntut nafkah batin kalau kau tak menginginkan.” Suara Bos Meilia terdengar putus asa. Berbanding terbalik dengan kesehariannya yang tegas dan tak kenal takut.Nuraniku tersentuh. Merasa iba sekaligus merasa sangat diharap
“Ya Allah, Agi … akhirnya kamu pulang juga, Nak!”Mama yang tengah berjemur di terlas sambil ngobrol dengan tetangga menyambutku dengan antusias. Kerinduan terpancar jelas dari sorot mata wanita nomor satu di hatiku itu. Mama menghambur ke pelukanku dengan mengabaikan lawan bicaranya, yang menatap ke arahku dengan ekspresi sulit diterjemahkan. Kemeja mahalku basah oleh air mata Mama, hangatnya tembus hingga ke dalam hati. “Alhamdulillah ya Allah, akhirnya Mama bisa berjalan lagi dan sehat seperti sedia kala.” Aku memegang kedua pundak Mama dan memandangnya dengan takjub. Kembali kurengkuh wanita terkasihku. Rasanya hidupku kini sangat sempurna.“Alhamdulillah, Gi. Perawat yang disewa istrimu telaten sekali sehingga Mama sembuh dengan cepat.”Kerinduan begitu pekat melingkupi kami hingga tanpa sadar beberapa orang tetangga mendekat dan menyapaku. Heran, padahal dulu mereka selalu mencibirku.“Tuan, koper sama kantong-kantongnya mau ditaruh di mana?” Mang Toha, salah satu sopir Meilia
“Oh ya, aku lupa. Ada salam dari Meilia untuk Mama. Dia juga menitipkan sebuah hadiah untuk Mama.” Kuangsurkan sebuah kotak beludru hitam dan membuka isinya. Sejenak Mama tertegun, tentu saja tak ada wanita yang tak menyukai cincin semanis ini. “Makasih,” katanya sangat pelan.Keteguk minuman dingin yang terhidang di meja, bicara panjang lebar penuh semangat ternyata bikin haus. Kusandarkan badan ke kursi dengan nyaman, siap mendengarkan tanggapan Mama.“Mama bingung harus menanggapi bagaimana, bohong kalau Mama bilang tidak kecewa dan sangat terkejut.”“Apa Mama tidak setuju dengan keputusanku?”“Setuju atau tidak tak akan mengubah kenyataan, Agi. Mama tak dapat membayangkan seberapa hancurnya hati Lala, saat mengetahui dia kini memiliki madu. Bertahun-tahun dia sabar dalam serba kekurangan dan hinaan adik-adikmu, lalu bertahun-tahun juga dia berjuang mengumpulkan rupiah di negeri orang. Tujuannya hanya satu, membuat kel
Akhirnya aku mengetuk pintu kamar Mama dengan wajah kuyu. “Ma, Agi tahu Agi salah. Tapi Agi tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menebus kesalahan ini. Agi sudah memutuskan untuk membangun rumah untuk Lala dengan cepat, kalau bisa sebulan selesai. Semoga ada keajaiban Lala mau memaafkan Agi.”Mama hanya mengangguk. Aku tahu Mama sangat menyayangi Lala seperti pada anak kandung sendiri. Keputusanku tentu membuatnya sangat takut kehilangan Lala. Kusambar kemeja yang tadi dibuka dan kukenakan asal sambil jalan. Lalu berjalan tergesa menuju mobil dan mendapati Mang Toha yang tengah terlelap.Kuketuk kaca jendela dekat pengemudi. Beberapa ketukan kulihat sopir itu membuka matanya dan terkejut saat melihatku terburu-buru.“Maaf ganggu tidurnya ya, Mang. Tapi aku harus menemui seseorang secepatnya.”Tak sampai 30 menit kami sudah sampai di depan rumah Dadan, teman SMP ku yang berprofesi sebagai tukang bangunan.Pengalamann
Setelah itu hatiku tak sama lagi. Ada lubang besar yang menganga di sana. Pemiliknya dicerabut paksa dari tempatnya, tak akan bisa ditutupi oleh apa pun juga. Aku berjalan seperti melayang tak menapak di bumi. Semua tugas kukerjakan seperti biasa, namun dengan kepala kosong. Kewajiban beribadah pun kulakukan seperti biasa, tapi tanpa ruh. Aku ingin menangis mengadu sepuasnya pada Dia yang Maha Kuasa. Namun aneh tak ada air mata yang bisa kukeluarkan, seperti sudah kering dari sumbernya. Sahabatku menatapku dengan pandangan kasihan. Tapi aku seakan mati rasa. Tak ingin menangis tapi tak juga ingin tersenyum. Otakku seperti buntu tak bisa memikirkan apa pun. “Latifah, ada apa? Hari ini kamu beda sekali.” Ummi Maimunah bertanya saat aku melayaninya dengan konsentrasi satu persen malam itu. Aku hanya mengatakan baik-baik saja dan memaksakan menarik sudut bibir.Majikanku memberi kode pada Ayu yang melintas di dekatnya. Kudengar sahabatku berkata pelan pada perempuan sepuh yang baik hati
Setelah melaksanakan salat Subuh ponselku berdering. Kulihat nama Ibu tertera di sana. Ini terlalu pagi untuk nelpon. Di Indonesia baru pukul 1 dini hari. Ini sangat tidak wajar Ibu nelpon jam segini. Hatiku mendadak tak karuan, jangan-jangan ada kabar buruk di sana."Astaghfirullah!" Aku mengelus dadaku berulang."Assalamualaikum Ibu ... Semua baik-baik saja?" tanyaku panik."Waalaikumussalam, Teteh. Di sini semua baik." Ibu menjawab dengan nada bingung."Alhamdulillah, tak biasanya Ibu nelpon jam segini. Di sana masih tengah malam. Jadi Teteh khawatir ada apa-apa sama kalian.""Justru Ibu nelpon tengah malam karena tak sabar menunggu pagi. Di sana sudah Subuh kan ya? Dari kemarin Ibu kepikiran terus sama Teteh. Apalagi setelah Lina cerita Mertua Teteh nelpon." Suara ibu terdengar agak serak, barusan pun kudengar samar beliau membersit hidung. Ah, wanita terkasihku pasti menangis terus memikirkan putrinya ini."Ibu, maafin Teteh yang selalu menyusahkan hati ibu. Huhuhu." Aku menangi
"Teh, kemaren Lina ketemu sama mertua Teteh. Beliau ngasih tahu Mas Agi mau mudik bulan depan. Ada urusan di kota dari perusahaannya, sekalian mau mampir karena rumah mewahnya bentar lagi jadi katanya. Teteh mau nelpon? Entar Lina paksa pokoknya harus mau." Chat Lina siang ini membuatku langsung menegakkan badan yang baru rebahan.Kuperlihatkan chat Lina di aplikasi hijau pada Ayu yang tengah baca novel di aplikasi online.Dia mencubit bibirnya sendiri tanda berpikir."Masalah sebesar itu sih harusnya ketemu langsung ya. Tapi gimana caranya? Enggak mungkin juga kan kamu terbang." Dia menggumam sendiri. Tapi cukup untuk membangunkan ide besar dalam benakku.Aku harus terbang, ya harus terbang bagaimana pun caranya. Kalau perlu aku akan nego sama majikanku, aku mau memperpanjang kontrak asal diperbolehkan pulang dulu Minggu depan. Sekalian dipinjamin uang buat ongkosnya. Aku meloncat dari dipan. Tak kupedulikan teriakan tertahan sahabatku yang keheranan melihat tingkahku. Dengan langka