Serasa Tuhan menunjukan lemah lembutnya kepadaku. Kedatangan pak Reza cukup menghibur diriku. Sesampai di rumah, dia dengan cepat turun dari mobil dan berlari ke arahku. Dia membuka pintu untukku.“Saya kira kamu tidur, soalnya diam saja di samping saya tadi.”Aku turun dan hendak membantunya mengangkat belajaan. “Tidak usah, kamu masuk duluan, biar saya yang angkat,” jelasnya. Aku hanya bisa mengangguk patuh.Kami masuk ke dalam rumah. Ibu Sandi menyambut kami dengan senyuman hangat. Hannah yang melihatku segera berlari meninggalkan bibi Niam.”“Ummi!”“Ummi sudah pulang? Hannah rindu, besok jangan pergi lagi yah.”“Daddy, jangan pergi lagi dong sama ummi,” ucapnya. Aku tersenyum dan membawahnya ke dalam pelukanku.“Nggak akan pergi lagi sayang,” jawabku. Satu ciuman mendarat di pipiku. Hannah sangat suka menciumku. Kata ayahnya, itu bentuk kasih saya Hannah. Pak Reza lah yang selalu mengajari Hannah berbuat seperti itu.Aku menemani pak Reza masak di dapur. Katanya hari ini dia ingin
Hidup lagi berat-beratnya namun Allah malah mempertemukan aku dengan pak Reza. Pagi ini seperti biasa, aku mempersiapkan segala keperluannya. “Saya suka nasi goreng buatanmu tadi,” ucapnya tiba-tiba. Aku menoleh dan memandanginya. Dia sudah rapi di depan pintu.“Saya suka rasanya.”“Bisa buatkan saya setiap hari?” sambungnya. Setiap hari? Gila aja kalo makan nasi goreng tiap hari, apa nggak kolestrol tuh? Pikirku. Dia berdiri di belakangku dan terus menatapku. Apesnya, nyonya Sandi juga berada di situ. Jadi aku tidak bisa berbuat apapun. Nanti bisa-bisa aku dicap menantu durhaka.“Iya masku,” jawabku. Mendengarkan sebutan mas, wajahnya memerah. Lucu sekali, seperti kepiting rebus.Nyonya Sandi tersipu malu. “Aku suka loh kamu gombal si Reza itu, habisnya dari dulu jadi kanebo, pantas aja nggak ada cewek yang suka dia,” gerutu ibu Sandi. Aku hanya bisa tersenyum. Pak Reza berjalan menuju mobilnya. “Saya akan jemput kamu nanti, jadwal ke kantor hanya Senin Rabu, jadi kamu nggak perl
Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Ayah memanggilku secara khusus di ruang tamu. Aku duduk di depan ayah. Wajahnya terlihat serius.“Ayah suka sama laki-laki itu tadi.”“Karena dia sudah membantu kita?” tanyaku dengan cepat. Ayah menghela napas panjang. “Bukan hanya itu, Bulan. Tatapannya dan caranya berbicara, itu sangat baik, berbeda dengan Bayu. Ayah entah mengapa yakin jika dia adalah lelaki tepat,” jelasnya panjang lebar. “Bulan.” Ibu menyentuh tanganku, aku menoleh ke arahnya. “Ibu setuju apa yang ayahmu katakan itu.” “Tapi ini sangat cepat, Bu dan Pak. Apa kata tetangga?” jawabku. Aku menghela napas panjang. Bingung. “Gini Bulan, ayah tahu apa yang kamu rasakan. Semua terserah kamu sekarang, intinya ayah setuju dengan lamaran lelaki itu.”“Oh yah, kita belum balas budi sama pak Reza, kondisi ekonomi ayah dan ibu tidak seperti dulu lagi. Kita sudah ditipu habis-habisan sama Bayu. Tinggal rumah yang dulu aja yang mewah, tapi kamu sudah jual, kan?Aku mengangguk perlahan. “
Pagi ini setelah mengurus Hannah, aku dan pak Reza berangkat ke rumah sakit untuk menyerahkan surat pengunduran diriku. Lelaki itu tidak ingin jika aku bekerja. Dia ingin aku di rumah saja bersama Hannah. “Saya memutuskan hal ini, karena saya tidak mau istri saya bekerja. Biarlah urusan nafkah, saya yang urus.” Dia menatapku sambil tersenyum. Aura wajahnya terlihat berbeda. Dia sangat bersemangat. “Saya tidak akan menyuruhmu mengurus Hannah sepanjang waktu, saya hanya ingin kamu di rumah bersantai saja,” sambungnya lagi. Aku hanya diam di sisinya dan terus mendengarkan ocehannya itu. Berita mengenai lamaranku pun tersebar di telinga mantan ibu mertua. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan kepada ibuku. Karena ibuku sendiri menyembunyikan hal ini dariku. Mereka tidak ingin aku mendengarkan caci maki yang dilontarkan ibu mas Bayu kepadaku. Ibu mas Bayu merasa kalah, dia jengkel karena aku berhasil dipersunting oleh pemilik rumah sakit. Bahkan mereka menuduh kami telah memelet pak R
Hari pernikahan semakin dekat. Pak Reza yang kaku semakin intens untuk mengodaku. Seperti pagi ini di dapur, dia meminta untuk dibuatkan nasi goreng kesukaanya. Dia terus melihatku. Katanya, aku sangat cantik. Ah, gombal. Semakin hari, dia semakin pintar saja mengombal. Hannah sangat bahagia karena sebentar lagi aku benar-benar resmi menjadi umminya. Sejujurnya, ada ketakutan di dalam hatiku. Aku takut gagal. Aku takut jika pernikahanku bersama pak Reza seperti mas Bayu. Tapi, saat ketakutan itu ku utarakan kepada pak Reza, dia berusaha menjelaskan bahwa dia berbeda dengan mas Bayu. “Makanannya selalu enak.” “Saya suka,” ucapnya. Aku tersipu malu. Gombalannya selalu sederhana seperti, “Kamu kalo pagi, cantik terus yah.” Setiap dia mengatakan hal itu, aku selalu menunduk. Pipiku perlahan memerah. Dia memang akhir-akhir ini belajar mengombal dan pak Reza tidak tahu tempat. Seperti sekarang, dia mengombalku di depan ibunya, ibu Sandi. Ah, menyebalkan. Pak Reza memiliki sahabat ber
Setelah acara selesai, Pak Reza dengan cepat izin pamit untuk segera naik ke atas. Dia mengengam tanganku sambil berjalan ke dalam lift. Aku menatapnya dengan ekspresi bingung. “Saya mau naik ke atas.”“Udah gerah.”“Gerah?” tanyaku terheran. “Iya mau mandi.” “Mandi dulu kan kita sebelum …,” Dia menghentikan ucapannya. Pipiku memanas memandanginya. Aku malu seketika. Apalagi saat dia mengedipkan kedua mata. Sesampai di kamar, ku lihat ada dua handuk berbentuk angsa dengan bunga mawar merah di tengah-tengahnya. Bunga itu berbentu love. Lucu sekali. Pak Reza segera membuka bajunya. Aku melangkah mundur. “Eh!”“Pak, mau apa?” Dia tersentak kaget karena aku segera melepaskan tangannya. “Saya mau mandi, kamu pikir saya mau apa?” Dia berjalan menuju kamar mandi. Aku menghela napas lega. Dengan cepat aku duduk di sisi tempat tidur. Menatap beberapa bunga. Kurang lebih lima belas menit, lelaki itu keluar. Dia menatapku dengan heran. “Nggak mau dibuka gaunnya? Apa mau saya bantu?” Dia
Bulan POV Aku menunggunya di ruangan itu. Dia adalah dokter yang sangat disegani karena kecerdasan dan keramahannya. Banyak wanita yang berebut ingin menjadi istrinya. Tapi anehnya, dia malah memilihku. Dia memilih wanita yang gagal dalam berumah tangga. Aku kadang berpikir bahwa pak Reza memilihku karena aku dan dia memiliki status yang sama. Padahal, jika dia mau menikah dengan seorang gadis. Pasti ada saja yang ingin dengannya. “Lelah yah nunggu Mas?” Suara itu membuyarkan lamunanku. Ku pandangi dia yang sedang berjalan menghampiriku. Tangannya menyentuh pipiku dan mengelusnya. Membuat jantungku berdetak lebih cepat. “Nggak Mas,” jawabku. “Gitu dong, panggil Mas, bukan Pak lagi,” serunya. Aku tersenyum. Beberapa suster saling berbisik dan mereka menatapku dengan pandangan terheran. Mungkin saja dipikiran mereka, mengapa harus aku yang dipilih pak Reza sebagai istrinya, apa istimewanya aku? Aku bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan itu juga. “Ayok ikut dengan mas.” Mas
Rasanya sangat malu melihat dirinya memandangiku dari celah selimut. Kami tersenyum walaupun tidak berbicara satu kata pun. Seperti, kami sudah paham, apa yang membuat subuh ini serasa begitu nikmat. “Sholat yuk,” bisiknya. Aku mengangguk perlahan. Dengan cepat aku menarik selimut dan berjalan menuju kamar mandi. Dia terus memandangiku tanpa berkedip. “Jangan lihat seperti itu, malu, Mas!” “Kenapa? Saya sudah lihat tadi malam, kamu bahkan suka kan.” Dia melangkah ke arahku dan mencium keningku sebelum aku masuk ke dalam kamar mandi. Lagi-lagi, jantungku berdetak lebih cepat. Setelah membersihkan tubuh, kami sholat berjamaah. Setelah sholat, dia tidak langsung pergi namun sengaja membaringkan kepalanya di pahaku dan memandangiku dari bawah. Tatapannya begitu dalam. Penuh cinta dan aku menyukainya. “Saya minta maaf kalo banyak hal yang membuatmu ragu dengan saya.” “Saya memang kaku, punya masa lalu yang suram juga.” Aku mengelus kepalanya. “Tidak Mas, aku pun seperti itu. Pu