Pagi ini setelah mengurus Hannah, aku dan pak Reza berangkat ke rumah sakit untuk menyerahkan surat pengunduran diriku. Lelaki itu tidak ingin jika aku bekerja. Dia ingin aku di rumah saja bersama Hannah. “Saya memutuskan hal ini, karena saya tidak mau istri saya bekerja. Biarlah urusan nafkah, saya yang urus.” Dia menatapku sambil tersenyum. Aura wajahnya terlihat berbeda. Dia sangat bersemangat. “Saya tidak akan menyuruhmu mengurus Hannah sepanjang waktu, saya hanya ingin kamu di rumah bersantai saja,” sambungnya lagi. Aku hanya diam di sisinya dan terus mendengarkan ocehannya itu. Berita mengenai lamaranku pun tersebar di telinga mantan ibu mertua. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan kepada ibuku. Karena ibuku sendiri menyembunyikan hal ini dariku. Mereka tidak ingin aku mendengarkan caci maki yang dilontarkan ibu mas Bayu kepadaku. Ibu mas Bayu merasa kalah, dia jengkel karena aku berhasil dipersunting oleh pemilik rumah sakit. Bahkan mereka menuduh kami telah memelet pak R
Hari pernikahan semakin dekat. Pak Reza yang kaku semakin intens untuk mengodaku. Seperti pagi ini di dapur, dia meminta untuk dibuatkan nasi goreng kesukaanya. Dia terus melihatku. Katanya, aku sangat cantik. Ah, gombal. Semakin hari, dia semakin pintar saja mengombal. Hannah sangat bahagia karena sebentar lagi aku benar-benar resmi menjadi umminya. Sejujurnya, ada ketakutan di dalam hatiku. Aku takut gagal. Aku takut jika pernikahanku bersama pak Reza seperti mas Bayu. Tapi, saat ketakutan itu ku utarakan kepada pak Reza, dia berusaha menjelaskan bahwa dia berbeda dengan mas Bayu. “Makanannya selalu enak.” “Saya suka,” ucapnya. Aku tersipu malu. Gombalannya selalu sederhana seperti, “Kamu kalo pagi, cantik terus yah.” Setiap dia mengatakan hal itu, aku selalu menunduk. Pipiku perlahan memerah. Dia memang akhir-akhir ini belajar mengombal dan pak Reza tidak tahu tempat. Seperti sekarang, dia mengombalku di depan ibunya, ibu Sandi. Ah, menyebalkan. Pak Reza memiliki sahabat ber
Setelah acara selesai, Pak Reza dengan cepat izin pamit untuk segera naik ke atas. Dia mengengam tanganku sambil berjalan ke dalam lift. Aku menatapnya dengan ekspresi bingung. “Saya mau naik ke atas.”“Udah gerah.”“Gerah?” tanyaku terheran. “Iya mau mandi.” “Mandi dulu kan kita sebelum …,” Dia menghentikan ucapannya. Pipiku memanas memandanginya. Aku malu seketika. Apalagi saat dia mengedipkan kedua mata. Sesampai di kamar, ku lihat ada dua handuk berbentuk angsa dengan bunga mawar merah di tengah-tengahnya. Bunga itu berbentu love. Lucu sekali. Pak Reza segera membuka bajunya. Aku melangkah mundur. “Eh!”“Pak, mau apa?” Dia tersentak kaget karena aku segera melepaskan tangannya. “Saya mau mandi, kamu pikir saya mau apa?” Dia berjalan menuju kamar mandi. Aku menghela napas lega. Dengan cepat aku duduk di sisi tempat tidur. Menatap beberapa bunga. Kurang lebih lima belas menit, lelaki itu keluar. Dia menatapku dengan heran. “Nggak mau dibuka gaunnya? Apa mau saya bantu?” Dia
Bulan POV Aku menunggunya di ruangan itu. Dia adalah dokter yang sangat disegani karena kecerdasan dan keramahannya. Banyak wanita yang berebut ingin menjadi istrinya. Tapi anehnya, dia malah memilihku. Dia memilih wanita yang gagal dalam berumah tangga. Aku kadang berpikir bahwa pak Reza memilihku karena aku dan dia memiliki status yang sama. Padahal, jika dia mau menikah dengan seorang gadis. Pasti ada saja yang ingin dengannya. “Lelah yah nunggu Mas?” Suara itu membuyarkan lamunanku. Ku pandangi dia yang sedang berjalan menghampiriku. Tangannya menyentuh pipiku dan mengelusnya. Membuat jantungku berdetak lebih cepat. “Nggak Mas,” jawabku. “Gitu dong, panggil Mas, bukan Pak lagi,” serunya. Aku tersenyum. Beberapa suster saling berbisik dan mereka menatapku dengan pandangan terheran. Mungkin saja dipikiran mereka, mengapa harus aku yang dipilih pak Reza sebagai istrinya, apa istimewanya aku? Aku bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan itu juga. “Ayok ikut dengan mas.” Mas
Rasanya sangat malu melihat dirinya memandangiku dari celah selimut. Kami tersenyum walaupun tidak berbicara satu kata pun. Seperti, kami sudah paham, apa yang membuat subuh ini serasa begitu nikmat. “Sholat yuk,” bisiknya. Aku mengangguk perlahan. Dengan cepat aku menarik selimut dan berjalan menuju kamar mandi. Dia terus memandangiku tanpa berkedip. “Jangan lihat seperti itu, malu, Mas!” “Kenapa? Saya sudah lihat tadi malam, kamu bahkan suka kan.” Dia melangkah ke arahku dan mencium keningku sebelum aku masuk ke dalam kamar mandi. Lagi-lagi, jantungku berdetak lebih cepat. Setelah membersihkan tubuh, kami sholat berjamaah. Setelah sholat, dia tidak langsung pergi namun sengaja membaringkan kepalanya di pahaku dan memandangiku dari bawah. Tatapannya begitu dalam. Penuh cinta dan aku menyukainya. “Saya minta maaf kalo banyak hal yang membuatmu ragu dengan saya.” “Saya memang kaku, punya masa lalu yang suram juga.” Aku mengelus kepalanya. “Tidak Mas, aku pun seperti itu. Pu
Reza POV Namanya Bulan Mawarni. Aku bertemu dengannya saat dia hampir saja mengakhiri hidupnya. Tatapan matanya sayu dan penuh kesedihan. Sama sepertiku. Aku datang ke jembatan itu untuk merenung dan meninggalkan kegaluanku. Aku frustasi karena Mardiah -mantan istriku- tidak ingin melihat putri kami. Aku juga sudah lelah harus berbohong kepada Hannah mengenai ibunya. Aku tidak ingin berbohong lagi. Aku merasa jika aku sosok lelaki yang gagal. Pernikahan pertamaku bersama Mardiah harus gagal di tengah jalan. Mardiah adalah cinta pertamaku namun dengan teganya dia pergi meninggalkan aku dan Hannah. Sambil merenung di mobil saat itu, ku pandangi seorang wanita yang berdiri di depan jembatan sambil menangis. Langkah kaki Bulan membuat aku segera keluar dari mobil dan menarik tangannya dengan cepat. Untung saja, aku berhasil menyelamatkan sebelum tubuhnya jatuh dan dibawah oleh arus sungai yang deras. Dia marah, marah sekali. Aku tidak tahu alasannya apa. Tapi yang aku pahami, saat
Reza Pov Aku memandanginya dengan sangat lama. Dia sedang bermanja di sampingku. “Tadi yang nelepon siapa Mas?” tanyanya tiba-tiba. “Nggak tahu, nomor asing.” “Kok nggak diangkat?” “Nggak perlu sayang. Takutnya penipu.” Bulan berbaring di sampingku dan aku mengelus kepalanya dengan pelan. Ku tatap wajahnya dengan sangat lama dan ku rebut ciumanku sekali lagi. Pipinya merona berseri. Sangat manis dan sangat cantik. Dia adalah wanita cantik yang pernah aku lihat selama ini. “Ihh Mas!” ucapnya kesal namun aku yakin, dia sedang bahagia. Wajahnya sudah semerah tomat. “Mas mau!” Aku sangat menginginkannya malam ini. Dia mengangguk dan ku susuri nikmatnya aroma cinta di malam yang syahdu. Kami berenang di dasar samudra cinta yang indah. Di tengah penyatuan yang panjang itu, ku pandangi wajahnya. “Mas mencintaimu,” bisikku sambil mencium pipinya. Kami terlelap tidur sambil berpelukan bersama. Aku mencintainya dan tidak ku biarkan dirinya pergi dari sisiku. Tidak peduli bagaiman
Bulan Pov Hari ini, aku menemani Hannah jalan-jalan di pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumah. Ibu Sandi sibuk dengan tanaman hiasnya. Semenjak tidak bekerja lagi, perempuan paruh baya itu lebih memilih di rumah saja. Dia sangat bahagia tinggal di Indonesia bersama kami. Katanya, dia lebih hidup karena ada Reza dan Hannah. Di tambah ada aku yang menjadi teman ceritanya sekarang. “Ummi nanti mau beli cokelat.” “Abi sudah izinkan kita belum?” Gadis cantik itu menggelengkan kepala sejenak. “Abi nggak mau kita makan cokelat.” Wajahnya cemberut seketika. “Beli yang lain aja yah sayang,” sahutku. Dia mengambil cokelat isi strawberry dan ku temani dia menuju kasir. “Bulan?” suara itu mengagetkanku. Aku spontan menoleh ke belakang. “Kamu di sini? Dia siapa?” Lelaki itu memandangi Hannah. Dengan cepat aku membayar roti itu dan segera pergi. “Bulan.” “Hai, Bulan!” “Ummi, kok kita jalan cepat sih? Om itu siapa?” “Bulan. Aku tahu kamu sudah menikah, tapi apa kamu nggak sud