Reza POV Namanya Bulan Mawarni. Aku bertemu dengannya saat dia hampir saja mengakhiri hidupnya. Tatapan matanya sayu dan penuh kesedihan. Sama sepertiku. Aku datang ke jembatan itu untuk merenung dan meninggalkan kegaluanku. Aku frustasi karena Mardiah -mantan istriku- tidak ingin melihat putri kami. Aku juga sudah lelah harus berbohong kepada Hannah mengenai ibunya. Aku tidak ingin berbohong lagi. Aku merasa jika aku sosok lelaki yang gagal. Pernikahan pertamaku bersama Mardiah harus gagal di tengah jalan. Mardiah adalah cinta pertamaku namun dengan teganya dia pergi meninggalkan aku dan Hannah. Sambil merenung di mobil saat itu, ku pandangi seorang wanita yang berdiri di depan jembatan sambil menangis. Langkah kaki Bulan membuat aku segera keluar dari mobil dan menarik tangannya dengan cepat. Untung saja, aku berhasil menyelamatkan sebelum tubuhnya jatuh dan dibawah oleh arus sungai yang deras. Dia marah, marah sekali. Aku tidak tahu alasannya apa. Tapi yang aku pahami, saat
Reza Pov Aku memandanginya dengan sangat lama. Dia sedang bermanja di sampingku. “Tadi yang nelepon siapa Mas?” tanyanya tiba-tiba. “Nggak tahu, nomor asing.” “Kok nggak diangkat?” “Nggak perlu sayang. Takutnya penipu.” Bulan berbaring di sampingku dan aku mengelus kepalanya dengan pelan. Ku tatap wajahnya dengan sangat lama dan ku rebut ciumanku sekali lagi. Pipinya merona berseri. Sangat manis dan sangat cantik. Dia adalah wanita cantik yang pernah aku lihat selama ini. “Ihh Mas!” ucapnya kesal namun aku yakin, dia sedang bahagia. Wajahnya sudah semerah tomat. “Mas mau!” Aku sangat menginginkannya malam ini. Dia mengangguk dan ku susuri nikmatnya aroma cinta di malam yang syahdu. Kami berenang di dasar samudra cinta yang indah. Di tengah penyatuan yang panjang itu, ku pandangi wajahnya. “Mas mencintaimu,” bisikku sambil mencium pipinya. Kami terlelap tidur sambil berpelukan bersama. Aku mencintainya dan tidak ku biarkan dirinya pergi dari sisiku. Tidak peduli bagaiman
Bulan Pov Hari ini, aku menemani Hannah jalan-jalan di pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumah. Ibu Sandi sibuk dengan tanaman hiasnya. Semenjak tidak bekerja lagi, perempuan paruh baya itu lebih memilih di rumah saja. Dia sangat bahagia tinggal di Indonesia bersama kami. Katanya, dia lebih hidup karena ada Reza dan Hannah. Di tambah ada aku yang menjadi teman ceritanya sekarang. “Ummi nanti mau beli cokelat.” “Abi sudah izinkan kita belum?” Gadis cantik itu menggelengkan kepala sejenak. “Abi nggak mau kita makan cokelat.” Wajahnya cemberut seketika. “Beli yang lain aja yah sayang,” sahutku. Dia mengambil cokelat isi strawberry dan ku temani dia menuju kasir. “Bulan?” suara itu mengagetkanku. Aku spontan menoleh ke belakang. “Kamu di sini? Dia siapa?” Lelaki itu memandangi Hannah. Dengan cepat aku membayar roti itu dan segera pergi. “Bulan.” “Hai, Bulan!” “Ummi, kok kita jalan cepat sih? Om itu siapa?” “Bulan. Aku tahu kamu sudah menikah, tapi apa kamu nggak sud
Kami bertemu dengan Mardiah di sebuah restoran. Dia menginginkan pertemuan dengan Hannah namun mas Reza sepertinya tidak mengizinkan dia bertemu dengan Hannah dulu. “Anakku mana?” Itu kata pertama yang diucapkan Mardiah. Seakan tidak terima karena kami hanya datang berdua. Wanita itu sangat cantik. Dia terlihat glamor dengan riasan wajah yang menawan. Aku mencoba tersenyum ke arahnya meskipun dia tidak membalas senyumanku. “Reza.” “Aku datang ke sini untuk bertemu dengan Hannah dan kamu.” “Putriku mana?” Aku duduk dan mas Reza pun ikut duduk. “Mardiah, tenang dulu,” ucap mas Reza menenangkannya. Wanita itu terlihat tidak suka denganku. Sesekali dia membuang pandangan saat pandangan kami bertemu. Sebuah kertas di sodorkan ke arah mas Reza. “Lihat ini!” ucapnya. Aku dan mas Reza memperhatikan surat itu secara cermat. “Surat cerai kita?” Mardiah mengangguk. “Reza, aku rindu dengan Hannah. Aku mengaku salah. Tapi, apa kamu nggak mau mempertemukan aku dengan Hannah?” Dia me
Reza Pov Aku mencintai Mardiah seutuhnya, tapi itu dulu sebelum hatiku dilukai oleh dirinya. Tiada cinta tersisa. Dia membawah perasaanku, mengangkatnya dengan tinggi dan menjatuhkannya begitu saja. Bahkan sampai sekarang, aku berusaha untuk menyakinkan putriku -Hannah- bahwa Bulan adalah ibu kandungnya. Terkesan jahat, tapi itu lah hukuman yang ingin aku berikan kepada Mardiah. Aku melihat Bulan yang terlelap tidur di sampingku. Dia sangat sabar menghadapi rumitnya hidupku. Kehadiran Mardiah setelah kami menikah mampu membuat aku sedikit cemas. Bulan madu akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Seluruh keperluan sudah disiapkan asistenku. “Sayang?” Aku membangunkannya untuk sholat tahajud bersama. Salah satu amalan yang aku lakukan sejak dulu yaitu bangun pukul 3 subuh. Perlahan, dia membuka kelopak matanya. Dia tersenyum. Satu hal yang membuatku tidak tenang yaitu, saat Bulan mengatakan ingin bertemu dengan mantan suaminya, mas Bayu. Aku sama sekali tidak setuju dan ku katakan
Reza Pov Mardiah kecelakaan dan entahlah, apa dia membohongiku atau tidak. Aku pun tidak mengerti. Dengan cepat ku lajukan mobil sedan itu membelai dinginnya malam. Aku ingat benar bagaimana wajah khawatir dari Bulan dan aku merasa bersalah meninggalkannya sekarang. Entah mengapa, aku malah menuju rumah sakit untuk menemui wanita yang telah menghianatiku. Sesampai di loby, suster Dira menghampiriku. “Nyonya Mardiah …,” “Ya, aku tahu!” ucapku. Dengan cepat aku menuju ruang UGD. Ada dokter Dimas yang sedang menangganinya. Aku menunggu di luar. Beberapa saat, dokter Dimas keluar. Dia tersenyum memandangiku. “Dia terjatuh di kamar mandi.” “Terjatuh?” Bola mataku terbelalak. Bukannya dia kecelakaan? Dokter Dimas berlalu, dengan cepat aku masuk ke ruang UGD sebelum dirinya dipindahkan ke ruang perawatan. Senyuman terukir di wajahnya. Seperti biasa, dia terlihat tenang. “Sorry, Rez.” “Aku bingung harus ngabarin kamu seperti apa.” “Aku panik di kamar mandi, eh malah jatuh.” Aku berd
Bulan Pov Mas Reza sangat menyukai ikan bakar dan hari ini, dibantu ibu mertua yang sangat baik, aku membuatkan ikan bakar untuknya. Seperti biasa, Hannah akan duduk tenang di meja makan sambil memandangiku. “Ummi hebat, pintar masak,” pujinya. Entah sudah berapa kali dia mengatakan hal itu kepadaku. “Bulan, kamu kan mau ke rumah sakit. Nggak usah ajak Hannah. Nggak baik. Kamu pergi sendiri yah.” “Nggak mau ibu kalo Mardiah dan Hannah bertemu. Ibu nggak suka loh,” gumamnya. Aku mengangguk. “Ya, Bu.” Aku bersiap diri berangkat ke rumah sakit. Karena hari ini mas Reza akan lembur, makanya aku menyiapkan makanan yang banyak untuknya. Dia juga mengirimkan pesan romantis. Aku senang menerima pesan cintanya setiap saat. Aku berangkat ke rumah sakit Bunda ditemani supir keluarga bernama pak Eman. Dia sudah bekerja di rumah ini selama 6 tahun. “Non tuh perhatian banget sama bapak.” “Beda banget sama bu Mardiah, selalunya sibuk,” ucapnya. Aku hanya bisa tersenyum sambil memandang
Entah mengapa aku menjadi takut seketika. Wanita itu meminta kembali. Rasanya mimpi burukku seakan terwujud. Aku pernah gagal dan mas Reza adalah bagian terpenting di hidupku yang sangat sempurna. Aku tidak akan membiarkannya bersama wanita yang sejak awal tidak menerima putrinya sendiri. Aku terus memikirkan hal itu hingga aku berdiri di kursi tempat mas Reza berada tadi. Aku memandanginya. “Apa kamu mendengarkannya?” Aku mengangguk. “Ya.” Dia menunduk sambil menyeka air mata yang menetes. “Maafkan aku.” “Buat apa?” balasku dengan cepat. Dia tidak memiliki salah kepadaku. Namun, dia memiliki salah kepada mantan suaminya dan putrinya. Setelah bertahun-tahun pergi dan kini datang dalam keadaan yang terpuruk, dia meminta kembali. Oh Tuhan, apa dia tidak pernah berpikir? Bagaimana mas Reza bersusah payah mencarinya selama ini? Aku duduk dengan tenang, mencoba menguasai diriku yang ingin marah kepadanya. “Aku masih mencintainya.” “Tapi dia tidak mencintaimu lagi Mbak,” balasku deng