“Apa kamu merencanakan semua ini? Maksudku, mengapa menganti nama mas Reza sebagai Hufo?”Aku memberanikan diri bertanya. Mardiah mengambil lipstick merah dari dalam tasnya. Dia membenarkan lipstick di bibirnya yang berantakan. Mardiah lalu tersenyum ke arahku.Beberapa saat, dia mengambil ponselnya lagi. Sepertinya dia baru saja selesai memperbaiki nail artnya.Aku masih menunggu jawabannya.Dia terlihat sombong sekarang, seakan dia mampu untuk melukaiku. Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan dia melukaiku seperti ini. Tidak, dia tidak akan bisa melakukannya!“Aku tidak merencanakan ini. Mas Reza sendiri yang ingin berlibur bertiga denganku. Yah, mungkin saja sebelum anakmu lahir,” ucapnya terasa ringan.Dia tampak tidak peduli dengan semua kekhawatiranku. Sama seperti yang dikatakan ibu Sandi. Mardiah licik. Dia sangat licik. Orang-orang tidak akan pernah tahu bagaimana sifatnya sebelum kita berbicara dengannya.Aku mengelus perutku dengan pelan.Mas Reza masih berada di ruang ICU,
“Bagaimana kalo mas Reza pada akhirnya tidak bisa bangun?”“Kamu bicara apa sih?” tegurku dengan cepat.Sali memberikanku satu buku dan dia mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar masjid biru. Kami sedang duduk di pelantaran masjid. Aku memandangi wajahnya dengan terheran.“Kamu nggak lagi berdoa agar mas Reza nggak bangun kan?”Sali menepuk pundakku dengan lembut.“Kamu mikir apa sih Bulan? Nggak lah. Aku hanya nanya saja. Tadi aku dengar beberapa pembicaraan dari tim medis mas Reza. Ya, mereka kayak menyerah gitu. Aku nggak lagi nakut-nakutin mu loh.”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Empat bulan lagi aku akan melahirkan. Jika mas Reza belum sadarkan diri. Maka hariku akan sangat menyedihkan.Ibu Sandi berencana akan datang seminggu lagi. Dia ingin menemaniku di sini. Aku setuju, aku butuh dia. Lagi pula, jika dia berada di Turkey. Maka ibu Sandi bisa bertemu dengan Hannah. Dia akan bahagia.Kami berjalan keluar dari masjid.“Aku yakin, Mardiah sudah tidak peduli
Satu bulan berada di Turkey, tidak ada yang berubah. Aktivitas kami masih saja sama. Berada di rumah sakit dan berusaha untuk merawat mas Reza. Meskipun harapan itu semakin hari semakin redup dan sangat nyata. Dokter mengatakan kepadaku jika mas Reza kemungkinan tidak akan bangun lagi. Jika dilihat dari bulan pertama dia koma, kondisinya semakin menurun. Beruntung, Mas Reza kuat dan dia masih bertahan hingga dua bulan ini. Aku tidak bisa berbuat apapun kecuali berdoa untuknya.“Mas?” bisikku. “Bangun sayang, Bulan sebentar lagi lahiran. Masa mas nggak ada di sini.”Sama seperti hari-hari sebelumnya, mas Reza tidak meresponku. Aku hanya bisa menangis lagi dan lagi. Setelah puas berbicara dengannya, aku keluar dari ruangan. Ibu Sandi mengajakku makan siang di restoran samping rumah sakit. Hal ini menjadi aktivitas kami selama satu bulan ini. “Dua bulan lagi kamu lahiran. Apa sudah menyiapkan mentalnya?”Ibu Sandi menatapku. “Insyallah Bu!” jawabku. Untuk sementara ini, kami tin
Sebulan lebih di Turkey untuk perawatan lanjutan, akhirnya kami diizinkan untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, Mas Reza sudah lebih baik. Mertuaku sudah pulang lebih dahulu dan kami akan menyusulnya dua hari lagi. Mas Reza menatapku dengan sangat lama. Suasana di taman terasa sejuk. Sejak tadi, kami duduk di taman berdua saja. “Bulan?” panggilnya. Tangan mas Reza bergerak dengan sangat lambat menyentuh pipiku. Aku tersenyum. Pandangan kami bertemu. “Kamu capek?” Suaranya hampir tidak terdengar. “Nggak sayang,” jawabku. Demi dia, aku tidak pernah merasakan capek sedikit pun. Mas Reza adalah suamiku, dia adalah harapanku. Aku tidak pernah lelah untuk merawatnya. Aku meletakkan secangkir air mineral di samping kursi roda miliknya. “Bulan, a-aku mau tinggal di Jerman selama setahun. Aku ingin menenangkan pikiranku dan beristirahat sejenak di sana, bagaimana?”Aku menganggukan kepala setuju. “Mau Mas,” seruku. Swiss adalah kota impian kami berdua. Pertama kali bertemu mas R
Aku merasa bahwa aku lah perempuan yang beruntung di dunia. Aku memiliki Mas Bayu. Kami menikah dengan sangat meriah. Kami berdua mengumpulkan uang demi resepsi pernikahan impian. Semenjak kuliah, aku berpacaran dengan mas Bayu. Kami sama-sama menempuh pendidikan di kota Bandung.Sudah dua minggu ini, Mas Bayu bertugas di Surabaya. Aku sangat merindukannya. Hari-hariku menjadi suram saat Mas Bayu tidak berada di sampingku. Pernikahan kami sudah berjalan lima tahun. Meskipun sampai sekarang, kami masih berdua. Mas Bayu tidak pernah memaksaku atau bertanya mengenai anak. Dia sangat menjaga perasaanku. Jika aku menangis saat memikirkan omongan tidak sedap mengenaiku, Mas Bayu akan segera memelukku dan mencium pipiku sungguh sangat manis perlakuannya.Sudah dua minggu ini, Mas Bayu selalu membicarakan mengenai anak. Aku sudah memeriksa kandunganku ke dokter obygn. Semuanya baik-baik saja. Aku dan Mas Bayu sama-sama sehat. Hanya saja, Allah belum menakdirkan zuriat itu tumbuh di rahimku.Dr
“Ada apa Mas?”“Mengapa Mas bertanya begini? Apa yang terjadi?” Suaraku hampir saja tidak terdengar. Semuanya bercampur dengan tangisan. Dadaku sangat sakit. Aku tidak bisa merasakan apapun. Segala sakit ini menguasai tubuhku. Aku bingung harus berbuat apa, aku bingung harus berkata apa.“Maafkan aku, Bulan!”Mas Bayu memelukku. Aku terus menangis di dalam pelukannya. Tidak ada senyuman terukir di wajahku. Aku sangat ketakutan sekarang.“Ada apa Mas?”Aku segera mendekatkan wajahku. Mas Bayu terdiam membisu. Dia mengecup keningku lalu bergegas untuk terlelap tidur. Dia memunggungiku tanpa menjawab pertanyaanku lagi.Aku ingin menunjukan pakaian terindah yang selalu aku gunakan untuk memanjakan matanya. Namun, malam ini menjadi malam yang kalud. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku terus menangis sambil mengigit bibir bawahku. Aku berusaha menahan sesak di dada. Aku tidak ingin tangisanku terdengar olehnya. Aku berusaha untuk menahan semua sesak di dada sambil menangis secara diam-dia
Setelah pertengkaran kami, Mas Bayu tampak berubah. Setiap hari, dia mengirimkan bunga ke rumah padahal dia sedang sibuknya di kantor. Setiap pagi juga, Mas Bayu memelukku dan mencium keningku. Aku bisa merasakan bahwa lelaki itu tidak mau kehilanganku.Seperti malam ini, di meja makan, Bibi Sri sudah menyediakan beberapa makanan untuk kami. Suasana makan malam kali ini sangat hening. Dua hari setelah pertengkaran kami, Mas Bayu terlihat sangat berubah.Mas Bayu mengengam tanganku. “Bulan, mas tidak bisa kau diami seperti ini!”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Aku mencoba menatap Mas Bayu. Sudah dua hari aku tidak berbicara dengannya.“Mas sudah jujur kepadamu, mas tidak akan melakukan itu lagi!” sambungnya. Mas Bayu mengecup pundak tanganku sambil tersenyum. Wajah tampannya selalu menawan, pantas saja banyak perempuan yang menyukainya.“Mas sudah jujur kepadamu, Bulan. Terserah jika kamu tidak percaya mas lagi.”“Mas hanya mau tanya saja, jika kamu tidak setuju mas
Aku menatap wajah Mas Bayu dengan sangat lama. Aku benar-benar tidak bisa menahan sakit ini. Aku memilih pergi sambil terus menangis. Aku tidak memperdulikan orang-orang yang melihatku. Aku bagaikan anak kecil yang berlari sambil terus menangis. Seakan ada orang yang sedang mencuri permenku. Ya, suamiku bersama perempuan lain. Hatiku nyaris lebam membiru.Pak Ujang kaget saat aku berada di dalam mobil dan menutup wajahku sambil berteriak histeris. Namun, pak Ujang memilih diam sambil bergegas meninggalkan area rumah sakit. Selama di perjalanan, pak Ujang mencoba menatapku melalui kaca spion.“Ada apa Non Bulan?”Aku terdiam. Lidahku mendadak keluh untuk berucap. Aku memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Bayangan Mas Bayu mencium kening perempuan itu seakan jelas terbesit di pikiranku dan membuat air mataku menetes lagi. Aku terluka, benar-benar terluka dengan sikap Mas Bayu.Sesampai di depan rumah, aku bergegas berlari masuk ke dalam kamar. Aku membaringkan tubuhku di kasur.