Aku merasa bahwa aku lah perempuan yang beruntung di dunia. Aku memiliki Mas Bayu. Kami menikah dengan sangat meriah. Kami berdua mengumpulkan uang demi resepsi pernikahan impian. Semenjak kuliah, aku berpacaran dengan mas Bayu. Kami sama-sama menempuh pendidikan di kota Bandung.
Sudah dua minggu ini, Mas Bayu bertugas di Surabaya. Aku sangat merindukannya. Hari-hariku menjadi suram saat Mas Bayu tidak berada di sampingku. Pernikahan kami sudah berjalan lima tahun. Meskipun sampai sekarang, kami masih berdua. Mas Bayu tidak pernah memaksaku atau bertanya mengenai anak. Dia sangat menjaga perasaanku. Jika aku menangis saat memikirkan omongan tidak sedap mengenaiku, Mas Bayu akan segera memelukku dan mencium pipiku sungguh sangat manis perlakuannya.
Sudah dua minggu ini, Mas Bayu selalu membicarakan mengenai anak. Aku sudah memeriksa kandunganku ke dokter obygn. Semuanya baik-baik saja. Aku dan Mas Bayu sama-sama sehat. Hanya saja, Allah belum menakdirkan zuriat itu tumbuh di rahimku.
Dring!
Ponselku bergetar. Aku sedang berada di dalam kamar. Menatap lingerie seksi yang akan aku gunakan. Aku benar-benar merindukannya. Aku sudah memesan banyak baju seksi untuk memanjakan matanya saat Mas Bayu pulang ke rumah.
Aku ingat bagaimana pergulatan panas itu membawah kami dalam kehangatan cinta sebelum Mas Bayu berangkat. Dan sekarang, aku benar-benar mengiginkannya lagi.
‘Mau dibawahkan apa?’
Aku membaca pesannya di layar ponsel. Mas Bayu sangat tahu makanan kesukaanku.
‘Cake cokelat di dekat bandara,’ balasku.
Aku membalas pesan dari Mas Bayu sambil tersenyum. Rasa rindu ini benar-benar tidak bisa tertahankan.
‘Oke sayang,’ balas Mas Bayu.
Aku semakin bersemangat. Semenjak menikah dengan Mas Bayu, aku meninggalkan mimpiku sebagai konsultan di salah satu perusahaan bergengsi di Jakarta. Aku mengabdikan diri sebagai istri dan menemaninya di rumah.
Ingin rasanya Mas Bayu segera datang. Selama dua minggu ini, aku sangat merindukannya. Aku menatap beberapa pakaian seksi yang sudah aku gantung di dalam lemari dengan rapi. Malam ini, aku akan memakainya. Mas Bayu selalu memujiku dengan pakaian itu.
“Non,” panggil Bibi Sri. Perempuan paruh baya itu sedang mengetuk pintu. Aku segera menutup lemari lalu berjalan menuju pintu.
“Mas Bayu sudah datang, mobilnya sudah ada di garasi,” ucapnya.
Aku tersenyum bahagia. Langsung saja aku bergegas menuju garasi mobil. Inilah rasa rindu seorang istri jika ditinggal lama.
“Mas!” panggilku.
Aku langsung memeluknya. Aroma maskulin begitu menyeruak dan aku selalu suka jika berada di dalam pelukannya. Mas Bayu mengelus kepalaku.
“Rindu dengan Mas?” tanyanya.
Aku menganggukan kepala sambil melingkarkan tanganku di lehernya.
“Mas juga rindu,” bisiknya. Dia selalu manis dan romantis.
Mas Bayu lalu mencubit pipiku dengan lembut. Sama seperti pasangan yang lain setiap pulang dinas, Mas Bayu selalu membisikan kata-kata mesrah. Dia terlihat seperti pria yang setia.
Aku terus memeluknya hingga kami masuk ke dalam kamar.
Waktu berpacaran dulu, Mas Bayu adalah lelaki yang sangat perhatian. Dia tidak pernah menyentuhku saat berpacaran. Dia lelaki yang menjaga dirinya.
Aku mengambil tas kerja Mas Bayu lalu meletakkan di ruangan kerja. Ruangan itu adalah ruangan khusus yang dibuat Mas Bayu. Suamiku adalah seorang arsitektur. Mas Bayu bahkan selalu berkeliling Indonesia untuk memeriksa proyeknya.
Dengan centilnya dia mencium pipiku dengan mesrah. Ciuman itu sangat lama dan aku tidak mengerti. Mengapa mas Bayu seperti demikian. Biasanya dia akan lembut dan selalu tersenyum.
“Ada apa Mas?”
“Proyeknya berjalan lancar?” tanyaku.
Kini, kami duduk di bibir ranjang dan saling pandang. Wajah Mas Bayu tampak kelelahan. Mungkin saja seluruh rutinitasnya membuatnya benar-benar lelah.
“Aku sayang kamu, Bulan!”
Dia membisikan kata-kata romantis itu di telingaku. Aku menyentuh pipi Mas Bayu.
“Aku juga menyanyangi Mas,” jawabku. Aku membalas ciuman Mas Bayu. Hanya saja, ada yang berbeda dari suamiku hari ini. Dia tampak berbeda, tatapannya tidak sedalam yang dulu. Dia juga sudah lupa membawahkanku bunga mawar. Mungkin saja Mas Bayu kelelahan sehingga melupakan rutinitasnya, pikirku.
Aku menempuh pendidikan hingga magister dan saat itu, Mas Bayu sedang sibuk membangun bisnisnya. Aku membantu Mas Bayu dan kami sama-sama berjuang dari nol. Itulah sebabnya Mas Bayu sangat menyanyangiku. Setiap malam, dia mengatakan bahwa tidak ada perempuan sepertiku.
“Mas berjanji akan menyayangimu,” bisiknya lagi. Aku semakin terharu dengan kata-kata cintanya. Aku mengecup bibirnya dengan lembut.
“Mas bersihkan tubuhnya dulu, lalu itu kita makan malam,” ucapku. Dia segera bergegas ke kamar mandi. Aku tersenyum saat melihat tangannya tidak ingin melepaskanku.
“Mas!” sahutku.
“Mas merindukanmu,” ucapnya lagi.
“Iya, bersihkan dulu badan Mas dan kita akan …,” seruku sambil mengedipkan mata. Mas Bayu lalu mengalah dan segera menuju kamar mandi.
***
Aku menyediakan makanan yang dibeli oleh suamiku. Selang beberapa menit, aku melihat Mas Bayu keluar dari dalam kamar. Aroma parfum begitu menyeruak di tubuhnya. Dulu, Mas Bayu tidak seperti ini. Entah mengapa Mas Bayu begitu memperhatikan penampilannya sekarang.
Aku ingat waktu kami masih kuliah, Mas Bayu tidak pernah berdekatan dengan perempuan lain. Hanya kepadaku dia selalu menumpahkan keluh kesahnya. Kami juga menyusun proyek jangka panjang bersama. Membangun bisnis dari modal yang aku berikan kepadanya. Aku sangat menyanyangi Mas Bayu dan aku tahu, ini adalah cinta yang amat tulus.
“Bulan,” panggilnya saat dia duduk di depanku. Aku menata makanan dengan sangat cantik. Tidak lupa aku menyediakan susu cokelat hangat di depannya.
“Ada apa Mas?” tanyaku sambil tersenyum.
“Ada yang Mas mau bilang,” ucapnya. Wajahnya tampak ragu menatapku.
“Apa Mas?”
“Makanannya dihabiskan dulu, nanti kita lanjut bicaranya yah,” sahutku.
Kami makan malam dengan romantis, dia sesekali mencuri pandangan ke arahku. Tidak biasanya Mas Bayu seperti ini. Mungkin saja dia memiliki masalah selama perjalanan dinasnya.
“Bulan,” panggilnya lagi.
“Mas ke kamar dulu, nanti kita bicara di sana yah,” ucapnya. Mas Bayu lalu mengeser kursinya. Dia bergegas pergi meninggalkanku di meja makan. Aku memanggil Bibi Sri untuk merapikan meja makan dan mengikuti Mas Bayu dari belakang.
Aku berjalan dan menatap Mas Bayu yang sudah duduk di bibir ranjang sambil mengusap wajahnya. Tiba-tiba saja hatiku menjadi kalud. Aku takut sesuatu terjadi kepada suamiku.
“Ada apa Mas?” tanyaku. Aku duduk di samping Mas Bayu. Aku mengengam tangannya dengan erat. Mas Bayu menatapku. Matanya berkaca-kaca dan membuatku panik seketika.
“Ada apa?” tanyaku lirih. Aku menyentuh pipinya. .
“Mas, ada apa?” tanyaku.
Demi Tuhan, aku benar-benar panik melihat mas Bayu menangis. Aku tidak pernah melihatnya seperti ini. Apa yang terjadi sehingga suamiku sampai menangis. Apa yang terjadi dengan dirinya?
“Kalo mas menikah lagi bagaimana?” tanyanya pelan. Bola mataku terbelalak. Kini, giliran aku yang menangis. Dadaku bergemurung. Seakan ada belati yang berusaha tertusuk di jantungku tiba-tiba. Aku sulit bernapas, rasanya sangat sakit mendengarkannya.
“Ada apa Mas? Mengapa Mas bertanya seperti ini?”
Satu bulir air mata menetes di pipiku. Ya Tuhan, apakah selama ini aku menjadi perempuan yang tidak bisa bersamanya? Apakah aku istri yang tidak membahagiakannya? Apa? Apa yang terjadi dengan suamiku.
“Maafkan mas, Bulan!”
Kata-katanya semakin tidak aku mengerti. Aku kalud, semuanya mendadak abu-abu. Ini kali pertama mas Bayu mengatakan hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Mimpi buruk, ya ini adalah mimpi buruk. Seorang suami yang meminta menikah lagi.
Bersambung …
“Ada apa Mas?”“Mengapa Mas bertanya begini? Apa yang terjadi?” Suaraku hampir saja tidak terdengar. Semuanya bercampur dengan tangisan. Dadaku sangat sakit. Aku tidak bisa merasakan apapun. Segala sakit ini menguasai tubuhku. Aku bingung harus berbuat apa, aku bingung harus berkata apa.“Maafkan aku, Bulan!”Mas Bayu memelukku. Aku terus menangis di dalam pelukannya. Tidak ada senyuman terukir di wajahku. Aku sangat ketakutan sekarang.“Ada apa Mas?”Aku segera mendekatkan wajahku. Mas Bayu terdiam membisu. Dia mengecup keningku lalu bergegas untuk terlelap tidur. Dia memunggungiku tanpa menjawab pertanyaanku lagi.Aku ingin menunjukan pakaian terindah yang selalu aku gunakan untuk memanjakan matanya. Namun, malam ini menjadi malam yang kalud. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku terus menangis sambil mengigit bibir bawahku. Aku berusaha menahan sesak di dada. Aku tidak ingin tangisanku terdengar olehnya. Aku berusaha untuk menahan semua sesak di dada sambil menangis secara diam-dia
Setelah pertengkaran kami, Mas Bayu tampak berubah. Setiap hari, dia mengirimkan bunga ke rumah padahal dia sedang sibuknya di kantor. Setiap pagi juga, Mas Bayu memelukku dan mencium keningku. Aku bisa merasakan bahwa lelaki itu tidak mau kehilanganku.Seperti malam ini, di meja makan, Bibi Sri sudah menyediakan beberapa makanan untuk kami. Suasana makan malam kali ini sangat hening. Dua hari setelah pertengkaran kami, Mas Bayu terlihat sangat berubah.Mas Bayu mengengam tanganku. “Bulan, mas tidak bisa kau diami seperti ini!”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Aku mencoba menatap Mas Bayu. Sudah dua hari aku tidak berbicara dengannya.“Mas sudah jujur kepadamu, mas tidak akan melakukan itu lagi!” sambungnya. Mas Bayu mengecup pundak tanganku sambil tersenyum. Wajah tampannya selalu menawan, pantas saja banyak perempuan yang menyukainya.“Mas sudah jujur kepadamu, Bulan. Terserah jika kamu tidak percaya mas lagi.”“Mas hanya mau tanya saja, jika kamu tidak setuju mas
Aku menatap wajah Mas Bayu dengan sangat lama. Aku benar-benar tidak bisa menahan sakit ini. Aku memilih pergi sambil terus menangis. Aku tidak memperdulikan orang-orang yang melihatku. Aku bagaikan anak kecil yang berlari sambil terus menangis. Seakan ada orang yang sedang mencuri permenku. Ya, suamiku bersama perempuan lain. Hatiku nyaris lebam membiru.Pak Ujang kaget saat aku berada di dalam mobil dan menutup wajahku sambil berteriak histeris. Namun, pak Ujang memilih diam sambil bergegas meninggalkan area rumah sakit. Selama di perjalanan, pak Ujang mencoba menatapku melalui kaca spion.“Ada apa Non Bulan?”Aku terdiam. Lidahku mendadak keluh untuk berucap. Aku memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Bayangan Mas Bayu mencium kening perempuan itu seakan jelas terbesit di pikiranku dan membuat air mataku menetes lagi. Aku terluka, benar-benar terluka dengan sikap Mas Bayu.Sesampai di depan rumah, aku bergegas berlari masuk ke dalam kamar. Aku membaringkan tubuhku di kasur.
Bulan tampaknya malu-malu untuk memunculkan dirinya. Aku ingat saat Mas Bayu memujiku. Katanya, aku bagaikan Bulan purnama di hatinya. Menyinari Mas Bayu saat lelaki itu mengalami keterpurukan.Tapi, apa balasannya kepadaku?Aku masih menunggunya di atas balkon. Semua memori mengenai kebersamaan kami tiba-tiba terputar kembali. Bagaikan kaset kusut yang tidak bernilai. Rumah tangga ini sudah retak dengan kebohongan. Kebohongan Mas Bayu yang berusaha ditutupinya.“Bulan,” sahut Mas Bayu kemudian. Dia berjalan mendekatiku dan duduk di sampingku.“Mas mencarimu, mengapa suka duduk di sini?” Aku menghela napas panjang saat dia duduk di sampingku. Aku ingin mencabik mulutnya saja.“Bulan sayang,” panggilnya. Dia menyentuh kepalaku. Mas Bayu menatapku dengan sangat lama. Aku spontan tertunduk ke bawah. Air mataku mengalir tanpa komando dan membuat Mas Bayu panik.“Kamu masih marah sama mas?”“Mas tidak membohongimu sayang, mas tidak melakukan apapun!” ucap Mas Bayu. Aku menggelengkan kepala
Tanganku dingin, aku merasa tubuhku menegang seketika. Bahkan kakiku tidak bisa menopang massa tubuhku sekarang. Aku hancur, terluka dan semuanya mendadak gelap.Aku terus menangis. Perempuan cantik itu segera melompat dari tubuh Mas Bayu. Tubuh seksinya tidak memakai benang sehelai pun. Aku sangat malu menatapnya. Mas Bayu segera berlari mengambil handuk. Dia berjalan mendekatiku. Wajahnya terlihat terkejut. "Bulan?""Sayang, mengapa kau di sini?" ucapnya. Aku hancur, aku jijik melihat wajah suamiku. Mengapa dia masih bisa bertanya? Seharusnya aku yang bertanya kepadanya. Apa yang dilakukan dengan perempuan itu? Mengapa dia menjama tubuh perempuan lain? Tidak tahu kah bahwa aku merindukan setiap sentuhannya?Sorot mataku tajam melihat Zahrani. Oh rupanya wanita itu!Zahrani menunduk ke bawah dengan cepat. Ya, aku tahu. Dia sangat malu. Dia sangat malu setelah ketahuan beradegan ranjang dengan suami orang lain. Sangat menjijikan! Sangat memalukan!Deru napasku memburuh. Aku hampir ja
Aku mengusap wajahku frustasi. Tangisanku terus mengema di dalam kamar. Aku bingung harus berbuat apa. Sampai pukul lima sore, Mas Bayu belum meneleponku. Ibu mertuaku pun belum juga pulang. Apa dia mengetahui hal ini?“Atau ibu mertuaku bersama perempuan sialan itu?” Aku terus menerka-nerka. Bayangan Mas Bayu sedang bercinta terus terputar di memori otakku. Dadaku terasa sesak hingga aku sulit bernapas. Aku mencoba menghubungi Yuni. Aku butuh teman cerita saat ini. Aku butuh teman untuk menemaniku. “Halo.”“Bulan, ada apa? Mengapa suaramu berbeda?” Yuni panik mendengarkanku. Aku terus menangis di dalam sambungan telepon. Yuni semakin panik. “Bulan, tenang dulu. Ada apa?” serunya lagi. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Memberikan sedikit udara di kerongkonganku yang terasa sesak.“Mas Bayu, dia selingkuh Yuni!” “Bulan, kau percaya Mas Bayu selingkuh?” tukasnya. Hanya isak tangisanku yang menjadi jawabanku. Aku benar-benar sakit. Aku tidak bisa
Aku berusaha untuk tenang selama di dalam mobil. Air mataku terjatuh. Sesampai di rumah, aku melihat mobil Mas Bayu. Rupanya Mas Bayu sudah pulang. Aku berjalan menghampirinya. Mas Bayu tersenyum menatapku. Aku tidak membalas senyumannya. Lelaki itu berpura baik-baik saja padahal aku hampir mati memikirkan semua ini. “Bulan,” panggilnya. “Duduk di sini, ada yang mas mau katakan,” jawabnya kemudian. Aku duduk di depan Mas Bayu. Dia terus menatapku. Sesekali Mas Bayu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Dia memandangiku dengan serius. “Maafkan mas.”Kata pertama yang keluar dari mulut manisnya. Sama seperti janji manisnya saat itu. “Mas tidak ingin kamu terluka lebih banyak lagi, Bulan.”“Mas sama sekali tidak bisa menahan godaan ini, mas khilaf.” Mas Bayu menunduk ke bawah. Ku kepal tanganku dengan kuat. Aku berusaha tenang mendengarkan ucapannya. “Mas tidak bisa meninggalkan Zara, sama sepertimu.”“Mas tidak bisa memilih diantara kalian berdua,” jawabnya. Aku
Aku sulit terlelap tidur. Aku terus menangis di bawah tumpukan bantal. Dadaku terasa sesak. Ini adalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang sama sekali tidak aku harapkan.“Bulan, kamu harus berjuang. Jangan pernah maafkan Mas Bayu, dia bercinta dengan perempuan lain!”“Dia bercinta dengan perempuan lain!” Aku berusaha menguatkan diriku sendiri malam ini.Mas Bayu benar-benar kurang ajar. Apa dia tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini? Aku hancur, aku terluka. Aku benar-benar tidak bisa berpikir apapun sekarang. Dadaku terasa sesak bahkan aku sangat sulit untuk bernapas.Dari tadi sore, ibu dan ayah berusaha menghubungiku. Namun, aku belum mengangkat telepon dari mereka. Aku tidak kuasa menjelaskan bagaimana Mas Bayu menghianatiku.Klek~Pintu tiba-tiba terbuka. Aku spontan menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Langkah kaki itu jelas terdengar. Perlahan, Mas Bayu naik di atas tempat tidur.“Bulan?” panggilnya. Aku tidak bersuara. Aku ingin berteriak di depannya namun aku tidak punya tenag
Sebulan lebih di Turkey untuk perawatan lanjutan, akhirnya kami diizinkan untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, Mas Reza sudah lebih baik. Mertuaku sudah pulang lebih dahulu dan kami akan menyusulnya dua hari lagi. Mas Reza menatapku dengan sangat lama. Suasana di taman terasa sejuk. Sejak tadi, kami duduk di taman berdua saja. “Bulan?” panggilnya. Tangan mas Reza bergerak dengan sangat lambat menyentuh pipiku. Aku tersenyum. Pandangan kami bertemu. “Kamu capek?” Suaranya hampir tidak terdengar. “Nggak sayang,” jawabku. Demi dia, aku tidak pernah merasakan capek sedikit pun. Mas Reza adalah suamiku, dia adalah harapanku. Aku tidak pernah lelah untuk merawatnya. Aku meletakkan secangkir air mineral di samping kursi roda miliknya. “Bulan, a-aku mau tinggal di Jerman selama setahun. Aku ingin menenangkan pikiranku dan beristirahat sejenak di sana, bagaimana?”Aku menganggukan kepala setuju. “Mau Mas,” seruku. Swiss adalah kota impian kami berdua. Pertama kali bertemu mas R
Satu bulan berada di Turkey, tidak ada yang berubah. Aktivitas kami masih saja sama. Berada di rumah sakit dan berusaha untuk merawat mas Reza. Meskipun harapan itu semakin hari semakin redup dan sangat nyata. Dokter mengatakan kepadaku jika mas Reza kemungkinan tidak akan bangun lagi. Jika dilihat dari bulan pertama dia koma, kondisinya semakin menurun. Beruntung, Mas Reza kuat dan dia masih bertahan hingga dua bulan ini. Aku tidak bisa berbuat apapun kecuali berdoa untuknya.“Mas?” bisikku. “Bangun sayang, Bulan sebentar lagi lahiran. Masa mas nggak ada di sini.”Sama seperti hari-hari sebelumnya, mas Reza tidak meresponku. Aku hanya bisa menangis lagi dan lagi. Setelah puas berbicara dengannya, aku keluar dari ruangan. Ibu Sandi mengajakku makan siang di restoran samping rumah sakit. Hal ini menjadi aktivitas kami selama satu bulan ini. “Dua bulan lagi kamu lahiran. Apa sudah menyiapkan mentalnya?”Ibu Sandi menatapku. “Insyallah Bu!” jawabku. Untuk sementara ini, kami tin
“Bagaimana kalo mas Reza pada akhirnya tidak bisa bangun?”“Kamu bicara apa sih?” tegurku dengan cepat.Sali memberikanku satu buku dan dia mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar masjid biru. Kami sedang duduk di pelantaran masjid. Aku memandangi wajahnya dengan terheran.“Kamu nggak lagi berdoa agar mas Reza nggak bangun kan?”Sali menepuk pundakku dengan lembut.“Kamu mikir apa sih Bulan? Nggak lah. Aku hanya nanya saja. Tadi aku dengar beberapa pembicaraan dari tim medis mas Reza. Ya, mereka kayak menyerah gitu. Aku nggak lagi nakut-nakutin mu loh.”Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Empat bulan lagi aku akan melahirkan. Jika mas Reza belum sadarkan diri. Maka hariku akan sangat menyedihkan.Ibu Sandi berencana akan datang seminggu lagi. Dia ingin menemaniku di sini. Aku setuju, aku butuh dia. Lagi pula, jika dia berada di Turkey. Maka ibu Sandi bisa bertemu dengan Hannah. Dia akan bahagia.Kami berjalan keluar dari masjid.“Aku yakin, Mardiah sudah tidak peduli
“Apa kamu merencanakan semua ini? Maksudku, mengapa menganti nama mas Reza sebagai Hufo?”Aku memberanikan diri bertanya. Mardiah mengambil lipstick merah dari dalam tasnya. Dia membenarkan lipstick di bibirnya yang berantakan. Mardiah lalu tersenyum ke arahku.Beberapa saat, dia mengambil ponselnya lagi. Sepertinya dia baru saja selesai memperbaiki nail artnya.Aku masih menunggu jawabannya.Dia terlihat sombong sekarang, seakan dia mampu untuk melukaiku. Tapi tidak, aku tidak akan membiarkan dia melukaiku seperti ini. Tidak, dia tidak akan bisa melakukannya!“Aku tidak merencanakan ini. Mas Reza sendiri yang ingin berlibur bertiga denganku. Yah, mungkin saja sebelum anakmu lahir,” ucapnya terasa ringan.Dia tampak tidak peduli dengan semua kekhawatiranku. Sama seperti yang dikatakan ibu Sandi. Mardiah licik. Dia sangat licik. Orang-orang tidak akan pernah tahu bagaimana sifatnya sebelum kita berbicara dengannya.Aku mengelus perutku dengan pelan.Mas Reza masih berada di ruang ICU,
Aku memeluk tubuh mas Reza. Sali berusaha menahanku namun mas Gani berseru.“Biarkan saja!”Pandanganku mulai kabur. Aku sangat kelelahan. Dengan pelan, aku menyentuh tangan mas Reza. Beberapa alat medis memenuhi tubuhnyaApa? Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku bertanya-tanya.“Bulan, hanya ada satu orang yang bisa berada di ruangan ini. Sebaiknya, kita keluar dulu. Aku akan menjelaskan kepadamu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucap mas Gani.Aku menganggukan kepala mengikutinya.Aku segera keluar dari ruangan dibantu oleh Sali. Tubuhku lemas. Air mata terus terjatuh di pipiku.Kami menuju ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien. Aisha dan mas Ahmad sudah duduk lebih dahulu. Saat aku berada di ruang itu, dokter masuk ke ruangan mas Reza.Sepertinya mereka ingin memeriksa keadaan mas Reza.“Gini,” ucap mas Gani memulai pembicaraan. Dia menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskan dengan pelan.“Reza ditemukan oleh tim di rumah sakit ini. Sampai sekarang, orang-orang belum tahu
Aku segera berlari ke arah gadis kecil itu. Aku yakin, Hannah melihatku tadi. Aku yakin, dia menungguku.“Hannah!”“Hannah!” teriakku.Beberapa orang memandangiku. Beberapa di antara mereka mengatakan kepadaku untuk berhati-hati.Aku terus memanggil nama Hannah. Gadis kecil itu di sini!“Bulan!”“Bulan!” teriak Sali dari belakang.Aku menoleh ke belakang. Rupanya Sali berlari ke arahku. Wajahnya mendadak panik. “Are you oke?” tanyanya. Dia memegang kedua tanganku dan menatapku dengan cemas.“Sali, aku melihat Hannah di sini. Tapi dia tiba-tiba menghilang. Aku tidak melihatnya lagi. Dimana dia? Kita harus mencarinya, Sali!” ucapku.Aku melepaskan gengaman tangan Sali dan berlari. Sali terus mengejarku dari belakang.“Bulan, stop. Kita akan mencari Hannah. Tapi hati-hati. Jangan berlari!” panggil Sali.Aku tidak bisa berdiam diri. Hannah di dekatku sekarang. Aku yakin, dia ingin menemuiku.Aku berdiri di sebuah danau yang dikelilingi bunga tulip. Aku memegang sebuah pagar kayu yang meng
Pagi hari, Sali dan Aisha mengajakku untuk menenangkan diri di taman. Hotel tempat kami tinggal berdekatan dengan masjid biru. Di sana, ada taman indah. Lebih tepatnya spot untuk menikmati teh. Lokasinya tidak begitu luas. Ada beberapa kursi dan meja berjejeran dan dipenuhi oleh orang-orang yang menginap di sekitar hotel.“Are you oke?” tanya Sali. Dia menatapku.Semalam, aku menangis. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba menangis sampai berteriak.Aisha dan Sali ketakutan melihatku. Aku tahu kalo aku sangat merepotkan. Bahkan sekarang, aku berniat untuk terus menangis saja.Apakah aku wanita pembawah sial, mengapa semua orang yang aku cintai pergi? Mengapa mereka meninggalkanku begitu saja.Hatiku sangat sakit dan aku rasanya tidak mampu lagi.“Kamu tahu Bulan, Allah itu maha adil. Dia tidak akan memberikan beban kepada umatnya di luar batas kemampuan umatnya,” ucap Sali.Dia memberikanku bunga. Angin lembut menyapu hijabku. Suasana sangat ramai karena ini adalah musim semi.“Aku yaki
Aku belum mendapatkan kabar dari mas Gani. Dan mas Reza belum membalas pesanku. Aku sangat bingung sekarang.“Bulan.”Aku terpaksa menceritakan masalahku kepada ibu Sandi dan ibu di kampung. Aku katakan kepadanya kalo mas Reza tiba-tiba hilang kontak.Ibu Sandi gugup dan ingin segera terbang ke Turkey. Tapi, aku mencoba menenangkannya. Ku katakan kepadanya untuk menunggu informasi dari mas Gani.Kita bisa saja panik, tapi lebih baik berpikir tenang.“Ibu yakin loh, ini ulah si Mardiah. Dia tuh ular! Ibu nggak pernah percaya dengan wanita ular itu. Nggak pernah percaya!”Ibu Sandi sudah mulai hilang kesabarannya.Aku tidak mengenal Mardiah, aku tidak mengenal bagaimana sifatnya. Tapi beberapa kali dia membohongiku, aku jadi paham bagaimana Mardiah berpikir.“Apa dia berusaha merebut mas Reza kembali?” Aku bertanya-tanya.Ibu Sandi terdiam beberapa saat.Ketakutanku tiba-tiba muncul kembali.“Dia wanita angkuh dan sulit di tebak, berulang kali aku katakan kepadamu, Bulan. Dia akan menga
Aku tidak tahu apa maksud dari kedatangan Mardiah kembali. Dia sangat aneh.“Bulan, lebih baik telepon aja deh. Kan bisa tuh di telepon,” saran dari Yuni.Aku segera menghubungi nomor telepon yang tertera. Namun nihil, wanita itu sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Sepertinya dia sengaja membuatku marah.Yuni menginap dua hari di rumah. Malam ini, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat aku mencoba untuk menutup mataku, tiba-tiba saja aku teringat mengenai Hannah.Apa mas Reza punya rencana khusus ke sana?Aku bertanya-tanya.Yuni mengatakan jika mas Reza tidak mungkin bertemu dengan Mardiah, namun beberapa menit kemudian, dia mengatakan jika gambar tangan yang berada di foto itu adalah milik Mas Reza.Sejujurnya, Yuni hanya sedang menenangkanku saja.Aku keluar dari dalam kamar. Aku terkejut melihat mertuaku, ibu sandi duduk di depan piano.Dia menyeka air matanya saat aku mendekat ke arahnya. Sepertinya dia sadar kalo aku memperhatikannya dari tadi.“Bulan, dari tadi yah?” tanya